Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.

Indonesia Korban Terorisme Bejat Israel dan sekutu-sekutunya

Aksi mengecam serangan Israel terhadap kapal rombongan relawan kemanusiaan yang membawa berton-ton bantuan bagi warga Gaza, Palestina, digelar di sejumlah tempat di Jakarta, Selasa (1/6). Pada pagi ini, ratusan orang telah berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sejak sekitar pukul 07.00 WIB. Para peserta aksi damai itu membawa berbagai poster dan spanduk yang antara lain berisi tulisan "Jangan Cegah Bantuan Kemanusiaan Menuju Palestina". Mereka juga meminta agar dunia internasional segera bertindak secara nyata agar agresi pemerintahan Israel yang telah melampaui batas itu segera ditindak dengan tegas.

Terlihat pula berbagai bendera Merah Putih dan bendera Palestina yang berwarna hitam-putih-hijau-merah juga tampak dikibarkan oleh para peserta aksi. Aksi itu tidak mengakibatkan kemacetan lalu lintas karena para peserta aksi tidak menggunakan lajur jalan MH Thamrin dan hanya berada di dalam bundaran.

Informasi dari Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya menyebutkan, aksi damai di Bundaran HI pada Selasa (1/6) ini diagendakan berlangsung hingga pukul 12.00 WIB. Selain aksi di Bundaran HI, aksi yang terkait dengan kecaman terhadap serangan Israel juga rencananya dilakukan di depan Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Jalan Medan Merdeka Selatan, pada pukul 13.00 WIB.

TRAGEDI GAZA, KEBOHONGAN GLOBAL TERHADAP HAM

Konferensi Cendekiawan Muslim Internasional (International Conference of Islamic Scholars/ICIS) menyatakan Israel harus diajukan ke Mahkamah Internasional karena menyerang kapal bantuan kemanusiaan "Mavi Marmara".

"Ini merupakan pelanggaran berat HAM yang harus diseret ke Mahkamah Internasional," kata Sekretaris Jenderal ICIS K.H. Hasyim Muzadi di Jakarta, Senin (31/5).

Menurutnya, tindakan Israel yang menghadang bantuan kemanusiaan ke Gaza yang saat ini sangat menderita merupakan perilaku di luar sifat manusia yang wajar.

"Apalagi sampai melakukan penyerangan yang mengakibatkan korban dari para relawan," kata Presiden Konferensi Dunia Agama-Agama untuk Perdamaian (World Conference on Relegions for Peace/WCRP) itu.

Dia mengatakan, Indonesia yang termasuk korban "terorisme Israel" harus berjuang menegakkan harga diri bangsa dengan membawa kasus itu ke Mahkamah Internasional.

"Khusus untuk pemerintah Indonesia agar ada ketegasan dalam masalah ini sebagaimana ketegasannya menghadapi teroris dalam negeri yang notabene rakyatnya sendiri," kata Hasyim.

Seandainya Mahkamah Internasional tidak berbuat apa-apa dengan peristiwa "terorisme Israel" itu, lanjut Hasyim, maka menjadi bukti otentik bahwa ada kebohongan global terhadap masalah hak asasi manusia (HAM).

Hasyim mengharapkan bangsa Palestina menjadikan penyerangan Israel itu sebagai peringatan bagi mereka untuk memperkuat persatuan.

"Bangsa Palestina, untuk kesekian kalinya, diingatkan Allah Swt bahwa mereka harus bersatu. Tidak akan ada kemerdekaan tanpa persatuan karena yang ditakuti penjajah hanyalah persatuan," katanya.

Hasyim mengatakan bahwa ICIS telah dua kali mengingatkan hal ini, baik kepada Fatah maupun Hamas.

Sementara kepada negara-negara Islam di sekitar Palestina yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, ICIS mengingatkan perlunya kesadaran dan pemikiran ulang karena niat baik diplomatik selalu disalahgunakan Israel.

"Keputusan Mesir menutup terowongan Gaza ke Rafah merupakan bukti kehancuran rasa persatuan," kata Hasyim.

32 AKTIVIS ARMADA BANTUAN KEMANUSIAAN DITAHAN ISRAEL
Israel menahan sedikitnya 32 aktivis pada saat kedatangan armada yang telah selesai ditarik seluruhnya ke Pelabuhan Asdod Senin malam (31/5). Sebanyak 34 orang dilarikan ke rumah sakit akibat cidera serius.

Kapal berbendera Turki diserbu oleh Angkatan Laut Israel Senin pagi. Kapal tersebut membawa aktivis internasional yang mengangkut bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Kapal itu merapat di pelabuhan Asdod pada Senin malam, hampir 16 jam setelah diserbu oleh pasukan komando Angkatan Laut Israel dalam apa yang berubah menjadi serangan mematikan. Mavi Marmara adalah yang terakhir dari enam armada kapal akan ditarik ke pelabuhan, dan 600 penumpang tetap berada di atas kapal sementara Polisi Israel melakukan pemeriksaan menyeluruh ke dalam kapal.

Kapal-kapal lainnya ditarik ke pelabuhan sepanjang sore, dengan lusinan aktivis ditahan karena menolak untuk menandatangani perintah deportasi Israel. Hanya sekitar 25 dari para aktivis setuju.

Israel Prisons Services menyebut telah mendata 32 aktivis di atas kapal dan 16 lainnya menolak untuk diidentifikasi. Israel mengatakan akan mendeportasi kira-kira 700 aktivis dalam armada tersebut. Seorang sumber seperti diberitakan media Israel Haaretz menyatakan orang-orang yang menolak untuk bekerja sama akan dipenjara.

DK PBB GELAR SIDANG DARURAT BAHAS TRAGEDI GAZA

Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat, Senin waktu setempat, membahas kebrutalan Israel terhadap relawan bantauan kemanusiaan Gaza serta melakukan investigasi.

Menyusul pertemuan terbuka 90 menit, Dewan dengan anggota 25 negara itu juga melakukan konsultasi tertutup. Para diplomat mengatakan sejumlah utusan khusus mengajukan tawar menawar soal pernyataan yang disampaikan oleh Dewan.

Anggota Dewan mengritik aksi Israel serta meminta negeri Zionis itu mencabut blokade yang sudah berlangsung selama tiga tahun terhadap Gaza yang dikuasai Hamas.

"Ini sama saja dengan kelakuan bandit dan pembajak," kata Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu kepada Dewan. "Ini pembunuhan yang dilakukan oleh negara."

Para diplomat mengatakan, poin yang perlu disampaikan dalam proposal Dewan antara lain perlunya investigasi yang independen dan bagaimana menyalahkan insiden tersebut.

Pertemuan darurat Dewan berlangsung atas permintaan Lebanon dan Turki, kedua negara merupakan anggota tidak tetap Dewan.

