Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.

Menciptakan Hubungan Anak dengan Teladan yang Baik

Di akhir periode ini, anak-anak akan punya kecenderungan yang sangat kuat untuk meniru apapun yang ada pada diri kebanyakan orang terutama mereka yang menjadi lingkungan baginya. Para psikolog menamai sebuah gejala kejiwaan dari seorang anak pada usia ini yang selalu ingin meniru orang lain secara fisik dengan istilah “peniruan”. Keinginan ini sangat cepat timbulnya dan akan cepat juga berhenti ketika sumber peniruan itu tidak ada.

Ada pula jenis peniruan yang bersifat nonfisik. Prosesnya berlangsung perlahan tetapi pengaruhnya sangat kuat menempel pada akal dan jiwa.[ Ilm Al-Ijtima’iy: 86] Contoh konkretnya adalah perilaku taqlid (patuh) dan peneladanan kepada pribadi-pribadi agung. Kepribadian mereka akan sangat kuat mempengaruhi anak-anak muda. Anak-anak muda mempunyai kecenderungan untuk merasa tertarik, meneladani dan menghormati orang-orang yang mulia, yang memiliki sifat-sifat keteladanan, dan yang memiliki pengaruh kuat pada masyarakat, seperti para pejabat, tokoh, para juara, orang-orang sukses, serta guru sekolah dan ustadz madrasah.[ Ibid: 140]

Para psikolog berpendapat bahwa pada dalam diri setiap manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki idola.[ Jamil Shaliba, ‘Ilm An-Nafs : 728] Kebutuhan ini sangat signifikan. Dalam pandangan para psikolog itu, kepribadian ideal yang menjadi idola bagi tiap manusia itu akan sangat bermacam-macam dan bergantung kepada berbagai faktor, seperti fisik, kejiwaan, dan sosial. Idola itu sangat mungkin kemudian akan diejawantahkan dalam paradigma dan cita-cita hidupnya.

Dalam pengertian seperti ini, tentulah idola akan menjadi faktor yang sangat penting bagi manusia, terutama anak-anak yang berada pada akhir-akhir fase remaja ini. Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa idola ini, meskipun tidak beranjak dari sekedar konsep, tidak menemui realitasnya, atau tidak sampai membentuk paradigma serta cita-cita hidup, ia akan tetap tinggal dalam benak. Karena itu, si anak tetap memerlukan contoh dan teladan dalam kehidupannya. Dalam hal ini, idola terbaik tentulah pribadi-pribadi agung yang bisa mereka dapatkan dalam diri orang-orang terdahulu.[ Ilm Al-Ijtima’: 146]

Mereka adalah para nabi, Ahlul Bait Rasulullah, sahabat dan tabi’in yang shalih, serta para ulama terdahulu. Merekalah teladan dalam berbagai keutamaan sifat serta kehormatan jiwa. Salah satu bukti nilai keteladanan yang mereka miliki adalah bahwa eksistensi mereka telah banyak mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat sepanjang sejarah, sampai-sampai keberadaan mereka itu sedemikian diagungkan dan disucikan. Kehidupan orang-orang saleh itu penuh dengan nilai-nilai kebajikan yang sangat diperlukan manusia sebagai pegangan. Peneladanan anak-anak kepada mereka inilah yang akan membentuk kepribadian mulia, mengikuti apa yang mereka teladani. Jika mereka sampai kehilangan teladan, elan vital mereka akan membeku, semangat mengendur, dan mungkin saja keperluan meneladani ini akan mereka alihkan kepada pribadi-pribadi awam di lingkungan sekitarnya.

Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban untuk mengarahkan pandangan, pikiran, dan kecenderungan anak-anak ke arah pribadi-pribadi teladan sejak Nabi Adam a.s. hingga orang-orang mulia zaman sekarang. Pada diri mereka terdapat teladan-teladan yang secara historis memiliki konteks yang khas, tetapi semuanya mengandung nilai kemuliaan, kebajikan, dan kepemimpinan dalam hidup. Keteladanan yang suci tersebut memiliki pengaruh dan tempat yang mulia di seluruh sudut kehidupan anak-anak. Dampak dari peneladanan itu akan termanifestasikan dalam kepribadian, mental, logika, dan paradigma hidup mereka. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong si anak untuk mencapai posisi tinggi sebagaimana yang telah dicapai oleh orang-orang saleh yang mereka teladani.

Cara Pengawasan Anak

Pada fase ini, keberhasilan pendidikan anak juga mensyaratkan adanya pengawasan orang tua terhadap mereka. Anak-anak perlu diarahkan kepada hal-hal yang benar dan baik. Mereka juga memerlukan pengawasan dalam hal cara berpikir, serta pengembangan
imajinasi dan humanisme. Tentu saja, semua bentuk pengawasan itu harus dilakukan dengan dengan cara yang benar jangan sampai membebani si anak. Dalam waktu-waktu tertentu, sebaiknya orang tua melakukannya dengan cara seakan-akan dia adalah seorang
kawan yang sedang mencoba membantu si anak dari kesulitan yang ia hadapi.

Pengawasan dalam hal pergaulan anak perlu lebih ditekankan dibandingkan dengan pengawasan di rumah. Orang tua harus memilihkan kawan-kawan bermainnya. Usahakan
supaya kawan-kawannya itu hanyalah yang saleh-saleh.

Terkadang, penjelasan dan nasehat tidak begitu berguna. Untuk itu, pemberian hukuman bisa menjadi cara yang efektif. Mereka juga harus dilatih untuk introspeksi dan mau menerima koreksi. Lebih jauh lagi, harus tertanam di benak mereka konsep pengawasan yang dilakukan Allah. Konsep ini sangat efektif sebagai tameng yang akan mencegah anak dari penyelewengan walaupun pengawasan dari orang tua tidak ada.

Pada dasarnya, pengawasan adalah kewajiban ayah dan ibu. Mereka berdua memiliki porsi tugas yang disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman hidup. Karenanya, mereka berdua harus saling membantu. Akan tetapi, karena biasanya ayah lebih sering berada di luar rumah, porsi tugas pengawasan seorang ibu terhadap anaknya (baik anaknya itu laki-laki ataupun perempuan) terkadang menjadi lebih besar.

Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah bahwa jangan sampai si anak merasa tidak diacuhkan oleh orang tuanya. Kondisi pengawasan melekat harus selalu terjaga. Orang tua terkadang bisa meminta bantuan pihak-pihak lain untuk ikut mengawasi anaknya terutama dalam situasi yang di sana orang tua tidak bisa melakukannya. Dalam hal ini, mereka bisa memberikan kepercayaan kepada famili dan kawan terdekat.

Demikian juga, sekolah-sekolah dan institusi tempat si anak beraktivitas sosial memiliki peran pengawasan yang sangat besar dalam pendidikan si anak agar ia tidak terjerumus ke dalam penyimpangan perilaku.

Tawakal, Konsep Pemberi Hidup dan Semangat

Konsep tawakal merupakan konsep akhlak dan pendidikan Islam. Pada dasarnya, Islam menghendaki kaum muslimin untuk bertawakal kepada Allah. Jika Anda mengkaji masalah tawakal dalam al-Quran (saya senantiasa mencatat ayat al-Quran yang bicara tentang ketakwaan), maka Anda akan menjumpai keserasian yang luar biasa di dalamnya. Dalam al-Quran, konsep tawakal disebut sebagai konsep yang menganugerahkan hidup dan semangat kepada manusia.

Setiap ayat yang memerintahkan manusia untuk beramal dan menghilangkan rasa takut, senantiasa dibarengi dengan ungkapan: "...jangan takut dan bertawakallah kepada Allah". Bergantunglah kamu kepada Allah dan melangkah majulah ke depan. Bergantunglah pada Allah dan sampaikanlah kebenaran. Bergantunglah pada Allah dan janganlah gentar menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.

Jika Anda mempelajari konsep tawakal di tengah-tengah pemikiran kaum muslimin pada jaman modern ini, Anda akan menjumpainya sebagai konsep yang mati dan kering. Kita hanya mulai bertawakal tatkala kita menginginkan kehidupan yang tenang, tidak memiliki aktivitas, dan menjauhkan diri dari tanggung jawab. Padahal, konsep tawakal yang benar harus sesuai dengan apa yang diajarkan al-Quran.

Saya harus diberi kesempatan untuk membacakan ayat-ayat tentang ketakwaan untuk Anda secara satu-persatu, serta membuktikan bahwa konsep tawakal dalam al-Quran merupakan konsep yang luar biasa. Konsep yang memberikan semangat dan kehidupan, yang merupakan manifestasi dari ayat di bawah ini: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu." Terdapat konsep lain yang akan saya kemukakan pula pada pertemuan kali ini.

Rasa Percaya Diri

Pada masa sekarang, pakar pendidikan telah berusaha keras untuk menumbuhkan rasa percaya diri manusia. Rasa percaya diri yang ditumbuhkan Islam adalah menghilangkan harapan yang tidak berasal dari perbuatannya. Apabila seseorang hendak mewujudkan harapannya, ia harus mengusahakannya sendiri. Seperti inilah keterkaitan antara manusia dengan segala sesuatu maupun manusia lainnya.

Keterkaitan itu terjadi melalui amal perbuatan. Anda tidak bisa menyatu dengan Imam Ali bin Abi Thalib as atau dengan Sayyidah Fathimah as kecuali melalui amal perbuatan. Maksudnya, Islam menutup semua pintu keterkaitan dan hubungan dengan Rasulullah SAWW dan Ahlul Baitnya, kecuali melalui pintu beramal. Saya teringat sebuah hadis Nabi yang pernah saya baca sekitar 17-18 tahun silam.

Hadis tersebut membuat saya sangat terkesan. Saya benar-benar melihat kehidupan Nabi nampak sebagai sebuah gambaran kehidupan yang luar biasa, yang tak seorang pun memiliki gambaran kehidupan dan sisi-sisi keagungan seperti itu. Ketika seseorang berpikir dan melihat bagaimana orang yang buta huruf yang hidup dalam lingkungan jahiliyah bisa melontarkan berbagai kalimat yang sedemikian indah dalam hidupnya, tentu ia akan hanyut dalam kekaguman dan mengakui bahwa itu merupakan perbuatan yang luar biasa. Hadis ini telah saya ungkapkan pula dalam kitab Dastân-e Rastân (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Orang-orang Bijak, .).

Dalam hadis tersebut dikatakan: Pada suatu ketika, Nabi melakukan perjalanan bersama para sahabatnya (dalam riwayat tidak di sebutkan perjalanan yang mana). Setelah memasuki waktu Zhuhur, beliau memerintahkan kafilah untuk turun. Para sahabat kemudian turun dari tunggangannya, dan Nabi pun juga turun dari ontanya. Beliau kemudian pergi menuju ke suatu arah.

Para sahabat berpikir bahwa Nabi akan melakukan sesuatu. Semua sahabat segera turun dari tunggangan masing-masing. Setelah agak jauh dari ontanya, para sahabat melihat Nabi kembali. Para sahabat menduga, Nabi tidak merasa cocok dengan tempat tersebut dan akan memerintahkan mereka pergi mencari tempat lain. Namun, tatkala kembali ke tunggangannya, Nabi tidak berbicara apapun kepada mereka. Para sahabat melihat Nabi membuka tempat perbekalannya yang menggantung di punggung ontanya dan serta merta mengeluarkan seutas tali. Kemudian beliau mengikat ontanya dan kembali menempuh arah sebelumnya.

Para sahabat terheran-heran melihat Nabi kembali hanya untuk mengikat ontanya. Padahal, itu merupakan pekerjaan yang sepele! Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, jika kamu kembali hanya untuk melakukan pekerjaan ringan ini, mengapa engkau tidak menyuruh kami? (Mereka merupakan para sahabat setia yang apabila Rasulullah menyuruhnya menyeberangi lautan api, mereka pasti akan melakukannya. Kebanggaan mereka adalah menjalankan perintah Rasulullah). Mereka juga mengatakan: "Wahai Rasulullah, untuk pekerjaan remeh ini, mengapa engkau tidak memberikan perintah, padahal kami pasti akan melakukannya?" Beliau menjawab: "Hendaknya kalian jangan minta tolong orang lain dalam melakukan pekerjaan sekecil apapun meskipun hanya untuk mengambilkan sikat gigi (siwak)."

Lakukanlah pekerjaan yang bisa kalian lakukan dan jangan sampai menginginkan orang lain untuk melakukan pekerjaanmu. Lihat, betapa indahnya ungkapan tersebut! Jika kata-kata Nabi ini diucapkan di atas mimbar, tentu itu tidak akan menimbulkan pengaruh apa-apa. Beliau mengucapkan kalimat ini sambil mempraktikkannya. Tujuan saya menyampaikan ini adalah ingin mengingatkan bahwa salah satu pilar dari ajaran Islam adalah menghidupkan pemikiran Islam.

Salah satunya adalah dengan beramal dan bergantung pada amal sendiri. Saya juga ingin menyampaikan materi yang berhubungan dengan moralitas serta beberapa dasar pendidikan Islam lainnya. Masalah pendidikan merupakan masalah yang sensitif dan rawan. Maksudnya, apabila masalah ini diajarkan dengan baik dan benar, maka akan timbul hasil yang sangat luar biasa. Namun jika sedikit saja terjadi penyimpangan, maka secara seratus persen, ia akan menimbulkan pengaruh yang sebaliknya. Sejauh yang saya telaah, khususnya dengan bersandar pada perspektif al-Quran, ternyata hampir sebagian besar pengajaran moral dan pendidikan Islam dilakukan secara terbalik dan menyimpang, sehingga berpengaruh besar terhadap pemikiran kaum muslimin dewasa ini.

Pengertian Zuhud

Tidak ada istilah dalam al-Quran yang menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud. Istilah tersebut hanya terdapat dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci." Kendati tidak diragukan lagi bahwa inti pengertian dari zuhud juga terkandung dalam al-Quran. Namun, secara khusus, pengertian zuhud banyak disampaikan dalam berbagai ucapan Amirul Mukminin Ali as. Istilah zuhud telah sangat populer di kalangan kita.

Namun, jika kita ingin mencari orang zuhud yang sesuai dengan kriteria hadis dan riwayat, tentunya kita akan sangat kesulitan. Yang kita jumpai dalam kenyataan malahan akan amat berbeda. Julukan zuhud acapkali dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan. Kadangkala, seseorang mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud. Namun, pada saat kita telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia hanya menjalani kezuhudan secara negatif. Artinya, ia termasuk orang yang hanya merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya.

Karenanya, kita lantas mengatakan bahwa orang yang merasa puas dalam kehidupannya disebut sebagai orang zuhud. Padahal, pengertian zuhud yang sebenarnya bukanlah seperti ini. Salah satu prasyarat kezuhudan adalah merasa puas dengan kehidupan pribadi yang dijalani dan dimilikinya. Pengertian semacam ini memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Namun, temyata tidak setiap orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya bisa disebut sebagai orang yang zuhud.

Kezuhudan berkaitan erat dengan harta, materi, dan kedudukan duniawi. Jika Anda bertanya, apakah dalam pandangan Islam, keberadaan harta dan materi merupakan sesuatu yang baik atau buruk? Jawabannya jelas tergantung pada tujuan penggunaan harta dan materi? Kekayaan merupakan kekuasaan. Demikian juga dengan kedudukan. Apa tujuan dan maksud yang Anda inginkan dari kekuatan tersebut? Anda adalah anak Adam, hamba sahaya, dan tawanan hawa nafsu sendiri.

