Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Ali bin Abi Thalib dan keutamaannya

Ali bin Abi Thalib dan keutamaannya

A. Kelahiran Imam Ali Bin Abi Thalib

Saudara Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya ini lahir di dalam rumah Allah yang paling suci. Dengan demikian khalifah Ali dapat menerangi jalan penduduk sekitarnya, menegakkan bendera tauhid, dan menyucikan Baitullah itu dari setiap berhala dan patung. Di sana ia menjadi pengayom orang-orang asing, saudara orang-orang fakir, dan tempat berlindung orang-orang yang ditimpa kesusahan ini lahir di dalam rumah yang agung dan suci. Dalam rangka inilah khalifah Ali dapat menebarkan keamanan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka, serta memus-nahkan kemiskinan dari dunia mereka. Ayahnya, sang mukmin Quraisy dan singa padang pasir, menamainya Ali. Sebuah nama yang paling bagus dan indah. Sebuah nama yang tinggi dalam kedermawanan dan kejeniusan, dan tinggi pula dalam kekuatan dan potensi cemerlang di bidang ilmu pengetahuan, adab, dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepa-danya. Ali bin Abi Thalib lahir dilahirkan pada hari Jumat, 13 Rajab, 30, Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah saw. Tahun setelah tahun Gajah, atau 12 tahun sebelum pengangkatan Rasulullah saw. sebagai nabi.

Dikisahkan pada saat Fatimah binti Asad, ibunya, dalam keadaan hamil, ia masih ikut bertawaf disekitar ka’bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tersebut duduk di depan pintu ka’bah seraya memohon ke pada Tuhannya agar memberikan kekuatan. Tiba-tiba tembok ka’bah bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah binti Asad masuk kedalamnya dan lahirlah disana seorang bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, yaitu Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa : sesungguhnya banyak hadis mutawatir yang menyebutkan bahwaFatimah bunti Asad melahirkan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib di dalam ka’bah. Sejarawan sepakat bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib lahir di dalam Ka‘bah yang suci.

Sifat Ali bin Abi Thalib kwh banyak di pengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan. Ali kwh lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga bani Hasyim. Salah satu kabilah terkemuka dari kaum Quraisy mekkah dizaman jahiliyah.
Ali kwh anak dari pasangan Haidarah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf dengan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ayah ali adalah paman dan sekaligus pelindung Rasulullah, Mahammad saw. Nama Ali ketika lahir yang diberikan ibunya adalah Haidarah, sebagaimana nama ayahnya. Ayah Ali lah yang kemudian namanya menjadi Ali. Dan nama inilah yang mengangkat kemasyhuran di kelak kemudian hari

B. Masa Kecil Imam Ali Bin Abi Thalib

Ali adalah anak terkecil dari tiga bersaudra. Pertama Ja’far, Thalib, dan Ali. Sebagai bungsu, Wajar jika ali disayang keluarga, terutama ayahnya. Begitu sayang, sehingga Abu Thalib tak akan melepaskannya kecuali kepada asuhan orang yang di percaya. Saat musim paceklik tiba, Rasulullah saw menganjurkan paman-paman beliau untuk ikut membantu memelihara anak-anak Abu Thalib yang kekurangan. Ja’far diambil Hamzah, Thalib diambil Abbas, sedang Ali baru dilepaskan ketika akan diambil oleh Rasulullah saw.

Ali diangkat anak oleh Rasulullah yang amat disayng penuh, Ali diasuh dan dibesarkanyang ini kelak akan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Sejak kecil, dia dididik untuk selalu menunjang kebenaran dan membelanya. Asuhan demikian lain dari yang lain; membuat ali lebih cepat berkembang dibanding anak-anak yang seusianya dimasa itu. Risalah kenabian dan dakwah keislaman telah dipahami sejak kecil. Karena itulah dunia yang melingkupinya setiap hari. Wajarlah jika jiwa dan semangat keislaman begitu tertanam di kalbu dan dihati Ali kwh.