Sementara itu, peninjau tetap Palestina di PBB Riyad Mansour mengatakan kepada para wartawan sebelum pertemuan bahwa dia ingin melihat "hasil yang menentukan, suatu reaksi yang akan membawa Israel ke pangadilan dan mengutuk tindakan itu."

Mansour hadir mewakili Otoritas Palestina yang tidak menguasai Jalur Gaza, secara de facto kawasan ini diperintah oleh kelompok Hamas. (Antara/Republika/Tempo Interaktif/Kompas/IRIB/RM).

SUMBER TULISAN DARI ALAMAT WEB; http://indonesian.irib.ir

Ali bin Abi Thalib dan keutamaannya

A. Kelahiran Imam Ali Bin Abi Thalib

Saudara Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya ini lahir di dalam rumah Allah yang paling suci. Dengan demikian khalifah Ali dapat menerangi jalan penduduk sekitarnya, menegakkan bendera tauhid, dan menyucikan Baitullah itu dari setiap berhala dan patung. Di sana ia menjadi pengayom orang-orang asing, saudara orang-orang fakir, dan tempat berlindung orang-orang yang ditimpa kesusahan ini lahir di dalam rumah yang agung dan suci. Dalam rangka inilah khalifah Ali dapat menebarkan keamanan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka, serta memus-nahkan kemiskinan dari dunia mereka. Ayahnya, sang mukmin Quraisy dan singa padang pasir, menamainya Ali. Sebuah nama yang paling bagus dan indah. Sebuah nama yang tinggi dalam kedermawanan dan kejeniusan, dan tinggi pula dalam kekuatan dan potensi cemerlang di bidang ilmu pengetahuan, adab, dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepa-danya. Ali bin Abi Thalib lahir dilahirkan pada hari Jumat, 13 Rajab, 30, Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah saw. Tahun setelah tahun Gajah, atau 12 tahun sebelum pengangkatan Rasulullah saw. sebagai nabi.

Dikisahkan pada saat Fatimah binti Asad, ibunya, dalam keadaan hamil, ia masih ikut bertawaf disekitar ka’bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tersebut duduk di depan pintu ka’bah seraya memohon ke pada Tuhannya agar memberikan kekuatan. Tiba-tiba tembok ka’bah bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah binti Asad masuk kedalamnya dan lahirlah disana seorang bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, yaitu Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa : sesungguhnya banyak hadis mutawatir yang menyebutkan bahwaFatimah bunti Asad melahirkan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib di dalam ka’bah. Sejarawan sepakat bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib lahir di dalam Ka‘bah yang suci.

Sifat Ali bin Abi Thalib kwh banyak di pengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan. Ali kwh lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga bani Hasyim. Salah satu kabilah terkemuka dari kaum Quraisy mekkah dizaman jahiliyah.
Ali kwh anak dari pasangan Haidarah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf dengan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ayah ali adalah paman dan sekaligus pelindung Rasulullah, Mahammad saw. Nama Ali ketika lahir yang diberikan ibunya adalah Haidarah, sebagaimana nama ayahnya. Ayah Ali lah yang kemudian namanya menjadi Ali. Dan nama inilah yang mengangkat kemasyhuran di kelak kemudian hari

B. Masa Kecil Imam Ali Bin Abi Thalib

Ali adalah anak terkecil dari tiga bersaudra. Pertama Ja’far, Thalib, dan Ali. Sebagai bungsu, Wajar jika ali disayang keluarga, terutama ayahnya. Begitu sayang, sehingga Abu Thalib tak akan melepaskannya kecuali kepada asuhan orang yang di percaya. Saat musim paceklik tiba, Rasulullah saw menganjurkan paman-paman beliau untuk ikut membantu memelihara anak-anak Abu Thalib yang kekurangan. Ja’far diambil Hamzah, Thalib diambil Abbas, sedang Ali baru dilepaskan ketika akan diambil oleh Rasulullah saw.

Ali diangkat anak oleh Rasulullah yang amat disayng penuh, Ali diasuh dan dibesarkanyang ini kelak akan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Sejak kecil, dia dididik untuk selalu menunjang kebenaran dan membelanya. Asuhan demikian lain dari yang lain; membuat ali lebih cepat berkembang dibanding anak-anak yang seusianya dimasa itu. Risalah kenabian dan dakwah keislaman telah dipahami sejak kecil. Karena itulah dunia yang melingkupinya setiap hari. Wajarlah jika jiwa dan semangat keislaman begitu tertanam di kalbu dan dihati Ali kwh.

Ali merupakan orang yang pertama kali masuk islam pada saat beliau masih kecil ketika diasuh oleh Rasulullah. Ketika pada saat awal kenabian Muhammad saw, beliau berdiri dihadapan keluarganya, setelah memuji dan berdoa kepada Allah yang maha pencipta beliau berkata: saya bersumpah tidak ada yang pantas disembah kecuali Allah yang Esa, dan aku adalah utusannya untuk kalian semua dan seluruh umat manusia. Aku membawa sarana untuk mencapai kebahagiaan di dua dunia bagi kalian semua. Tuhanku memerintahkanku untuk mengajak kalian semua agar memeluk agama islam, dan aku memberikan kabar gembira bahwa siapa yang menerima seruanku, orang-orang yang bersegera dan membantu misiku akan menjadi saudaraku (akhi), penerima wasiatku (washi) dan penggati ku (khalifati). Semua orang di dalam ruangan itu diam kecuali hanya Ali lah yang bangkit seraya menangis dan berkata, Wahai Muhammad, saya percaya kepada Allah yang Esa dan kenabianmu, dan menjauhkan diriku dari para penyembah berhala. Nabi menyuru duduk Ali dan mengulang dua kali kata-kata terakhir beliau, namun orang-orang tetap diam tetapi Ali untuk yang ke dua kalinya bangkit dan menegaskan penerimaannya atas seruan Nabi. Disini Nabi nabi kembali kepada orang-orang yang hadir ditempat itu seraya berkata : Ali adalah sudaraku, pewaris dan penggantiku diantara kalian semua, taatilah dia, ikutilah dia dan perhatikan ucapan-ucapannya.

Sejarah terkemuka, Ibn Hisyam Menulis: Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mempercayai nabi saw, melaksanakan bersama beliau, dan menegaskan kejujuran yang telah diberikan Allah kepadanya, sekalipun pada saat ituia seorang anak yang baru berumur 10 tahun. , Anas bin Malik menyatakan: Nabi memulai misinya pada hari senin, dan Ali bin Abi Thalib memeluk Islam pada hari selasa. , Ibnu majjah dalam kitab Sunanya dan al-Hakim dalam Mustadraknya, meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib kwh berkata: saya adalah hamba Allah dan saudara utusannya. Saya mengatakan dengan jujur dan tidak ada orang yang menyatakan hal yang sama setelah saya kecuali dia itu pembohong. Saya telah melaksanakan Shalat tujuh kali sebelum orang lain melaksanakannya.