Apakah kekuatan berupa harta dan materi akan Anda gunakan untuk memuaskan hawa nafsu pribadi? Jika Anda telah menjadi tawanan hawa nafsu, Anda akan diatur dan didikte olehnya. Anda akan menjadi rakus terhadap harta dan kekayaan. Anda juga akan menjadi seseorang yang gila pangkat dan kedudukan. Demikian seterusnya.

Segala sesuatu yang digunakan semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan keburukan. Namun, jika Anda mulai memperbaiki diri, tidak menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan egoisme dari dalam diri, memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang taat pada Tuhan, maka harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan Anda gunakan untuk tujuan suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika Anda menginginkan pangkat dan kedudukan demi maksud-maksud spiritual. Apa yang saya kemukakan ini bukanlah berasal dari pribadi saya sendiri, melainkan ungkapan dari Imam Ja'far Shadiq as.

Pada masa Imam Ja'far Shadiq as, banyak bermunculan ulama zuhud yang bodoh. Mereka berdebat dengan Imam Ja'far.as tentang masalah zuhud. (Imam Ja'far mengatakan): "Jika pengertian zuhud seperti yang kalian sampaikan, lantas bagaimana dengan Nabi Yusuf yang menurut al-Quran adalah Nabi dan hamba Allah yang shalih. Mengapa ketika terbukti tidak bersalah dan dikeluarkan dari penjara, Nabi Yusuf malah berkata kepada penguasa Mesir: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." Ternyata Nabi Yusuf menghendaki jabatan tinggi dalam pemerintahan. Beliau mengatakan: "Serahkanlah padaku seluruh pengaturan keuangan yang ada."

Mengapa al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf tersebut dan tidak menganggap tindakannya sebagai sebuah tabu? Lagi pula, mengapa al-Quran tidak menyatakan beliau sebagai orang yang rakus dunia? Semua ini dikarenakan Nabi Yusuf bukan penyembah materi. Sejak awal kehidupannya, beliau telah menjadi penyembah Allah, bukan seorang hedonis atau penyembah harta dunia.

Segenap pangkat dan jabatan yang dikehendaki Nabi Yusuf as akan digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan religius. Dikarenakan menghendaki tujuan spiritual dan religius, maka apa yang beliau lakukan tidak bisa disebut dengan upaya mencari pemenuhan kepentingan duniawi. Sebaliknya, upaya beliau justru ditujukan untuk kepentingan eskatologis (ukhrawi atau keakhiratan).

Marxisme dan Materialisme Sejarah

Pandangan lainnya adalah "Materialisme Sejarah". Pada abad ke-19, berdiri sebuah aliran (maktab) pemikiran materialisme, yang mengklaim dirinya memiliki optimisme terhadap masa depan sejarah dan masyarakat. Aliran atau sekolah pemikiran tersebut adalah Marxisme.

Hegel merupakan pencetus ilmu logika dan filsafat yang mendasari keyakinan dan pemikirannya pada konsep kesempurnaan, pertumbuhan, serta perkembangan. Sekalipun Hegel bukan seorang materialis, namun logika dialektikanya dimanfaatkan Karl Marx yang kemudian mencetuskan pandangan materialisme (Materialisme Dialektika). Selain itu, Marx juga mengintroduksikan doktrin pemikiran hasil rumusannya yang menyatakan bahwa hakikat sejarah adalah materi (Materialisme Historis). (Istilah "Materialisme Sejarah" sama sekali tidak pernah dipakai Marx dalam berbagai literaturnya. Istilah ini baru muncul beberapa tahun setelah kematian Marx. Adalah Michonef (atau menurut Anthony Giddens, adalah Friedrich Engels.) yang pertama kali mencetuskan istilah tersebut, yang kemudian menjadi terkenal. Adapun istilah yang akan kita jumpai dalam berbagai literatur Marx adalah "materialisme mengambil pelajaran dari sejarah", yang artinya, mengambil pelajaran dari kehidupan). Filsafat Sejarah yang dirumuskan Marx, bersandar pada beberapa prinsip:

1. Menolak keberadaan fitrah dan insting (al-gharîzah)

Secara esensial, keberadaan manusia bukanlah kebaikan dan juga bukanlah keburukan. Dalam menelaah dan mcnelusuri keberadaan manusia, kaum Marxisme menafikan adanya fitrah dan insting dalam diri manusia. Lebih dari itu, mereka bahkan menafikan segala hal yang bersifat ruhaniah. Pandangan semacam ini muncul dikarenakan dalam bidang sosiologi pada abad ke-19 —yang saat itu jauh lebih berkembang dibandingkan bidang psikiologi— telah dilakukan pembahasan yang intens terhadap permasalahan ini dan menghasilkan kesimpulan bahwa segala yang ada pada diri manusia yang sebelumnya dianggap sebagai fitrah dan insting, pada hakikamya tak lebih dari hasil bentukan masyarakat.

Apapun yang dimiliki manusia tak lain berasal dari pemberian masyarakat. Masyarakat semacam inilah yang mewarnai berbagai jiwa dan pribadi manusia. Masyarakatlah yang telah membebani mdividu dengan berbagai insting etika, lalu mengira bahwa itu semata-mata berasal dari dirinya sendiri. Manusia semacam itu tak ubahnya seonggok bahan mentah yang tidak memiliki tuntutan apapun (bersikap pasrah) yang kemudian diserahkan ke sebuah pabrik. Dan, pabrik tersebut dengan bebas akan mengolahnya menjadi sesuatu yang sesuai dengan seleranya. Atau seperti pita kosong untuk radio kaset.

Apapun yang Anda ucapkan akan terekam dalam pita tersebut; jika Anda membaca Al-Quran, hasilnya adalah Al-Quran juga; jika syair, maka syair; dan jika puisi, hasilnya juga puisi. Dengan demikian, secara esensial, manusia tidak memiliki insting baik dan insting buruk. Semua itu bergantung pada berbagai faktor sosial yang cukup canggih sehingga mampu menciptakan manusia menjadi baik ataupun menjadi buruk.

2. Prinsip Perekonomian

Dalam sudut pandang Sosiologi Marxisme, berbagai susunan dan struktur yang terdapac dalam masyarakat tidaklah sama. Keberadaan masyarakat ibarat sebuah bangunan yang secara keseluruhan bertumpu di atas sebuah basis. Dan basis dari keberadaan sebuah masyarakat adalah perekonomian. Setiap perubahan situasi serta kondisi perekonomian masyarakat akan menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai tatanan kemasyarakatan lainnya, dan perubahan susunan masyarakat tersebut akan memicu perubahan sikap pada skala individu.

Berdasarkan itu, esensi manusia semata-mata terbentuk dari keberadaan masyarakat, sementara keberadaan masyarakat sendiri terbentuk dari sistem perekonomian. Dari sistem perekonomian tersebut kemudian terbentuk berbagai sistem produksi, yang pada akhirnya menghasilkan alat-alat produksi. Pada tahap berikut, alat-alat produksi tersebut akan memproduksi masyarakat, yang pada gilirannya akan memproduksi manusia. Jika Anda ingin mengetahui keberadaan manusia sepanjang sejarah, ketahuilah kondisi ekonomi serta alat produksinya masing-masing.

Baik dan buruknya manusia amat bergantung pada kondisi alat produksinya. Kebaikan, cahaya, dan keadilan di satu sisi, serta keburkan, kegelapan, dan kezaliman di sisi lainnya, tidak memiliki hubungan apapun dengan keberadaan manusia; seluruhnya hanya mengikuti siscem produksi yang diberlakukan. Sistem produksi semacam itu terkadang menciptakan keadilan secara paksa (al-jabr). Dan terkadang pula ia menciptakan kebalikannya, juga secara paksa. Bertolak dari kerangka pemikiran semacam itu, Karl Marx menjelaskan bahwa lintasan perjalanan sejarah kemasyarakatan memiliki tahapan serta model yang pasti (deterministik).

Tahapan perjalanan tersebut adalah sebagai berikut; masa "Kepemilikan bersama yang pertama" (atau disebut juga masa "Komune primitif”, —peny,), masa "Perbudakan", masa "Feodalisme" atau tuan tanah (orang kaya), masa "Borjuisme", dan masa "Kapitalisme", baru kemudian masa "Sosialisme" dan "Komunisme". Masa kehidupan "Kepemilikan bersama yang pertama" adalah masa di mana keberadaan manusia sejak awal telah melintasi kehidupan sosialnya namun masih belum berhasil menemukan tatacara pertanian, cara beternak binatang, mengembangkan usaha, dan alat-alat produksinya rnasih sangat sederhana.

Mereka hanya menemukan batu yang kemudian diasah menjadi tajam untuk digunakan berburu binatang. Dengan bckal peralatan yang ringan dan sederhana ini, mereka hanya mampu memproduksi sesuai dengan kemampuannya. Kehidupan mereka serupa dengan burung; ketika merasakan lapar di pagi hari, mereka keluar dari rumahnya untuk mencari makanan hingga matahari terbenam, dan setelah kenyang, mereka kembali ke rumah masing-masing.

Secara paksa (al-jabr), kondisi tersebut menuntut mereka untuk saling bersikap baik antar sesama serta menjalin hubungan sosial dan persaudaraan di antara mereka; layaknya sekumpulan kijang yang tak pernah bcrkelahi, mereka berangkat di pagi hari dan kembali pulang ke rumah masing-masing pada petang hari; mereka hidup bersaudara. Adanya tantangan alam dan ancaman binatang buas menyebabkan mereka bersatu dan menjalin persahabatan. Selain itu, memang, tidak terdapat suatu penyebab yang bisa menimbulkan pertikaian dan pcrmusuhan di antara mereka.

Pada masa itu, belum terdapat harta kekayaan, sehingga tidak ada penyebab pertikaian dan perselisihan. Dengan demikian, model produksi pada masa "Kepemilikan bersama yang pertama", telah menciptakan keadilan, persamaan, dan persaudaraan. Akan tetapi, kondisi umat manusia secara berangsur-angsur mengalarni perkembangan. Sejak itu, manusia mulai mengetahui cara bertani, betcrnak binatang, membuat berbagai peralatan baru yang jauh lebih canggih, sehingga akhirnya mampu menghasilkan produk yang dibutuhkan.

Bahkan produk yang dihasilkan sampai melampaui taraf kebutuhan mereka. Misalnya, mereka berhasil menemukan biji gandum dan biji-bijian lainnya. Kemudian mereka menanamnya dan berbasil menuai gandum sebanyak 200 kilogram. Hasil panen tersebut, selain dapat memenuhi kebutuhan pribadi si penanam juga dapat memenuhi kebutuhan sepuluh orang lainnya. Dari sinilah munculnya pengerukankeuntungan (istitsmâr). Fenomena semacam ini terjadi tatkala sekumpulan orang harus bekerja keras dan menghasilkan produk ekonomi, sementara sejumlah orang yang lain, tanpa harus bckerja dan bersusah payah, menikmati hasil usaha tersebut.

Sebelumnya, setiap orang harus bekerja untuk memenuhi hajat hidupnya sendiri. Namun kemudian muncul sebuah kondisi baru di mana seseorang dapat hidup dari hasil usaha orang lain. Darinya cerbentuk "Kepemilikan khusus" (pribadi); pemilikan budak dan pemihkan tanah. Kala itu, terdapat segelintir orang yang hidup sejahtera dengan cara memanfaatkan tenaga budak hasil tawanan perang. Mereka sendiri hanya makan dan tidur, dan sembari itu terus memeras keuntungan dari hasil kerja para budaknya.

Dengan demikian, sejak peralatan produksi mengalami perkembangan, muncullah kepemilikan pribadi, pengerukan keuntungan (istitsmâr), dan kezaliman. Apabila fondasi perokonomian mengalami kehancuran, manusia pasti akan mengalami nasib yang mengenaskan; apakah menjadi pengeruk keuntungan itu sendiri atau bahkan menjadi korban dari para pengeruk keuntungan. Menurut ungkapan Marx, kedua pihak tersebut sekarang mengalami keterasingan.

Mereka telah tercerabut dari kemanusiaannya, dikarenakan dasar dari kemanusiaan adalah untuk "kita". Sebelumnya yang ada hanyalah "Kepemilikan bersama". Namun dengan munculnya "Kepemilikan pribadi", maka "kita" lantas berubah menjadi "saya". Mereka kemudian saling berhadap-hadapan. Dan mulai saat itu lahirlah berbagai kejahatan, kerusakan, serta kezaliman. Pada masa "Kepemilikan bersama", seluruh anggota masyarakat benar-benar menjalin persaudaraan dan melaksanakan keadilan.

Itu dikarenakan pada masa tersebut belum terdapat harta kekayaan sehingga kehidupan mereka bebas dari pengaruhnya. Pada masa berikut, ketika konsep kepemilikan mulai diberlakukan, barulah muncul berbagai keburukan, kezaliman, kerusakan, serta kesewenang-wenangan. Jika memang demikian adanya, tentu banya pada masa "Kepemilikan bersama" saja kebenaran mampu menguasai masyarakat. Setelah masa tersebut lewat, tak ada lagi kebenaran dan keadilan.

Keduanya hanya menjadi bagian dari masa lalu, dan tidak mungkin dapat diwujudkan lagi pada masa sekarang, apalagi di masa depan. Sebab, ini bersesuaian dengan prinsipnya yang pertama, yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki esensi, fitrah, ruh, serta tidak pula memiliki pilihan (al'ikhtiar).

Seluruh pemikiran, jiwa, dan perasaan hanya diarahkan demi mengikuti keinginan masyarakat belaka. Dalam hal ini, masyarakat merupakan alat atau sarana produksi. Dan sesuai dengan kondisi produksi serta paksaan sejarah semacam itulah, manusiaterbentuk; jika diberi cahaya, ia akan menjadi terang, dan jika tidak, ia akan menjadi gelap. Di depan cermin ada seekor burung kakatua yang mirip denganku. Apa yang diucapkan guru Azal, katakanlah aku akan mengatakan.

Di sini keberadaan cermin merupakan sebuah alat produksi. Keburukan, kerusakan, dan kebatilan merupakan produk yang dihasilkan secara paksa (al-jabr) oleh alat-alat produksi. Proses tersebut terus berlangsung sampai akhirnya keberadaan alat-alat produksi mengalami kemajuan dan perkembangan sedemikian rupa. Pada fase berikumya, kemajuan dan perkembangan tersebut menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan adanya "Kepemilikan pribadi". Dan pada saat yang bersamaan, segala sesuatu menjadi milik bersama dan bersifat umum.

Kondisi semacam itu kemudian memaksa manusia untuk menjadi baik, benar, mencari perlindungan, saling bersaudara, "saya" berubah menjadi "kita", serta bercahaya. Semua itu meniscayakan terwujudnya kebenaran dan keadilan. Berdasarkan pandangan ini, manusia senantiasa hidup di bawah tekanan dan paksaan sejarah. Dan dalam kondisi seperti itu, alat-alat produksi kemudian menjadi jauh lebib berkembang daripada keberadaan manusia itu sendiri.

Pada saamya, apabila alat-alat produksi menginginkan manusia menjadi baik, maka manusia akan menjadi baik. Sebaliknya, jika ia menginginkan buruk, maka akan terbentuklah manusia yang buruk. Masa sekarang merupakan masa yang buruk bagi manusia. Suatu hari kelak, bila alat-alat produksi berkeinginan untuk menciptakan manusia yang baik, maka akan tercipta manusia yang baik. Jika memang demikian adanya, sejak semula seyogianya kita tidak boleh bersikap optimistis maupun pesimistis terhadap keberadaan manusia.