Ali merupakan orang yang pertama kali masuk islam pada saat beliau masih kecil ketika diasuh oleh Rasulullah. Ketika pada saat awal kenabian Muhammad saw, beliau berdiri dihadapan keluarganya, setelah memuji dan berdoa kepada Allah yang maha pencipta beliau berkata: saya bersumpah tidak ada yang pantas disembah kecuali Allah yang Esa, dan aku adalah utusannya untuk kalian semua dan seluruh umat manusia. Aku membawa sarana untuk mencapai kebahagiaan di dua dunia bagi kalian semua. Tuhanku memerintahkanku untuk mengajak kalian semua agar memeluk agama islam, dan aku memberikan kabar gembira bahwa siapa yang menerima seruanku, orang-orang yang bersegera dan membantu misiku akan menjadi saudaraku (akhi), penerima wasiatku (washi) dan penggati ku (khalifati). Semua orang di dalam ruangan itu diam kecuali hanya Ali lah yang bangkit seraya menangis dan berkata, Wahai Muhammad, saya percaya kepada Allah yang Esa dan kenabianmu, dan menjauhkan diriku dari para penyembah berhala. Nabi menyuru duduk Ali dan mengulang dua kali kata-kata terakhir beliau, namun orang-orang tetap diam tetapi Ali untuk yang ke dua kalinya bangkit dan menegaskan penerimaannya atas seruan Nabi. Disini Nabi nabi kembali kepada orang-orang yang hadir ditempat itu seraya berkata : Ali adalah sudaraku, pewaris dan penggantiku diantara kalian semua, taatilah dia, ikutilah dia dan perhatikan ucapan-ucapannya.

Sejarah terkemuka, Ibn Hisyam Menulis: Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mempercayai nabi saw, melaksanakan bersama beliau, dan menegaskan kejujuran yang telah diberikan Allah kepadanya, sekalipun pada saat ituia seorang anak yang baru berumur 10 tahun. , Anas bin Malik menyatakan: Nabi memulai misinya pada hari senin, dan Ali bin Abi Thalib memeluk Islam pada hari selasa. , Ibnu majjah dalam kitab Sunanya dan al-Hakim dalam Mustadraknya, meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib kwh berkata: saya adalah hamba Allah dan saudara utusannya. Saya mengatakan dengan jujur dan tidak ada orang yang menyatakan hal yang sama setelah saya kecuali dia itu pembohong. Saya telah melaksanakan Shalat tujuh kali sebelum orang lain melaksanakannya.

C. Keberanian Imam Ali bin Abi Thalib

Sejak masa kecilnya Ali telah menolong Rasulullah Saw dan menggunakan kepalan tangannya untukmengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang di perintahkan oleh orang kafir Quraisy untuk mengganggu dan melemparkan batu kepada Rasul Saw. Keberaniannya tidak tertandingi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw: tiada pedang yang sehebat Dzulfikar dan tiada pemuda semulia Ali.

Dalam Bidang keilmuan, Rasul Saw menyebut Ali sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara Tentang Kesalehan dan kesetiaannya, maka simaklah sabda Rasul saw: Jika kalian ingin mengetahui ilmunya adam, Pemahaman Nuh, Ahklak Ibrahim, Munajat Musa, Sunnah Isa dan Kesempurnaan Muhammad, Maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali. , Dan masih banyak riwayat yang lain dengan redaksi yang berbeda, dan kami akan menyebutkan satu saja yaitu: Jika kalian inagin melihat ilmunya Adam, ketakwaan Nuh, kesantunan Ibrahim, charisma Musa, ibadah Isa Maka lihatlah Ali bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib Termasuk Orang yang paling dekat hubungan keluarganya dengan nabi Saw. Sebab, beliau bukan hanya sepupu Nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan menantunya. Sejarah menjadi saksi atas keberaniannya disetiap peperangan, beliau selalu menjadi orang yang paling menonjol dan menentukan. Misalnya pada perang badar, Hampir separuh dari jumlah musu yang mati Tewas di Ujung pedang Imam Ali kwh

Perang Khandak juga menjadi saksi abadi atas keberanian Imam Ali bin Abi Thalib ketika berduel dengan Amr bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amr bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. , begitu juga pada saat perang Khaibar disaat para sahabat tidak mampu tidak mampu membuka benteng Khaibar Nabi bersabda: besok aku akan serahkan bendera kepada orang yang tidak akan melarikan diri dari medan perang dan pantang mundur dan Allah SWT akan mengaruniakan kemenangan kepadanya, dang akhirnya beliau berhasil menaklukan Khaibar serta berhasil membunuh musuh yang sangat berani yang bernama Marhab, dimana beliau menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.

