Suatu negara yang memiliki berbagai suku bangsa dan ras berupaya keras membentuk suatu bangsa baru dengan identitas kultural yang baru pula. Hal itu dimaksudkan agar dapat bertahan lama dan mmpu mencapai tujuan.
Proses terbentuknya suatu negara terpusat modern yang penduduknya meliputi satu nasionalitas (suatu bangsa) merupakan proses pembentukan bangsa-negara. Pengertian bangsa dalam istilah satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah bangsa negara (nation-state).
Bangsa dalam bangsa-negara mencakup jumlah kelompok masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa dalam suku bangsa. Kesamaan identitas kultural dalam suku bangsa lebih sempit cakupannya daripada identitas kultural dalam bangsa-negara.
Lalu Ben Anderson, seorang ilmuwan politik dari Universitas Cornell merumuskan pengertian bangsa secara unik. .Menurut pengamatannya, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined political community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat.
Dikatakan sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak kenal satu sama lain. Dibayangkan secara terbatas karena bangsa yang paling besar sekalipun —yang penduduknya ratusan juta jiwa— mempunyai batas wiayah yang relatif jelas. Dibayangkan sebagai berdaulat karena bangsa ini berada di bawah suatu negara mempunyai kekuasaan atas seluruh wilayah dan bangsa tersebut. Akhirnya, disebut sebagai komunitas yang dibayangkan karena terlepas dari adanya kesenjangan dan penindasan, para anggota bangsa Itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati bagi komunitas yang dibayangkan Itu.
Sementara itu, secara umum dikenal adanya dua model proses pembentukan bangsa-negara. Pertama, model ortodoks yang bermula dari adanya suatu bangsa terlebih dahulu untuk kemudian bangsa itu membentuk satu negara tersendiri. Setelah bangsa-negara ini terbentuk, kemudian suatu rezim politik (konstitusi) dirumuskan dan ditetapkan, dan sesuai dengan pilihan rezlm politik itu, dikembangkan sejumlah bentuk partisipasi politik warga masyarakat dalam kehidupan bangsa-negara. Kedua, model mutakhir yang berawal dan adanya negara terlebih dahulu, yang terbentuk melalui proses tersendiri, sedangkan penduduknya merupakan kumpulan sejumlah kelompok suku bangsa dan ras.
Pada tingkat prkembangan tertentu, munculnya kesadaran politik di kalangan satu atau beberapa kelompok suku bangsa untuk berpartisipasi dalam proses politik akan membawa mereka kepada pertanyaan yang lebih mendasar. Pertanyaan ini berkaitan dengan pilihan rezim politik. Hal itu dipertanyakan setelah melalui proses politisasi yang secukupnya.
Suatu bangsa akan terbentuk apabila masalah-masalah bentuk partisipasi politik dan rezim politik disepakati jawabannya. Namun, pada proses politisasi yang dilakukan secara memadai, mungkin saja terdapat satu atau lebih kelompok suku bangsa yang tidak bersedia ikut serta dalam bangsa yang baru. Mungkin disebabkan ketidaksetujuan mereka terhadap pilihan bentuk-bentuk partisipasi politik dan rezim politik. Dalam situasi ini, mungkin terdapat satu atau lebih kelompok etnis yang menghendaki suatu negara sendiri atau mungkin menghendaki bentuk kompromi seperti daerah istimewa dengan hak-hak dan kewenangan khusus.
Kedua model ini berbeda dalam empat hal. Pertama, ada tidaknya perubahan unsur dalam pengelompokan masyarakat. Model ortodoks tidak mengandung perubahan unsur karena satu bangsa membentuk satu negara. Model mutakhir mengandung perubahan unsur dari banyak kelompok suku bangsa menjadi satu bangsa baru. Kedua, lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pembentukan bangsa-negara. Model ortodoks memerlukan waktu yang singkat sebab membentuk struktur kekuasaari saja (tidak perlu membentuk identitas kultural baru), sedangkan model mutakhir memerlukan waktu yang lebih lama karena harus mencapai kesepakatan tentang identitas kultural (nasionalitas) yang baru. Ketiga, kesadaran politik dalam model ortodoks muncul setelah terbentuknya bangsa-negara, sedangkan dalam model mutakhir kesadaran politik muncul mendahului dan menjadi kondisi awal bagi terbentuknya bangsa negara. Keempat, derajat pentingnya partisipasi politik dan rezim politik. Dalam model ortodoks, partisipasi politik dan rezim politik dianggap sebagai hal yang terpisah dari proses integrasi nasional, sedangkan dalam model mutakhir kedua hal itu merupakan hal-hal yang tak terpisahkan dari proses integrasi nasional (pembentukan bangsa-negara).
Kedua model di atas sangat berguna dalam menggambarkan secara sederhana proses pembentukan bangsa-negara yang dalam kenyataan bersifat rumit. Namun, kedua model mengandung tiga kekurangan pokok. Pertama, rnemandang proses pembentukan bangsa-negara dari sudut kemajemukan suku bangsa saja. Padahal permasalahan integrasi nasional juga disebabkan dengan kemajemukan agama, ras (pribumi dan nonpribumi) dan kesenjangan sosial ekonomi. Kedua, faktor historis khususnya hal ihwal yang berkaitan dengan pengalaman penjajahan tidak dimasukan ke dalam model-model tersebut. Ketiga, dalam kenyataan tidak hanya terdapat dua model proses pembentukan bangsa-negara, tetapi juga terdapat model ketiga seperti yang dialami Indonesia berhubungan dengan proses pembentukan bangsa baru, yang mulai berlangsung jauh sebelum negara terbentuk. Dalam hal ini, satu di antaranya yang terpenting berupa Sumpah Pemuda 1928.
