Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik mengadakan acara kuliah umum dalam tema Lecture Series on Democracy, pembicaranya adalah Prof. Dr. M. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Bertempat di Auditorium Syahida Inn.
Dalam menjelaskan beliau mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sangat berkembang dengan pesat dan sangat mengembirakan. Ini terlihat dan di rasakan oleh masyarakat, khususrnya pers dimana kebebasan pers serta hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dan diberi perlindungan. Begitu pula dengan kompetisi politik yang lebih mengedepankan masyarakat banyak, dikatan oleh beliau bahwa meskipun kita baru mengambil sistem demokrasi tetapi menurut survey, Indonesia disebut sebagai negara demokrasi baru yang dianggap cukup besar dan menonjol keberhasilannya ketimbang negara-negara lain di kawasan Asia.
Beliau lanjut menjelaskan bahwa kemajuan demokrasi ini tidak diimbangi dengan kemajuan dan kesadaran berpolitik, masih banyak politik transaksional yang mengakibatkan hadirnya pejabat publik yang tidak kompeten, dan pejabat itu cenderung bersifat reaktif terhadap permasalahan yang ada, jika mengeluarkan suatau kebijakan biasanya mengagetkan. “Contohnya Revisi Undang Undang Tipikor kemarin yang menyatakan korupsi Rp25 juta tak perlu dihukum.
Belum lagi pembangunan gedung mewah DPR yang kurang memperhatikan nasib rakyat kecil yang semakin tertindas. Hal itu diperburuk dengan sikap-sikap intoleransi yang dilandasi dengan eskalasi kekerasan yang makin tinggi. Ini semua bukanlah tanda dari demokrasi yang sehat. Apalagi ketidakadilan masih merajalela. Ini akan menimbulkan apatisme dan skeptisisme di masyarakat.
Beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyebutkan demokrasi saat ini, memang paradoks. Di satu sisi ada yang menyatakan kebablasan, seperti yang di contohkan di atas, di sisi lain demokrasi dinilai maju. Menyebut contoh, partai politik kini bebas didirikan. “Pers pun sekarang bebas mau menulis berita apa saja. Dulu memuat berita keluarga cendana bisa dibredel.
Demokrasi malah menunjukkan ambiguitas yang nyata. Masyarakat sipil terus tumbuh tetapi tidak diiringi tumbuhnya ketertiban sosial. Adanya ambiguitas itu cukup menunjukkan bahwa dibalik wajah cerah demokrasi di Indonesia, ternyata tersimpan persoalan-persoalan serius dan substansial yang jika dibiarkan bisa fatal akibatnya. Bukan tidak mungkin, prospek bagus menuju demokrasi pupus karena demokrasi tidak kunjung berhasil dikonsolidasikan. Beliau menjelaskan bahwa sekarang Indonesia masih berada dimasa transisi, untuk itulah, transisi demokrasi tak boleh dibiarkan berjalan dalam jangka waktu yang lama, sehingga mau tak mau transisi ini harus segera dituntaskan.
Terakhir dijelaskan bahwa Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari pilar negara hukum ,yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada kekuasaan hukum. Di Indonesia, kekuasaan atau kedaulatan hukum bersumber pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Selain itu juga, dia menjelaskan, dalam konsep negara hukum demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Saat ditanya apakah beliau tidak takut di Antasarikan? Dengan tegas beliau menjawab menyatakan dirinya tidak pernah takut akan dikerjai terkait dengan aktifitasnya. Namun memang, dia mengaku sangat berhati-hati untuk tidak membuat kesalahan sekecil apapun. Dengan lantang juga beliau mengatakan “Saya bahkan meminta stafnya untuk memasang alat perekam, jika diminta orang lain untuk memata-matai. Silakan saja, paling saya bicara pakai bahasa Madura. Paling juga mereka tidak tahu ujarnya.”
