Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Indonesia Di Masa Refomasi

Indonesia Di Masa Refomasi

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU 2004

 kadang-kadang beberapa orang membentuk suatu kelompok dan mengangkat seorang calon serta kemudian membantunya dalam kampanye. Beberapa keadaan tertentu juga ikut membantu terpilihnya seorang calon tersebut. Partai politik muncul sebagai kelompok yang ideology partai tersebut sering dikaitkan dengan nama partai tersebut

TAHAPAN PEMILU 2004

Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap): Tahap pertama atau pemilu legislatif adalah pemilu untuk memilih partai politik. untuk persyaratan pemilu presiden dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004. Tahap kedua atau pemilu presiden putaran pertama adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.

Tahap ketiga atau pemilu presiden putaran kedua adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden. Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.

Pemilu Legislatif 2004

Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU 2009

Setelah melihat berita banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam persiapan pra pemilu, apakah sebuah dosa jika kita menghimbau kepada orang lain untuk golput?
 Golput bisa dijadikan cara untuk membuktikan bahwa pemerintahan saat ini tidak/masih kurang serius dalam mempersiapkan pemilu. Bayangkan saja, masih banyak warga negara yg memiliki hak pilih namun belum didaftarkan sebagai pemilih tetap. Di lain pihak banyak sekali pemilih yg terdaftar padahal mereka belum memasuki usia sebagai pemilih. Belum lagi data pemilih fiktif seperti mereka yg sudah meninggal atau penggandaan ID pemilih (penggelembungan). Bahkan anggota TNI pun ada terdaftar sebagai pemilih. Apakah ini sebuah bukti bahwa masih banyak kecurangan dan manipulasi yg dilakukan oleh partai maupun perangkat KPU dan pemerintah? Menurut anda? Jadi bisakah golput kita jadikan sebagai sarana membuktikan kebobrokan pemilu dan pemerintah jika nanti ternyata jumlah suara berjumlah banyak, padahal jumlah mereka yg golput juga banyak?

Masa kampanye partai-partai di atas telah ditetapkan dan lebih panjang masanya dari pada Pemilu 2004 lalu, yaitu selama 9 bulan 7 hari. Tentunya yang paling hangat dan ditunggu-tunggu adalah kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden yang tentunya akan sangat ramai untuk dibicarakan bahkan beberapa calon sudah ada yang berkampanye.

Koalisi

Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.

Sekarang, idiom kata yang paling banyak dibicarakan adalah koalisi. Artinya, di dalam sistem politik parlementer, di mana pemerintahan merupakan gabungan partai-partai politik. Partai-partai bekerjsama membentuk pemerintahan, yang disertai dasar-dasar kerjasama yang jelas. Berdasarkan kaidah-kaidah politik. Biasanya, kaidah-kaidah yang menjadi landasan kerjasama adalah lebih banyak kepentingan. Bukan nilai-nilai yang sifatnya universal. Ideologi atau agama.

Maka, belakangan ini banyak yang berbicara tidak perlu lagi ideologi, apalagi agama, yang menjadi kaidah-kaidah dasar dalam membangun kerjasama. Koalisi, hanya semata-mata didasarkan atas kepentingan, yang dibungkus dengan platform atau program. Ideologi tidak lagi menjadi parameter, berkaitan dalam koalisi. Jika, pernah ada wacana 'The end of ideology', sekarang ini momentumnya, dan mendapatkan bentuk yang faktual. Partai-partai yang berlain-lainan ideologi, karakter, latarbelakang, kultur, dan sejarah, bisa melakukan koalisi. Karena, tujuannya hanya kepentingan kekuasaan. Tidak ada yang lain.

Banyak rakyat yang bingung. Melihat pola koalisi yang ada. Partai-partai yang satu sama lainnya berlain-lainan ideologi, karakter, latarbelakang, kultur, dan sejarah bisa berkoalisi, dan bekerjasama. Partai yang secara ideologi berbeda sangat diametral dengan partai lainnya bisa berkoalisi. Partai yang mengaku Islamis bisa berkoalisi dengan partai yang berideologi nasionalis. Partai yang sangat Islamis dapat berkoalisi dengan partai Kristen (Katolik). Partai yang berbasis pengikutnya Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Ini terbukti dengan berbagai pilkada yang berlangsung di seluruh wilayah republik Indonesia. Tidak ada lagi sekat ideologi yang ketat. Partai yang nasionalis, yang sekuler, yang Islam, yang Kristen (Katolik), di manapun dapat melakukan koalisi secara bebas. Tak perlu risih.

Fenomena ini hanya menggambarkan batas ideologi sudah berakhir. Faktanya betul apa yang disebut, 'The end of ideology', dalam kaitannya dengan pola koalisi yang ada di Indonesia. Ideologi tidak lagi menjadi dasar pertimbangan. Karena, masing-masing yang dituju adalah semata-mata kekuasaan. Maka, ideologi, tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Karena itu, pragamatisme politik, sebuah keniscayaan.

Benarkah, politik aliran hanya berlangsung di tahun '50 an, di mana partai dipilah menjadi tiga aliran ideologi, yaitu golongan partai yang mewakili Islam (Masyumi), golongan partai yang mewakili nasionalis (PNI), dan aliran golongan parti yang mewakili anti agama (athies) PKI. Polarisasi aliran ideologi itu, sangat nampak dalam pemilu 1955, di mana partai-partai yang muncul, dan mendapatkan dukungan rakyat, seperti Masyumi, PNI, dan PKI. Inilah arus utama (mainstreams) ideologi partai-partai, yang muncul di pemilu tahun 1955. Polarisasi ini lebih tergambar lagi, ketika menentukan pilihan ideologi, yang diperjuangkan di parlemen (konstituante) oleh partai-partai yang ada. Masyumi dengan partai-partai Islam lainnya, berusaha menjadi Islam sebagai dasar negara, sedangkan partai-partai nasionalis dan sekuler, seperti PNI, PKI, dan lainnya memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara.

