Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Kekerasan Politik Agama

Kekerasan Politik Agama

Dari sejumlah pengertian tentang kekerasan, kita dapat memilahnya dalam tiga kelompok besar yaitu kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor, kekerasan sebagai produk dari struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur. Kelompok pertama dipelopori ahli biologi, fisiologi dan psikologi. Para pendukung teori biologi dan fisiologi berpendapt bahwa menusia melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan atau sebagai konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai penyebab kekerasan, dan juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia dari pembawaannya memang suka kekerasan.

Kelompok kedua, pengertian kekerasan sebagai tindakan yang terkait dengan struktur. Johan Galtung (1875) mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Kekerasan struktural yang dikemukakan Gultung menunjukan bentuk kekerasan yang tidak langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas tertentu.

Graziano menjelaskan keterlibatan struktur negara lewat berbagai cara, strategi dan tindak kekerasan, seraya secara munafik mengalihkan tanggung jawab ekses perbuatan tersebut kepada rakyat. Weber menguraikan kekerasan sebagai cara terstruktur untuk menunjukkan identitas diri dalam upaya penentuan nasib sendiri.

Kelompok ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur seperti dikemukakan Jennifer Turpin dan Lester R. Kurtz (1997). Asumsi dari kelompok ini ialah konflik bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik sebagai sesuatu yang ditentukan), ada sejumlah alat alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik sosial, untuk menyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam organisasi sosial dan individu, masalah kekerasan merupakan salah satu masalah pokok dari kehidupan modern, terdapat hubungan kekerasan level mikro- makro dan antara aktor- struktur (pemecahan masalah kekerasan structural mengharuskan kita berkecimpungan dalam kekerasan actor, demikian sebaliknya), dan akhirnya spesialisasi akademik justru mengkaburkan masalah karena hal ini mengabaikan pendekatan yang holistik termasuk didalamnya dimensi ruang dan waktu.

Studi tentang kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur berawal dari kajian gender yang ingin menjawab pertanyaan “adakah hubungan antara struktur peperangan dengan memukul istri?”. Hubungan tersebut terletak pada budaya patriarki, dimana kaum pria mendominasi wanita yang menciptakan kekerasan aktor terhadap wanita dan anak-anak serta kekerasan struktural seperti perang. Ada dua bentuk hubungan kekerasan aktor dan struktur, pertama, adanya dialektika antara kekerasan aktor dan kekerasan struktur. Kedua, ada hubungan diantara berbagai bentuk kekerasan yang terjadi pada level aktor maupun struktur.

Hal yang tidak kalah penting untuk diurai ialah mengapa kekerasan politik-agama bisa terjadi. Seperti dinyatakan Gurr bahwa kekerasan politik dimulai dari diri aktor. Gurr menyatakan bahwa individu yang memberontak sebelumya harus memiliki latar belakang situasi seperti terjadinya ketidak adilan, muncul kemarahan moral, dan kemudian memberi respon dengan kemarahan pada sumber penyebab kemarahan tersebut. Selain itu, massa juga harus merasakan situasi konkrit dan langsung yang menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka, sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya.

Kekerasan politik-agama dalam kerusuhan dipengaruhi secara bersamaan oleh tekanan struktur sosial yang menghimpit mereka dalam kehidupan sehari-hari akibat perlakuan yang tidak adil, tidak jujur, serta motivasi dan kepentingan pribadi yang bersangkutan. Akumulasi kemarahandan rasa frustasi ditegah kehidupan sehari-hari, disamping emotional illiteracy (buta emosi) dan ketidak mampuan mengekspresikan emosi secara cerdas serta cara yang telah ditempuh ternyata tidak membuahkan hasil, telah di belokkan kekerasan massa terhadap sasaran-sasaran utama yang sudah ditentukan sebelumnya.

Agama semestinya tidak menimbulkan kekerasan. Namun fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain, misalnya kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalah arahkan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama pro-Phetis (Nabi), seperti islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Dari sisi internal, agama Pro-Phetis cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak tuhan. Oleh karena itu pemahaman agama atau bagaimana agama diinterpretasi merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik-agama.

Politik-agama yang banyak terjadi dinegara yang baru merdeka, yang berjuang untuk menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama memainkan peran yang lebih besar. Lituania, Armenia, dan Azeris adalah beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan otoritas mutlak sebagai hak prerogative yang tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah dibingksi “Agama” sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir dosa.

Menurut teori kekerasan negara, kekerasan merupakan akibat tak terelakkan dari modernisasi. Akumulasi capital hanya dapat dilakukan lewat kekerasan. Kekerasan dapat dikurangi tarafnya hanya lewat bimbingan penguasa pusat yang mau menjaga masyarakatnya dan menekan dan menekan gangguan-gangguan dalam proses pembangunan. Tindakan kekerasan dinilai harus diterima oleh komunitas terbelakang sebagai jalan yang tepat menuju modernisasi, meskipun langkah tersebut menimbulkan kekrasan jangka pendek berupa upah yang rendah, meningkatnya kekurangan gizi dan kondiisi peprcepat kemiskinan.

Kekrasan yang disebabkan oleh pembangunan sangat tergantung pada rezim tertentu. Rezim otoriter akan akan memperaktekkan kekerasan dan mengabaikan bentuk pemerintahan yang demokratis untuk sementara saja, hingga mereka berkembang lebih maju. Akan tetapi rezim totaliter akan melakukan lebih banyak kekerasan danmelakukannya terus menerus.

Negara adalah satu-satunya institusi yang secara sah memonopoli penggunaan kekuatan pemaksaan lewat apparatus negara, seperti militer, polisi, dan peradilan. Kekerasan di legitimasi negara untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dinyatakan Arendt, kekrasan akan muncul bilamana kekuasaan sedang ada dalam bahaya, yang berarti bahwa meskipun kekerasan dapat menghancurkan kekuasaan, namun kekersan tidak mampu menciptakan kekuasaan. Pada awalnya kekerasan tersebut langsung dilakukan oleh negara. Namun dengan merebaknya isu hak asasi manusia, maka negara (rezim orde baru) tidak cukup menggunakan apparatus negara sebagai pemaksa, tetapi melibatkan masyarakat. Benih kekerasan telah telah merebak di masyarakat lewat lewat pengorganisasian criminal, bukan organisasi kriminal. Negara telah menggerakkan masyarakat untuk melakukan kekerasan.

Sistem politik demokrasi mengenal mekanisme penyelesaian konflik yang jelas lewat dukungan suara. Di Indonesia mekanisme tersebut digunakan pada saat pemilihan umum. Namun sampai saat ini di Indonesia belum ada pelembagaan politik yang mampu mengelola konflik anta elit dan belum ada criteria yang jelas tentang konflik elit. Salah satu akibat konflik anta elit adalah merebaknya kekerasan. Kekerasan akan semakin intens dan sulit di kelola apabila pihak yang terlibat konflik mempolitisir ideologi atau agama.

Masa yang terbius oleh politik-agama diyakinkan lewat janji-janji kembalinya dunia yang telah mereka hancurkan. Jika penentraman seperti itu telah mendapat dukungan, muncullah ekspresi kreativitas agama asli diantara orang yang di subordinasikan.

Previous
« Prev Post

2 Komentar

  1. thanks udah memberikan pemahaman mengenai situasi kekerasan yang sering terjadi di Indonesia dengan berbau sara....jadi lebih kritis

    ReplyDelete
  2. sama-sama sudah sepatutnya kita untuk berbagi informasi..................

    ReplyDelete

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.