Begitulah kepahlawanan yang ada pada diri Ali bin abi Thalib dalam menghadapi musuh Islam serta dalam membela Allah SWT dan Rasul-nya.Tidak syak lagi bahwa seluruh kehidupan Ali bin Abi Thalaib dipersembahkan untuk Rasul demi keberhasilan agama Allah SWT.

D.Kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali merasa sangat gelisah menghadapi peristiwa pembunuhan ‘Utsmân. Hal itu lantaran ia tahu tentang peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Bani Umayyah dan orang-orang yang rakus kekuasaan pasti akan menuntut darah ‘Utsmân sebagai alasan atas penolakan dan pembang-kangan mereka, bila khalifah Ali. bersedia memegang tampuk kekuasaan. Ada hal lain yang membuat Ali. tidak tenang dan gelisah. Yaitu ia adalah satu-satunya figur yang dicalonkan sebagai pemimpin umat. Tentunya ketika ia menduduki jabatan kekhalifahan, ia akan menjalankan politik atas umat Islam berdasarkan hak, kebenaran, dan keadilan yang murni, dan menjauhkan para koruptor dan orang-orang yang tamak dunia dari kursi kekuasaan. Sudah pasti, kelompok oposisi akan menjadi penghalang bagi strategi politiknya dan akan melakukan perlawanan bersenjata.

Pada mulanya, khalifah Ali menolak untuk menjadi khalifah. Tetapi mayoritas muslimin memaksanya. Mereka menuntut agar ia memimpin umat Islam. Khalifah Ali menjawab: “Aku tidak memerlukan kekuasaan. Siapa saja yang kalian pilih, aku akan merestuinya. Mereka tidak mau mengerti ucapan Ali kwh dan tetap memilihnya sebagai khalifah. Mereka berkata: “Kami tidak memiliki pemimpin selain dirimu.”Mereka memohon lagi untuk kedua kalinya: “Kami tidak akan me-milih selain dirimu. Ali tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menerima per-mohonan mereka. Karena ia tahu bencana yang akan menghadang. Di lain pihak, sekelompok pasukan bersenjata telah mengadakan sebuah pertemuan setelah mereka tahu bahwa khalifah Ali tetap pada pen-diriannya; tidak mau menerima kekhalifahan. Mereka sepakat untuk menghadirkan para tokoh Madinah dan orang-orang yang memiliki pengaruh, dan mengancam akan membunuh khalifah Ali., Zubair dan Thalhah bila mereka tidak berhasil mengangkat seorang pemimpin untuk kaum Muslimin.

Para pemuka Madinah segera mendatangi khalifah Ali. Dengan penuh cemas mereka memohon kepadanya: “Terimalah baiat kami! Terimalah baiat kami! Apakah Anda tidak melihat apa yang akan terjadi atas Islam dan ancaman para penduduk terhadap kami? Khalifah Ali tetap menolak seraya berkata: “Biarkanlah aku dan carilah orang selainku.” khalifahberusaha memberikan pengertian kepada mereka atas berbagai bencana yang akan ia hadapi. Ia berkata: “Wahai hadirin, kita akan menghadapi problema yang beraneka agam sehingga hati ini tidak akan tentram dan akal pikiran tidak akan tegak.

Mereka tetap tidak memahami ucapan khalifah Ali. Malah mereka memohon dengan menggunakan gelarnya. Mereka berkata: “Amirul Mukminin adalah Anda! Amirul Mukminin adalah Anda!

Akhirnya, khalifah Ali menjelaskan kepada mereka sistem peme-rintahan yang akan ia jalankan. Ia menegaskan: “Ketahuilah, jika aku menerima permohonan kalian, aku akan memperlakukan kalian sesuai dengan ilmuku. Aku tidak akan menggubris ucapan siapa pun dan tidak menerima kecaman siapa pun. Jika kalian meninggalkanku, aku sama dengan kalian. Barangkali aku akan mendengarkan kalian dan menaati orang yang kalian serahi urusan ini. Aku sebagai pembantu kalian lebih baik bagi kalian daripada aku sebagai pemimpin kalian.