(Ramlan Surbakti)
Proses terbentuknya suatu negara terpusat modern yang penduduknya meliputi satu nasionalitas (suatu bangsa) merupakan proses pembentukan bangsa-negara. Pengertian bangsa dalam istilah satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah bangsa negara (nation-state).
Bangsa dalam bangsa-negara mencakup jumlah kelompok masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa dalam suku bangsa. Kesamaan identitas kultural dalam suku bangsa lebih sempit cakupannya daripada identitas kultural dalam bangsa-negara.
Lalu Ben Anderson, seorang ilmuwan politik dari Universitas Cornell merumuskan pengertian bangsa secara unik. .Menurut pengamatannya, bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined political community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat.
Dikatakan sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sekalipun para anggotanya tidak kenal satu sama lain. Dibayangkan secara terbatas karena bangsa yang paling besar sekalipun —yang penduduknya ratusan juta jiwa— mempunyai batas wiayah yang relatif jelas. Dibayangkan sebagai berdaulat karena bangsa ini berada di bawah suatu negara mempunyai kekuasaan atas seluruh wilayah dan bangsa tersebut. Akhirnya, disebut sebagai komunitas yang dibayangkan karena terlepas dari adanya kesenjangan dan penindasan, para anggota bangsa Itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Perasaan sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati bagi komunitas yang dibayangkan Itu.
Sementara itu, secara umum dikenal adanya dua model proses pembentukan bangsa-negara. Pertama, model ortodoks yang bermula dari adanya suatu bangsa terlebih dahulu untuk kemudian bangsa itu membentuk satu negara tersendiri. Setelah bangsa-negara ini terbentuk, kemudian suatu rezim politik (konstitusi) dirumuskan dan ditetapkan, dan sesuai dengan pilihan rezlm politik itu, dikembangkan sejumlah bentuk partisipasi politik warga masyarakat dalam kehidupan bangsa-negara. Kedua, model mutakhir yang berawal dan adanya negara terlebih dahulu, yang terbentuk melalui proses tersendiri, sedangkan penduduknya merupakan kumpulan sejumlah kelompok suku bangsa dan ras.
Pada tingkat prkembangan tertentu, munculnya kesadaran politik di kalangan satu atau beberapa kelompok suku bangsa untuk berpartisipasi dalam proses politik akan membawa mereka kepada pertanyaan yang lebih mendasar. Pertanyaan ini berkaitan dengan pilihan rezim politik. Hal itu dipertanyakan setelah melalui proses politisasi yang secukupnya.
Suatu bangsa akan terbentuk apabila masalah-masalah bentuk partisipasi politik dan rezim politik disepakati jawabannya. Namun, pada proses politisasi yang dilakukan secara memadai, mungkin saja terdapat satu atau lebih kelompok suku bangsa yang tidak bersedia ikut serta dalam bangsa yang baru. Mungkin disebabkan ketidaksetujuan mereka terhadap pilihan bentuk-bentuk partisipasi politik dan rezim politik. Dalam situasi ini, mungkin terdapat satu atau lebih kelompok etnis yang menghendaki suatu negara sendiri atau mungkin menghendaki bentuk kompromi seperti daerah istimewa dengan hak-hak dan kewenangan khusus.
Kedua model ini berbeda dalam empat hal. Pertama, ada tidaknya perubahan unsur dalam pengelompokan masyarakat. Model ortodoks tidak mengandung perubahan unsur karena satu bangsa membentuk satu negara. Model mutakhir mengandung perubahan unsur dari banyak kelompok suku bangsa menjadi satu bangsa baru. Kedua, lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pembentukan bangsa-negara. Model ortodoks memerlukan waktu yang singkat sebab membentuk struktur kekuasaari saja (tidak perlu membentuk identitas kultural baru), sedangkan model mutakhir memerlukan waktu yang lebih lama karena harus mencapai kesepakatan tentang identitas kultural (nasionalitas) yang baru. Ketiga, kesadaran politik dalam model ortodoks muncul setelah terbentuknya bangsa-negara, sedangkan dalam model mutakhir kesadaran politik muncul mendahului dan menjadi kondisi awal bagi terbentuknya bangsa negara. Keempat, derajat pentingnya partisipasi politik dan rezim politik. Dalam model ortodoks, partisipasi politik dan rezim politik dianggap sebagai hal yang terpisah dari proses integrasi nasional, sedangkan dalam model mutakhir kedua hal itu merupakan hal-hal yang tak terpisahkan dari proses integrasi nasional (pembentukan bangsa-negara).
Kedua model di atas sangat berguna dalam menggambarkan secara sederhana proses pembentukan bangsa-negara yang dalam kenyataan bersifat rumit. Namun, kedua model mengandung tiga kekurangan pokok. Pertama, rnemandang proses pembentukan bangsa-negara dari sudut kemajemukan suku bangsa saja. Padahal permasalahan integrasi nasional juga disebabkan dengan kemajemukan agama, ras (pribumi dan nonpribumi) dan kesenjangan sosial ekonomi. Kedua, faktor historis khususnya hal ihwal yang berkaitan dengan pengalaman penjajahan tidak dimasukan ke dalam model-model tersebut. Ketiga, dalam kenyataan tidak hanya terdapat dua model proses pembentukan bangsa-negara, tetapi juga terdapat model ketiga seperti yang dialami Indonesia berhubungan dengan proses pembentukan bangsa baru, yang mulai berlangsung jauh sebelum negara terbentuk. Dalam hal ini, satu di antaranya yang terpenting berupa Sumpah Pemuda 1928.
(Ramlan Surbakti)
Berikan Komentar Anda