Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Pemikiran Politik Al Farabi

Pemikiran Politik Al Farabi

Oleh Eko Indrayadi, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta

 

A. Biografi al-Farabi

 

Abu Nashar bin Muhammad bin Mohammad bin Tarkham bin Unzalaqah atau yang lebih dikenal dengan al-Farabi lahir di suatu kota kecil yang bernama Wasij, wilayah Farab,termasuk kawasan Turkistan pada tahun 257 H/870 M, meninggal tahun 339 H/ 950 M. kemungkinan adalah seorang Syiah Imamiyah, ayahnya pindah ke Bagdad ketika menjadi salah seorang pengawal khalifah. Ia belajar filsafat dari sorang Kristen (kemungkinan dari aliran iskandariyah), dan bersahabat dengan seorang penterjemah Kristen Aristotelian, Mata ibn Yunus. Ia tinggal di Bagdad, namun tidak menjadi bagian dari kehidupan istana, birokrasi, atau kelompok itelektual manapun; ia bekerja sendirian Selama periode ini, ia banyak membahas masalah-masalah politik dalam karyanya, ihsâ' al-'ulũm  dan Tahshîl al-Sa'âdah, serta menyusun ringkasan-ringkasan hukum Plato.

 

Pada tahun 942 M, ia diundang ke istana Imamiyah dari Dinasti Hamdaniyah (Aleppo). Pada periode ini ia berpartisipasi dalam kehidupan istana, sejak 942 M hingga 950 M menyusun karya besarnya tentang politik: (1) al-Madinah al-Fadhilah (Pandangan Utama Penduduk Kota Utama) yang ditulis pada tahun 942-943 di Bagdad dan Damaskus, (2) al-Siyasah al-Madaniyyah (Pemerintahan Negara), mungkin disusun 948-949 di Mesir, (3) Fushul al-Madani (Aforisme-Aforisme Negarawan), mungkin ditulis setelah membaca negarawan karya Plato. Al-Farabi meninggal karena dibunuh oleh perampok dalam sebuah perjalanan.

 

B. Pandangan Politik: Masyarakat, Negara, dan Pemimpin

 

Dalam teori asal-usul tumbuhnya kota atau Negara, al-farabi menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memiliki kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena tidak mungkin mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Adapun tujuan masyarakat itu menurut al-farabi tidak semata-mata untuk memenuhi keperluan asas hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kebahagian atau kesejahteraan kepada manusia, baik itu material atau yang bersifat spiritual, tidak hanya di dunia tapi juga di akherat nanti.

Menurut Munawir Sjadzali dalam Sirojuddin Aly, al-Farabi memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam, di samping tidak terlepas dari tradisi Plato atau Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas dan akhlak.[1] Sehingga dapat kita ambil sebuah intisari bahwa masyarakat bukanlah merupakan tujuan, tetapi merupakan sebuah perantara untuk mencapai tujuan utama, yaitu tingkat kesempurnaan yang dapat membawa manusia ke kebahagiaan di dunia maupun akherat.

 

Bentuk Masyarakat

 

Al- Farabi membagi bentuk masyarakat menjadi tiga bagian[2], yaitu

  1. Masyarakat Sempurna Besar (Udhma), ialah gabungan dari banyak umat yang (al-Mujtam al-Udhma) yang sepakat saling bergabung dan saling membantu atas kerja sama atau dapat dikatakan bahwa bentuk masyarakat ini adalah perserikatan bangsa-bangsa.
  2. Masyarakat Sempurna Sedang (al-Mujtam al-Wustha), ialah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa (umat) yang menghuni di salah satu wilayah dari Bumi atau dapat kita contohkan sebagai negara nasional.
  3. Masyarakat Sempurna Kecil (al-Mujtama al –Sughra), ialah masyarakat yang terdiri dari para penghuni suatu kota, atau dapat dikatakan bahwa masyarakat sempurna kecil adalah negara kota.