C. Keberanian Imam Ali bin Abi Thalib

Sejak masa kecilnya Ali telah menolong Rasulullah Saw dan menggunakan kepalan tangannya untukmengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang di perintahkan oleh orang kafir Quraisy untuk mengganggu dan melemparkan batu kepada Rasul Saw. Keberaniannya tidak tertandingi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw: tiada pedang yang sehebat Dzulfikar dan tiada pemuda semulia Ali.

Dalam Bidang keilmuan, Rasul Saw menyebut Ali sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara Tentang Kesalehan dan kesetiaannya, maka simaklah sabda Rasul saw: Jika kalian ingin mengetahui ilmunya adam, Pemahaman Nuh, Ahklak Ibrahim, Munajat Musa, Sunnah Isa dan Kesempurnaan Muhammad, Maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali. , Dan masih banyak riwayat yang lain dengan redaksi yang berbeda, dan kami akan menyebutkan satu saja yaitu: Jika kalian inagin melihat ilmunya Adam, ketakwaan Nuh, kesantunan Ibrahim, charisma Musa, ibadah Isa Maka lihatlah Ali bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib Termasuk Orang yang paling dekat hubungan keluarganya dengan nabi Saw. Sebab, beliau bukan hanya sepupu Nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan menantunya. Sejarah menjadi saksi atas keberaniannya disetiap peperangan, beliau selalu menjadi orang yang paling menonjol dan menentukan. Misalnya pada perang badar, Hampir separuh dari jumlah musu yang mati Tewas di Ujung pedang Imam Ali kwh

Perang Khandak juga menjadi saksi abadi atas keberanian Imam Ali bin Abi Thalib ketika berduel dengan Amr bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amr bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. , begitu juga pada saat perang Khaibar disaat para sahabat tidak mampu tidak mampu membuka benteng Khaibar Nabi bersabda: besok aku akan serahkan bendera kepada orang yang tidak akan melarikan diri dari medan perang dan pantang mundur dan Allah SWT akan mengaruniakan kemenangan kepadanya, dang akhirnya beliau berhasil menaklukan Khaibar serta berhasil membunuh musuh yang sangat berani yang bernama Marhab, dimana beliau menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.

Begitulah kepahlawanan yang ada pada diri Ali bin abi Thalib dalam menghadapi musuh Islam serta dalam membela Allah SWT dan Rasul-nya.Tidak syak lagi bahwa seluruh kehidupan Ali bin Abi Thalaib dipersembahkan untuk Rasul demi keberhasilan agama Allah SWT.

D.Kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali merasa sangat gelisah menghadapi peristiwa pembunuhan ‘Utsmân. Hal itu lantaran ia tahu tentang peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Bani Umayyah dan orang-orang yang rakus kekuasaan pasti akan menuntut darah ‘Utsmân sebagai alasan atas penolakan dan pembang-kangan mereka, bila khalifah Ali. bersedia memegang tampuk kekuasaan. Ada hal lain yang membuat Ali. tidak tenang dan gelisah. Yaitu ia adalah satu-satunya figur yang dicalonkan sebagai pemimpin umat. Tentunya ketika ia menduduki jabatan kekhalifahan, ia akan menjalankan politik atas umat Islam berdasarkan hak, kebenaran, dan keadilan yang murni, dan menjauhkan para koruptor dan orang-orang yang tamak dunia dari kursi kekuasaan. Sudah pasti, kelompok oposisi akan menjadi penghalang bagi strategi politiknya dan akan melakukan perlawanan bersenjata.

Pada mulanya, khalifah Ali menolak untuk menjadi khalifah. Tetapi mayoritas muslimin memaksanya. Mereka menuntut agar ia memimpin umat Islam. Khalifah Ali menjawab: “Aku tidak memerlukan kekuasaan. Siapa saja yang kalian pilih, aku akan merestuinya. Mereka tidak mau mengerti ucapan Ali kwh dan tetap memilihnya sebagai khalifah. Mereka berkata: “Kami tidak memiliki pemimpin selain dirimu.”Mereka memohon lagi untuk kedua kalinya: “Kami tidak akan me-milih selain dirimu. Ali tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menerima per-mohonan mereka. Karena ia tahu bencana yang akan menghadang. Di lain pihak, sekelompok pasukan bersenjata telah mengadakan sebuah pertemuan setelah mereka tahu bahwa khalifah Ali tetap pada pen-diriannya; tidak mau menerima kekhalifahan. Mereka sepakat untuk menghadirkan para tokoh Madinah dan orang-orang yang memiliki pengaruh, dan mengancam akan membunuh khalifah Ali., Zubair dan Thalhah bila mereka tidak berhasil mengangkat seorang pemimpin untuk kaum Muslimin.

Para pemuka Madinah segera mendatangi khalifah Ali. Dengan penuh cemas mereka memohon kepadanya: “Terimalah baiat kami! Terimalah baiat kami! Apakah Anda tidak melihat apa yang akan terjadi atas Islam dan ancaman para penduduk terhadap kami? Khalifah Ali tetap menolak seraya berkata: “Biarkanlah aku dan carilah orang selainku.” khalifahberusaha memberikan pengertian kepada mereka atas berbagai bencana yang akan ia hadapi. Ia berkata: “Wahai hadirin, kita akan menghadapi problema yang beraneka agam sehingga hati ini tidak akan tentram dan akal pikiran tidak akan tegak.

Mereka tetap tidak memahami ucapan khalifah Ali. Malah mereka memohon dengan menggunakan gelarnya. Mereka berkata: “Amirul Mukminin adalah Anda! Amirul Mukminin adalah Anda!

Akhirnya, khalifah Ali menjelaskan kepada mereka sistem peme-rintahan yang akan ia jalankan. Ia menegaskan: “Ketahuilah, jika aku menerima permohonan kalian, aku akan memperlakukan kalian sesuai dengan ilmuku. Aku tidak akan menggubris ucapan siapa pun dan tidak menerima kecaman siapa pun. Jika kalian meninggalkanku, aku sama dengan kalian. Barangkali aku akan mendengarkan kalian dan menaati orang yang kalian serahi urusan ini. Aku sebagai pembantu kalian lebih baik bagi kalian daripada aku sebagai pemimpin kalian.

Khalifah Ali telah menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Yaitu hak, kebenaran, dan keadilan. Mereka me-nerima seluruh penjelasan yang telah diberikan oleh khalifah Ali. Mereka berkata: “Kami tidak akan meninggalkanmu sampai kami membaiatmu.

