Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Pilkada Di Indonesia

Pilkada Di Indonesia

Oleh Agil Shafi Mahasiswa Ilmu politik UIN Jakarta semester IV

A.Pendahuluan

     Pemilihan kepala daerah merupkan bukan hal yang baru dan asing, karena sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang kita telah mengenal pemilihan kepala daerah secara langsung di daerahnya, yang berlaku untuk hampir semua desa diseluruh Indonesia. Memang diakui pemilihan kepala desa masih dalam "pesta kecil" dan melibatkan skala pemilih yang hanya ribuan orang, tetapi perinsip dasarnya adalah sama dengan "Pemilukada" yang cukup popular pada pertengahan tahun 2005. Mungkin proses "Pemilhan Kepala Daerah" mempercepat pendewasaan demokrasi di Indonesia, dan sekaligus proses pendidikan politik  yang tepat dan langsung dirasakan oleh rakyat yang mempunyai hak pilih dan juga bagi kaum (generasi) muda yang melihat langsung bagaimana proses demokrasi itu berlangsung. Harus siap untuk menang dan untuk kalah.[1]

     Dengan pemilihan kepala daerah ini, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom, sebagaimana rakyat memilih Presiden dan wakil Presiden (eksekutif), dan anggota DPD, DPR, dan DPRD (legislatif). Pemilihan Kepalala Daerah didasarkan pada ketentuan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang tentang pemerintah daerah yang merupakan hasil revisi  dari UU Nomor 22 tahun 1999. Secara teknis petunjuk pelaksanaan pemilukada tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 tentang cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah.[2]

B.Latar Belakang Lahirnya Pemilukada Langsung

     Selama proses pemilihan kepala daerah yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Kewenangan masih berada ditangan anggota DPRD. Kewenangan yang begitu luas ini tidak diimbangi  oleh keterampilan untuk mengartikulasi dan mengagresikan aspirasi masyarakat daerah secara optimal. Banyak kasus praktik politik uang, dukungan irasional partai politik dan campurtangan elit pejabat dalam pelaksanaan pemilihan  kepala daerah semakin memperkokoh pendapat bahwa perlu ada revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan kepala daerah.

     Adapun semangat yang mendasari perlunya pemilukada secara langsung oleh rakyat daerah tidak terlepas dari latar belakang sebagai berikut[3] :

1.       Undang-Undang Nomor 22 Tahaun 1999 dan aturan pendukung lain di bawahnya sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem ketatanegaraan karena adanya amandemen UUD 1945, terutama pada pasal 18 ayat 4 yang menyatakan bahwa, gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis.

2.       Adanya tuntutan dari masyarakat, yang menghendaki kepala daerah dipilih secra langsung dengan keyakinan bahwa pemimpin yang terpilih nanti akan mampu membawa masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran. Selama perlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 aspirasi rakyat daerah terabaikan khususnya keinginan terhadap pemerintahan daerah yang bersih dan bertanggungjawab, tidak KKN, dan keseimbangan dalam keadilan.

3.       Adanya politik kepentingan yang dilakukan oleh anggota DPRD terutama pada pemilihan kepala daerah.

     Dari ketiga latar belakang tersebut diatas, yang paling dominan dan yang merupakan keinginan mendasar dari masyarakat adalah munculnya pemimpin yang betul-betul mampu membawa masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran, pemimpin yang arif dan bijak.   

C.Dasar-Dasar Hukum Pemilukada

     Adanya kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah disadari oleh para wakil rakyat yang duduk di MPR RI dengan melahirkan ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dan penyelenggaraan otonomi daerah. Disamping itu, adanya amandemen UUD 1945 yang telah mengubah Bab IV  tentang pemerintahan Daerah dengan pasal 18, pasal 18 A, pasal 18 B. Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR, Dan DPRD menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 yang di dalamnya tidak lagi tercantum kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah.