Tulisan Ini Diambil dari Buku : Neraca Kebenaran Dan Kebatilan Karya, Syahid Muthahhari

Konsep dan Tujuan Zuhud

Konsep zuhud jelas terdapat dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kezuhudan bukanlah sesuatu yang diwajibkan. la merupakan keutamaan dan kesempurnaan. Namun, keutamaan dan kemuliaan bukanlah tujuan kezuhudan. Dalam beberapa keadaan, Islam menganjurkan manusia menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu. Islam menganjurkan agar manusia tidak menjadi penyembah berhala kenikmatan duniawi dan tenggelam di dalamnya.

Kendatipun jika terbenam dalam berbagai kenikmatan yang halal, seseorang tidak akan dianggap telah melakukan perbuatan yang haram. Namun, apabila tidak melakukannya, berarti manusia telah melakukan pekerjaan moral yang agung. Islam tidak menyetujui praktik penyembahan kenikmatan duniawi meski dengan cara yang halal. Untuk sejumlah tujuan, Islam bisa menerima konsep kezuhudan yang memiliki makna 'menutup mata dari kenikmatan halal duniawi'. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan membutuhkan, apa yang mesti dilakukannya? la harus mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri, serta harus bersikap dermawan. Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada orang lain (yang membutuhkan,.).

la tidak akan makan sebelum memberi makan orang lain. Ini bukan berarti ia membuang makanannya dengan harapan di akhirat kelak ada orang yang memberinya makan. Jika tetap melakukan hal seperti itu, kelak ia akan mendapat teguran di akhirat: "Kamu telah melakukan perbuatan bodoh dengan membuang-buang makanan dan menganggap kami akan memberimu makan."

la tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. la juga tidak mau makan sampai orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. la tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada orang lain. Inilah bentuk îtsâr (sikap lebih mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah îtsâr. Kezuhudan semacam ini merupakan kezuhudan yang benar, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Kezuhudan semacam inilah yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib as.

Beliau tidak makan, namun juga tidak membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan upahnya lantaran dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau tidak berpakaian (bagus-bagus,.) agar bisa memberi pakaian kepada orang lain. (Dalam al-Quran disebutkan): "Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak

mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih." (Al-Insân: 8-9. ) Apakah Islam menerima makna kezuhudan semacam ini, yakni berpaling dari kenikmatan duniawi demi mendahulukan kepentingan orang lain? Jelas sekali, Islam akan menerimanya. Akal dan hati siapa yang akan menolak kezuhudan seperti ini? Agama yang tidak menyarankan îtsâr, pada hakikatnya bukanlah agama. Mazhab akhlak yang tidak menganjurkan kezuhudan semacam ini adalah mazhab yang tidak memahami ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang pal-ing tinggi.

Semua itu merupakan tujuan filosofis dari kezuhudan yang bisa terima akal dan hati sanubari. Islam menganjurkan kezuhudan seperti ini. Tentang sejumlah sahabat Nabi dari Anshor dan orang-orang mukmin yang tinggal di Madinah, al-Quran mengatakan: "... dan mereka mengutamakan or-ang'Orang muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan...." Imam Ali Zainal Abidin senantiasa berpuasa. Beliau menyuruh para sahabamya untuk menyiapkan santapan. Makanan yang dimasak waktu itu berupa daging kambing. Tak lama kemudian, mereka pun memasaknya.

Ketika tiba waktu berbuka puasa, Imam kemudian duduk di hadapan hidangan dan menyuruh budaknya membawa makanan tersebut untuk dibagikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan untuk keluarganya, beliau hanya menyisakan secukupnya. Dalam pandangan Islam, kebutuhan keluarga harus didahulukan dari diri sendiri dan orang lain. Sekonyong-konyong, datanglah seorang fakir meminta makan kepada beliau. Segera saja Imam Ali Zainal Abidin memberinya makanan yang beliau sisihkan tersebut. Inilah yang disebut dengan perbuatan zuhud yang luar biasa dan bersifat manusiawi.

Perbuatan tersebut merupakan implementasi dari filsafat kezuhudan. Islam mendukung kezuhudan seperti ini. Dalam kezuhudan yang Islami, seseorang harus lebih mengutamakan orang lain dan berempati terhadap segenap duka deritanya. Menyertakan diri dalam penderitaan (orang lain) merupakan salah satu tujuan kezuhudan yang Islami. Orang yang memiliki kemampuan harus mengutamakan kepentingan orang lain. Namun, terkadang, pengutamaan kepentingan orang lain tidak perlu dilakukan.

Dalam kehidupan ini, jumlah orang miskin sangat banyak. Pada kondisi demikian, seseorang tak mungkin memberi pakaian yang melekat ditubuhnya kepada mereka semua. Atau tidak bisa memberi makan dan membuat mereka semua kenyang hanya dengan (sedikit makanan) yang dimilikinya. Juga tidak bisa memberi mereka semua uang yang ada dalam sakunya.

Masyarakat yang kebanyakan anggotanya terdiri dari orang-orang miskin, tentu akan menghadapi kondisi perekonomian yang sangat memprihatinkan. Saking miskinnya masyarakat tersebut, sampai-sampai para orang tua akan membiarkan anaknya memakan rumput-rumputan. Apa yang bisa dilakukan seseorang di tengah-tengah masyarakat yang seperti ini? Perbuatan mulia yang bisa dilakukan adalah ikut merasakan (empati) penderitaan orang lain.

la harus mengatakan pada dirinya sendiri, banyak saudara-saudara saya yang tidak mendapatkan makanan untuk disantap, mengapa saya harus menyantap (makanan mewah)? Saudara-saudara saya tidak memiliki baju untuk dikenakan, mengapa saya mengenakan baju mewah? Dengan kata lain, sikap kebersamaan dalam kedukaan

merupakan bantuan moral yang bisa diberikan seseorang ketika dirinya tidak mampu mengentaskan kemiskinan orang lain secara material. Saya hanya bisa melakukan sebatas ini. Saya berusaha membantu mereka secara moral, bukan secara material. Mendahulukan kepentingan orang lain merupakan bantuan material. Ini juga memiliki makna filosofis. Dalam berbagai ucapan Imam Ali yang merupakan orang zuhud pertama di dunia, kita bisa menjumpai filsafat tersebut.

Imam Ali adalah orang zuhud yang memiliki tujuan. Imam Ali amat mengetahui bahwa sebagai pemimpin umat, beliau memiliki tugas dan keharusan untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Apabila tidak bisa membantu orang lain secara material, beliau akan melakukannya secara moral. Beliau tahu betul bahwasannya penderitaan orang-orang lemah berada dalam tanggung jawab para pemimpin.

Imam Ali as sering mengatakan: "Saya tidak makan, dan dengan cara ini saya ingin membantu menguatkan jiwa umatku yang lemah. Saya akan katakan: 'Jika kamu tidak memiliki sesuatu untuk di makan, maka saya pun tidak akan memakan makanan yang saya miliki, supaya saya bisa seperti kamu." Pada kesempatan lain, Imam Ali juga mengatakan: "Allah menjadikanku sebagai Imam atas makhluk-Nya. Saya memiliki tugas khusus yang mana dalam makan dan berpakaian saya harus seperti umatku yang paling lemah. Supaya orang miskin bisa merasa tenang ketika melihat keadaanku dan orang kaya tidak berbuat lalim karena kekayaannya." Terdapat sebuah cerita dari seorang ulama Syi'ah yang bernama Wahid Bahbahani (Muhammad bin Baqir bin Muhammad Akmal).

Beliau merupakan ulama besar dan guru dari Syeikh Mirza al-Qummi, Bahrul Ulum, dan Kâsyifiil Ghithâ'. Beliau kini tinggal di Karbala (Iraq) dan memiliki sekolah agama yang penuh berkah di sana. Beliau memiliki dua orang putra; yang satu bernama Muhammad Ali, penulis kitab Maqoom', dan yang lainnya Muhammad Ismail.

Pada suatu waktu, ulama ini melihat menantu perempuannya (istri Muhammad Ismail) mengenakan pakaian mahal dan mewah. Beliau menegur putranya, seraya mengatakan: "Mengapa kamu membelikan baju seperti itu untuk istrimu?" Dengan jawaban yang jelas, putranya mengatakan: "Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" (Al-A'râf: 32. ) Apakah ini merupakan perbuatan yang haram? Siapa yang mengharamkan pakaian mewah dan indah? Ulama tersebut mengatakan: "Anakku, ini memang halal, dan saya tidak mengatakan haram. Saya melihatnya dari sisi lain. Saya seorang marja' dan pemimpin umat.

Di tengah masyarakat, terdapat orang miskin dan orang kaya, orang mampu dan orang yang tidak mampu. Ada sejumlah orang yang mengenakan pakaian yang jauh lebih mewah dari ini. Namun, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mampu memiliki pakaian mewah seperti ini. Mereka hanya mengenakan pakaian compang-camping. Kita tidak mampu memberikan pakaian yang kita kenakan kepada masyarakat seperti itu.

Kita tidak mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Namun, satu hal yang bisa kita lakukan, yakni mencoba merasakan penderitaan mereka. Tentu mereka akan memandang kebidupan kita. Ketika diminta oleh istrinya untuk dibelikan baju mewah, seorang laki-laki miskin bisa menenangkan hati istrinya tersebut dengan mengatakan: 'Tak usah kita meniru orang kaya. Biarlah kita menjalani kehidupan seperti istri Syeikh Wahid. Coba kamu perhatikan, istri Syeikh Wahid mengenakan pakaian seperti yang kamu pakai.' Bagaimana jadinya jika keadaan kita seperti orang-orang kaya? Kita tidak akan bisa menghibur hati orang miskin.

Dengan alasan inilah, saya mengingatkanmu. Kita harus hidup zuhud. Kita menjalankan kezuhudan dengan merasakan penderitaan orang lain. Kelak, jika orang-orang miskin mengenakan pakaian mewah, kita juga akan memakainya." Turut merasakan penderitaan orang lain merupakan tugas semua orang. Namun, tugas tersebut harus lebih sungguh-sungguh dijalankan para pemimpin. Kisah yang akan saya sampaikan ini tertulis dalam kitab Nahj al-Balâghah, yang tentunya sudah acapkali kalian dengar: Setelah perang Jamal berakhir dengan kemenangan, Imam Ali as mendatangi kota Basrah. Amirul mukminin pergi menjenguk keadaan sahabatnya al-'Ala' ibn Ziyad al-Haritsi. Tatkala melihat rumahnya yang besar, beliau berkata: "Apa yang Anda lakukan dengan rumah besar ini di dunia, padahal Anda lebih memerlukannya di akhirat? Apakah Anda hendak membawanya ke akhirat? Di dalamnya, Anda dapat menerima para tamu, bersikap hormat terhadapnya, senantiasa menjalin persaudaran, dan menjalankan semua kewajibanmu berdasarkan besarnya rumah ini. Dengan jalan tersebut, kamu akan membawanya ke akhirat." Kemudian al-'Ala' berkata kepada beliau: "Ya Amirul Mukminin, saya hendak mengadukan kepadamu tentang saudara saya, 'Ashim ibn Ziyad." Amirul Mukminin bertanya: "Ada apa dengannya?" Al-'Ala' berkata: "la mengenakan baju yang terbuat dari bulu domba (kasar) dan menjauhkan dirinya dari dunia." Amirul Mukminin berkata: "Bawalah ia ke hadapan saya."

Tatakala 'Ashim tiba, Amirul Mukminin langsung berkata: "Wahai musuh diri sendiri. Sungguh Iblis telah menyesatkan Anda. Apakah Anda tidak merasa kasihan terhadap istri dan anak-anak Anda? Apakah Anda percaya bahwa jika Anda memakai pakaian yang dihalalkan Allah bagimu, Dia tidak akan menyukai Anda? Karena itu, diri Anda menjadi sangat tidak penting bagi Allah." la berkata: "Ya Amirul Mukminin, Anda pun mengenakan pakaian kasar dan memakan makanan yang keras." Kemudian Imam Ali menjawab: "Celakalah Anda, saya tidak seperti Anda. Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi mewajibkan kepada pemimpin yang sesungguhnya supaya memelihara diri pada tingkat rakyat yang paling rendah sehingga orang miskin tidak menangis lantaran kemiskinannya."

Hal ini juga merupakan filsafat zuhud lainnya. Apakah Islam menerima sikap mementingkan orang lain dan memberikan bantuan secara material? Apakah Islam juga menerima sikap empati, yakni ikut merasakan penderitaan orang lain dan memberikan bantual moral? Tentu! Islam tentu akan menerima semua sikap tersebut. Sebab, semua itu
merapakan perbuatan orang-orang yang memiliki tujuan rasional dan sesuai dengan syariat. Masih terdapat sejumlah tujuan lain yang terkandung kezuhudan yang Islami. Tujuan-tujuan tersebut, yang akan saya sampaikan dalam kesempatan lain, pada gilirannya akan membentuk kezuhudan sebagai sebuah upaya rasional dan manusiawi.

Tulisan Ini Diambil dari Buku : Neraca Kebenaran Dan Kebatilan Karya, Syahid Muthahhari

Syi'ah dan Murji'ah

Pada masa itu, pemikiran sesat yang diusung aliran Murji'ah hanya menimpa kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Namun pada masa sekarang, mazhab Syi'ah yang sesungguhnya mendapatkan ajaran dari para imam suci dan pada awalnya paling keras menentang aliran Murji'ah, tak pelak juga telah terpengaruh pemikiran tersebut.

Di tengah-tengah ajaran yang diperoleh, ternyata kita meremehkan amal perbuatan. Misalnya, kita beranggapan bahwa untuk menjalin hubungan dengan Ali bin Abi Thalib, cukup dengan mengatakan: Ya Ali! Selain itu, kita juga sudah merasa puas hanya dengan menyandang nama Syi'ah dan namamu tencantum dalam daftar orang-orang yang berduka atas Imam Husain. Kemudian kita menghimbau masyarakat untuk menjadi anggota partai tertentu, dengan anggapan bahwa Imam Husain juga aktif dalam partai. Ada yang mengatakan, barang siapa yang telah mengedarkan kartu anggota (majelis) di sini, akan memperoleh keselamatan. Orang yang mengatakan semua itu sama sekali tidak memahami filsafat kesyahidan Imam Husain. Makna filosofis dari kesyahidan tersebut adalah demi menghidupkan ajaran Islam sampai pada tingkat amaliahnya.

"Saya bersaksi bahwa engkau telah mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan kamu telah berjuang di jalan Allah dengan sebaik-baiknya jihad. (Mafâtih al-Jinân, Bab Ziarah Imam Husain pada Idul Fitri dan Idul Adha. Maksudnya, engkau wahai Imam Husain, terbunuh untuk menghidupkan Islam dalam bentuk perbuatan. Namun bertolak belakang dengan itu, kita malah mengatakan bahwa kesyahidan ditempuh Imam Husain demi mematikan amal perbuatan dalam Islam dan menciptakan keterikatan serta hubungan lahiriah. Saya teringat pada sebuah kisah yang sepuluh tahun silam telah saya kemukakan dalam salah satu pertemuan bulanan.