Mereka mengerumuni khalifah Ali dari seluruh arah dan menuntut agar ia menerima kekhalifahan. Ketika menjelaskan pemandangan yang ada pada saat pembaiatan itu, khalifah Ali berkata: “Dengan serentak, mereka berdesak-desakan bagai rambut tebal anjing hutan yang ada di lehernya. Mereka mengerumuniku dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak-injak dan bajuku sobek. Mereka berkumpul di sekeliling-ku bagaikan kerumunan domba.

E. Imam Ali Menerima Kekhalifahan

Tidak ada alasan lagi bagi khalifah Ali untuk tidak menerima kekha-lifahan. Ia terpaksa menerima kedudukan ini. Hal itu karena ia khawatir kepemimpinan umat Islam akan dipegang oleh Bani Umayyah yang fasik. Ia berkata: “Demi Allah, aku tidak menerima kekhalifahan ini, melainkan karena aku takut umat Islam ini akan dipermainkan oleh seorang durjana dari Bani Umayyah yang akan mempermainkan kitab Allah.

Muslimin berduyun-duyun menuju masjid. khalifah Ali maju ke depan diiringi gemuruh takbir dan tahlil. Thalhah maju ke depan dan membaiat khalifah Ali dengan tangannya yang lumpuh, tangan yang akan begitu cepat melanggar janji Allah itu. khalifah Ali sendiri telah membaca sikapnya itu. Ia berkata: “Betapa cepatnya ia akan melanggar baiatnya.”

Setelah itu, kaum muslimin beramai-ramai membaiat khalifah Ali as. Itu berarti mereka telah membaiat Allah dan Rasul-nya. Pembaiatan umum terhadap khalifah Ali. telah tuntas; sebuah pembaiatan yang tidak pernah terjadi pada masa khalifah-khalifah selainnya. Kaum Muslimin merasa senang dan bahagia dengan itu. khalifah Ali. berkata: “Begitu gembiranya kaum Muslimin dengan pembaiatanku, sehingga anak kecil pun merasa gembira. Orang-orang tua tertatih-tatih datang membaiat, orang-orang yang sakit turut membaiat sambil menahan nyeri, dan kaki mereka pun lemah lunglai karena ingin membaiat. Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan dan kebenaran di dunia Islam telah berkibar. Islam telah kembali kepada masa kegemilangan dan kejayaannya.

F. Pemerintahan Imam Ali

Ali kwh Menerapkan system khilafah yang bersih, suci dan murni. Dimana system ini harus menghadapi system kedaulatan dunia. Sebagaimana seorang musuh yang menghadapi Musuhnya. System khalifah Ali adalah system yang dekat kepada persamaan dan perlindungan terhadap si lemah, dan Ali juga mengambil kembali tanah-tanah yang sebelumya dibagikan kepada kerabat atau orang-orang terdekat dalam Khilafah sebelumnya karena mereka tidak berhak akan tanah itu.

Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Walinya untuk bertindak bijaksana. Tidak ada paksaan ataupun pemerkosaan. Harta adalah milik negara dan pemerintah berhak membagikannya kepada orang yang lebih berhak.

Ali bin abi Thalib juga menyusun undang- undng untuk mendapatkan pajak yang diwajibkan kepada orang-orang, dan memandang kemakmuran bumi itu lebih baik dalam keputusan tentang masalah pajak, dan Khalifah ali juga melarang para wali atau pejabat membuka rahasia orang lain.

G. Imam Ali dan Kekuasaan Anti-Kemewahan

Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib diriwayatkan telah memperoleh informasi bahwa seorang gubernurnya di Basrah, Usman bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang hartawan Basrah. Fenomena yang mungkin kini sepele bagi kita tetapi tidak bagi Ali saat itu. Sang Khalifah segera menyampaikan pesan sebagai berikut: dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai ke pendengaranku sebuah kabar, bahwa seorang hartawan kota Basrah mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian, Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.

Kemewahan adalah sejenis simulasi, representasi tanpa asal-usul realitas. Kemewahan tidaklah diprakondisikan oleh kebutuhan, yang acuannya nyata di dalam realitas, tetapi oleh keinginan: citra, status, simbol, dan gaya sebagai “penanda-penanda” murni yang sudah tidak memiliki “petanda-petanda” (realitas). Bagi kemewahan, tidak ada yang tidak dapat dimiliki karena mewah tidak berbicara tentang “kutahu apa yang kubutuhkan” tetapi “kutahu apa yang kumau”.

Karena tidak berpijak realitas, maka kemewahan tidaklah terbatas. Satu hal yang mungkin mengendalikannya hanyalah logika hasrat (logic of desire): fantasi, ilusi, dan halusinasi. Jika sudah demikian, sebagaimana simulasi adalah hiperrealitas (Baudrillard, Simulations: 1983) karena tampak lebih “nyata” daripada kenyataan, maka mewah adalah “hiperkaya” karena bukan hanya kaya tetapi juga rakus.

Oleh sebab itu, alih-alih ingin menjadi seperti Tuhan Yang Mahakaya, para pemuja kemewahan justru ibarat —meminjam ungkapan Goenawan Mohammad— “katak yang hendak menjadi lembu” karena ‘kaya’ (al-ghani) dalam realitas Ilahiah adalah identik dengan ‘sederhana’ (al-basîth): kondisi ketakbergantungan. Bukankah semakin sederhana suatu entitas, semakin ia tidak bergantung kepada selainnya. Sementara itu, para pemuja kemewahan, dalam serba “ketakterbatasannya”, adalah pecandu-pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas-diri mereka amatlah bergantung kepada semua hal tersebut. Maka, jika para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena dipastikan mengalami disorientasi-diri (perasaan tidak percaya diri, tidak berguna, tidak berdaya, dan sebagainya) ketika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, para penguasa dan politisi, atau siapa pun, yang menyatakan dirinya tak bermartabat karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dan harus menjalani rehabilitasi yang tampaknya jauh lebih sulit.