     Pemilihan kepala daerah dijiwai oleh pasal  1 ayat 2 UUD 1945 "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD" dan pasal 18 ayat 4 UUD 1945 "Gubernur dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan kota dipilih secara demokratis". Ketentuan-ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum secara umum bagi pelaksanaan pemilukada secara langsung.[4] Secara operasional pelaksanaan pemilukada telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada bab IV bagian kedelapan pasal 56 sampai dengan pasal 119 dimulai dari paragraf kesatu tentang pemilihan sampai paragraf ketujuh tentang ketentuan pidana. Kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan KPUD sebagai penyelenggara pemilukada dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 yang menyatakan DPRD sebagai pengawas dengan membentuk penitia pengawas.[5]

     Pemilukada dapat disebut sebagai praktik politik demokratis apabila memenuhi beberapa azaz yang berlaku dalam pemilu legislatif dan pemilu eksekutif yakni azaz langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

     Pertama, Langsung : rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani, tanpa perantara. Kedua, Umum : pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi. Ketiga, Bebas, setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dan Setiap warga negara dijamin keamanannya. Keempat, Rahasia : pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dengan jalan apaun. Kelima, Jujur : Dalam penyelenggaraan pemilukada, setiap aparat pemerintah, calon peserta, pengawas, pemantau, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keenam, Dalam penyelenggaraan pemilukada, setiap pemilih dan calon/peserta mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun

D.Undang-Undang Pemilukada Tahun 1974, 1999, Dan 2004.

     Disini Kelompok kami sedikit membandingkan pemilukada Tahun 1974 – 2004. Pada rumusan pasal 13 UU Nomor 5 Tahun 1974 yang berbunyi :

1.       Pemerintah Daerah adalah kepala daerah dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.

     Dalam rumusan UU Nomor 5 tahun 1974, DPRD peraktis berada dibawah kepala daerah. Hal ini merupakan penyimpangan yang sangat mendasar dari praktek demokrasi yang berasaskan "trias politica" yang memisahkan kekuasaan secara tegas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini bertentangan dengan praktek UUD 1945 yang mengatur tentang kedudukan pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung (Badan Yudikatif). Setelah itu Diadakanlah Koreksi terhadap UU Nomor 5 tahun 1974 dengan melahirkan UU Nomor 22 tahun 1999 yang berbunyi:

1.       Di Daerah dibentuk DPRD sebgai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.

2.       Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Lainnya.

     Koreksi yang sangat fundamental ini telah mendudukkan kembali posisi DPRD terpisah dari Badan Eksekutif Daerah dan DPRD dengan hak dan kewajibannya praktis mempunyai kedudukan minimal sejajar dengan Kepala Daerah. Hal itu terlihat dari peran DPRD yang memilih dan menetapkan Kepala Daerah atau Wakil Kepala daerah; bahkan DPRD dapat memberhentikan kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah sesuai ketentuan perundang-undangan. Tetapi dengan Kewenanngan DPRD yang begitu leluasa sehingga pemilhan kepala daerah dilakukan oleh DPRD yang bersangkutan serta disahkan oleh presiden atau Menteri Dalam negeri. Pemilihan semacam ini dianggap kurang demokratis atau kurang berfihak kepada rakyat karena pemilihan kepala daerahnya dipilih oleh DPRD bukan oleh rakyat, Yang pada Akhirnya dilakukan Revisi terhadap UU nomor 32 tahun 2004 yang memperkenalkan pemilihan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui partai politik di daerah masing-masing, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

     Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004, dalam pasal 56 disebut:

1.       Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan  asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

     Calon Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi salah satu syarat yaitu, calon "mengenal" daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya. Mengenai pengesahan pengangkatan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari (Rincian lebih lanjut lihat : pasal 109 UU Nomor 32 Tahun 2004).[6]

E.Peran Partai politik

     Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Sudah tentu tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan (dengan cara konstitusional) untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.[7]

     Di Indonesia pada saat ini peran partai pilitik sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara yang tertuang pada ungdang-undang. Salah satunya adalah dengan disahkannya revisi terhadap Undang-Undang pemerintahan daerah nomor 22 tahun 1999 menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah oleh DPR-RI dan sekaligus merekomendasikan bahwa pemilihan kepala daerah dimulai Juni 2005. Didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan khususnya pada pasal-pasal tentang pemilukada, terlihat jelas peran partai politik masih cukup dominan, sebgaimana dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut[8] :

1.       Pasal 56 ayat 2: pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

2.       Pasal 59 ayat 2: parpol atau gabungan parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

3.       Pasal 59 ayat 3: parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan dan selanjutnya memproses bakal calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

4.       Pasal 59 ayat 4: dalam proses penetapan pasangan calon parpol atau gabungan parpor memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

