Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as
Nama : Fatimah.
Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah : Mahammad.
Ibu : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jumadil Tsani.
Tempat : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam : Tidak diketahui.
Nama : Fatimah.
Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah : Mahammad.
Ibu : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jumadil Tsani.
Tempat : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam : Tidak diketahui.
Seorang Muslimah yang tidak mengenal dan mencintai Fatimah Az Zahra putri Rasulullah, harus dipertanyakan keimanannya. Bagaimana tidak Az Zahra adalah putri yang sangat dicintai dan mencintai Rasulullah. Oleh karenanya sering keluar dari lisan Rasulullah kata kata yang mengandung arti bahwa apa yang membuat Fatimah marah otomatis membuat beliau marah. Bahkan pada akhir hayatnya Rasulullah sempat membisiki Az Zahra bahwa ia pemimpin wanita ahli surga. Tapi siapa sangka apabila kehidupan sang putri diwarnai oleh kesengsaraan. Kesabaran dan keridhoannya dalam menerima apa yang diberikan Allah lah yang membuat ia pantas menyandang gelar wanita terbaik.
Maka tak ada salahnya, apabila pada kesempatan ini kita mengenang kembali Az Zahra, dengan harapan bisa menjadi motivasi bagi kita untuk memperbaiki diri.
Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
Fatimah Zahra as Teladan Perempuan Muslim
Hari (20 Jumadil Tsani) adalah hari kelahiran Fathimah, buah cinta dua sosok insan yang mulia, Rasulullah Saw dan istrinya, Khadijah as. Atas kehendak Allah, saat melahirkan putrinya ini, Khadijah dibantu oleh beberapa wanita yang didatangkan Allah dari surga. Bayi yang mulia itupun dimandikan dengan air telaga Kautsar lalu dibalut di sehelai kain yang menebar aroma lebih wangi dari kesturi. Atas perintah Allah, Nabi Saw memberinya nama Fathimah. Bagi beliau, kelahiran Fathimah meniupkan angin sejuk surgawi sementara bagi sang ibu putri ini adalah hadiah pemberian Allah yang telah mengusir segala kegundahan dan kesedihan dari hatinya.
Ahmad bin Khalil Jum'ah, dalam bukunya berjudul ‘Nisaau Ahlil Bait ‘ menulis demikian:
"Setiap kali keutamaan ditempatkan dalam satu keranjang yang diiringi dengan semerbak aroma yang wangi murni maka nama yang layak diberikan kepadanya adalah Fathimah Zahra. Bagaimana mungkin orang bisa menuliskan semua keutamaan dan kemuliaan Penghulu Wanita Surga dalam satu buku? Ketika ingin membaca keutamaan Fathimah Zahra dan mengambil manfaat dari wewangi segar sirah dan kisah hidupnya, aku menemukan diriku berada di sebuah taman yang menebar kesegaran, indah dan penuh berkah, yang tak mungkin jiwa manusia merasa letih atau hati merasa jenuh karenanya. Di taman itu aku menyaksikan seluruh sifat-sifat mulia dan istana-istana indah yang dibangun oleh Fathimah dengan keutamaan dan keagungannya."
Suatu hari Rasulullah Saw memanggil Fathimah dan bersabda, "Putriku, Ali, anak pamanmu datang meminangmu. Bersediakah engkau menikah dengannya?" Fathimah berdiam tersipu dan nampak keringat membasahi dahinya. Dengan kepala menunduk dia berkata, "Apa pendapat ayah?" Nabi Saw menjawab, "Allah telah mengizinkannya." Fathimah dengan tetap menundukkan kepala menjawab, "Aku ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya." Persiapan sederhana untuk membangun rumah tanggapun disiapkan. Malam pernikahan, Fathimah dibawa menghadap Nabi Saw. Utusan Allah itu membuka tabir penutup kepala putrinya supaya Ali, sang mempelai pria dapat melihat wajah istrinya. Lalu Nabi meletakkan tangan Fathimah di tangan Ali dan bersabda, "Wahai Ali, Fathimah adalah istri yang baik untukmu." Kepada Fathimah, Nabi bersabda, "Putriku, Ali adalah sebaik-baik suami." Demikianlah kisah ringkas dari pernikahan Fathimah dan Ali. Mereka tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana namun penuh keceriaan dan kasih sayang.