Abu al-Faraj al-Isfahani memiliki buku yang sangat terkenal, berjudul Al-Aghânî, yang berisikan lagu-lagu dan nada-nada musik. Salah satu peristiwa yang secara bertahap terjadi dalam dunia Islam adalah bahwa para khalifah senantiasa menampilkan hiburan dan lagu-lagu. Jika keadaan seperti ini terus menyebar luas ke dalam tubuh setiap bangsa, maka itu akan mengantarkannya ke ambang kehancuran. Dalam tubuh bangsa tersebut akan muncul berbagai praktik prostitusi, legalisasi minum-minuman keras, tari-tarian eksotis, musik, serta bermacam-macam lagu. Akibatnya kemudian, di dunia Islam mulai banyak bermunculan para musikus dan seniman.

Sosok Abu al-Faraj al-Isfahani merupakan seorang Umawi dan tergolong sejarahwan yang terampil dan obyektif. Beliau menulis buku yang berjudul Maqâtil at Thâlibiyîn (Pembunuhan terhadap keluarga Abu Thalib). Buku yang relatif obyektif tersebut dijadikan pegangan oleh kaum muslimin, termasuk ulama Syi'ah. Bisa dikatakan bahwa buku ini ditulis secara netral tanpa berpihak kepada siapapun.

Buku Al-Aghânî terdiri dari 18 jilid dan kebanyakan berhubungan dengan masa lalu para seniman, artis, dan musikus dalam dunia Islam. Buku ini banyak mengutip berbagai kisah yang aneh. Salah satunya dikatakan dalam buku tersebut: Pada suatu ketika, seorang Syi'ah dan seorang Murji'ah membicarakan masalah amal perbuatan. Orang murji'ah mengatakan bahwa dasar agama adalah memiliki iman. Keimanan tetap ada kendati tidak terdapat amal (perbuatan). Sementara orang syi'ah mengatakan bahwa iman dan amal tidak dapat dipisahkan. Jika tidak ada amal (perbuatan), maka iman juga tidak akan eksis. Keduanya kemudian terlibat dalam perdebatan yang sengit dan masing-masing tidak puas terhadap lawan bicaranya.

Untuk menghentikan perdebatan, mereka sepakat untuk menanyakan persoalan itu kepada orang yang pertama kali melewati gang tempat mereka berdebat, demi mengetahui mana yang benar dan mana yang keliru. Kebetulan, lewatlah seorang musikus (sehubungan dengan masalah inilah cerita tersebut dikutip dalam buku Al-Aghânî). Dikarenakan kesepakatan tadi, mereka pun lantas bertanya kepadanya. Orang Murji'ah sangat senang dan beruntung dengan kedatangan musikus tersebut.

Kemudian keduanya menerangkan pembicaraan mereka sebelumnya kepada sang musikus tersebut. Orang Syi'ah mengatakan akidahnya meyakini bahwa amal dan iman tidak terpisah satu sama lain dan kebahagiaan manusia tergantung pada amal perbuatannya. Sementara orang Murji'ah mengatakan bahwa amal perbuatan tidak ada harganya. Kebahagiaan manusia, katanya, bergantung pada iman dan akidah. Setelah itu, keduanya bertanya kepada si musikus: "Apa akidahmu?" Musikus tersebut berpikir sejenak, lalu mengatakan: "Dari ujung rambut sampai pinggang saya orang Syi'ah dan dari pinggang ke bawah saya orang Murji'ah." Maksud orang itu, pemikiran saya condong pada pendapat Syi'ah, namun secara praktik saya orang Murji'ah.

Dalam konteks kekinian, banyak orang yang mengaku Syi'ah, termasuk diri kita, akan menjumpai dirinya seperti si musikus tadi; mulai dari pinggang sampai ujung kaki sebagai Murji'ah. Kita selalu mencari-cari alasan untuk tidak beramal, bahkan kita telah menciptakan surga dengan alasan-alasan pula (bukan dengan amal perbuatan, —peny.). Ada yang mengatakan bahwa nikmat surga tidak diberikan dengan "harga", melainkan dengan "alasan". Siapa yang mengatakan demikian? Imam Ali menyampaikan sebuah ungkapan bahwa surga adalah "harga", yaitu surga merupakan "harga" dari amal perbuatan Anda.

Namun kita malah mengatakan bahwa surga diberikan tanpa "harga". Kita tak mungkin bisa meraih surga tanpa amal perbuatan. Tentunya, alasan untuk masuk surga haruslah tepat. Ini merupakan contoh dari bentuk pemikiran yang keliru dan spekulatif.

Sehubungan dengan masalah ini, masih banyak hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Bila kita merujuk pada al-Quran, persoalannya akan nampak semakin jelas. Al-Quran gusar terhadap orang-orang Yahudi yang menganut pemikiran semacam ini (bahwa iman terpisah dari amal, —pent.). Orang-orang Yahudi yang menganggap dirinya makhluk paling mulia di sisi Allah berkeyakinan bahwa jika mereka melakukan kejahatan, Allah
tidak akan menghukum kejahatannya. Namun jika mereka melakukan kebaikan, Allah akan mengganjarnya berlipat ganda.

Pada dasarnya, konsep semacam ini —sebagaimana acapkali disebutkan dalam al-Quran— bersumber dari pemikiran orang-orang Yahudi. Dalam pandangan orang Yahudi, apapun dosa serta kejahatan yang kita lakukan, tidak akan menyebabkan kita masuk neraka. Kita adalah makhluk yang mulia. Kalaupun kita dijerumuskan ke dalam siksa neraka, itu hanya bersifat sesaat dan segera terbebas darinya. Surga adalah milik kita. "Dan mereka berkata: 'Kami sekali-kali tidak akan disentuh api mraka, kecuali selama beberapa hari saja. (Al-Baqarah: 80. ) Coba Anda simak bagaimana penjelasan al-Quran tentang orang-orang Yahudi tersebut.

Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa pada masa Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani tinggal di Madinah. Saat itu acap terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, orang-orang Nasrani, dan Yahudi. Kaum muslimin mengatakan, kita sekarang telah masuk Islam sehingga Allah memberikan kemuliaan kepada kita. Setiap perbuatan buruk yang kita lakukan akan dimaafkan oleh Allah. Orang Nasrani balik mengatakan, tidak, kamilah orang-orang yang mulia. Demikian pula halnya dengan orang-orang Yahudi.

Coba Anda perhatikan bagaimana jawaban yang diberikan al-Quran berkenaan dengan masalah ini: "Pahala dari Allah itu bukan menurut angan-angan kamu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisâ’: 123. )

Allah tidak membeda-bedakan keberadaan satu kaum dengan yang lainnya. "Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu." Coba Anda simak, bagaimana al-Quran dengan jelas membantah angan-angan yang pada gilirannya menjadi pemicu terjadinya dekadensi di kalangan muslimin tersebut. Al-Quran seakan-akan mengatakan, perbaikilah amal perbuatan kalian! Kita menyaksikan bahwa di masa para imam, pemikiran semacam ini tersebar luas ke tengah-tengah komunitas Syi'ah.

Para imam dengan upaya maksimal memerangi pemikiran tersebut. Saya akan mengutip dua buah cerita yang berhubungan dengan masalah ini. Salah satunya sebagai berikut: Suatu ketika, khalifah Makmun meminta kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha as untuk menerima jabatan calon pengganti raja (waliy al-‘ahd). Namun beliau menolaknya. Lantaran terus menerus dipaksa, akhimya Imam menerimanya secara lahiriah. Bagi orang yang cermat dalam menganalisis masalah ini, akan diperoleh pemahaman bahwa pada saat Imam Ali Ridha menolak jabatan tersebut, beliau akan dianggap sebagai pembelot sehingga dirinya tidak lagi leluasa dalam bergerak. Kemudian, Makmun membentuk suatu pertemuan yang dihadiri banyak orang, di mana Imam berbicara di hadapan mereka.

Imam Ali Ridha memiliki seorang saudara yang bernama Zaid bin Musa bin Ja'far, yang terkenal dengan julukan Zaid an-Nâr. Zaid bin Musa pernah mengadakan perlawanan terhadap Makmun, namun gagal. Makmun telah memaafkan perbuatannya lantaran dirinya menghormati Imam Ali Ridha. Dalam pertemuan tersebut, Zaid bin Musa juga hadir. Saat itu, terdapat dua orang yang bernama Zaid putra imam. Selain Zaid bin Musa, ia adalah Zaid bin Ali bin Husain, saudara Imam Muhammad al-Baqir.

Di antara keduanya, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia. la (dianggap sebagai) imam oleh para pengikut aliran Syi'ah Zaidiyyah. Pengikut Syi'ah di wilayah Yaman ini meyakini bahwa Zaid bin Ali adalah sosok imam setelah Imam Ali Zainal Abidin as. Berdasarkan keyakinan kita sebagai penganut Syi'ah Imamiyah dan juga dari berbagai riwayat yang disampaikan para imam, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia dan tidak pernah mengaku sebagai imam. Pengakuan sebagai imam berasal dari orang lain.

Namun Zaid an-Nâr berbeda dengannya. Di saat Imam Ali Ridha as berbicara di hadapan masyarakat umum, beliau memperhatikan Zaid yang saat itu tengah duduk di pinggir dan berbicara dengan orang sekitarnya. Imam mendengar Zaid seringkali menyebut kata-kata "kami Ahlul Bait". Maksudnya, "Kami ahlul Bait seperti ini, kami keluarga suci Nabi begitu, begini cara Allah memperlakukan kami Ahlul Bait," dan seterusnya. Zaid banyak membanggakan kemulian-kemulian yang tidak semestinya.

Di tengah-tengah pidatonya kepada khalayak, Imam Ali Ridha memotong pembicaraannya dan memandang ke arah Zaid bin Musa, seraya berkata: "Wahai Zaid! Omong kosong apa yang kamu sampaikan kepada masyarakat? Keutamaan-keutaman yang kamu sebutkan, apakah kamu kira karena Allah fanatik terhadap kita? Apakah dikarenakan kita sebagai keluarga suci Nabi berarti kita dekat dengan Allah? Jika kamu berkata seperti ini, bahwa karena kita keluarga Nabi, jika melakukan perbuatan buruk, niscaya Allah akan memaafkan.

Surga kita sudah dijamin dan kita pasti aman dari siksa neraka. Jika ucapanmu ini benar, berarti kamu lebih mulia dari ayahmu Musa bin Ja'far lantaran engkau telah mendapat jaminan surga. Engkau pasti masuk surga dan ayahmu Musa bin Ja'far juga masuk surga. Ayahmu menghabiskan umurnya dengan beramal, bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berbuat, dan beribadah. Sedangkan kamu hanya menghabiskan umur dengan menganggur. Berdasarkan ucapanmu, seharusnya kamu dan ayahmu Musa bin Ja'far termasuk orang-orang yang didekatkan ke sisi Allah. Jadi kamu lebih mulia dari ayahmu, karena dia menghabiskan umurnya untuk ibadah supaya sampai ke surga sedangkan engkau mencapainya tanpa beribadah."

Untuk menyadarkannya, Imam ar Ridha segera memandang ke arah Wisya', seorang perawi hadis yang berasal dari Kufah. Wisya' termasuk ulama dan ahli hadis Kufah —pada masa itu pemikiran yang keliru dan menyimpang telah tersebar luas di kalangan ulama, di mana Imam Ali Ridha mengetahui hal tersebut dan bermaksud menyinggungnya). Imam berkata kepadanya: "Wisya’! Bagaimana penafsiran penduduk Kufah sehubungan dengan ayat al-Quran yang mengisahkan Nabi Nuh dan putranya. Dalam ayat tersebut Nabi Nuh berseru kepada Allah: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. (Hûd: 45. )

Kemudian bagaimana kelanjutan firman Allah itu?" Wisya' memahami maksud Imam dan berkata: "Wahai Imam, sebagian ulama di Kufah membaca ayat selanjumya sebagai berikut: "Sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik." Ketika Nabi Nuh as berseru kepada Allah; "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, ampunilah dia (hati Nabi Nuh merasa iba terhadap putranya, sedangkan anaknya seorang pendosa).

Ya Allah perkenankanlah aku menaikkan putraku ke atas bahtera agar ia tidak tenggelam. Kemudian turun ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik." Wisya' mengatakan bahwa sebagian orang Kufah membaca ayat di atas sebagai berikut: Nabi Nuh as berseru kepada Allah; Tuhanku dia adalah anakku, ampunilah dosanya demi aku. Namun, kemudian penduduk Kufah membengkokan pengertian yang sebenarnya dari ayat tersebut, sehingga seolah-olah Allah mengatakan kepada Nabi Nuh as: "Wahai Nuh! Kamu keliru, dia bukan anakmu.

Jika dia memang benar anakmu, Aku akan mengampuninya demi kamu. Aku tidak akan membuat susah seorang Nabi gara-gara perbuatan anaknya. Tapi kamu keliru, dia bukan dari keturunanmu. Dia bukan dari hasil perbuatanmu. Dia bukan putramu. Dia anak orang jahat dan fasik." Tafsiran seperti ini merupakan penghinaan terhadap kedudukan seorang nabi. Orang-orang akan mengatakan kepada nabi tersebut bahwa istrimu di rumah telah berselingkuh, dan anak yang dilahirkannya bukanlah anakmu. Wisya' mengatakan bahwa tafsir yang dihasilkan sebagian penduduk Kufah tersebut menjatuhkan nama baik Nabi Nuh as. Imam Ali Ridha mengatakan: "Yang mereka katakan adalah kebohongan." Mereka telah menyimpangkan ayat al-Quran. Ayat yang sebenarnya berbunyi: "...sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik." la telah melakukan perbuatan yang tidak baik meskipun ia adalah anakmu. Secara genetis, ia memang anakmu. Namun secara maknawi (spiritual), ia tidak termasuk keluargamu.

Wahai Nuh, mengapa kamu ingin memberi syafa'at kepada anak yang jahat dan fasik ini? Permohonan Nabi Nuh as agar Allah mengampuni dosa anaknya, tidak terkabul. Dalam riwayat disebutkan bahwa selama bertahun-tahun, Nabi Nuh as meratapi dan menangisi serta memohon ampunan atas permohonannya ini. Imam Ali Ridha lantas berkata: "Apakah anak Nabi Nuh as bukan putra seorang Nabi? Wahai Zaid, mengapa Allah tidak mengabulkan permohonan seorang Nabi yang menginginkan supaya anaknya diampuni? Bahkan Allah mengatakan perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik. Apakah kamu mempunyai argumentasi yang lebih baik darinya?" Pada kesempatan ini, saya juga akan membacakan riwayat lainnya. Dari riwayat sebelumnya bisa diketahui bahwa pada masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap keberadaan hadis dan riwayat.

Seseorang mendatangi Imam Ja'far as seraya berkata: "Orang-orang banyak meriwayatkan hadis dari Anda. Saya ingin mengetahui apakah hadis tersebut benar atau
keliru. Hadis tersebut sehubungan dengan masalah wilâyah dan amal perbuatan. Apakah benar Anda mengatakan: 'Jika pengetahuan kamu tentang imâmah sudah benar, maka berbuatlah sekehendak hatimu.'"

Imam Ja'far mengatakan: "Benar, saya pernah menyampaikan hadis tersebut." Lalu orang tersebut menambahkan: "Apakah yang Anda maksud bahwa jika seseorang mengetahui imamnya secara benar, ia boleh berbuat sekehendak hatinya, meskipun dengan berzina dan mencuri? (Ushûl al-Kâfî, Jilid IV, hal. 207.)