Khalifah Ali telah menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Yaitu hak, kebenaran, dan keadilan. Mereka me-nerima seluruh penjelasan yang telah diberikan oleh khalifah Ali. Mereka berkata: “Kami tidak akan meninggalkanmu sampai kami membaiatmu.

Mereka mengerumuni khalifah Ali dari seluruh arah dan menuntut agar ia menerima kekhalifahan. Ketika menjelaskan pemandangan yang ada pada saat pembaiatan itu, khalifah Ali berkata: “Dengan serentak, mereka berdesak-desakan bagai rambut tebal anjing hutan yang ada di lehernya. Mereka mengerumuniku dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak-injak dan bajuku sobek. Mereka berkumpul di sekeliling-ku bagaikan kerumunan domba.

E. Imam Ali Menerima Kekhalifahan

Tidak ada alasan lagi bagi khalifah Ali untuk tidak menerima kekha-lifahan. Ia terpaksa menerima kedudukan ini. Hal itu karena ia khawatir kepemimpinan umat Islam akan dipegang oleh Bani Umayyah yang fasik. Ia berkata: “Demi Allah, aku tidak menerima kekhalifahan ini, melainkan karena aku takut umat Islam ini akan dipermainkan oleh seorang durjana dari Bani Umayyah yang akan mempermainkan kitab Allah.

Muslimin berduyun-duyun menuju masjid. khalifah Ali maju ke depan diiringi gemuruh takbir dan tahlil. Thalhah maju ke depan dan membaiat khalifah Ali dengan tangannya yang lumpuh, tangan yang akan begitu cepat melanggar janji Allah itu. khalifah Ali sendiri telah membaca sikapnya itu. Ia berkata: “Betapa cepatnya ia akan melanggar baiatnya.”

Setelah itu, kaum muslimin beramai-ramai membaiat khalifah Ali as. Itu berarti mereka telah membaiat Allah dan Rasul-nya. Pembaiatan umum terhadap khalifah Ali. telah tuntas; sebuah pembaiatan yang tidak pernah terjadi pada masa khalifah-khalifah selainnya. Kaum Muslimin merasa senang dan bahagia dengan itu. khalifah Ali. berkata: “Begitu gembiranya kaum Muslimin dengan pembaiatanku, sehingga anak kecil pun merasa gembira. Orang-orang tua tertatih-tatih datang membaiat, orang-orang yang sakit turut membaiat sambil menahan nyeri, dan kaki mereka pun lemah lunglai karena ingin membaiat. Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan dan kebenaran di dunia Islam telah berkibar. Islam telah kembali kepada masa kegemilangan dan kejayaannya.

F. Pemerintahan Imam Ali

Ali kwh Menerapkan system khilafah yang bersih, suci dan murni. Dimana system ini harus menghadapi system kedaulatan dunia. Sebagaimana seorang musuh yang menghadapi Musuhnya. System khalifah Ali adalah system yang dekat kepada persamaan dan perlindungan terhadap si lemah, dan Ali juga mengambil kembali tanah-tanah yang sebelumya dibagikan kepada kerabat atau orang-orang terdekat dalam Khilafah sebelumnya karena mereka tidak berhak akan tanah itu.

Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Walinya untuk bertindak bijaksana. Tidak ada paksaan ataupun pemerkosaan. Harta adalah milik negara dan pemerintah berhak membagikannya kepada orang yang lebih berhak.

Ali bin abi Thalib juga menyusun undang- undng untuk mendapatkan pajak yang diwajibkan kepada orang-orang, dan memandang kemakmuran bumi itu lebih baik dalam keputusan tentang masalah pajak, dan Khalifah ali juga melarang para wali atau pejabat membuka rahasia orang lain.

G. Imam Ali dan Kekuasaan Anti-Kemewahan

Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib diriwayatkan telah memperoleh informasi bahwa seorang gubernurnya di Basrah, Usman bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang hartawan Basrah. Fenomena yang mungkin kini sepele bagi kita tetapi tidak bagi Ali saat itu. Sang Khalifah segera menyampaikan pesan sebagai berikut: dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai ke pendengaranku sebuah kabar, bahwa seorang hartawan kota Basrah mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian, Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.