Dalam pelukan mesra kemewahan, kekuasaan mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”: kuantitas yang menggilas kualitas (naik gaji identik dengan kinerja yang makin baik); kecepatan yang mengebiri substansi (krisis komunikasi antara masyarakat dengan penguasa dijawab dengan SMS); citra yang tampak lebih penting dibandingkan realitas. Adakah anggota DPR yang menolak kenaikan gaji? Ada, tetapi maaf, bukan dalam rapat-rapat tetapi di koran-koran dan teve-teve. Apa yang bisa kita harapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan? Mungkin tidak ada, untuk tidak mengatakan “sama sekali” tidak ada. Simpati dan empati, sesuatu yang mungkin paling minim diharapkan dari seorang penguasa, hanya akan kita temui dalam citraan-citraan itu sendiri: iklan, retorika politik di media-media, seremoni-seremoni, atau kunjungan-kunjungan kerja “sesaat”

Sementara itu, yang akan kita saksikan dari kekuasaan jenis ini, di antaranya, adalah pertama, kebijakan simplistik yang mengarah kepada pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini pada hakikatnya merupakan korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan bergerak dalam kecepatan tinggi. Akibatnya, mereka benar-benar lumpuh, terutama secara paradigmatic, untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan solutif. Mereka terjebak di dalam kebijakan-kebijakan yang simpilstik: sekedar mengikuti prosedur, reaktif terhadap segala fenomena yang terjadi, dan bahkan celakanya miskin alternatif sekaligus larut ke dalam fenomena-fenomena globalisasi ekonomi, politik, dan budaya yang selalu saja diasosiasikan dengan realitas “di luar sana”, seraya seringkali berkhotbah, “Tidak ada alternatif bagi sistem pasar.”

Bagi khalifah Ali, penguasa seperti itu adalah mereka yang menganggap bahwa segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘besar’ (undang-undang, keppres, kepmen, permen, perpu, dan “tetek bengek” produk hukum positif lainnya, peresmian proyek, pencanangan program, serta berbagai kegiatan seremonial lainnya) telah dilaksanakan padahal, “Jangan beranggapan bahwa kau tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kau telah menyelesaikan berbagai urusan yang besar

Dan yang kedua adalah meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, hiper-kriminalitas, yakni ketika kedegilan dan kebejatan perilaku justru dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Akal sehat kita, misalnya, seakan-akan tak kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira polisi diduga melakukan tindakan pencucian uang atau bagaimana mungkin para pejabat yang notabene berpenghasilan lebih daripada cukup dan telah berulangkali naik haji tanpa adanya sebuah resistensi moral berhaji atas biaya rakyat sementara jutaan orang Indonesia harus bersusah payah menabung seperak-duaperak demi menjadi tamu Allah itu apakah lagi ketika diduga bahwa sebagian dari “para haji” itu bahkan mengorupsi dana haji. Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan, baik dalam logika hukum ataupun moral. Logika hasratlah yang telah mencabik-cabik kesadaran-diri mereka akan moralitas dan realitas sosial. Karena berpacu bersama hasrat akan kemewahan: simbol dan status haji kini telah hanya menjadi simbol dari status kelas tertentu di dalam masyarakat, apalagi jika dilakukan berkali-kali, mereka melakukan “justifikasi” hak-hak orang banyak sebagai hak-hak khusus mereka, sebagian pejabat yang naik haji dengan Dana Abadi Umat berargumen bahwa hal itu sudah menjadi hak mereka karena menjalankan tugas negara padahal, “Jangan mengkhususkan dirimu dengan sesuatu yang menjadi hak bersama orang banyak,” kata Ali lagi.

Yang berikutnya adalah ketakberpihakan. Para penguasa yang telah mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari realitas kebenaran dan keadilan; karena yang terakhir itu terlalu getir, pahit, dan berat untuk dihadapi; karena perlu keringat, air mata, dan darah untuk memperjuangkannya. Mereka lebih memilih menikmati beragam ilusi dan halusinasi yang disajikan kemewahan yang celakanya karena wataknya yang manipulatif sangatlah membenci realitas.

H. Syahadah Imam Ali

Khalifah Ali mulai berdoa, bersimpuh, dan bermunajat kepada Allah swt. agar Dia segera menyelamatkan dirinya dari masyarakat yang sesat itu dan memindahkannya ke alam baka. Di sana ia akan mengadukan kepada putra pamannya segala bencana dan musibah yang telah menim-panya. Allah swt. mengabulkan doanya itu. Seorang durjana dan pendur-haka yang bernama Abdurrahman bin Muljam telah menebas kepala khalifah Ali., seperti pembunuh unta Nabi Saleh. Pada waktu itu, Ali sedang berdiri di hadapan Allah swt. di mihrabnya mengerjakan salat di sebuah rumah Allah. Si durjana itu menghunus dan menebaskan pedangnya. Ketika merasakan pedihnya tebasan pedang itu, ia berteriak: “Demi Tuhan Ka‘bah, sungguh aku telah menang!.

Penghulu orang-orang yang bertakwa telah menang. Hidupnya telah berakhir dengan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat haq. Salam sejahtera Allah atasnya pada hari ia dilahirkan di dalam Ka‘bah dan pada hari ia meneguk cawan syahadah di dalam rumah Allah.
Dengan syahadah Ali bin Abi Thalib, bendera hak, kebenaran, dan keadilan turun terlipat, sinar hidayah dan cahaya petunjuk yang selama ini telah menyinari dunia Islam telah padam.



DAFTAR PUSTAKA
1. Faqih imani,Mehdi, 2006. Mengapa Mesti Ali?, Jakarta: citra
2. Muaswi Lari, Mujtaba, 2004. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, Jakarta: PT Lentera Basritama anggota IKAPI
3. AL- Amini, Abdul Husain, 2003. Ali Bin Abi Thalib, Jakarta: Al- huda
4. Mahmud Aqqad, Abbas, 1994. Keagungan Ali Bin Abi Thalib, cetakan ke- 3, Jakarta: CV. Pustaka Mantiq

Biografi Ayatullah Sayyid Hussein Fadlullah

Ayatullah al-Udzma Sayyid Muhammad Hussein Fadlullah lahir tahun 1354 Hq di ‎kota suci Najaf dari sebuah keluarga ulama.‎

Allamah Hussein Fadlullah melewati masa kecil dan pendidikannya di bawah ‎bimbingan ayahnya, Sayyid Abdurrauf Fadlullah, marji Syiah masa itu. Hussein ‎Fadlullah kecil ikut sekolah tradisional masa itu dan mempelajari bagaimana ‎membaca, menulis dan qiraah al-Quran. Namun pendidikan keras yang diterapkan ‎oleh sekolah itu yang dikelola oleh seorang tua membuat Hussein Fadlullah tidak ‎betah belajar di sana. Dengan segera ayahnya mencarikan sebuah pusat ‎pendidikan bernama Muntada an-Nasyr yang menggunakan metode pendidikan ‎baru.‎
 

Hussein Fadlullah langsung duduk di kelas tiga dan ketika duduk di kelas empat ia ‎meninggalkan sekolah dan memulai pendidikan agamanya di usia 9 tahun. ‎Berbarengan dengan pendidikan agamanya, Hussein Fadlullah mulai ‎memperhatikan perkembangan yang terjadi di masanya. Hussein Fadlullah ‎mengikuti perkembangan yang ada lewat membaca 

majalan-majalah Mesir. ‎Lebanon dan tidak lupa majalah Irak.‎
Sayyid Muhammad Hussein Fadlullah mempelajari sejumlah pelajaran seperti ‎nahwu, sharf, ma'ani, bayan hingga logika dan ushul fiqih pada ayahnya. Pada ‎masa itu ia tidak berguru pada orang lain. Ketika pelajarannya sampai pada buku ‎Kifayah al-Ushul jilid kedua, Sayyid Hussein Fadlullah akhirnya berguru pada ‎seorang ulama bernama Mojtaba Lankarani, ulama dari Iran.‎