Tokoh-tokoh Islam dan partai Islam, tak ada yang berani mengambil posisi sebagai alternative. Karena, rata-rata tokoh-tokoh Islam dan partai Islam masih mengidap penyakit 'masa lalu', yang tak dapat keluar dari bingkai pengaruh 'Orde Baru', yang notabene adalah bagian alat Barat, yang bertujuan menghancurkan Islam.Sepanjang era reformasi, tak ada tokoh-tokoh atau partai Islam, yang secara original (genuine) berani menampilkan gagasan politik, baik yang berkaitan dengan visi, misi, platform dan program, yang bersumber dari Islam. Mereka hanya merupakan 'copy paste' dari pengaruh ideologi dan politik Barat, yang ada di Indonesia. Maka, sekarang mereka semua menyanyikan lagu yang sama tentang 'koalisi', yang tak lain adalah refleksi dari kumpulan orang-orang yang sudah kalah sebelum mereka melakukan 'perang'. Mereka hanya ingin menjadi 'satelit' partai-partai besar (Golkar dan PDIP), yang mestinya sudah menjadi bagian masa lalu sejarah Indonesia, seperti halnya Soeharto.

Mengapa mereka tidak berani dari awal melakukan koalisi dengan jelas. Siapa yang diajak koalisi? Apa tujuan koalisi? Apa langkah-langkah strategis yang akan mereka lakukan bagi rakyat? Semua harus jelas. Kalau sekarang ini ibaratnya konstituen seperti membeli kucing dalam karung. Ibaratnya, umat Islam yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya membela partai Islam, ternyata usai pemilu, kenyataannya hanya digunakan mendukung partai lainnya, yang bisa saja secara ideologis, berbeda dengan kehendak mayoritas konstituens.

Jika sudah tidak ada lagi ideologi yang menjadi sandaran kerjasama, dan hanya program atau platform, yang menjadi alat pengikat bagi sebuah koalisi, lalu apa yang akan menjadi alat untuk mengukur sebuah koalisi, berhasil atau tidak berhasil? Apakah dengan visi, misi, platform, dan program, bisa menjadi alat ukur. Siapa dan apa yang menentukan baik atau buruk, boleh atau tidak, dilarang atau dibolehkan? Siapa dan apa yang menentukan visi itu salah atau benar? Siapa dan apa yang menentukan program dan platform, bermanfaat atau tidak bagi rakyat?

Pemikiran dan pandangan manusia tetap relative dan lemah, dan tidak memiliki otoritas menentukan segala sesuatunya, secara mutlak. Jika, masing-masing orang, tokoh, partai menentukan sendiri-sendiri, yang terjadi tak pernah bisa menciptakan perbaikan. Pimpinan PDIP bisa mengaku benar pandangannya tentang program pembangunan partainya, pimpinan Golkar bisa mengaku benar pandangannya tentang program pembangunan partainya, partai yang lain juga sama, termasuk partai-partai Islam.

Tentu, yang semakin menarik, peristiwa politik belakangan ini, golongan non Islam, mereka semakin berani menegaskan identitas ideologinya, sementara itu golongan Islam, mereka semakin takut menegaskan jati dirinya sebagai golongan Islam. Mereka kadang-kadang lebih sekuler dibanding dari golongan yang sekuler sekalipun. Di tengah-tengah krisis ekonomi global, yang menandakan berakhirnya sistem materialism global, mestinya para pemimpin Islam dan partai-partai Islam berani menyatakan ideologi, pemikiran, dan konsep-konsep Islam, yang dapat menjadi alternative bagi masa depan bangsa. 

OPOSISI

Tampaknya oposisi itu berbeda sekurang-kurangnya dalam enam hal yang terpenting :

·        Kepaduan atau konsentrasi orang-orang yang beroposisi dipandang dari segi organisasinya.

·        Daya saing oposisi

·        Ciri khas oposisi

·        Tujuan-tujuan oposisi

·        Strategi-strategi oposisi

Orang-orang yang beroposisi terhadap suatu organisasi mungkin memperlihatkan macam-macam tingkat kepaduan organisasinya. Tetapi, oposisi yang paling tinggi kadar konsentrasinya terdapat pada system dwipartai, dimana partai yang tidak berkuasa secara nyata memonopoli kalangan oposisi. Sejauh suatu oposisi memperhitungkan system partai di negaranya dalam memilih strategi yang akan dipergunakannya, maka system partai yang berbeda-beda haruslah dihubungkan dengan strategi yang berbeda-beda pula. Oposisi juga mencoba untuk mengadakan perubahan dalam tingkah laku pemerintah. Sehingga ia akan mempergunakan beberapa sumber daya politiknya untuk mengajak, mendorong atau memaksa pemerintah untuk mengubah tindakan atau keputusannya. Jadi, tujuan oposisi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh oposisi dengan jalan ingin mengubah tindakan pemerintah. Mulai dalam personalia pemerintah, kebijakan-kebijakan pemerintah, struktur system politik atau juga struktur sosial ekonomi.

 

DAFTAR PUSTAKA :

Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan partai politik. Jakarta : yayasan obor Indonesia, 1998.

 

 

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.