Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Abdul Samad Al Palimbani

Abdul Samad Al Palimbani

Al-Palimbangi lahir di Palembangsekitar tiga atau empat tahun setelah 1112 H/1700 M. Menurut catatan yang terdapat dalam kitab Sair al-Salikin, kitab tersebut mulai ditulisnyapada tahun 1193 H/1779 M. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3). Menurut Yusuf Halidi, al-Palimbani menuntut ilmu di Mekkahbersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul WahabBugis dari Sulawesi Selatan dan Abdul RahmanMasridari Jakarta,"empat serangkai" yang kemudian sama-sama belajar thariqat diMadinah kepada Syeikh Muhammad al-Samman, dan akhirnya merekabersama-sama pula pulang ke daerah mereka masing-masing di Indonesia.(Yusuf Halidi, 1980 : 33)

     Abdul Samad al-Jawi al-Palimbani merupakan nama besar dalam bidang agama, khususnya di alam Nusantara ini. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar, sufi, dan penulis yang produktif. Pada abad ke-18, beliau menetap dan menjadi pengajar agama di Masjidil Haram.

     Al-Palimbani sangat terkenal di kalangan jemaah haji dan orang-orang Jawa Indonesia di kota Mekah. Sebagai seorang terpelajar, beliau selalu bersedia menolong dan membimbing para jemaah dalam melaksanakan ibadah haji. Oleh hal yang demikian, sifat kecendekiaan yang ada pada al-Palimbani, maka Sultan Najmuddin dari Palembang telah memintanya menulis risalah tentang hakikat iman dan hal yang dapat merusakkannya.  Beliau memenuhi permintaan tersebut dengan menulis buku dalam bahasa Melayu, Tuhfah ar-Ragibin Fi Bayan Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduh Fi Riddah al-Murtaddin sekitar tahun 1774.

     Abdul Samad al-Palimbangi menulis banyak buku, di antaranya Nasihah al-Muslimin, Lubab Ihy' 'Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Dua buku terakhir merupakan terjemahan daripada kitab al-Ghazali dan pandangan-pandangannya. Dan Ajaran tasawwuf al-Palimbangi merupakan gabungan ajaran wahdatul wujud (alam tidak berwujud dan yang berwujud hanya Tuhan) daripada Ibnu Arabi dan tasawwuf al-Ghazali. Menurutnya, manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Tuhan dalam fenomena alam, sehingga mampu memandang Allah s.w.t sebagai wujud yang mutlak.

     Al-Palimbani mengambil Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri Tarekat Sammaniyah. Dalam tulisan-tulisannya, khususnya dalamHidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin, ia selalu menyebut dirinya sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani.Mengenai karya tulis Al-Palimbangi, ada beberapa kitab seperti yang penulis kutip dari Chatib Quzwain diantaranya (1) Hidayat al-Salikin, (2) Sair al-Salikin, yang secara berurutan merupakan terjemahandari Bidayat al-Hidayat dan Lubab Ihya' Ulum al-Din – Karangan Al-Ghazali, (3) Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid, (4) Nasihat al-Muslimin wa Tazdkirat al-Mu'minin fi Fadha'il al-Jihad fi Sabilillah, (6),Al-'Urwat al-Wutqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa, (7) Ratib Abd al-Samad al-Palimbani (Chatib Quzwain, 22 – 30).

 

Pokok-pokok Ajaran Suluk al-Palimbangi

a. taubat yakni: Pertama, "bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah dan kepada manusia". Kedua, harus diingat "betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang yang berbuat maksiat". Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk "menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat" nanti. (Al-Palimbani, Jilid IV : 7 –8).

     Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan :

- Pertama, taubat orang awam;

- Kedua, taubat orang khawash;

- Ketiga, taubat orang khawash al khawash.

     Taubat dari "maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh, merampas, mencuri dansebagainya; orang khawash taubat dari "maksiat batin" seperti ujub,ria, takabur, hasad dan sebagainya; sedangkan orang khawash al khawash, taubat dari segala yang terlintas di dalam hatinya yang laindari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir hatikepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itudengan dzikrullah (ingat kepada Allah) di dalam hati dan syuhud(memandang dalam hati) akan Allah Taala.

b.Takut dan Harap yakni: Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut,demikian dikatakan oleh Al Palimbangi. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW : "Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala" yakni membanyakkan harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian,harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang lebih tinggi daripada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta

(mahabbah).Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu.