Setelah menyelesaikan buku Kifayah al-Ushul, Sayyid Hussein Fadlullah mengikuti ‎kuliah tingkat tinggi (bahts kharij) pada sejumlah marji antara lain, Sayyid Abul ‎Qasin Khu'i, Sayyid Muhsin al-Hakim, Sayyid Mahmoud Shahroudi dan Syeikh ‎Hussein al-Hilli. Di samping mempelajari mata-mata kuliah fiqih dan ushul fiqih, ‎Hussein Fadlullah juga mempelajari sebagian dari buku al-Asfar al-Arba'ah, buku ‎filsafat yang lebih dikenal dengan al-Hikmah al-Muta'aliyah karya Mulla Shadr pada ‎gurunya Badkubeh. Sayyid Hussein Fadlullah juga sempat belajar pada Sayyid ‎Muhammad Baqir Shadr selama lima tahun. Gurunya Sayyid Khu'i menasihatinya ‎agar menyeriusi pelajarannya bersama Syahid Shadr.‎

Pada tahun 1952, di usia 17 tahun untuk pertama kalinya Hussein Fadlullah ‎menuju Lebanon untuk menengok keluarganya di sana. Perjalanannya bersamaan ‎dengan peringatah hari ke-40 meninggalnya Sayyid Muhsin Amin al-‘Amili. Hussein ‎Fadlullah kemudian membacakan kasidah memuji ketokohan dan kepribadian ‎Sayyid Muhsin al-‘Amili.‎
Dalam kasidah yang dibacakannya, Sayyid Hussein Fadlullah banyak ‎menyinggung masalah politik, termasuk persatuan dan kebangkitan Islam serta ‎mencela imigrasi para pemuda dan imperialisme Perancis.‎

Surat-surat kabar Lebanon waktu itu menilai kasidah yang diucapkan Sayyid ‎Hussein Fadlullah sangat provokatif.‎

Pada tahun 1966, sejumlah pendiri organisasi keagamaan Usrah al-Taakkhi yang ‎terletak di pinggiran timur kota Beirut mengajak Sayyid Hussein Fadlullah untuk ‎tinggal di sana. Hussein Fadlullah menerima tawaran itu dan pada tahun itu juga ‎beliau memastikan untuk tinggal selamanya di sana.‎

Allamah Sayyid Hussein Fadlullah sejak masa mudanya tidak hanya mempelajari ‎ilmu-ilmu agama tapi juga mengkaji masalah-masalah yang berada di luar itu. ‎Dengan mendalami sastra membaca majalah-majalah seperti Al-Katib Taha ‎Hussein, beliau secara perlahan mengasah kemampuan menciptakan dan ‎melantunkan syair. Beliau juga menulis tiga buku syair. ‎

Pada tahun 2001, Allamah Fadlullah menerbitkan Jamatul Ulama Najaf, sebuah ‎majalah Kebudayaan-Islam, bersama-sama dengan Sayyid Muhammad Baqir ‎Shadr dan Syeikh Muhammad Mahdi Shamshuddin. Di tahun kedua, kolom utama ‎majalah tersebut bernama Kalimatuna (Ucapan kami). Sebelumnya, artikel utama ‎itu bernama Risalatuna (Risalah kami) dan ditulis oleh Sayyid Muhammad Baqir ‎Shadr. ‎

Allamah Fadlullah melanjutkan aktivitas penulisan artikel dan buku hingga enam ‎tahun. Di Irak beliau berperan urgen dalam pembentukan gerakan Syiah bersama ‎Sayyid Muhammad Baqir Sadr. Hasil dari perjuangan kedua tokoh tersebut, ‎akhirnya lahirlah gerakan Syiah Irak bernama Hizbud Dakwah Islamiyah.‎

Sekembalinya ke Lebanon pada tahun 1966, beliau mulai beraktivitas secara ‎meluas di bidang ilmiah, budaya, dan sosial, yang hingga kini meski telah 45 tahun ‎berlalu, dampak dan pengaruhnya masih dapat disaksikan. ‎

Dengan mengadakan berbagai pengajian, pelajaran tafsir al-Quran, agama, dan ‎akhlak, beliau mampu menciptakan perubahan hingga ke beberapa generasi di ‎Lebanon. Bahkan di satu kesempatan, beliau pernah mengatakan, "Saya bangga ‎karena ikut menggembleng sebagian besar pejuang dan pegiat agama." ‎

Pembentukan sebuah pondok pesantren bernama al-Ma'had al-Shar'i al-Islami ‎dengan tujuan mendidik para pelajar agama, merupakan di antara upaya sosial-‎budaya beliau. Selain al-Ma'had al-Shar'i yang terletak di Beirut, Allamah Fadlullah ‎juga mendirikan hauzah akhwat di Beirut, Tyer dan al-Murtadha di Damaskus yang ‎disebut Sayyidah Zainab.‎
Sayyid Hussein Fadlullah hingga kini melahirkan lebih dari 70 karya yang bila ‎dikumpulkan menjadi lebih dari seratus jilid. Sebagian buku-buku beliau hasil ‎transkrim pidato dan sebagian lainnya merupakan catatan-catatan pelajaran fiqih ‎dan ushul fiqih tingkat tinggi yang ditulis oleh murid-muridnya.‎

Aktivitas Sosial

Selain kegiatan ilmiah, budaya dan politiknya di Lebanon Suriah, Sayyid Hussein ‎Fadlullah juga punya aktivitas sosial yang cukup luas. Beliau mengayomi anak-‎anak yatim, syuhada, cacat dan fakir miskin. Beliau mendirikan yayasan sosil ‎bernama Komunitas al-Mirats al-Khairiyah sekaligus menjadi pemimpinnya. ‎Dengan bantuan para donator dari negara-negara Arab Teluk Persia dan Lebanon, ‎Allamah Sayyid Hussein Fadlullah mendirikan sejumlah pusat dan yayasan sosial ‎yang modern untuk mendidik anak-anak yatim, khususnya anak-anak para syahid ‎dan anak-anak miskin. Allamah Fadlullah mendirikan rumah sakit, poliklinik dan ‎masjid-masjid.‎

Di pusat-pusat yayasan sosial ini, Ayatullah Fadlullah memberikan tempat tinggal ‎bagi mereka yang membutuhkan dan mereka melanjutkan pendidikannya di ‎kawasan ini.(IRIB/SL/MZ)‎
sumber copy paste dari alamat web: http://indonesian.irib.ir