Imam terkejut mendengar itu. Kemudian beliau berkata: "Celakalah kamu! Seperti inikah kamu memahami ucapan saya? Maksud ucapan saya tidaklah identik dengan yang engkau pahami. Maksud ucapan saya adalah ketika seseorang mengenal imamnya dan mengetahui pengertian imamah secara benar, ia boleh mengerjakan perbuatan baik sekehendak hatinya.

Karena di saat mengenal imam, engkau akan mengetahui bagaimana cara melakukan perbuatan baik. Engkau sudah menemukan prasyarat bagi diterimanya amal perbuatan. Engkau sekarang telah mengenal imam. Engkau mengenal Imam Ali bin Abi Tbalib as, dan Imam Husain as.

Kini seluruh perbuatan baik yang ingin engkau kerjakan, kerjakanlah! Kapankah saya mengatakan bahwa pada saat engkau mengenal imam, pada saat itu pula engkau bebas mengerjakan setiap perbuatan jahat dan kefasikan?" Coba Anda perhatikan, ketika kita merujuk kepada al-Quran, sunah Nabi, dan riwayat para Imam, akan nampak bahwa seluruh amal perbuatan memiliki dasar yang kokoh. Kita juga akan menyaksikan bahwa kebahagiaan manusia amat tergantung pada amal perbuatan. Maksudnya, manusia harus mewujudkan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya.

Tulisan Ini Diambil dari Buku : Neraca Kebenaran Dan Kebatilan Karya, Syahid Muthahhari

Kebenaran dan Kebatilan di Alam Semesta ( Bumi )

Apakah sistem yang berlaku di jagat alam ini merupakan sistem yang hak (benar)? Sistem yang tepat? Sistem yang seharusnya? Apakah segala sesuatu yang ada di alam semesta ini telah berada pada orbimya masing-masing? Ataukah tidak demikian adanya; sistem ini bersifat batil (tidak benar)? Mungkinkah sistem yang ada di alam ini bersifat batil? Apakah terdapat sesuatu yang semestinya tidak tercipta? Apakah keberadaan sistem ini hanya sia-sia belaka dan tidak memiliki tujuan? Dalam menghadapi rentetan

pertanyaan ini, juga berbagai pertanyaan lain yang mirip dengannya, para ulama dan cendekiawan terbagi ke dalam beberapa golongan; sebagian mendukung pandangan pertama, sebagian lainnya mendukung yang kedua, dan sekelompok lainnya memiliki pandangan alternatif yang berbeda dengan keduanya. Para filosof, yang sebagian besar menganut paham Materialisme, memiliki persangkaan yang buruk terhadap keberadaan alam semesta (termasuk terhadap keberadaan manusia). Mereka beranggapan, seluruh yang ada di jagat alam merupakan sesuatu yang tidak semestinya ada, tidak layak tercipta, buta, tuli, dan keberadaannya hampa akan tujuan.

Sebaliknya, kaum Ilahiyyun (orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan) dan orang-orang yang belajar di Madrasah Ilahiah (wahana pendidikan yang mengajarkan konsep ketuhanan), khususnya Islam, dengan jelas dan pasti menyatakan bahwa penciptaan alam ini adalah sebuah kebenaran dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan indah. Mereka juga meyakini bahwa di alam semesta ini tidak terdapat suatu kekurangan apapun sehingga tidak memerlukan sedikitpun tambahan.

Selain itu, mereka juga yakin bahwa di alam semesta tidak terdapat sesuatupun yang bersifat sia-sia dan asal-asalan saja. Dengan kata lain, tidak terdapat satu kejanggalan pun yang terkandung dalam sistem yang berlaku di seluruh jagat alam. "Yang membuat segala sesuatu Yang Dia Ciptakan sebaik-baiknya (As-Sajdah: 7. ) juga, "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap- tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (Thâhâ: 50 ) Ayat tersebut menegaskan, Tuhan kami menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan menganugerahkan segenap hal yang diperlukan ciptaan-Nya.

Semencara dalam pandangan kelompok ketiga dikatakan bahwa keberadaan alam (dan manusia) ini tersusun dari komponen kebaikan dan keburukan, kepantasan dan ketidakpantasan, serta keharusan dan ketidakharusan. Di alarn ini, kita melihat adanya dua hal yang saling bertolak belakang. Kita acapkali menyaksikan di alam ini berbagai kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman, kesempurnaan dan kecacaran, sehat dan sakit, kebidupan dan kematian, ketertiban dan kekacauan, kebaikan dan kerusakan, serta kesuburan dan kegersangan. Kedua hal yang saling bertolak belakang tersebut mencerminkan seolah-olah alam ini memiliki dua pencipta.

Dikarenakan adanya dua hal yang saling bertolak belakang, tidak mungkin semua yang ada di jagat alam ini berasal dari satu sumber (pencipta). Penyembahan berhala dan dualisme (penyembahan ganda), yang terdapat pada masa Iran kuno, bersumber dari keyakinan bahwa di alam ini terdapat dua tuhan (mabda’) tuhan kebaikan, kebajikan, dan cahaya (Yazdân), serta tuhan keburukan, kejahatan, dan kezaliman (Ahriman). Kedua tuhan ini (Yazdân dan Ahriman), dengan masing-masing pasukannya, senantiasa bertikai dan berperang. Namun darinya terbetik kabar gembira bahwa pada akhimya kelak pasukan kebajikan dan cahaya akan menghancurkan pasukan kejahatan dan kezaliman. Seluruh pasukan kejahatan dan kezaliman akan musnah dan binasa, sementara keberadaan pasukan kebajikan dan cahaya akan tetap hidup abadi.

Meskipun pembahasan baik (al-khair) dan buruk (asy-syar) telah saya uraikan secara mendetail dalam buku "al-Adlul llâhi", namun sesuai dengan topik pembahasan kita kali ini, saya akan mengutarakan sekelumit pembahasan yang berkenaan dengan permasalahan tersebut.

Dalam filsafat ketuhanan, dasar dari segala sesuatu berjalan seiring dengan "kebenaran", "kebajikan", "kesempurnaan", dan "keindahan". Sedangkan seluruh kebatilan, kejahatan, ketidaksempurnaan, serta keburukan —yang pada akhimya dan sesuai hasil akhir dari berbagai kajian— berujung pada ketiadaan ('adam), bukan pada keberadaan (wujud). Pada satu sisi, keburukan (asy-syar) pada dasarnya bukanlah keburukan, melainkan penyebab ketiadaan pada sesuatu. Berbagai keburukan tak lebih sebagai akibat sampingan dari keberadaan berbagai kebaikan dan kebenaran.

Memang, kebaikan dan keburukan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Namun demikian, sifat keterkaitan antarkeduanya tidak bersifat esensial, alias nisbi (relatif) belaka. Hubungan antara keburukan dan "dengan kebenaran" serta "dengan kebaikan" ibarat hubungan antara "performa" (penampakan atau al-mazhhar) dan "eksistensi" (keberadaan atau al-wujûd). Suatu keberadaan akan senantiasa diiringi dengan "performa" (penampakan). Masalah paling pokok sekaitan dengan hal itu adalah kcmunculan esensi (al-mâhiah) yang senantiasa mengikuti eksistensi (al-wujûd), Keberadaan (eksistensi atau al-wujûd) bersifat umum dan semata-mata mengandung kebaikan. Dalam dirinya tidak terdapat ketidaksempurnaan (an-naqsh) dan keburukan (asy-syar).

Dan pada peringkat keberadaan (al-wujûd) Zat Ilahi, tak ada lagi esensi (al-mâhiah) dan juga ketiadaan (al-'adam). Akan tetapi, berbeda dengan itu, keberadaan makhluk-makhluk ciptaan-Nya bersifat lemah. Itu dikarenakan keberadaan mereka tak lebih sebagai akibat dari sebuab perbuatan (fi’l). Dengan kata lain, keberadaannya disebabkan oleh pelaku (fâ’il). Hanya Dia (Allah SWT) sendirilah satu-satunya pelaku absolut di antara seluruh pelaku (al-fâ’il ‘alal ithlâq), di mana semua yang ada selain-Nya merupakan hasil dari perbuatan kreatif-Nya. Dengan demikian, mereka (makhluk-makhluk) itu memiliki berbagai kelemahan (adh-dhâ'f) dan ketidak-sempurnaan (an-naqsh). Akibat sampingan dari perbuatan (fi'il) tersebut ialah terdapamya "esensi" (al-mâhiah).

Demikin pula dengan suatu perbuatan yang merupakan akibat dari perbuatan lain. "Perbuatan yang menjadi akibat" tersebut memiliki derajat yang lebih rendah (dari perbuatan pertama). Dengan demikian, sekalipun ketiadaan (al-'adam) tidak memiliki esensi, namun ia dapat merasuk ke dalam eksistensi (al-wujûd), yang akhirnya merasuki pula dalam alam materi ini (al-yasût), yang dalam istilah para filosof llahiyun (ketuhanan), disebut sebagai eksistensi (al-wujûd) yang paling rendah dan paling tidak sempurna. Yang menjadi pertanda lemahnya keberadaan (alam materi) ialah dikarenakan dari satu sisi, ia dapat dianggap cenderung menyerupai “esensi" (al-mâhiah) dan "ketiadaan" (al-'adam). Karenanya, sekalipun keburukan (asy-syar) tidak memiliki esensi dan bukan bagian dari eksistensi (al-wujûd), akan tetapi ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi (al-wujûd) pada tingkat yang paling rendah. Dikarenakan itu, apabila kita memandang sistem eksistensi (al-wujûd) ini dari sisi keberadaannya, maka darinya tak akan terdapat keburukan (asy-syar) dan ketiadaan (al-‘adam). Ketika memandang ke atas, kita akan melihat adanya cahaya. Namun, tatkala melihat ke bawah, kita akan menyaksikan adanya bayangan di bawah kita.

Bayangan tersebut merupakan keberadaan sampingan dari benda (al-jism), yang pada hakikamya non-esensial (yang ada hanyalah cahaya). Tapi dikarenakan keberadaan benda (al-jism) itulah, maka dalam benak kita muncul "esensi" (al-mâhiah), yang merupakan sebuah akibat sampingan dari keberadaan benda. Hakikat dari bayangan tidak lain adalah ketiadaan (al-'adam), yakni ketiadaan cahaya dalam kawasan tertentu dan eksistensi (al-wujûd) cahaya di sekeliling kawasan tersebut. Dalam konsepsi filsafat Ilahiah (ketuhanan), dikatakan bahwa segala sesuatu terangkum dalam kalimat "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Yakni suatu keberadaan akan menjadi nampak dikarenakan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang.

Ini merupakan sudut pandang yang paling tinggi. Keberadaan alam semesta ini tak lain hanyalah penampakan dari koMaha Pengasihan dan ke-Maha Penyayangan-Nya semata. Tentunya sulit untuk menggambarkan semua itu, dikarenakan ia merupakan suatu bentuk pemikiran yang sangar tinggi dan agung. Jika seorang memiliki kesadaran yang mendalam terhadap poin tersebut, maka ia bisa dengan mudah memecahkan berbagai persoalan yang ada. Pada tahap berikumya, pandangan semacam ini memunculkan keyakinan bahwa alam semesta memiliki dua wajah; pertama adalah wajah dari-Nya dan kedua adalah wajah menuju kepada-Nya. Wajah yang pertama (dari-Nya) ialah ke-Maha Pengasihan-Nya dan wajah kedua yang menuju kepada-Nya adalah ke-Maha Penyayangan-Nya.

Seluruh nama-nama Allah selainnya hanyalah bersifat sampingan semata dan menempati peringkat kedua, ketiga.... Berbagai sifat lain yang dimiliki Allah pada hakikamya berasal dari nama-nama tersebut (Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Bahkan sifat "Mahamengalahkan (al-Qahhâr) berasal dari sifat Mahalembut (al-Lathîf); sebuah esensi yang memiliki sifat Mahalembut tidak memiliki sifat Mahamengalahkan. Menurut sudut pandang tauhidi (pengesaan Tuhan), untuk mengenal eksistensi (al-wujûd), tak ada suatu pandangan pun yang bisa digunakan kecuali pandangan semacam itu. Demikian pula halnya dengan pandangan filsafat. Mereka yang benar-benar ahli dalam mengenal eksistensi (al-wujûd), tidak akan memiliki pandangan apapun selain pandangan semacam itu.

Tulisan Ini Diambil dari Buku : Neraca Kebenaran Dan Kebatilan Karya, Syahid Muthahhari

Persekongkolan dan Adu Domba Barat Terhadap Islam

Sebuah buku berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology” telah terbit di AS. Buku ini berisi wawancara detail dengan Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan direktur CIA.

Dalam wawancara ini diungkapkan hal-hal yang sangat mengejutkan. Dikatakan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Dr. Michael Brant sendiri telah lama bertugas di bagian tersebut, akan tetapi ia kemudian dipecat dengan tuduhan korupsi dan penyelewengan jabatan.

Tampaknya dalam rangka balas dendam, ia membongkar rencana-rencana rahasia CIA ini. Brant berkata bahwa sejak beberapa abad silam dunia Islam berada di bawah kekuasaan negara-negara Barat. Meskipun kemudian sebagian besar negara-negara Islam ini sudah merdeka, akan tetapi negara-negara Barat tetap menguasai kebebasan, politik, pendidikan, dan budaya mereka, terutama sistem politik dan ekonomi mereka. Oleh sebab itu, meski telah merdeka dari penjajahan fisik, mereka masih banyak terikat kepada Barat.

Pada tahun 1979, kemenangan Revolusi Islam telah menggagalkan politik-politik kami. Pada mulanya Revolusi Islam ini dianggap hanya sebagai reaksi wajar dari politik-politik Syah Iran. Dan setelah Syah tersingkir, kami (AS) akan menempatkan lagi orang-orang kami di dalam pemerintahan Iran yang baru, sehingga kami akan dapat melanjutkan politik-politik kami di Iran.

Setelah kegagalan besar AS dalam dua tahun pertama (dikuasainya Kedubes AS di Teheran dan hancurnya pesawat-pesawat tempur AS di Tabas) dan setelah semakin meningkatnya kebangkitan Islam dan kebencian terhadap Barat, juga setelah munculnya pengaruh-pengaruh Revolusi Islam Iran di kalangan Syiah di berbagai negara–terutama Libanon, Irak, Kuwait, Bahrain, dan Pakistan–akhirnya para pejabat tinggi CIA menggelar pertemuan besar yang disertai pula oleh wakil-wakil dari Badan Intelijen Inggris. Inggris dikenal telah memiliki pengalaman luas dalam berurusan dengan negara-negara ini.

Dalam pertemuan tersebut, kami sampai pada beberapa kesimpulan, di antaranya bahwa Revolusi Islam Iran bukan sekadar reaksi alami dari politik Syah Iran. Tetapi, terdapat berbagai faktor dan hakikat lain, di mana faktor terkuatnya adalah adanya kepemimpinan politik Marjaiyah (kepemimpinan agama) dan syahidnya Husein, cucu Rasulullah, 1400 tahun lalu, yang hingga kini masih tetap diperingati oleh kaum Syiah melalui upacara-upacara kesedihan secara luas. Sesungguhnya dua faktor ini yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya.