Kemewahan adalah sejenis simulasi, representasi tanpa asal-usul realitas. Kemewahan tidaklah diprakondisikan oleh kebutuhan, yang acuannya nyata di dalam realitas, tetapi oleh keinginan: citra, status, simbol, dan gaya sebagai “penanda-penanda” murni yang sudah tidak memiliki “petanda-petanda” (realitas). Bagi kemewahan, tidak ada yang tidak dapat dimiliki karena mewah tidak berbicara tentang “kutahu apa yang kubutuhkan” tetapi “kutahu apa yang kumau”.

Karena tidak berpijak realitas, maka kemewahan tidaklah terbatas. Satu hal yang mungkin mengendalikannya hanyalah logika hasrat (logic of desire): fantasi, ilusi, dan halusinasi. Jika sudah demikian, sebagaimana simulasi adalah hiperrealitas (Baudrillard, Simulations: 1983) karena tampak lebih “nyata” daripada kenyataan, maka mewah adalah “hiperkaya” karena bukan hanya kaya tetapi juga rakus.

Oleh sebab itu, alih-alih ingin menjadi seperti Tuhan Yang Mahakaya, para pemuja kemewahan justru ibarat —meminjam ungkapan Goenawan Mohammad— “katak yang hendak menjadi lembu” karena ‘kaya’ (al-ghani) dalam realitas Ilahiah adalah identik dengan ‘sederhana’ (al-basîth): kondisi ketakbergantungan. Bukankah semakin sederhana suatu entitas, semakin ia tidak bergantung kepada selainnya. Sementara itu, para pemuja kemewahan, dalam serba “ketakterbatasannya”, adalah pecandu-pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas-diri mereka amatlah bergantung kepada semua hal tersebut. Maka, jika para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena dipastikan mengalami disorientasi-diri (perasaan tidak percaya diri, tidak berguna, tidak berdaya, dan sebagainya) ketika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, para penguasa dan politisi, atau siapa pun, yang menyatakan dirinya tak bermartabat karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dan harus menjalani rehabilitasi yang tampaknya jauh lebih sulit.

Dalam pelukan mesra kemewahan, kekuasaan mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”: kuantitas yang menggilas kualitas (naik gaji identik dengan kinerja yang makin baik); kecepatan yang mengebiri substansi (krisis komunikasi antara masyarakat dengan penguasa dijawab dengan SMS); citra yang tampak lebih penting dibandingkan realitas. Adakah anggota DPR yang menolak kenaikan gaji? Ada, tetapi maaf, bukan dalam rapat-rapat tetapi di koran-koran dan teve-teve. Apa yang bisa kita harapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan? Mungkin tidak ada, untuk tidak mengatakan “sama sekali” tidak ada. Simpati dan empati, sesuatu yang mungkin paling minim diharapkan dari seorang penguasa, hanya akan kita temui dalam citraan-citraan itu sendiri: iklan, retorika politik di media-media, seremoni-seremoni, atau kunjungan-kunjungan kerja “sesaat”

Sementara itu, yang akan kita saksikan dari kekuasaan jenis ini, di antaranya, adalah pertama, kebijakan simplistik yang mengarah kepada pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini pada hakikatnya merupakan korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan bergerak dalam kecepatan tinggi. Akibatnya, mereka benar-benar lumpuh, terutama secara paradigmatic, untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan solutif. Mereka terjebak di dalam kebijakan-kebijakan yang simpilstik: sekedar mengikuti prosedur, reaktif terhadap segala fenomena yang terjadi, dan bahkan celakanya miskin alternatif sekaligus larut ke dalam fenomena-fenomena globalisasi ekonomi, politik, dan budaya yang selalu saja diasosiasikan dengan realitas “di luar sana”, seraya seringkali berkhotbah, “Tidak ada alternatif bagi sistem pasar.”