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik mengadakan acara kuliah umum dalam tema Lecture Series on Democracy, pembicaranya adalah Prof. Dr. M. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Bertempat di Auditorium Syahida Inn.
Dalam menjelaskan beliau mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sangat berkembang dengan pesat dan sangat mengembirakan. Ini terlihat dan di rasakan oleh masyarakat, khususrnya pers dimana kebebasan pers serta hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dan diberi perlindungan. Begitu pula dengan kompetisi politik yang lebih mengedepankan masyarakat banyak, dikatan oleh beliau bahwa meskipun kita baru mengambil sistem demokrasi tetapi menurut survey, Indonesia disebut sebagai negara demokrasi baru yang dianggap cukup besar dan menonjol keberhasilannya ketimbang negara-negara lain di kawasan Asia.
Beliau lanjut menjelaskan bahwa kemajuan demokrasi ini tidak diimbangi dengan kemajuan dan kesadaran berpolitik, masih banyak politik transaksional yang mengakibatkan hadirnya pejabat publik yang tidak kompeten, dan pejabat itu cenderung bersifat reaktif terhadap permasalahan yang ada, jika mengeluarkan suatau kebijakan biasanya mengagetkan. “Contohnya Revisi Undang Undang Tipikor kemarin yang menyatakan korupsi Rp25 juta tak perlu dihukum.
Belum lagi pembangunan gedung mewah DPR yang kurang memperhatikan nasib rakyat kecil yang semakin tertindas. Hal itu diperburuk dengan sikap-sikap intoleransi yang dilandasi dengan eskalasi kekerasan yang makin tinggi. Ini semua bukanlah tanda dari demokrasi yang sehat. Apalagi ketidakadilan masih merajalela. Ini akan menimbulkan apatisme dan skeptisisme di masyarakat.
Beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyebutkan demokrasi saat ini, memang paradoks. Di satu sisi ada yang menyatakan kebablasan, seperti yang di contohkan di atas, di sisi lain demokrasi dinilai maju. Menyebut contoh, partai politik kini bebas didirikan. “Pers pun sekarang bebas mau menulis berita apa saja. Dulu memuat berita keluarga cendana bisa dibredel.
Demokrasi malah menunjukkan ambiguitas yang nyata. Masyarakat sipil terus tumbuh tetapi tidak diiringi tumbuhnya ketertiban sosial. Adanya ambiguitas itu cukup menunjukkan bahwa dibalik wajah cerah demokrasi di Indonesia, ternyata tersimpan persoalan-persoalan serius dan substansial yang jika dibiarkan bisa fatal akibatnya. Bukan tidak mungkin, prospek bagus menuju demokrasi pupus karena demokrasi tidak kunjung berhasil dikonsolidasikan. Beliau menjelaskan bahwa sekarang Indonesia masih berada dimasa transisi, untuk itulah, transisi demokrasi tak boleh dibiarkan berjalan dalam jangka waktu yang lama, sehingga mau tak mau transisi ini harus segera dituntaskan.
Terakhir dijelaskan bahwa Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari pilar negara hukum ,yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada kekuasaan hukum. Di Indonesia, kekuasaan atau kedaulatan hukum bersumber pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Selain itu juga, dia menjelaskan, dalam konsep negara hukum demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Saat ditanya apakah beliau tidak takut di Antasarikan? Dengan tegas beliau menjawab menyatakan dirinya tidak pernah takut akan dikerjai terkait dengan aktifitasnya. Namun memang, dia mengaku sangat berhati-hati untuk tidak membuat kesalahan sekecil apapun. Dengan lantang juga beliau mengatakan “Saya bahkan meminta stafnya untuk memasang alat perekam, jika diminta orang lain untuk memata-matai. Silakan saja, paling saya bicara pakai bahasa Madura. Paling juga mereka tidak tahu ujarnya.” Agil asshofie 03:34:00 Admin Tangerang Indonesia
Dalam menjelaskan beliau mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sangat berkembang dengan pesat dan sangat mengembirakan. Ini terlihat dan di rasakan oleh masyarakat, khususrnya pers dimana kebebasan pers serta hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dan diberi perlindungan. Begitu pula dengan kompetisi politik yang lebih mengedepankan masyarakat banyak, dikatan oleh beliau bahwa meskipun kita baru mengambil sistem demokrasi tetapi menurut survey, Indonesia disebut sebagai negara demokrasi baru yang dianggap cukup besar dan menonjol keberhasilannya ketimbang negara-negara lain di kawasan Asia.