     Kalau yang pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap ini menurut Al-Palimbangi dapat diperkuat dengan "memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah Taala" yang tidak terhinggabanyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif, berada di maqam cinta (mahabbah), tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur'an "Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan merekapun tiada bersedih". Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepadaAllah itu masih ada beberapa maqam lagi yang harus dilalui;diantaranya adalah maqam zuhud.

c. Zuhud yakni: Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara :1) Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu.2) Orang yang memuji dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja.3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99). Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini, nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi,sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar.

 

d. Sabar yakni: Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal

kepergian sesuatu yang disenangi. Sabar terbagi dalam tiga tingkatan :

- Pertama, sabar "orang awam" yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu "menanggung kesusahan dan menahan kesakitan" dalam menerima hukum Allah;

- Kedua, sabar "orang yang menjalani tarikat," yaitu "jadi biasa ia dengan bersifat dengan  sabar telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu".

- Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu "bersedap-sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiyar (pilihan) Tuhannya.

     Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar inipun, nampaknya hanya dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; adapun maqam bagi orang-orang salih yang belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat

pertama dan tingkat kedua. Menurut Al-Palimbangi, maqam sabar inipun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung "maslahat di dalam agama" dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala penderitaan yang dialaminya. Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya diperlukan kesabaran yang tinggi.

e. Syukur yakni: menurutnya maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salih membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.

f. Ikhlas yakni: Ikhlas bagi al-Palimbangi adalah suatu maqam yang harus dilalui oleh seorang salih dalam perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau makrifah yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan permulaannya mungkin telah dicapai pada maqam syukur tadi. Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip sebuah Hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya.

g. Tawakkal yakni: Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang dipandang sebagai sumber dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini terbit dari Yang Maha Satu. Inti tauhid tersebut, bukan suatu konsep ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya bahasa akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan pancaran Nur Al-Haq dalam hati orang-orang tertentu.

h. Mahabbah yakni: Al-Palimbangi memandang cinta yang merupakan maqam tertinggi itu suatu cinta sadar yang melahirkan dirinya melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syathahat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang yang berada pada maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas,

selalu berzikir, munajat, mengerjakan sembahyang tahajjud, membaca Al-Qur'an, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang dikasihi Allah danbenci kepada semua yang dibenci-Nya.

i. Ridha yakni: yang dimaksudkan dengan ridha terhadap semua yang diridhai Allah,sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain, pada maqam tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya. MenurutAl-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar yang merupakan jalan masuk kepada makrifah Allah Ta'ala, dan merupakan maqam yang terlebih tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah Ta'ala.

j. Makrifah yakni: Al-Palimbangi menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya di dunia ini, karena hal itu menurut dia adalah "surga", "barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia akan surga yang di akhirat" nanti. Semua maqamat yang tersebut itu, dari taubat sampai kepada ridha dianggapnya sebagai jalan yang menyampaikan kepada makrifah Allah Ta'ala. Intisari makrifah hanya dapat dicapai setelah seorang salih melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua maqam ini dianggapnya sebagai "jalan" menuju makrifah. Mengenai tujuan tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat nafs ar-radliyah – tingkat nafs yang kelima – ridha dengan segala yang terjadi, karam dalam memandang keindahan Allah yang mutlak dan "Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi) Allah. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan di atas; bahwa makrifah yang menjadi tujuan akhir seorang sufi itu hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi.

k. Fana dan Baqa yakni: Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan, menurutnya orang yang sudah mencapai tingkat nafs almuthma'innah, fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah Taala; dan orang yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah "fana dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di dalam syuhud akan Ahadiyah Allah Taala. Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia memandang segala yang terjadi di alam semesta ini perbuatan Allah, sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang lain.

     Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang sama, karena hal itu adalah dua aspek dari keadaan atau pengalaman yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang lain baqa dengan Tuhan. Makrifah dalam arti memandang esensi Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya tercapai dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang arif itulah puncak makrifah tertinggi, yang dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya. Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua keadaan yang dialami oleh seorang salik dalam waktu yang beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang yang dalam keadaan fana segala perbuatan-nya diatur dan dikuasai oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak mampu membedakan antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam keadaan baqa sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis keridhaan Allah, karena segala perbuatannya tidak lagi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.