Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Pemikiran Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Pemikiran Syeikh Nuruddin Ar Raniri

     Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M).

     Seperti ketidak pastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).

     Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari: tt).

     Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M). Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M).

     Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).

     Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan

Pengaruh Al-Raniri

     Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya (Azra: 1994).

     Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.

     Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).

     Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.

     Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.

     Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal metodologi.

     penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.

     Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid, karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.

     Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.

     Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: "Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M)." Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath al-Mubin.

     Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam perebutan itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.

     Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang

     Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.