Fathimah as adalah poros bagi kehidupan rumah tangga dan keluarga yang baik dan ideal. Siapa saja yang menengok ke rumah ini dapat menjadikannya sebagai teladan untuk membangun sebuah kehidupan yang terhormat dan indah. Hal yang paling menonjol dalam kehidupan Fathimah adalah kemampuannya menghubungkan kehidupan individu, sosial dan keluarga. Beliau pun tampil sebagai sosok pekerja keras, rela berkorban dan pejuang sejati.
Salah satu keistimewaan rumah tangga beliau adalah ketiadaan kebodohan di dalamnya. Rumah yang seperti ini tentu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Dengan kata lain, seluruh anggota keluarga Fathimah adalah sosok-sosok manusia yang mendapat anugerah kesempurnaan akal. Kesan pertama dan utamanya adalah penghambaan kepada Allah menjadi landasan paling mendasar dalam hubungan di antara mereka. Ibu rumah tangga di keluarga ini adalah sosok wanita yang tenggelam dalam cinta Ilahi kala beribadah dan bermunajat dengan Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa putra dari wanita suci ini berkata, "Setiap kali ibuku selesai beribadah beliau nampak dikelilingi oleh cahaya yang terang benderang."
Dalam doanya, Fathimah as)berkata, "Ya Allah, berilah kesempatan kepadaku untuk mengerjakan apa saja yang karenanya Engkau menciptakanku dan jangan Engkau sibukkan aku dengan hal-hal selain itu." (Bihar al-Anwar: 92/ 402)
Dalam kehidupan rumah tangganya dengan Ali bin Abi Thalib as, tak ada tanda-tanda yang mengarah kepada persaingan dan egoisme di antara mereka. Keduanya sama-sama memikul tanggung jawab yang besar. Sebagai ayah yang bijak, Rasulullah Saw mengusulkan pembagian tugas di antara putri dan menantunya, dan diputuskan pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab Fathimah dan tugas di luar dipikulkan ke pundak Ali. Fathimah mengungkapkan perasaannya tentang pembagian tugas ini dan mengatakan, "Selain Allah, tak ada yang mengetahui kegembiraanku dengan pembagian tugas ini. Sebab, Rasulullah telah mencegahku melakukan apa yang menjadi pekerjaan orang laki-laki." (Bihar al-Anwar: 43/ 81)
Fathimah tahu benar bahwa perempuan tidak wajib melakukan pekerjaan rumah dan suamipun tidak berhak menyamakan istrinya dengan pembantu. Akan tetapi kehangatan hubungan, pengorbanan, keakraban dan pemahaman yang benar tentang kehidupan akan meringankan beban menanggung kesulitan hidup. Di rumah yang sederhana, Fathimah as telah mendidik anak-anaknya yang oleh sejarah diakui sebagai manusia-manusia terbaik. Beliau bersama dengan suaminya menempatkan diri sebagai teladan bagi anak-anak mereka. Kepada putra sulungnya, Hasan, Fathimah pernah berkata, "Hasan anakku, jadilah engkau seperti ayahmu, belalah kebenaran, sembahlah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Pemberi kebaikan, dan janganlah engkau bergaul dengan orang-orang pendendam." Fathimah adalah sosok wanita dengan kefakiran yang menjadi tetangga terdekatnya. Meski secara materi hidup dalam kesusahan, namun hal itu tak pernah mampu menundukkan kebesaran jiwanya sebagai orang yang dermawan. Ibnu Syahr Asyub berkata;
Suatu hari Ali bertanya kepada Fathimah, adakah sesuatu yang bisa dimakan di rumah? Fathimah menjawab, "Demi Allah, sudah dua hari ini aku dan anak-anakku menahan lapar." Alipun terkejut dan berkata, "Mengapa engkau tidak memberitahuku supaya aku bisa menyediakan sesuatu untuk kalian?" Fathimah menjawab, "Aku malu kepada Allah untuk meminta sesuatu darimu yang tidak bisa kau penuhi." Ali segera meninggalkan rumah dan meminjam uang satu dinar dari seseorang untuk membeli keperluan rumah. Di tengah jalan, beliau berpapasan dengan seorang sahabat yang terlihat pucat dan kebingungan. Beliau bertanya, "Apa yang membuatmu gelisah seperti ini?" Dia menjawab, "Aku tak mampu mendengar suara tangis anak-anakku yang kelaparan." Mendengar itu, Ali menyerahkan uang satu dinar tadi kepada orang tersebut.