Syi’ah dan Dakwah Nabi saw

Kerap kali sebagian besar analis dan kaum intelektual mempelajari “Syi'ahisme atau Tasyayyu" dengan didasari kesan subyektif dan kesimpulan yang agak rapuh. Mereka beranggapan bahwa Syi'ahisme merupakan pemandangan yang ganjil dalam tubuh masyarakat Islam yang lebih dominan. Anggapan ini mereka simpulkan bertolak dari kenyataan yang ada dimana Syi'ah hanya terdiri dari beberapa individu yang muncul dengan corak tertentu di tengah-tengah masyarakat Islam yang jauh lebih besar jumlah serta pengaruhnya. Selanjutnya kelompok minoritas tersebut berkembang biak sebagai akibat dan efek dari pada serangkaian perkembangan politik-sosial yang terjadi pada saat itu. Dengan kata lain, mereka telah menjadi bayi yang dilahirkan oleh kondisi labil saat itu.

Kejadian dan perkembangan-perkembangan itu secara otomatis telah mengakibatkan munculnya haluan yang bercorak unik dan lain dari pada yang lain di tengah masyarakat Islam yang jelas berbeda dengan mereka, lambat laun aliran pemikiran baru ini makin membengkak dan sempat melebarkan sayap pengaruh radikalnya beberapa senti di hati sebagian muslimin atau kebanyakan dari mereka.

Para penganalisa itu -setelah beranggapan demikian- secara serentak saling berselisih pendapat mengenai faktor utama aliran tersebut dan gejala perkembangan tertentu yang jelas telah melahirkan kelompok kecil itu. Sebagian mereka berpendapat bahwa Syi'ahisme adalah pendapat yang dicetuskan oleh seorang yang konon bernama Abdullah bin Saba`. Ada juga yang mengatakan demikian bahwa timbulnya Syi'ahisme merupakan pengaruh dari pada kebijaksanaan politik Ali bin Abi Thalib as, mengingat pada zaman pemerintahan beliau telah terjadi perkembangan-perkembangan yang amat seru dan mendebarkan. Sebagian lain beranggapan bahwa munculnya Syi'ahisme adalah akibat alami yang tak terelakkan dari perkembangan-perkembangan politik yang terjadi pada masa terakhir dalam serangkaian dan rentetan sejarah umat Islam.

Berdasarkan logika yang saya pijak, pendapat-pendapat yang dilontarkan para sarjana itu adalah kesimpulan dari penjabaran yang tidak argumentatif dan kurang rasionil, yaitu dengan berkesimpulan bahwa Syi'ahisme merupakan fenomena yang ganjil dan aneh. Kesimpulan ini mereka serap dari dasar kenyataan sebelumnya yaitu kenyataan Syi'ahisme hanyalah segolongan masyarakat kecil yang tumbuh segar di tengah-tengah masyarakat lain yang lebih dominan dan besar jumlahnya.

Kenyataan inilah yang menyeret mereka ke suatu lembah sehingga beranggapan bahwa non-Syi'ah adalah tolok ukur yang harus dijadikan sebagai satu-satunya cara dalam membagi dan membedakan antara kelompok mana yang orisinil dan lebih dahulu muncul? Di samping itu semua, penjabaran semacam ini bertentangan dengan kenyataan adanya perbedaan dan terbaginya aliran-aliran yang kita temukan selama ini. Kadang-kadang kita mengklaim suatu aliran sebagai yang paling benar bukan atas dasar jumlah pengikut aliran tersebut atau dari segi banyak dan sedikitnya, demikian juga sebaliknya kita terkadang menganggap suatu akidah sebagai akidah yang keliru dan sesat tanpa mempertimbangkan jumlah penganut akidah tersebut. Lagi pula mungkin masa timbulnya akidah atau aliran yang kita anggap sesat atau sebaliknya akidah yang kita anggap benar berbarengan dalam satu tempo dan waktu. Perlu digarisbawahi bahwa terkadang kedua aliran menyuarakan satu misi dan konsep yang sama; misalnya kedua aliran itu sama mengaku sebagai Islam Yang murni dan pengikut-penglkutnya merasa bagian dari umat Muhammad saw. Sama halnya dengan Syi'ah dan Non-Syi'ah, prosentase dan jumlah pengikut kedua garis pemikiran yang kurang seimbang itu tidak patut dijadikan sebagai bukti akan keotentikan dan kemurnian salah satunya.

Perlu dicamkan baik-baik bahwa kita tidak dibenarkan - berdasarkan hukum logika - beranggapan masa timbulnya dan populernya istilah dan nama Syi'ah atau Tasyayyu' berbarengan dengan masa munculnya golongan serta konsep Tasyayyu' itu sendiri; sebagai istilah populer dan akrab bagi suatu aliran dan golongan tertentu di tengah masyarakat yang tampaknya mengakui eksistensi dan keberadaan mereka selaku oposan dan bagian dari mereka yang memiliki hak bersuara dan bernafas, sebab munculnya nama serta lahirnya golongan yang menyandang nama itu tidak mesti bersamaan dalam satu waktu (seperti lahirnya seorang bayi janin yang belum diberi nama atau sebaliknya seperti bila kita telah memberi nama kepada janin yang belum lahir. Hal ini sering kali terjadi).

Kita mungkin belum pernah menemukan kalimat dan sebutan "Syi'ah" dalam percakapan sehari-hari pada zaman Nabi SAWW berikut setelah wafatnya. Namun, kenyataan ini tidak menjamin dan dapat membuktikan bahwa golongan Syi'ah ini belum pernah ada pada zaman Nabi SAWW, baik secara praktis operasionil maupun secara teoritis dan konsepsional.

Jika kita sudah memperhatikan dan memahami dengan jelas pokok-pokok di atas, maka insya-Allah kita akan mampu mengambil gambaran yang jelas serta kesimpulan yang gamblang dan rasionil. Tentunya itu semua tidak akan kita dapatkan sebelum menemukan jawaban yang jitu dan mengena atas dua pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana proses timbulnya Syi'ahisme? Bagaimana proses lahirnya golongan Syi'ah itu sebenarnya?

Ditulis oleh ;Muhammad BaqirShadr. dalam alamat web:http://www.al-shia.org

Kekerasan Politik Agama

Dari sejumlah pengertian tentang kekerasan, kita dapat memilahnya dalam tiga kelompok besar yaitu kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor, kekerasan sebagai produk dari struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur. Kelompok pertama dipelopori ahli biologi, fisiologi dan psikologi. Para pendukung teori biologi dan fisiologi berpendapt bahwa menusia melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan atau sebagai konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai penyebab kekerasan, dan juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia dari pembawaannya memang suka kekerasan.