Bagi khalifah Ali, penguasa seperti itu adalah mereka yang menganggap bahwa segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘besar’ (undang-undang, keppres, kepmen, permen, perpu, dan “tetek bengek” produk hukum positif lainnya, peresmian proyek, pencanangan program, serta berbagai kegiatan seremonial lainnya) telah dilaksanakan padahal, “Jangan beranggapan bahwa kau tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kau telah menyelesaikan berbagai urusan yang besar

Dan yang kedua adalah meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, hiper-kriminalitas, yakni ketika kedegilan dan kebejatan perilaku justru dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Akal sehat kita, misalnya, seakan-akan tak kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira polisi diduga melakukan tindakan pencucian uang atau bagaimana mungkin para pejabat yang notabene berpenghasilan lebih daripada cukup dan telah berulangkali naik haji tanpa adanya sebuah resistensi moral berhaji atas biaya rakyat sementara jutaan orang Indonesia harus bersusah payah menabung seperak-duaperak demi menjadi tamu Allah itu apakah lagi ketika diduga bahwa sebagian dari “para haji” itu bahkan mengorupsi dana haji. Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan, baik dalam logika hukum ataupun moral. Logika hasratlah yang telah mencabik-cabik kesadaran-diri mereka akan moralitas dan realitas sosial. Karena berpacu bersama hasrat akan kemewahan: simbol dan status haji kini telah hanya menjadi simbol dari status kelas tertentu di dalam masyarakat, apalagi jika dilakukan berkali-kali, mereka melakukan “justifikasi” hak-hak orang banyak sebagai hak-hak khusus mereka, sebagian pejabat yang naik haji dengan Dana Abadi Umat berargumen bahwa hal itu sudah menjadi hak mereka karena menjalankan tugas negara padahal, “Jangan mengkhususkan dirimu dengan sesuatu yang menjadi hak bersama orang banyak,” kata Ali lagi.

Yang berikutnya adalah ketakberpihakan. Para penguasa yang telah mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari realitas kebenaran dan keadilan; karena yang terakhir itu terlalu getir, pahit, dan berat untuk dihadapi; karena perlu keringat, air mata, dan darah untuk memperjuangkannya. Mereka lebih memilih menikmati beragam ilusi dan halusinasi yang disajikan kemewahan yang celakanya karena wataknya yang manipulatif sangatlah membenci realitas.

H. Syahadah Imam Ali

Khalifah Ali mulai berdoa, bersimpuh, dan bermunajat kepada Allah swt. agar Dia segera menyelamatkan dirinya dari masyarakat yang sesat itu dan memindahkannya ke alam baka. Di sana ia akan mengadukan kepada putra pamannya segala bencana dan musibah yang telah menim-panya. Allah swt. mengabulkan doanya itu. Seorang durjana dan pendur-haka yang bernama Abdurrahman bin Muljam telah menebas kepala khalifah Ali., seperti pembunuh unta Nabi Saleh. Pada waktu itu, Ali sedang berdiri di hadapan Allah swt. di mihrabnya mengerjakan salat di sebuah rumah Allah. Si durjana itu menghunus dan menebaskan pedangnya. Ketika merasakan pedihnya tebasan pedang itu, ia berteriak: “Demi Tuhan Ka‘bah, sungguh aku telah menang!.

Penghulu orang-orang yang bertakwa telah menang. Hidupnya telah berakhir dengan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat haq. Salam sejahtera Allah atasnya pada hari ia dilahirkan di dalam Ka‘bah dan pada hari ia meneguk cawan syahadah di dalam rumah Allah.
Dengan syahadah Ali bin Abi Thalib, bendera hak, kebenaran, dan keadilan turun terlipat, sinar hidayah dan cahaya petunjuk yang selama ini telah menyinari dunia Islam telah padam.



DAFTAR PUSTAKA
1. Faqih imani,Mehdi, 2006. Mengapa Mesti Ali?, Jakarta: citra
2. Muaswi Lari, Mujtaba, 2004. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, Jakarta: PT Lentera Basritama anggota IKAPI
3. AL- Amini, Abdul Husain, 2003. Ali Bin Abi Thalib, Jakarta: Al- huda
4. Mahmud Aqqad, Abbas, 1994. Keagungan Ali Bin Abi Thalib, cetakan ke- 3, Jakarta: CV. Pustaka Mantiq

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.