5.       Pasal 59 ayat 6: parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh parpol atau gabungan parpor lainnya.

     Dari pasal yang disebutkan diatas, dapat diartikan bahwa pengusulan calon kepala daerah dilakukan hanya dengan satu cara, yaitu oleh partai politik. Namun muncul kekhawatiran mengenai perekrutan "calon independen" yang hanya boleh masuk pencalonan melalui partai politik karena pengaturan tentang penjaringan calon independen mekanismenya diatur oleh partai politik atau gabungan partai politik. Mekanisme pilkada yang menempatkan calon melalui dukungan parpol bagaimanapun belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Karena kedaulatan rakyat merupakan esensi demokrasi menjadi tereduksi oleh parpol yang yang berperan sebagai mediator dalam pemilukada. Dengan masih dominannya peran partai politik dalam pilkada, tidak menutup kemungkinan perilaku politik gelap, seperti politik kepentingan, politik dagang sapi, ataupun disebut politik uang akan kembali terjadi.

F.Kekurangan dan Kelebihan Pemilukada

     Berbicara tentang pemilukada tentu terdapat kekurangan dan kelebihannya yang penting untuk kita ketahui, diantaranya adalah :

     Kelemahan pemilukada yaitu: 1. Dana yang dibutuhkan besar. 2. Membuka kemungkinan konflik elite dan massa. 3. Aktifitas rakyat terganggu. Sedangkan kelebihannya adalah : 1. Kepala daerah yang terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat. 2. Kepala darah tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau fraksi-fraksi politik yang telah mencalonkannya. 3. Sistem pemilukada lebih lebih akuntabel dan adanya akuntabilitas publik. 4. Chacks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang. 5. Kriteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya. 6. Pemilukada sebagai wadah pendidikan politik rakyat. 7. Kancah pelatihan ( training ground) dan pengembangan demokrasi. 8. Pemilukada sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan. 9. Membangun stabilitas politik dan mencegah sparatisme. 10. Kesetaraan politik (political equality). 11. Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat.[9]

G.Tingkat Partisipasi Dalam Pemilukada

     Pelaksanaan Pemilukada langsung dimulai Juni 2005. Sejak Juni 2005 hingga Juni 2006. Pemilukada telah berlangsung di 250 daerah di Indonesia, yakni di 10 propinsi, 202 kabupaten, dan 38 kota. Pada periode Juni—Desember 2005 berlangsung 210 Pemilukada, dengan rincian pemilihan gubernur sebanyak 7 daerah, pemilihan bupati 170, dan pemilihan walikota 33 daerah. Pada umumnya Pemilukada berlangsung secara demokratis, tertib, aman, dan lancar, walaupun di sana-sini masih terdapat ketidakpuasan berbagai pihak. Meski juga harus diakui terdapat juga beberapa kasus fenomenal yang diwarnai berbagai protes, unjuk rasa, bahkan kerusuhan seperti terjadi di Kaur, Bengkulu dan Tuban, Jawa Timur. kecenderungan-kecenderungan pilihan masyarakat dalam pemilukada selama bulan Juni hingga Desember 2005. Paparan yang dibahas meliputi partisipasi pemilih.

     Fenomena yang muncul dalam pelaksanaan pemilukada langsung di antaranya adalah rendahnya angka pemilih yang menggunakan hak pilih (voters turnout). Menurut data Departemen Dalam Negeri (Depdagri), pemilih yang menggunakan hak pilih dalam Pemilukada berkisar 65-75 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan Pemilu 2004, di mana mereka yang tidak menggunakan hak pilih atau golput sebanyak 23,34 persen. Sedangkan pada Pemilu presiden 2004, dari sekitar 155 juta orang jumlah pemilih terdaftar, jumlah pemilih golput 21,77 persen pada putaran pertama dan 26,27 persen pada putaran kedua

     Di sejumlah daerah, pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilukada mencapai angka 30 persen. Sebagai contoh, pada pemilukada di Kabupaten Serang jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya mencapai 362.325 suara atau 32 persen dari jumlah pemilih yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 1.129.582 suara. Daerah-daerah lain juga menunjukkan kecenderungan yang sama, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput relatif tinggi. Di Kota Cilegon jumlah golput mencapai 23,7 %, Kabupaten Pekalongan 32%, Kabupaten Kebumen 28,2%, Kabupaten Bangka Tengah 41%, Kabupaten Bangka Selatan 30%, Kabupaten Bangka Barat 32%, dan Kota Surabaya 48,32 persen.[10]