Dalam pertemuan CIA itu, telah diputuskan bahwa sebuah lembaga independen akan didirikan untuk mempelajari Islam Syiah secara khusus dan menyusun strategi dalam menghadapi Syiah. Bujet awal sebesar 40 juta US dolar juga telah disediakan. Untuk penyempurnaan proyek ini, ada tiga tahap program:

1. Pengumpulan informasi tentang Syiah, markas-markas dan jumlah lengkap pengikutnya.

2. Program-program jangka pendek: propaganda anti-Syiah, mencetuskan permusuhan dan bentrokan besar antara Syiah dan Sunni dalam rangka membenturkan Syiah dengan Sunni yang merupakan mayoritas Muslim, lalu menarik mereka (kaum Syiah) kepada AS.

3. Program-program jangka panjang: demi merealisasikan tahap pertama, CIA telah mengutus para peneliti ke seluruh dunia, di mana enam orang dari mereka telah diutus ke Pakistan, untuk mengadakan penelitian tentang upacara kesedihan bulan Muharram. Para peneliti CIA ini harus mendapatkan jawaban bagi soal-soal berikut:

a. Di kawasan dunia manakah kaum Syiah tinggal, dan berapa jumlah mereka?

b. Bagaimanakah status sosial-ekonomi kaum Syiah, dan apa perbedaan-perbedaan di antara mereka?

c. Bagaimanakah cara untuk menciptakan pertentangan internal di kalangan Syiah?

d. Bagaimanakah cara memperbesar perpecahan antara Syiah dan Sunni?

e. Mengapa mereka kuatir terhadap Syiah?

Dr. Michael Brant berkata bahwa setelah melalui berbagai polling tahap pertama dan setelah terkumpulnya informasi tentang pengikut Syiah di berbagai negara, didapat poin-poin yang disepakati, sebagai berikut:

Para Marja’ Syiah adalah sumber utama kekuatan mazhab ini, yang di setiap zaman selalu melindungi mazhab Syiah dan menjaga sendi-sendinya. Dalam sejarah panjang Syiah, kaum ulama (para Marja) tidak pernah menyatakan baiat (kesetiaan) kepada penguasa yang tidak Islami. Akibat fatwa Ayatullah Syirazi, Marja Syiah saat itu, Inggris tidak mampu bertahan di Iran.

Di Irak yang merupakan pusat terbesar ilmu-ilmu Syiah, Saddam dengan segala kekuatan dan segenap usaha tidak mampu membasmi Syiah. Pada akhirnya, ia terpaksa mengakhiri usahanya itu.

Ketika semua pusat ilmu lain di dunia selalu mengambil langkah beriringan dengan para penguasa, Hauzah Ilmiyah Qom justru menggulung singgasana kerajaan tirani Syah.

Di Libanon, Ayatullah Musa Shadr memaksa pasukan militer Inggris, Perancis, dan Israel melarikan diri. Keberadaan Israel juga terancam oleh sang Ayatullah dalam bentuk Hizbullah.

Setelah semua penelitian ini, kami sampai pada kesimpulan bahwa berbenturan langsung dengan Syiah akan banyak menimbulkan kerugian, dan kemungkinan menang atas mereka sangat kecil.

Oleh sebab itu, kami mesti bekerja di balik layar. Sebagai ganti slogan lama Inggris: Pecah-belah dan Kuasai (Divide and Rule), kami memiliki slogan baru: Pecah-belah dan Musnahkan (Divide and Annihilate).

Rencana mereka sebagai berikut:

1. Mendorong kelompok-kelompok yang membenci Syiah untuk melancarkan aksi-aksi anti-Syiah.

2. Memanfaatkan propaganda negatif terhadap Syiah, untuk mengisolasi mereka dari masyarakat Muslim lainnya.

3. Mencetak buku-buku yang menghasut Syiah.

4. Ketika kuantitas kelompok anti-Syiah meningkat, gunakan mereka sebagai senjata melawan Syiah (contohnya: Taliban di Afghanistan dan Sipah-e Sahabah di Pakistan).

5. Menyebarkan propaganda palsu tentang para Marja dan ulama Syiah.

Orang-orang Syiah selalu berkumpul untuk memperingati tragedi Karbala. Dalam peringatan itu, seorang akan berceramah dan menguraikan sejarah tragedi Karbala, dan hadirin pun mendengarkannya. Lalu mereka akan memukul dada dan melakukan ‘upacara kesedihan’ (azadari). Penceramah dan para pendengar ini sangat penting bagi kita. Karena, azadari-azadari seperti inilah yang selalu menciptakan semangat menggelora kaum Syiah dan mendorong mereka untuk selalu siap memerangi kebatilan demi menegakkan kebenaran. Untuk itu:

1. Kita harus mendapatkan orang-orang Syiah yang materialistis dan memiliki akidah lemah, tetapi memiliki kemasyhuran dan kata-kata yang berpengaruh. Karena, melalui orang-orang inilah kita bisa menyusup ke dalam upacara-upacara azadari (wafat para Imam Ahlul Bait).

2. Mencetak atau menguasai para penceramah yang tidak begitu banyak mengetahui akidah Syiah.

3. Mencari sejumlah orang Syiah yang butuh duit, lalu memanfaatkan mereka untuk kampanye anti-Syiah. Sehingga, melalui tulisan-tulisan, mereka akan melemahkan fondasi-fondasi Syiah dan melemparkan kesalahan kepada para Marja dan ulama Syiah.

4. Memunculkan praktik-praktik azadari yang tidak sesuai dan bertentangan dengan ajaran Syiah yang sebenarnya.

5. Tampilkan praktik azadari (seburuk mungkin), sehingga muncul kesan bahwa orang-orang Syiah ini adalah sekelompok orang dungu, penuh khurafat, yang di bulan Muharram melakukan hal-hal yang mengganggu orang lain.

6. Untuk menyukseskan semua rencana itu harus disediakan dana besar, termasuk mencetak penceramah-penceram ah yang dapat menistakan praktik azadari. Sehingga, mazhab Syiah yang berbasis logika itu dapat ditampilkan sebagai sesuatu yang tidak logis dan palsu. Hal ini akan memunculkan kesulitan dan perpecahan di antara mereka.

7. Jika sudah demikian, tinggal kita kerahkan sedikit kekuatan untuk membasmi mereka secara tuntas.

8. Kucurkan dana besar untuk mempropagandakan informasi palsu.

9. Berbagai topik anti-Marjaiyah harus disusun, lalu diserahkan kepada para penulis bayaran untuk disebarkan kepada masyarakat luas. Marjaiyah, yang merupakan pusat kekuatan Syiah, harus dimusnahkan. Akibatnya, para pengikut Syiah akan bertebaran tanpa arah, sehingga mudah untuk menghancurkan mereka.


[http://islamsyiah.wordpress.com ]
Oleh: M. Anis Maulachela

Islam dan Kekerasan

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS al-Anfal: 60)

Masih hangat dalam ingatan kita tentang ceramah yang disampaikan oleh Pope Benedictus pada 12 Sepetember 2006 lalu. Dalam ceramahnya yang membahas tentang relasi agama dan akal, ia menukil dialog antara imperatur Bezantium Emanuel II dengan seorang pemikir Persia (kini Iran-red) yang terjadi pada tahun 1391 M berkaitan dengan Islam dan Kristen. Ceramah yang menimbulkan reaksi beragam, antara pro dan kontra. Walaupun beberapa pihak –seperti Cardinal George Paul pemimpin gereja Katolik Ortodox Australia dalam situs resminya, Marchel (Kanselir Jerman) dalam wawancaranya dengan BBC, dan beberapa pribadi lainnya, khususnya juru bicara Vatikan- telah berusaha menjelaskan bahwa Pope sama sekali tidak berniat untuk melecehkan agama Islam, dengan dalih sesuai dengan teks yang dibacakan Pope pada pertemuan kala itu. Memang, tidak ada ungkapan Pope secara jelas yang melecehkan Islam. Dari pertanyaan imperatur Bezantium terhadap pemikir Persia yang berbau pelecehan terhadap agama Islam dan tidak sesuai dengan kenyataan logis maupun riil yang telah dinukil oleh Pope dalam ceramah itu, ada satu pertanyaan yang mungkin muncul; kenapa Pope harus menukilnya sebagai sandaran atas “Konsep Jihad” dalam Islam? Apa kaitannya hal tersebut dengan topik pembahasannya, relasi agama dan akal? Pertanyaan inilah yang belum juga terjawab oleh pihak Vatikan. Hal ini pulalah yang membuat gerah kaum muslimin di segala penjuru dunia dengan reaksi yang beragam. Beberapa pihak non-Islam pun mengungkapkan hal serupa, menyesalkan dan mengkhawatirkan isi ceramah tersebut.

Isu Islam sebagai agama kekerasan bukan merupakan hal baru yang dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu dalam mendiskriditkan agama beserta pengikut agama besar itu. Pengidentikan tersebut semakin santer khususnya pasca tragedi 11 September yang menewaskan ribuan manusia tak berdosa itu. Dampak pengidentikan Islam dengan tindak kekerasan pada kenyataannya justru sebaliknya. Sesuai dengan hasil penelitian yang ada, justru pasca kejadian 11 September itulah rasa penasaran dan kecenderungan manusia Barat untuk ingin mempelajari dan mengetahui hakekat ajaran Islam semakin besar. Bahkan dari situ, terbukti di Amerika dan Eropa sensus perpindahan menuju agama Islam semakin meningkat. Fenomena semacam ini sangat mengkhawatirkan beberapa pihak yang merasa dirugikan, tidak terkecuali Kristen. Ketidakpercayaan umat Kristiani terhadap para rohaniawan mereka semakin meningkat. Jika kita melihat di wilayah Eropa saja, berapa banyak gereja yang sepi dan bahkan dijual untuk diubah fungsi. Di beberapa negara Eropa berapa banyak gereja yang berubah fungsi menjadi masjid, tempat ibadah kaum muslimin. Ini sebagai bukti bahwa propaganda Barat untuk masyarakatnya agar anti Islam justru menyebabkan mereka tertarik mempelajari dan sebagian dari mereka memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah mengetahui hakekat ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Manusia tercipta dengan membawa fitrah. Dan fitrah manusia selalu mengajak kepada kesempurnaan, kebenaran dan keindahan. Sebaliknya, fitrah sangat membenci semua hal yang bertentangan dengan ketiga hal tersebut. Atas dasar itulah kita dapati manusia selalu berusaha untuk mencarinya dan menghindari segala yang bertentangan dengannya. Walaupun terkadang dalam menentukan obyek ketiga hal tadi tidak jarang seseorang terjerumus dalam kesalahan. Fitrah manusia menyukai tindakan kebaikan, dan membenci tindakan buruk. Mayoritas manusia, sewaktu mendengar kata kekerasan maka pikirannya langsung tertuju pada hal buruk yang bertentangan dengan kesempurnaan, kebenaran dan keindahan. Atas dasar itulah akhirnya mereka membenci segala macam bentuk tindak kekerasan tersebut. Maka, haruslah kita perjelas terlebih dahulu; apa definisi kekerasan? Adakah kekerasan selalu bersifat buruk? Adakah Islam menentang semua jenis tindak kekerasan, atau bahkan sebaliknya, melegalkan segala bentuk tindak kekerasan? Kapankah kita diperbolehkan melakukan tindak kekerasan, dan kapan kita tidak diperkenankan melakukannya? Apakah tindak kekerasan yang telah dilegalisir oleh Islam tidak bertentangan dengan konsep “rahmatan lil alamiin” (rahmat bagi semesta alam) agama Islam? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang akan dijadikan acuan pembahasan tulisan ini, yang ingin membahas secara global tentang hubungan antara agama Islam dengan tindak kekerasan.

Definisi Kekerasan

Tidak mungkin seseorang yang telah mengetahui banyak tentang seluk-beluk sejarah ataupun politik ia tidak mengetahui bahwa kekerasan selalu ada dalam setiap lembaran sejarah manusia, khususnya dalam mengatur sebuah pemerintahan. Dalam agama Samawi, kisah tentang pembunuhan Qobil atas Habil merupakan bukti bahwa tindak kekerasan telah ada semenjak awal penciptaan manusia, lepas dari kekerasan itu legal ataupun tidak. Adanya paradoks dalam melihat berbagai fenomena tindak kekerasan dalam budaya kontemporer menyebabkan kekerasan dianggap sebagai suatu yang buruk. Namun di sisi lain, justru kekerasan dianggap sebagai obyek menarik untuk dipraktikkan. Dengan kata lain, banyaknya orang membenci tindak kekerasan, namun pada waktu yang sama justru banyak pula dari pembenci hal tersebut pun memraktikkan tindakan itu, walau dengan kemasan yang berbeda. Dikarenakan kekerasan selalu menyertai kehidupan manusia maka walaupun secara teoritis mereka menolak praktik kekerasan, namun secara praktis mereka tidak dapat menolaknya, bahkan terkadang mereka sering melakukannya. Sebagai contoh, sering kita jumpai seorang ibu akan membenci tindak pembunuhan, dikarenakan hal itu termasuk bentuk tindak kekerasan. Namun, di pihak lain, ternyata ibu itupun terkadang melakukan pemukulan terhadap anaknya karena kesalahan yang remeh. Padahal membunuh dan memukul keduanya adalah bentukan dari tindak kekerasan, walau dengan kadar yang berbeda.

Dari sisi bahasa dan dari terminology penggunaannya, kata kekerasan yang dalam bahasa Arab sering disebut dengan khusyunat, dan dalam bahasa Inggris berarti violence sering diartikan dengan; “Suatu tindakan yang bersandar pada penggunaan ketegasan ekstra”. Sebagian lagi mendefiniskannya sebagai; “Prilaku yang bertentangan dengan kelembutan dan sesuatu yang natural”. Tentu pendefinisian semacam itu adalah definisi yang bersumber dari konsep abstrak yang sangat memungkinkan adanya perbedaan redaksi dan tolok ukur kriterianya. Konsep kekerasan tidak jauh berbeda bahkan mirip dengan konsep-konsep abstrak lainnya seperti; kebebasan (liberal), toleransi, reformasi dan sebagainya yang dalam pendefinisiannya sangat berbeda dengan konsep-konsep obyektif. Atas dasar itulah, perdebatan dalam pendefinisian konsep kekerasan dalam tulisan ringkas ini lebih baik dihindari. Tidak satupun definisi yang para pemikir lontarkan yang memenuhi parameter ilmiah sebuah definisi, sehingga dari situ akhirnya menyebabkan mereka pun sewaktu menyebutkan kata teror, penyiksaan, pelaksanaan hukum pidana, reaksi kekerasan, penyitaan dan embargo pun dimasukkan sebagai ekstensi dari tindak kekerasan.

Kesulitan pendefisian ini akhirnya menyebabkan sebagian pihak menyatakan bahwa tindak kekerasan tidak memerlukan sebuah definisi ilmiah, karena ia telah bersifat aksiomatis. Kelompok yang menyatakan hal ini masuk pada jajaran kelompok aksiomatisme. Anehnya, ketidakjelasan dalam pendefinisian ini dipakai alat yang seenaknya dipakai untuk menyerang pihak-pihak lain yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Sebagai contoh, mereka menganggap “hukum qishas” (vonis balasan setimpal) dalam ajaran agama Islam dianggap praktik tindak kekerasan yang buruk sehingga harus ada aksi nyata untuk menghapus vonis hukuman tersebut. Tentu dalam meneliti fenomena pelaksanaan hukum qishas tadi tidak mungkin menggunakan tolok ukur sebuah budaya yang dengan jelas tidak mampu untuk menjelaskan hakekat hukum Islam tersebut. Jika inilah yang mereka ingin terapkan ataupun berusaha memaksakan untuk menerapkannya maka akan menjadi bukti, betapa sederhana cara pikir mereka tentang tindak kekerasan.