Kemuliaan dan keagungan Fathimah diakui oleh semua orang. Wanita muslimah sepanjang sejarah mesti menjadikan putri Nabi ini sebagai teladan dalam kehidupan individu, sosial dan keluarganya. Beliau adalah sosok wanita yang bijaksana dalam bersikap, sopan dalam bertutur kata, santun dalam beretika, dan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau selalu peduli dengan kondisi orang-orang di sekitarnya. Setiap kali bertemu dengan para wanita muslimah, beliau memberikan bimbingan dan ajaran kepada mereka seperti yang diterimanya dari ayah beliau. Fathimah juga dikenal sebagai pejuang sejati dalam membela kebenaran.
Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur’an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur’an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.
Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah … dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.
“Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku … Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”
Sumber:
http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&id=314721
http://delss.wordpress.com/2007/11/30/fatimah-az-zahra-as-penghulu-wanita-semesta/
http://teladanqt.blogspot.com/2008/12/fatimah-az-zahra-teladan-setiap.html
DISINI KALIAN MASIH MENGUTIP KITAB BIHAR AL ANWAR,TAPI KALAU DITANYA KITAB ITU KALIAN BILANG ITU KITAB KUNO,DAN KALIAN BILANG TIDAK BOLEH MENGIKUTI ULAMA YANG TELAH WAFAT????TAQIYAAAH LAGIII DEEEEEHHH JUDULNYAAA
ReplyDeleteCOBA JELASKAN APA PENDAPAT KALIAN TENTANG INI:
ReplyDeleteImam Hasan Askari berkata : “Sesungguhnya kami para penerima wasiat Imamah tidaklah dikandung di dalam perut melainkan di pinggang dan tidak dilahirkan lewat rahim melainkan lewat paha sebelah kanan karena kami titisan cahaya Allah yang bersih dan tidak terkena kotoran sama sekali”. (Kamaluddin 390, 393 Biharul Anwar jilid 51 hal 2, 13,17, 26 , Itsbatul Hudat jilid 3 hal 409,414 I’lamul Wara hal 394 Dala’ilul Imamah 264).
â€Kulani menukil dari Abdullah, ia berkata: Taqwalah atas agamamu dan berhijablah dengan “taqiyahâ€, maka sesungguhnya tidak sempurna iman seseorang apabila tidak berdusta (taqiyah). (Ushulul Kaafi hal. 483. Al Kaafi merupakan salah satu kitab pegangan pokok mereka dalam hal aqidah dan agama Syi’ah Imamiah).
ReplyDelete- Kulaini mengatakan dari Abdullah ia berkata: Adalah Bapakku mengatakan: “Dan apakah yang dapat menenangkan pikiranku selain berdusta (taqiyah). Sesungguhnya taqiyah adalah surga bagi orang yang beriman.†(Ushul Al-Kaafi hal.484).
- Jagalah agama kalian dan lindungilah dengan taqiyah, sesungguhnya tidak beriman bagi siapa yang tidak bertaqiyah. (Al Kulani dalam Ushul Al-Kafi, I/218).