Melatih Anak Berpuasa merupakan Pendidikan anak sejak dini salah satu central issue yang yang mendapat perhatian besar dalam Islam. Pendidikan adalah satu-satunya pintu membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter salimul aqidah (aqidah yang bersih), shahihul i'badah (ibadah yang benar), matinul khuluq (akhlak yang kokoh), mutsaqaful fikri (wawasan berfikir yang luas), qawiyul jismi (jasmani yang sehat dan kuat) dan nafi'un lighairihi (bermanfaat bagi orang lain). Meminjam pernyataan M. Natsir (Kapita Selekta) yang mengatakan, "Maju Mundurnya sebuah bangsa sangat tergantung dari pendidikan yang diselenggarakan bangsa itu".
Al-Qur'an, dalam banyak ayat, memerintahkan para orangtua untuk sejak dini mendidik anak-anaknya: "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata pada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepada anaknya, "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar". (Luqman: 13)
Bulan Ramadhan merupakan bulan spesial bagi umat Islam di dunia, dimana pada bulan tersebut semua umat Islam menjalankan ibadah berpuasa. Sebagai orang tua kita perlu mendidik dan melatih anak berpuasa sejak dini, tanamkan kesadaran berpuasa dan ajarkan secara bertahap dan menyenangkan. Dengan mengajarkan puasa sejak dini anak akan lebih mudah terbiasa dalam menjalani ibadah puasa tanpa merasakan puasa sebagai beban melainkan ibadah yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kesehatan dan kecerdasan spiritual.
Pada masa kini, tumbuh suatu anggapan bahwa tindakan para orang tua kaum muslimin memerintahkan anak berpuasa merupakan tindakan kekerasan orang tua pada anak. Suatu anggapan yang tidak memiliki dasar pengetahuan apa pun. Karena, pertama: melatih anak berpuasa tidak sama dengan mewajibkan mereka berpuasa. Rasulullah saw. menegaskan: "Tidak ada kewajiban syar'i bagi anak-anak yang belum baligh". Kedua, dalam melatih anak berpuasa, harus mempertimbangkan kondisi dan kemampuan anak. Al-Qur'an menegaskan: "Allah swt. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (Al-Baqarah: 286).
Dua prinsip di atas sangat gamblang mengimplikasikan bahwa tidak boleh ada unsur paksaan dan kekerasan dalam mendidik anak. Akan tetapi justru sebaliknya, harus memperhatikan kondisi dan kemampuan anak serta mengupayakan cara-cara memotivasi dan membuat mereka gembira saat mereka latihan berpuasa.
Melatih anak di usia dini lebih baik karena anak siap belajar apa saja dan mempercayai apa yang dikatakan orangtuanya/gurunya.
Melatih anak puasa bukan untuk berbangga-bangga tapi untuk pembiasaan dan juga pondasi ibadah di masa yang akan datang sehingga ketika tiba masa baligh, anak-anak sudah mantap dan mapan ibadahnya.
Insya Allah anak akan siap untuk menghadapi tugas kehidupan yang lebih berat di masa dewasanya.
Memang, tak ada acuan di usia berapa anak sanggup berpuasa karena kondisi tubuh setiap anak berbeda. Bagaimana mengetahui kemampuan berpuasa pada anak? Sebetulnya mudah saja; anak yang sudah merasa lemas pasti akan mengeluh lapar. Jangan tunda sampai lemasnya memunculkan keringat dingin, apalagi muntahmuntah. Boleh jadi itu salah satu pertanda kadar gula darahnya menurun atau anak mengalami dehidrasi karena umumnya anakanak tetap aktif bermain dan mengeluarkan banyak keringat. Segera batalkan puasanya. Jangan lupa untuk tetap memuji usahanya.
Namun, jangan biarkan anak balas dendam terhadap rasa laparnya dengan makan dalam porsi besar sekaligus. Tentu tindakan “balas dendam” bisa membuat sistem pencernaannya kaget dan bereaksi menimbulkan sakit. Berikan minuman pembuka yang dapat memulihkan energinya disertai makanan ringan. Setelah itu, barulah makan makanan utama dengan porsi tidak berlebihan. Ketimbang mengatakan, “Puasa berarti tidak makan sehari penuh,” lebih baik katakan, “Puasa hanyalah mempercepat waktu makan pagi dan menunda makan siang.” Dengan demikian, anak tidak akan merasa berat melakukannya. Selanjutnya latih kekuatan berpuasa anak secara bertahap.
Di awal latihan, anak balita yang sarapan sekitar pukul 07.00 dapat berpuasa hingga pukul 09.00 atau 10.00 WIB. Setelah makan, puasa dilanjutkan kembali hingga siang lalu dibuka untuk yang kedua kali (pada pukul 15.00, misalnya), lantas dilanjutkan lagi hingga magrib. Di tahun berikutnya, puasa dapat dilakukan hingga pukul 12.00 WIB, dan seterusnya sesuai kemampuan anak.
Untuk anak usia sekolah yang relatif lebih kuat, perhatikan jam biologisnya. Biasanya hingga pukul 12.00, anak masih bisa bertahan namun setelah lewat tengah hari, katakanlah pukul 14.00, perutnya mulai keroncongan. Jika memang sudah tidak kuat, tawari anak untuk berbuka. Sebaliknya, kalau masih terlihat segar, ajak ia berkegiatan agar dapat mengabaikan rasa lapar dan hausnya seperti dengan membacakan cerita, menonton film favorit, dan lainnya.
Perlu juga dipahami, di awal-awal puasa (1-3 hari pertama) adalah masa penyesuaian tubuh terhadap “kosongnya” perut. Jangan khawatir kalau anak mengurangi aktivitasnya dan lebih banyak tidur karena merasa tak bersemangat. Siasati dengan mengajaknya melakukan aktivitas yang tidak menguras energi tapi mampu membuatnya merasa asyik. Kalau anak mesti sekolah di pagi hari, ajaklah ia tidur lebih awal sehingga tubuhnya tetap bugar meski harus bangun sahur. Siang hari, ingatkan anak untuk tidur dengan porsi biasa saja, karena kebanyakan tidur justru dapat membuatnya makin lemas dan tidak bersemangat.
Setelah sahur, jangan biarkan anak beraktivitas berlebihan (jalan-jalan pagi dalam jarak jauh atau berolahraga yang menguras tenaga) karena dengan begitu ia akan cepat kehabisan energi dan akhirnya lemas dan haus. Lebih baik, ajak ia kembali tidur atau mengisinya dengan kegiatan yang tidak terlalu menghabiskan tenaga. Bermain aktif dapat dilakukan menjelang magrib dan umumnya tidak lebih dari 1 jam.
Demikian beberapa tips dan trik sehat mengajar anak berpuasa. Semoga Allah merahmati kita semua dengan anugrah anak-anak dan generasi yang saleh. amin..
Berikan Komentar Anda