Muncul kelompok lain yang juga merasa kesulitan dalam mendefinisikan hal tadi. Kelompok ini tidak serta merta menyebutkan definisi versi mereka, namun mereka hanya konsentrasi dalam membahas sebab dan faktor kemunculan tindak kekerasan saja. Kesenjangan sosial ataupun pengharapan yang berlebih adalah beberapa faktor kemunculan praktik kekerasan, menurut mereka. Tentu kajian tersebut tidak dapat mewakili pembahasan yang mendalam berkaitan dengan tesis tentang tindak kekerasan.

Terdapat kelompok lain yang dikarenakan problem yang sama dalam pendefinisian akhirnya mereka berusaha berdiri di garis tengah, namun ternyata mereka pun tidak selamat, mereka turut terjerumus ke dalam lembah penyamarataan yang bertentang dengan konsep keadilan dalam pembahasan ilmiah. Kemunculan kelompok ini lebih dikarenakan mereka kesulitan dalam meneliti banyak hal yang berkaitan dengan fenomena sosial. Selayaknya penelitian kajian sosiologis, seorang peneliti akan mencari obyek-obyek kajian umum untuk mencari esensi secara umum. Dari situ lantas peneliti tadi akan menganalisanya. Dikarenakan penelitian tentang tindak kekerasan sering dianaktirikan, maka yang muncul adalah penyamarataan yang tidak sehat oleh para peneliti dari kalangan sosiolog tersebut.

Ada beberapa bentuk penyamarataan yang tidak sehat tersebut antara lain;

Pertama, penyamarataan dalam pelontaran masalah. Seringkali, sewaktu diadakan penelitian tentang sumber-sumber yang berkaitan dengan kekerasan, mereka hanya meneliti dan menganalisa pada bagian tertentu dan pada obyek khusus saja. Tentu kelemahan cara tersebut adalah generalisasi atas obyek-obyek lain, dengan kata lain keuniversalan hasil analisanya tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga konklusi penelitiannya masih bersifat ambigu dan tidak lebih hanya sekedar praduga saja. Hal itu meniscayakan bahwa apa yang dihasilkan merupakan kontek doktrinal yang tidak memiliki muatan ilmiah sama sekali.

Kedua, penyamarataan dalam pensifatan. Meskipun tindak kekerasan merupakan fenomena riil yang bersifat obyektif dalam kehidupan manusia, namun tanpa adanya analisa yang jelas tentang hal tersebut maka penerapan dan pensifatan secara obyektif mustahil akan dapat diberikan. Hal tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan dan disimpangkan, terlebih oleh kelompok yang dianggap kuat atas kelompok yang lemah, mayoritas atas minoritas, senior atas yunior dan seterusnya.

Ketiga, penyamarataan dalam penganalisaan. Dalam kasus ini sering terjadi vonis hitam-putih dalam menghukumi sebuah fenomena, tanpa ada alternatif ketiga. Ungkapan terkenal presiden Amerika Serikat G.W Bush yang mengatakan: “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka ia bersama teroris”, adalah contoh konkrit dari tesis ini. Penyebab dari hal tersebut dikarenakan tidak adanya hubungan yang logis antara konsep dan analisa tentang praktik teror (baca: kekerasan). Penyamarataan semacam inilah yang akhirnya menyeret G.W Bush ke dalam jurang radikalisme, yang konon akan diperanginya.

Pada kasus ketiga -penyamarataan dalam menganalisa-, untuk menanggulangi tindakan radikal dalam menilai fenomena semacam tindakan teror (kekerasan) maka menempuh jalan tengah yang lebih hati-hati akan lebih menjanjikan keselamatan dalam berpikir dan bertindak. Apa yang dilakukan oleh Donald J Hanel dan Richard Clutterbuck dalam menganalisa fenomena peperangan dan tindakan teror merupakan tindakan yang tepat. Ada beberapa poin dan tahapan yang mereka berikan sebagai solusi; harus diadakan pembahasan tentang konsep dasarnya terlebih dahulu, lantas selanjutnya dilakukan proses pemilahan berbagai penyebab dan bentuk tindakan kekerasan tersebut. Dari situ akan muncul solusi berupa ditemukan hukum yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda-beda pula.

Cara di atas juga diamini oleh Sudhir Kakar, seorang peneliti dan penulis asal India. Ia menambahkan bahwa cara itupun dapat dijadikan pedoman dan diterapkan oleh setiap negara-negara di dunia. Dengan cara ini maka doktrin hitam-putih yang radikal dengan sendirinya akan musnah. Doktrin hitam-putih semacam itu tidak akan pernah bertahan lama, karena ia bertentang dengan rasio sehat manusia dan kejelasan argumen rasional. Cara yang dilakukan oleh Kakar tadi akan dapat mengharuskan akal manusia untuk membedakan antara kekerasan yang bersifat legal, kekerasan sakral, kekerasan karena dukungan eksternal ataupun inernal negara yang bersangkutan. Dimana semua itu memiliki konsekuensi dan vonis penghukuman yang berbeda-beda. Sebagai contoh apa yang pernah disampaikan oleh Paul Wilkonson berkaitan dengan tindak teror yang mendapat dukungan dari luar negeri. Ia mengatakan: “Teror yang mendapat dukungan luar negeri selama tidak menganggu ketentraman umum dan keamanan sumber kekayaan alam negara yang bersangkutan, hal itu tidak menjadi masalah”. Yonah Alexander menyatakan: “Tindak intimidasi asing di Timur Tengah akan dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum normatif dan dasar-dasar demokratis negara yang bersangkutan”. Ini semua hanya sebagai bukti bahwa, tidak semua tindak kekerasan bersifat illegal.

Atas dasar ini pula dapat dijelaskan bahwa Islam sebagai agama yang ajarannya didasari oleh ideologi dan pandangan dunia ketuhanan terhadap Sang Pencipta alam semesta Yang Maha Esa pun tidak terlepas dari beberapa konsep tindak kekerasan, jihad sebagai contoh konkritnya. Atas dasar itu pula maka tolok ukur legalitas kekerasan dalam kaca mata Islam hanya bertumpu kepada konsep ke-Esa-an Tuhan (tauhid) dengan berbagai konsekuensinya termasuk Tuhan sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum, termasuk menentukan hukum jihad. Konsep tauhid inilah yang didukung oleh argumen sejarah, teks, fitrah dan akal sehat manusia, bukan konsep monoteis yang telah terpolusi dengan polyteis seperti pada doktrin Trinitas yang tidak memiliki dasar sejarah, teks ataupun rasio sehat manusia. Dari pembahasan ini akan menghantarkan kita pada pembahasan selanjutnya, apakah setiap tindak kekerasan dilarang?

Kekerasan Legal dan Illegal


Manusia diciptakan memiliki perasaan emosional, baik emosional yang berkaitan dengan mencintai dan membenci. Dikarenakan emosional dimiliki oleh setiap manusia, maka emosional ini merupakan bagian dasar manusia. Segala macam usaha untuk menghilangkan dan menghapus bagian dasar manusia tadi, sama halnya dengan menghilangkan esensi kemanusiaaan manusia tersebut. Usaha semacam ini mustahil akan terwujud. Atas dasar itulah cinta dan benci yang terdapat dalam diri manusia adalah potensi untuk menjadikan manusia menjadi makhluk yang sempurna. Perlu ada pengarahan yang baik dan benar terhadap potensi rasa benci dan cinta yang dimiliki oleh setiap manusia agar potensi tersebut terealisasi dengan baik. Pengarahan segenap potensi itu akan dapat diwakili oleh akal dan wahyu. Penggabungan arahan akal dan wahyu dalam menuntun daya emosi manusia akan menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna. Jadi dengan terealisasinya semua potensi itu, niscaya manusia akan menjadi manusia yang sempurna, ‘manusia tuhan’.

Banyak cara orang melampiaskan perasaan benci dan cinta, baik berkaitan dengan dirinya sendiri, maupun pada pihak lain. Tentu, akal menghukumi bahwa segala macam bentuk tindakan ekstrim dalam melampiaskan sesuatu –baik benci maupun cinta- masuk kategori hal buruk. Segala sesuatu harus disesuaikan dengan proporsinya. Hal itu pula yang dihukumi oleh Allah swt dalam ajaran agama-Nya yang diturunkan kepada manusia agung, Muhammad saww dan tongkat estafet kepemimpinan agamanya dilanjutkan oleh para manusia suci dari ahlul bayt-nya. Ajaran akal yang selalu sesuai dengan ajaran Allah swt yang terangkum dalam agama Islam Muhammadi menyatakan; “Seseorang boleh mencintai pihak lain namun dengan batas-batas yang jelas”. Akal manusia sehat akan menyatakan bahwa seseorang mustahil akan mencintai musuhnya yang telah berusaha untuk menghancurkan dirinya. Sebagaimana akal telah memberikan hukum bahwa manusia pasti akan mencintai kekasih sejatinya. Sebaliknya, akal manusia juga akan menghukumi bahwa mustahil seseorang akan membenci kekasih sejatinya. Sebagaimana akal juga menghukumi bahwa manusia pasti akan membenci dan memusuhi musuh sejatinya. Benci dan cinta tidak akan pernah bertemu dalam satu wajah dan pada satu obyek. Ini sebagai bukti, bahwa akal menyatakan bahwa ada sesuatu yang bernama cinta dan ada pula yang bernama benci. Setiap manusia merasakan hal itu dengan jelas. Akal pun menyatakan bahwa kebencian dan kecintaan harus sesuai dengan proporsinya. Jika tidak, maka manusia akan terjerumus kedalam kesesatan dan kebinasaan. Mencampuradukkan obyek cinta dan benci merupakan hal yang divonis salah oleh akal dan agama Islam sebagai agama rasional. Oleh karenanya agama Islam tidak melarang orang untuk membenci dan mencintai pihak lain. Namun agama Islam ingin mengarahkan obyek cinta dan benci sesuai dengan realita dan bertindak sesuai dengan proporsinya.

Dengan sangat jelas dan dapat dirasakan secara langsung bahwa terdapat gradasi dalam kualitas cinta yang disesuaikan dengan obyeknya, begitu juga dengan benci. Kecintaan seorang ibu terhadap anaknya, sangat berbeda dengan kecintaannya terhadap cincin pernikahan yang diberikan oleh suaminya. Kebencian seorang anak muda terhadap orang yang pernah menipunya, tentu berbeda dengan kebenciannya terhadap lelaki yang telah membunuh ibu kandungnya. Perbedaan kualitas benci dan cinta pada obyek-obyek yang ada tadi sangat memberikan dampak dan pengaruh terhadap reaksi yang berbeda pula. Reaksi beragam akibat dari kualitas cinta dan benci yang beragam pula merupakan hal alami yang telah dilegalisir oleh agama dan akal.

Atas dasar kualitas cinta dan benci tersebut, maka agama dan akal menyatakan bahwa terdapat kekerasan yang legal dan ada juga yang bersifat illegal. Kekerasan yang bersifat difensif (difa’i) merupakan contoh konkrit kekerasan yang legal. Fungsi agama adalah menjabarkan secara detail batasan-batasan hukum praktik tindak kekerasan. Tidak ada agama yang menjelaskan hal itu secara terperinci dan detail melainkan Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah saww yang tongkat estafet kepemimpinannya dilanjutkan oleh para manusia suci dari keluarga beliau. Jadi jelas sekali bahwa ada beberapa tindak kekerasan yang dilegalkan oleh akal dan agama. Sebagaimana ada pula yang tidak mendapat legalisir agama dan akal. Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Karl Poper dalam sebuah ungkapannya. Ia menegaskan: “Jangan biarkan ada pihak-pihak yang hendak menyamakan antara aksi penyerangan dengan melakukan pertahanan (reaktif), bahkan harus ditekankan untuk selalu membedakannya”.

Islam dan Kekerasan

Dalam pandangan agama Samawi, tujuan manusia hanyalah untuk menuju ridho Allah swt. Tidak semua ridho Allah harus melalui jalan lemah lebut, bahkan terkadang harus melalui jalan kekerasan seperti yang tercantum dalam aturan perintah Ilahi yang terangkum dalam konsep amar makruf nahi munkar.

Dalam psikologi Islam disebutkan bahwa esensi dasar manusia (fitrah) adalah suci yang selalu mengajak kepada kesucian dan kesempurnaan. Namun terkadang dikarenakan beberapa faktor eksternal (seperti; lingkungan) akhirnya bisa menjerumuskannya kepada penyimpangan.

Dengan sangat jelas sekali bahwa manusia dianugerahi oleh Allah swt berupa nafsu. Dan dengan nafsu tersebut manusia dapat merasa benci dan cinta. Dengannya pula manusia bisa melakukan persahabatan dan permusuhan. Dan dengannya pula manusia bisa mencapai kesempurnaan ataupun kesengsaraan. Hanya nafsu yang telah berhasil dijinakkan oleh akal saja yang akan mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan. Namun sebaliknya, jika nafsu diluar kendali akal niscaya akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesengsaraan dan kehinaan.

Permusuhan berasal dari rasa benci yang dimiliki oleh setiap manusia. Sebagaimana cinta, benci pun berasal dari nafsu yang harus bertumpu di atas pondasi akal. Permusuhan di antara manusia terkadang karena kedengkian pada hal-hal duniawi seperti pada kasus Qabil dan Habil ataupun pada kisah nabi Yusuf as dan saudara-saudaranya. Terkadang pula permusuhan dikarenakan dasar ideologi dan keyakinan.

Musuh yang dikarenakan kesadaran penuh membenci dan hendak berbuat makar terhadap Islam harus diperangi. Sedang pribadi-pribadi yang tidak memiliki kesadaran semacam itu maka harus ada cara yang lebih lunak dalam memberitahu letak kesalahannya. Semua itu telah disusun dalam konsep amar makruf nahi munkar dalam hukum dan perundang-undangan Islam. Tentu, Islam sebagai agama yang diturunkan melalui Muhammad bin Abdillah saww sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) lebih mengutamakan cara dialog ketimbang cara kekerasan. Hal itu sebagaimana yang telah disinyalir dalam ayat al-Quran yang berbunyi: “Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS at-Taubah: 6). Namun bagi pribadi-pribadi yang tidak lagi dapat menerima cara dialog maka tiada jalan lain melainkan dengan cara kekerasan yang tentunya cara inipun memiliki jenjang-jenjang yang harus dijaga dalam pelaksanaannya.