Pemikiran tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara

Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka. Negara utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.

Ada tiga klasifikasi utama:

  • Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
  • Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi. Organ terbawah (organ ketiga) ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.

Kota Utama (al-Madinah al-Fadhilah) [3]

 

Pada lingkupnya yang lebih khusus tentang kota ini, al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama.[4] Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh.

Yamani menyebut pemimpin macam ini sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa kualifikasi (Yamani, 2002). Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan. Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan.

Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon, secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan. Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga (Yamani, 2002, hal. 61), pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya (Yamani, 2002, hal. 62). Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan tingkatan Nabi. Meski dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan kecenderungan memiliki umat yang durhaka.

Sampai pada Nabi terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi itu adalah Muhammad SAW.

Sedang dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir mereka). Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik. Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu.

Syarat-Syarat Pemimpin Negara Utama

Pemimpin negara utama menurut al-Farabi adalah seorang imam (pemimpin), kepala negara yang memiliki kelebihan, pemimpin yang dapat membangun negaranya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemimpin maka harus memenuhi 12 kriteria, yaitu:

1.      Sempurna seluruh anggota badannya.

2.      Baik daya pemahaman dan pemikiran, serta kuat daya ingatnya.

3.      Tinggi intlektualitasnya.

4.      Pembicaraannya mudah dimengerti, tidak berbelit-belit.

5.      Pecinta pendidikan dan menyukai pengembangan ilmu.

6.      Tidak rakus dalam hal makanan, minuman, dan wanita.

7.      Pecinta kejujuran, kebenaran dalam jucapan dan prilaku dan membenci kebohongan.

8.      Berwibawa, Berjiwa besar dan berbudi luhur.

9.      Tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan duniawi; semuanya itu dianggap sebagai fasilitas.

10.  Pecinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim.

11.  Tidak sukar untuk diajak menegakkan keadilan, tetapi sulit untuk menyetujui tindakan keji dan kufur.

12.  Kuat pendiriannya (memiliki komitmen tinggi) terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, tanpa ada rasa takut atau berjiwa lemah dan kerdil.[5]

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku-Buku dan Diktat

 

Aly, Shirojuddin. 2010. Diktat Mahasiswa FISIP UIN Pemikiran Politik Islam 1. Jakarta : Pribadi.

Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta.

Rosenthal, Franz. 1996. Etika Kesarjaan Muslim: Dari Al Farabi Hingga Ibn Khaldun. Bandung : MIZAN.

 

Internet

(http://poetraboemi.wordpress.com/2009/03/28/pemikiran-politik-alfarabi/: diakses pada Jum'at, 3 Desember 2010, pukul 20.00 wib).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi: diakses pada Jum'at, 3 Desember 2010, pukul 20.15 wib).

(http://koran.republika.co.id/berita/122/Etika_Politik_dalam_Islam: diakses pada jum'at, 3 Desember 2010, pukul 20.30 wib).



[1] Munawir Sjadli dalam Sirojudin Aly, Diktat Pemikiran Politik Islam 1, (Jakarta, 2010), hal. 68.

[2] Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mu'thi, al-fikr al-Siyasi al-Islam, hal. 256-257.

[3] Jejak pemikiran al-Farabi, tentang kota utama, sebenarnya dapat kita temukan pada Republic karya Plato. Istilah dan konsep kota yang digagas keduanya mirip, bahkan dapat dikatakan identik. Al-Farabi menyebut kota impiannya itu sebagai al-Madinah al-Fadilah. Sedangkan Plato menyebutnya Kallipolis (kota yang cantik atau fair), Joseph Losco dan Leonard William, Political Theory; Kajian Klasik dan Kontemporer, ter. Haris Munandar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005, hal. 144

[4] Al-Farabi, as-siyasah al-Madaniyah, Darwa Maktabah al-hilal, hal 86.

[5] Munawir Sjadli, Islam dan Tata Negara, hal. 52.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.