     Hasil analisis Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada 2005 cenderung rendah. Kisaran tertinggi tingkat partisipasi masyarakat hanya di bawah 80 persen saja. Dari 172 wilayah provinsi, kabupaten dan kota, terdapat sekitar 37,8 persen wilayah yang tingkat partisipasi masyarakatnya dibawah 70 persen. Tingkat partisipasi sekitar 70-79,9 persen terjadi di 58 wilayah (33,72 persen).[11]

     Permasalahan lainnya yang begitu menarik perhatian adalah pemilukada Kalimantan Selatan tanggal 2 Juni 2010 yang jumlah golputnya justru jadi pemenang pemilukada yakni sekitar 873.224 suara mengungguli pasangan peraih suara terbanyak Rudi Arifin dan Rudy Resnawan dengan jumlah suara 777.554 (46,18%). Padahal melalui pemilukada ingin mendapatkan kepala daerah yang benar-benar legitimate yang mendapatkan dukungan langsung dari rakyat namun ketika jumlah golput justru lebih banyak daripada calon yang menang dalam pemilukada maka harapan yang ingin dicapai melalui pemilukada menjadi tidak sepenuhnya tercapai.

     Masalah lain yang muncul terkait dengan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan penyelenggaraan pemilukada adalah masih terdapat warga masyarakat yang sebenarnya telah mempunyai hak pilih namun tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Hal ini sebagai imbas dari pengelolaan administrasi kependudukan yang tidak tersusun secara rapi dan baik sehingga merugikan pemilih yang harus kehilangan suaranya karena tidak terdaftar dalam DPT sedangkan dalam pemilukada tidak ada aturan yang secara tegas mengatur penggunaan KTP bagi pemilih yang tidak terdaftar pada DPT karena putusan MK No 102/PUU-VII/2009 hanya mengatur mengenai penggunaan KTP pada Pemilihan Presiden dan Wapres.

     Kualitas, hasil dan proses pemilukada amat ditentukan oleh kuatnya masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan pelaku politik di tingkat lokal. Untuk itu perlu diupayakan tersedianya ruang publik yang memungkinkan untuk melibatkan potensi-potensi masyarakat sipil, baik dalam rangka mendorong gagasan-gagasan kreatif maupun melakukan refleksi atas kinerja pemerintah daerah rakyat di daerah dapat turut berperan dalam menentukan pimpinan di daerahnya sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.

     Dengan pemilihan umum kepala daerah maka warga masyarakat di daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara Republik Indonesia keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka , yang telah dijamin oleh konstitusi, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberi kesempatan ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing. Unsur keterlibatan atau partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan adalah sesuatu yang mutlak, terlepas apakah keterlibatan itu secara langsung maupun tidak langsung melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan.


[1]  BN, Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 2010 hlm. 141

[2] Tim Indonesian Center For Civic Education (ICCE), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manuia, Dan Masyarakt Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2007 hlm. 202-203

 

[3] Haw, Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005,  hlm. 120

[4]  Haw, Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005,  hlm. 121

[5]  Ibid. 122

[6] BN, Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 2010 hlm. 138- 142.

[7]  Mariam, Budarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia. 1989.

[8]  Haw, Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005,  hlm. 117- 120

[9] Tim Indonesian Center For Civic Education (ICCE), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manuia, Dan Masyarakt Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2007 hlm. 209

 

[10] Data dikutip dari makalah Lili Romli, yang berjudul (Kecenderungan Pilihan MasyarakatDalam Pilkada)

[11] Data dikutip dari Lingkaran Survey Indonesia, 2006.


DAFTAR PUSTAKA

1.       Tim Indonesian Center For Civic Education (ICCE), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manuia, Dan Masyarakt Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Press, Jakarta, 2007

2.       Marbun, BN. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.

3.       Widjaja, Haw. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

4.       Mariam, Budarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia. 1989.

5.       Lili Romli, yang berjudul (Kecenderungan Pilihan MasyarakatDalam Pilkada)

6.       Lingkaran Survey Indonesia, 2006.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.