Sering dijumpai beberapa pihak yang ingin menghilangkan kesan negatif dari Islam dengan cara menghapus sama sekali legalitas beberapa tindakan kekerasan dalam Islam. Dengan dalih Islam sebagai agama rahmatan lil alamin maka segala bentuk kekerasan ingin mereka tutup-tutupi agar Islam yang dianutnya tidak dijadikan bahan ejekan musuh-musuh Islam, terkhusus dari pihak Barat. Padahal konsep rahmatan lil alamin agama Islam sama sekali tidak bertentangan dengan legalitas beberapa tindak kekerasan dalam pandangan Islam. Hal itu dikarenakan secara esensial kekerasan tidak dapat divonis sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk. Jadi tindak kekerasan tidak dapat digeneralisasikan dalam pem-vonis-annya. Semua tergantung pada hal-hal seperti, kekerasan dengan arti yang bagaimana, dari pihak mana, untuk siapa, dengan tujuan apa, dengan kapasitas berapa, dengan cara apa, cakupan radius waktu dan tempatnya seberapa? Jawaban beragam yang dihasilkan dari semua pertanyaan-pertanyaan itu akan mempunyai hukum dan konsekuensi yang berbeda-beda. Semua itu akan menjadi faktor dan tolok ukur penilaian baik-buruk suatu tindak kekerasan. Tanpa melihat delapan tolok ukur penilaian tadi niscaya tindak kekerasan tidak akan pernah dapat teranalisa dengan baik dan benar, bahkan tidak akan pernah terealisasi. Tentu akal dan ilmu pengetahuan moderen pun dapat menghukumi bahwa kekerasan seorang ibu terhadap anaknya (mencubit, misalnya) dengan tetap memperhatikan batas-batas yang wajar guna mendidik anaknya tersebut akan dapat dihukumi baik. Dari sini jelas sekali bahwa tidak semua tindak kekerasan bersifat negatif dan bertentangan dengan konsep ke-rahmatan lil alamin-an Islam.

Banyak individu yang ingin merongrong Islam dengan dilegalisirnya konsep kekerasan di dalam agama tersebut. Konsep jihad dalam Islam adalah sasaran empuk sebagai obyek tujuan tersebut. Walaupun secara ’urf (pandangan zahir masyarakat .red) jihad terbagi jihad difensif (difa’i) dan ofensif (ibtida’i), namun pada kenyataannya setelah diteliti secara detail maka pada realitanya hanya ada satu jihad dalam Islam, jihad difensif. Dalam realita dapat ditemui bahwa terkadang musuh menyerang secara fisik, namun terkadang pula secara abstrak. Kedua-keduanya adalah jenis manuver serangan. Akal menyatakan bahwa sewaktu diserang maka seoptimal mungkin harus ada usaha untuk membela diri, baik dengan membalas serangan musuh atau mundur sementara untuk menggalang kekuatan sehingga bisa melakukan kembali penyerangan. Akal dan agama Islam menyatakan bahwa “tunduk mutlak” di hadapan musuh merupakan sesuatu hal yang tercela karena meniscayakan kehinaan. Dikarenakan Islam melarang melakukan perbuatan hina maka tunduk di hadapan musuh pun secara tegas dilarang pula oleh Islam.

Musuh yang secara fisik menyerang terlebih dahulu sedang posisi kaum muslimin diharuskan melawan serangan fisik tersebut sering diistilahkan dengan jihad difensif (jihad difa’i). Sedang musuh yang melakukan penyerangan dengan cara abstrak, jika kaum muslimin membalas dengan cara fisik maka hal ini yang sering diistilahkan dengan jihad ofensif (jihad ibtida’i). Serangan musuh secara abstrak tersebut dapat terjelma dalam berbagai cara semisal; penyebaran budaya fasad yang menyebabkan dekadensi moral, perlakuan tidak adil ataupun menghalang-halangi penyebaran agama Islam sebagai agama Ilahi yang fitri. Jadi jelas bahwa Islam melarang pengikutnya untuk berpangkutangan disaat terdapat penyerangan dari pihak luar, baik serangan secara fisik maupun abstrak. Sebagaimana Islam juga melarang pengikutnya untuk mencari gara-gara dengan tanpa ada sebab apapun melakukan manuver serangan ke pihak lain, baik dengan cara fisik maupun abstrak. Atas dasar itulah jika kita perhatikan ayat-ayat berkaitan dengan konsep jihad maka akan didapati bahwa kita diperintahkan oleh Allah swt untuk melakukan pembelaan terhadap diri, keluarga, komunitas, bangsa, negara, agama ataupun jiwa kemanusiaan.

Ayat-ayat al-Quran dapat kita lihat seperti dalam surat al-Haj: 31/39-40, at-Taubah: 36, al-Furqon: 52, al-Baqarah: 190/216, an-Nisa’: 75, al-Anfal: 60 dan al-Hujurat: 9 dimana semua ayat-ayat tadi dengan jelas menunjukkan akan perintah jihad difensif (jihad difa’i). Berbeda halnya dengan ayat-ayat seperti dalam surat at-Taubah: 5, al-baqarah: 191/193 dan at-Taubah: 29/123 yang menunjukkan arti jihad ofensif (jihad ibtida’i). Tentu jihad ofensif di sini dengan makna yang sudah disinggung di atas, membalas serangan musuh secara abstrak dengan cara fisik. Oleh karenanya, Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari dalam karyanya yang berjudul “Jihad” menyatakan: “Dapat dipastikan bahwa melakukan manuver penyerangan karena menuruti jiwa ekspansionis merupakan keburukan. Namun sebaliknya, dapat dipastikan pula bahwa peperangan yang disebabkan karena membela diri dari serangan musuh merupakan suatu hal yang baik dan merupakan sesuatu yang aksiomatis dalam kehidupan manusia”. Jadi kesimpulannya adalah, Islam hanya melegalkan peperangan yang dilakukan atas dasar adanya serangan musuh, baik serangan secara fisik maupun abstrak. Dan tentunya tidak semua serangan musuh secara abstrak harus dibalas dengan fisik (dalam istilah jihad ibtida’i), hal itu sangat bergantung kepada situasi dan kondisi yang ada. Sebagaimana dalam konsep Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Jakfary), jihad dalam bentuk ini (ibtida’i) harus sesuai dengan komando Imam tertinggi. Imam tersebutlah yang menentukan situasi dan kondisi untuk pelaksanaan jihad bentuk ini.

Agama terakhir harus sempurna dan holistik karena setelah itu tidak ada lagi agama lain yang akan turun. Dengan kata lain, agama terakhir dituntut untuk mampu mengatasi segala problem yang bakal dihadapi oleh manusia hingga akhir zaman kelak. Islam yang mengklaim diri sebagai agama terakhir harus mampu menjawab semua tuntutan hidup umat manusia hinga akhir zaman kelak. Jika tidak, niscaya titel agama terakhir bagi agama Islam harus dipertanyakan kembali. Salah satu tujuan pensyariatan jihad dalam Islam adalah berfungsi sebagai jawaban dari hal tersebut. Islam dituntut harus dapat menjawab tuntutan yang menyatakan; jika terjadi penekanan dan penyerangan pada suatu komunitas lantas apa yang harus dilakukan oleh komunitas tersebut? Tanpa ada konsep jihad maka hal itu tidak akan pernah terjawab. Oleh karenanya, usaha apapun untuk menghilangkan konsep jihad dalam Islam tidak akan pernah berhasil, karena ia merupakan penjelmaan dari keuniversalam Islam. Dan konsep jihad ini sama sekali tidak bertentangan dengan ke-ramatan lil alamin-an Islam. Sebab justru dengan konsep jihad yang telah diatur secara detail oleh hukum Islam inilah akhirnya manusia akan mendapat jiwa kemanusiaannya, bukan jiwa kehewanan. Gelar rahmatan lil alamin bagi Islam bukan berarti harus menghilangkan semua jenis kekerasan secara mutlak. Karena kekerasan terkadang harus dilakukan demi kemaslahatan yang lebih besar. Ibarat proses pemotongan anggota badan (amputasi) seorang pasien oleh seorang dokter yang nampak merupakan suatu kekejaman dan kekerasan, namun hal itu terkadang harus dilakukan demi kelanjutan hidupnya. Sebagaimana juga dapat dianalogikan dengan penciptaan berbagai macam siksa neraka yang teramat pedih namun semua itu sama sekali tidak bertentangan dengan keluasan sifat kasih dan sayang Tuhan terhadap hamba-hamba-Nya.

Jadi jelas sekali bahwa jihad sebagai contoh konkrit kekerasan legal harus ada pada agama terakhir, karena hal itu merupakan pengejewantahan keuniversalan agama tersebut. Atas dasar itulah Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari dalam karyanya yang membahas tentang jihad mengatakan: “Mereka mengatakan bahwa umat Masehi (Kristen) merasa bangga bahwa agamanya sama sekali tidak menyebut kata perang. Namun Kami mengatakan bahwa Kami bangga karena Islam telah mengatur hukum-hukum jihad. Agama Masehi tidak ada hukum jihad karena memang ia tidak memiliki apa-apa. Tidak ada kemasyarakatan, perundang-undangan dan bentukan-bentukan sosial yang dibahas berdasarkan agama Masehi. Dalam agama Masehi tidak ada apa-apa kecuali empat anjuran etika, hanya sebuah runtutan nasehat-nasehat. Islam datang untk membentuk masyarakat. Ia datang untuk membangun negara. Ia datang untuk membentuk pemerintahan. Misinya adalah untuk perbaikan dunia. Oleh karenanya, tidak mungkin ia tanpa undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan jihad”.

Dalam kitab yang sama, kembali Muthahhari menyingkap ungkapan beberapa orang tentang Islam dengan mengatakan: “Orang-orang yang tidak mengenal logika Islam atau tidak menguasainya niscaya mereka akan lalai bahwa Islam selalu menjaga logika cinta kasih dan menjunjungtinggi hal tersebut. Kaum Masehi selalu mempropagandakan bahwa Masehi adalah agama cinta kasih, namun Islam adalah agama kekerasan. Islam adalah agama kaku. Islam adalah agama pedang dan sebaginya. Atas dasar inilah kaum Masehi sangat mempropagandakannya. Namun ini adalah kesalahan yang teramat besar karena Islam adalah selain agama pedang iapun sebagai agama kasih-sayang”. Namun dalam menjawab sangkaan tersebut Muthahhari dalam kitab “Asyna’i ba Qur’an” (Mengenal al-Quran .red) edisi bahasa Pesia menyatakan: “Dalam Islam terdapat cinta dan benci, namun cinta dan benci yang bersifat rasional, bukan bersifat emosional, tanpa dasar dan tanpa tolok ukur”. Beliau menambahkan: “Islam adalah agama pedang dan cinta. Ia adalah agama kekerasan dan kelembutan. Hanya kekerasan yang pada tempatnya saja yang diperbolehkan oleh Islam. Sebagaimana kelembutan yang pada tempatnya yang diperbolehkan oleh Islam. Justru dari sinilah letak keagungan dan keutamaan Islam. Jika Islam tidak menyatakan hal ini dimana kekerasan tidak dijawab dengan kekerasan pula atau logika harus dijawab dengan logika, niscaya kita tiada akan menerimanya. Islam tidak pernah mengatakan bahwa; “Jika salah satu dari pipi anda ditempeleng maka berikanlah pipi anda yang lain”. Namun Islam mengatakan: “Barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kalian” (QS al-Baqarah: 194). Jika hal ini tidak dikatakan oleh Islam maka dari sinilah letak kelemahan dan kekurangan Islam. Islam sangat menjunjung tinggi cinta kasih. Namun jika cara penggunaan cinta kasih tidak lagi bermanfaat maka Islam melarang (pengikutnya) untuk berdiam diri”.

Dalam kitab ‘jihad’, Muthahari menjawabnya lebih detail dengan mengatakan: “Kita akan jawab dengan merujuk kepada al-Quran. Dalam al-Quran selain terdapat perintah perang, juga terdapat perintah untuk berdamai, namun Islam bukan lantas menjadikan perdamaian sebagai suatu asas tunggal yang bersifat paten sehingga pada situasi dan kondisi apapun perdamaian harus dilaksanakan dan pertikaian harus dijauhi. Sebagaimana tidak dalam berbagai situasi dan kondisi (Islam) menerima peperangan. Dimanapun perdamaian dan peperangan selalu bergantung pada situasi dan kondisi. Kaum muslimin baik pada zaman Rasulullah, Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein dan imam-imam lainnya serta zaman kita sekalipun semuanya selalu menyesuaikan tuntutan situasi dan kondisi yang ada pada mereka. Tujuan mereka semua adalah demi menjaga Islam dan pembelaan terhadap hak-hak kaum muslimin. Harus mereka lihat secara keseluruhan dari situasi dan kondisi yang ada. Jika kondisi menuntut untuk dilaksanakannya sebuah peperangan sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan yang ada maka hal itu harus dilaksanakan. Namun jika menghindari pertikaian adalah jalan terbaik untuk mencapai tujuan maka jalan tersebut harus dilalui”.

Sekarang pertanyaan yang kembali dapat ditanyakan kepada Pope Benedict berkenaan dengan relasi akal dan agama adalah; apakah agama yang mengajarkan Trinitas sesuai dengan ajaran akal? Adakah agama yang mengajarkan pengikutnya; jika ditempeleng pipi kiri maka dilarang untuk membalas bahkan memberikan pipi kanannya dengan dalih agama cinta-kasih adalah agama yang rasional? Biarlah realita sejarah dan fenomena yang terjadi setiap saat yang menjawabnya. Sebagaimana biarkanlah peristiwa perang Salib, pembakaran hidup-hidup ratusan uskup dan pastur yang menolak doktrin Trinitas pada paruh pertama abad kedua Masehi, peristiwa yang menimpa Galeleo dan berbagai peristiwa yang bertentangan dengan ‘Hak Asasi Manusia’ akan menjawab rasionalitas ajaran Kristiani. Semua itu dengan sendirinya menjadi kritik atas ceramah Paus (Pope).

Penutup


Islam yang bertumpu pada ajaran tauhid yang didukung berbagai argumentasi –histories, teks, akal sehat dan fitrah sebagai esensi dasar manusia- telah mengizinkan beberapa bentuk tindak kekerasan. Dengan sangat jelas batasan-batasan itu diperinci oleh Islam dalam ajarannya. Dengan tidak lagi mengindahkan batasan-batasan tersebut meniscayakan seseorang telah keluar dari hukum-hukum Islam, sehingga tidak dapat mengatasnamakan tindaannya tersebut sebagai gerakan Islam yang sakral, jihad.

Tulisan ringkas tadi dalam rangka menjelaskan adanya beberapa tindak kekerasan yang dilegalisir oleh ajaran Islam. Dikarenakan semua jenis kekerasan tidak dapat secara mutlak divonis jelek. Sebagaimana tidak segala jenis kelembutan secara mutlak dapat dihukumi baik. Semua itu sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Namun tulisan ini tentu bukan dalam rangka membenarkan segala bentuk tindak kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Berbagai aksi teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrim yang mengatasnamakan Islam namun tidak lagi mengindahkan batasan-batasan yang telah ditentukan oleh ajaran Islam. Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh al-Qaedah –kelompok berbasis salafi (Wahaby) yang cenderung memahami Islam secara tekstual dan secara ekstrim menolak peran akal dalam memahami ajaran Islam sehingga menyebabkan mereka terjerumus ke dalam jurang takfiri (pengkafiran kelompok yang tidak sepaham .red)- di beberapa negara di dunia yang tentunya tidak dapat dibenarkan.

Hal itu dikarenakan dalam banyak kasus mereka tidak lagi mengindahkan batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Islam. Islam tidak mengizinkan untuk membunuh manusia-manusia yang tak berdosa –dari para manula, kanak-kanak dan wanita-wanita- dalam melakukan tindak kekerasan dan teror. Tulisan ini hanya bertujuan menjelaskan secara global dasar-dasar legalitas tindak kekerasan dalam Islam agar tidak terseret dalam dua jalur ekstrim (ifrath-tafrith) yang telah terkeluar dari garis netral yang bersifat natural dalam menghukumi tindak kekerasan versi ajaran Islam.

[islamalternatif]

Oleh: Muchtar Luthfi

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.