Kelompok kedua, pengertian kekerasan sebagai tindakan yang terkait dengan struktur. Johan Galtung (1875) mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Kekerasan struktural yang dikemukakan Gultung menunjukan bentuk kekerasan yang tidak langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas tertentu.

Graziano menjelaskan keterlibatan struktur negara lewat berbagai cara, strategi dan tindak kekerasan, seraya secara munafik mengalihkan tanggung jawab ekses perbuatan tersebut kepada rakyat. Weber menguraikan kekerasan sebagai cara terstruktur untuk menunjukkan identitas diri dalam upaya penentuan nasib sendiri.

Kelompok ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur seperti dikemukakan Jennifer Turpin dan Lester R. Kurtz (1997). Asumsi dari kelompok ini ialah konflik bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik sebagai sesuatu yang ditentukan), ada sejumlah alat alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik sosial, untuk menyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam organisasi sosial dan individu, masalah kekerasan merupakan salah satu masalah pokok dari kehidupan modern, terdapat hubungan kekerasan level mikro- makro dan antara aktor- struktur (pemecahan masalah kekerasan structural mengharuskan kita berkecimpungan dalam kekerasan actor, demikian sebaliknya), dan akhirnya spesialisasi akademik justru mengkaburkan masalah karena hal ini mengabaikan pendekatan yang holistik termasuk didalamnya dimensi ruang dan waktu.

Studi tentang kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur berawal dari kajian gender yang ingin menjawab pertanyaan “adakah hubungan antara struktur peperangan dengan memukul istri?”. Hubungan tersebut terletak pada budaya patriarki, dimana kaum pria mendominasi wanita yang menciptakan kekerasan aktor terhadap wanita dan anak-anak serta kekerasan struktural seperti perang. Ada dua bentuk hubungan kekerasan aktor dan struktur, pertama, adanya dialektika antara kekerasan aktor dan kekerasan struktur. Kedua, ada hubungan diantara berbagai bentuk kekerasan yang terjadi pada level aktor maupun struktur.

Hal yang tidak kalah penting untuk diurai ialah mengapa kekerasan politik-agama bisa terjadi. Seperti dinyatakan Gurr bahwa kekerasan politik dimulai dari diri aktor. Gurr menyatakan bahwa individu yang memberontak sebelumya harus memiliki latar belakang situasi seperti terjadinya ketidak adilan, muncul kemarahan moral, dan kemudian memberi respon dengan kemarahan pada sumber penyebab kemarahan tersebut. Selain itu, massa juga harus merasakan situasi konkrit dan langsung yang menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka, sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya.

Kekerasan politik-agama dalam kerusuhan dipengaruhi secara bersamaan oleh tekanan struktur sosial yang menghimpit mereka dalam kehidupan sehari-hari akibat perlakuan yang tidak adil, tidak jujur, serta motivasi dan kepentingan pribadi yang bersangkutan. Akumulasi kemarahandan rasa frustasi ditegah kehidupan sehari-hari, disamping emotional illiteracy (buta emosi) dan ketidak mampuan mengekspresikan emosi secara cerdas serta cara yang telah ditempuh ternyata tidak membuahkan hasil, telah di belokkan kekerasan massa terhadap sasaran-sasaran utama yang sudah ditentukan sebelumnya.

Agama semestinya tidak menimbulkan kekerasan. Namun fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain, misalnya kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalah arahkan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama pro-Phetis (Nabi), seperti islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Dari sisi internal, agama Pro-Phetis cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak tuhan. Oleh karena itu pemahaman agama atau bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik-agama.

Politik-agama yang banyak terjadi dinegara yang baru merdeka, yang berjuang untuk menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama memainkan peran yang lebih besar. Lituania, Armenia, dan Azeris adalah beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan otoritas mutlak sebagai hak prerogative yang tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah dibingksi “Agama” sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir dosa.

Menurut teori kekerasan negara, kekerasan merupakan akibat tak terelakkan dari modernisasi. Akumulasi capital hanya dapat dilakukan lewat kekerasan. Kekerasan dapat dikurangi tarafnya hanya lewat bimbingan penguasa pusat yang mau menjaga masyarakatnya dan menekan dan menekan gangguan-gangguan dalam proses pembangunan. Tindakan kekerasan dinilai harus diterima oleh komunitas terbelakang sebagai jalan yang tepat menuju modernisasi, meskipun langkah tersebut menimbulkan kekrasan jangka pendek berupa upah yang rendah, meningkatnya kekurangan gizi dan kondiisi peprcepat kemiskinan.

Kekrasan yang disebabkan oleh pembangunan sangat tergantung pada rezim tertentu. Rezim otoriter akan akan memperaktekkan kekerasan dan mengabaikan bentuk pemerintahan yang demokratis untuk sementara saja, hingga mereka berkembang lebih maju. Akan tetapi rezim totaliter akan melakukan lebih banyak kekerasan danmelakukannya terus menerus.

Negara adalah satu-satunya institusi yang secara sah memonopoli penggunaan kekuatan pemaksaan lewat apparatus negara, seperti militer, polisi, dan peradilan. Kekerasan di legitimasi negara untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dinyatakan Arendt, kekrasan akan muncul bilamana kekuasaan sedang ada dalam bahaya, yang berarti bahwa meskipun kekerasan dapat menghancurkan kekuasaan, namun kekersan tidak mampu menciptakan kekuasaan. Pada awalnya kekerasan tersebut langsung dilakukan oleh negara. Namun dengan merebaknya isu hak asasi manusia, maka negara (rezim orde baru) tidak cukup menggunakan apparatus negara sebagai pemaksa, tetapi melibatkan masyarakat. Benih kekerasan telah telah merebak di masyarakat lewat lewat pengorganisasian criminal, bukan organisasi kriminal. Negara telah menggerakkan masyarakat untuk melakukan kekerasan.

Sistem politik demokrasi mengenal mekanisme penyelesaian konflik yang jelas lewat dukungan suara. Di Indonesia mekanisme tersebut digunakan pada saat pemilihan umum. Namun sampai saat ini di Indonesia belum ada pelembagaan politik yang mampu mengelola konflik anta elit dan belum ada criteria yang jelas tentang konflik elit. Salah satu akibat konflik anta elit adalah merebaknya kekerasan. Kekerasan akan semakin intens dan sulit di kelola apabila pihak yang terlibat konflik mempolitisir ideologi atau agama.

Masa yang terbius oleh politik-agama diyakinkan lewat janji-janji kembalinya dunia yang telah mereka hancurkan. Jika penentraman seperti itu telah mendapat dukungan, muncullah ekspresi kreativitas agama asli diantara orang yang di subordinasikan.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.