Beliau lanjut menjelaskan bahwa kemajuan demokrasi ini tidak diimbangi dengan kemajuan dan kesadaran berpolitik, masih banyak politik transaksional yang mengakibatkan hadirnya pejabat publik yang tidak kompeten, dan pejabat itu cenderung bersifat reaktif terhadap permasalahan yang ada, jika mengeluarkan suatau kebijakan biasanya mengagetkan. “Contohnya Revisi Undang Undang Tipikor kemarin yang menyatakan korupsi Rp25 juta tak perlu dihukum.
Belum lagi pembangunan gedung mewah DPR yang kurang memperhatikan nasib rakyat kecil yang semakin tertindas. Hal itu diperburuk dengan sikap-sikap intoleransi yang dilandasi dengan eskalasi kekerasan yang makin tinggi. Ini semua bukanlah tanda dari demokrasi yang sehat. Apalagi ketidakadilan masih merajalela. Ini akan menimbulkan apatisme dan skeptisisme di masyarakat.
Beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyebutkan demokrasi saat ini, memang paradoks. Di satu sisi ada yang menyatakan kebablasan, seperti yang di contohkan di atas, di sisi lain demokrasi dinilai maju. Menyebut contoh, partai politik kini bebas didirikan. “Pers pun sekarang bebas mau menulis berita apa saja. Dulu memuat berita keluarga cendana bisa dibredel.
Demokrasi malah menunjukkan ambiguitas yang nyata. Masyarakat sipil terus tumbuh tetapi tidak diiringi tumbuhnya ketertiban sosial. Adanya ambiguitas itu cukup menunjukkan bahwa dibalik wajah cerah demokrasi di Indonesia, ternyata tersimpan persoalan-persoalan serius dan substansial yang jika dibiarkan bisa fatal akibatnya. Bukan tidak mungkin, prospek bagus menuju demokrasi pupus karena demokrasi tidak kunjung berhasil dikonsolidasikan. Beliau menjelaskan bahwa sekarang Indonesia masih berada dimasa transisi, untuk itulah, transisi demokrasi tak boleh dibiarkan berjalan dalam jangka waktu yang lama, sehingga mau tak mau transisi ini harus segera dituntaskan.
Terakhir dijelaskan bahwa Negara hukum tidak dapat dipisahkan dari pilar negara hukum ,yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada kekuasaan hukum. Di Indonesia, kekuasaan atau kedaulatan hukum bersumber pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Selain itu juga, dia menjelaskan, dalam konsep negara hukum demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Saat ditanya apakah beliau tidak takut di Antasarikan? Dengan tegas beliau menjawab menyatakan dirinya tidak pernah takut akan dikerjai terkait dengan aktifitasnya. Namun memang, dia mengaku sangat berhati-hati untuk tidak membuat kesalahan sekecil apapun. Dengan lantang juga beliau mengatakan “Saya bahkan meminta stafnya untuk memasang alat perekam, jika diminta orang lain untuk memata-matai. Silakan saja, paling saya bicara pakai bahasa Madura. Paling juga mereka tidak tahu ujarnya.” Agil asshofie 03:34:00 Admin Tangerang Indonesia
Hubungan Konstitusi dan Demokrasi
Posted by Agil Asshofie
on 03:34:00
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Berikan Komentar Anda