Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Biografi dan Pemikiran Abdurrahman Wahid

Biografi dan Pemikiran Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Ia merupakan seorang inteletual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam keluarga pesantren dan dibawah naungan keluarga ulama. Kakeknya sendiri adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama –NU- dan pelopor Pesantren Tebuireng Jombang, sedangkan ayahnya K.H Wahid Hasyim selain Ulama juga merupakan tokoh nasioanal yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama R.I pada tahun 1950. dari garis keturunan Ibunya Gus Dur juga mewarisi darah ulama sebut saja K.H Bisri Syamsuri adalah kakeknya.[1]

            Abdurrahman Addakhil, adalah julukan Gus Dur kecil. Pada saat bocah, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur lebih memilih ikut kakeknya dari pada tinggal bersama orang tuanya. Di saat serumah dengan kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir-mudik dirumah kakeknya.[2]

            Ayahnya K.H Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama yang membuat keluarganya harus menetap di Jakarta, karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinya GusDur kecil lebih akrab dengan dunia politik yang di dengar dari rekan ayahnya yang sering mangkal dirumah mereka. Selain itu, Gus Dur sendiri tergolong bocah yang amat peka mengamati sekitarnya. Berdasarkan pengakuan ibunya, Ny. Wahid Hasyim, “Sejak usia lima tahun , dia sudah lancar membaca. Gurunya, waktu itu, adalah ayahnya sendiri.”[3]

            Kegemaran Gus Dur selain melahap segala macam buku seperti filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra, juga melahap majalah, dan surat kabar, adalah main bola, catur, musik, dan nonton film. Hobbynya ini semakin jadi ketika Gus Dur melanjutkan sekolah di Jogyakarta. Pada tahun 1955, Ia masuk SMEP Gowongan sambil nyantri di Pesantren Krapyak. Penguasaannya terhadap bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Jerman, semakin membuatnya ‘gila buku’. Tak heran kalau pada usia 15 tahun, bocah nyeleneh ini sudah melahap Das Kapital-nya Karl Mark, filsafat Plato, Thalles, novel-novel William Bochner dan buku-buku lain yang dipinjamnya dari berbagai perpustakaan dan juga gurunya di Pesantren dan SMEP.[4]
 
            Setamat dari SMEP Jogyakarta, Gus Dur kembali melanjutkan perantauan intelektualnya ke Pesantren Tegalrejo Magelang sekitar tiga tahun. Namun, karena Ia merasa pendalamannya terhadap ilmu agama masih belum cukup, maka Gus Dur memutuskan untuk kembali ke Jombang tepatnya di Pesantren kakeknya dari nasab ibunya. Selama di Pesantren hari-hari  Gus Dur banyak di habiskan hanya untuk mengaji. Di sela-sela kesibukannya mengaji, rupanya sifat ke-berandalan-nya sebagai seorang anak, tampak juga disana. Seperti ceritanya di bawah ini ;

Suatu ketika, Ia dan seorang temannya tertangkap basah  sedang mencuri ikan di empang milik seorang Kiai. Kemudian mereka di adili, tapi dengan cerdik, Gus Dur berkelit, “justru saya sedang menangkap orang yang mau nyolong ikan, kiai.” Sang Kiaipun termakan omongan Gus Dur lalu percaya.”.[5]

            Pada tahun 1964, Gus Dur memperoleh beasiswa belajar di Ma’had Ali Dimsat al-Islamiyah Universitas al- Azhar Kairo dengan mengambil spesialisasi Syari’ah. Gus Dur yang ketika berangkat ke Arab berusia 23 tahun sudah memiliki 1000 baris gramatika bahasa Arab yang di hafalnya diluar kepala. Merasa tidak cocok dengan dunia atmosfir intelektual yang lebih menekankan pada metode hafalan. Yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan pesantren di Indonesia, dengan demikian Gus Dur  justru jarang masuk kuliah dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan terlengkap di Kairo, yaitu American University Library. Serta menonton film.[6]

            Merasa jenuh belajar di Mesir, Gus Dur lalu pindah ke Bagdad untuk mengikuti kuliah di Universitas Bagdad. Di Bagdad, Gus Dur bukannya memperdalam studi-studi keislaman, akan tetapi Ia malah mempelajari sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa, dan teori social.[7] Tak lama kemudian di tempat inilah, bakat empirismenya tumbuh pesat. Di lingkungan yang baru tersebut, Gus Dur banyak membaca karya-karya fenomenal seperti pemikiran Emile Durkheim, Lenin, Mao Zedong, Gramsci, Ortega Y. Gasset. Spengler, dan lainnya.[8]
 
            Sebagai pribadi yang gemar membaca, Gus Dur melahap buku apa saja. Modalnya untuk itu adalah penguasaan bahasa : Arab, Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis.

Nampaknya Gus Dur menyukai musik.dan dunia film, Kebetulan, pada saat Gus Dur tinggal di Jakarta, rumahnya berdekatan dengan gedung bioskop, sehingga hampir setiap saat jika ada pemutaran film bagus, Gus Dur dapat dipastikan menonton. Bahkan tak peduli jika esok harinya Ia harus ada ulangan di sekolahnya.[9]
 
Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.  

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
 
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan  Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.  

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.

Pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid

a. Pluralisme dan Toleransi

            Salah satu aspek yang sangat mudah dipahami dari sosok Gus Dur adalah pemikirannya tentang pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China –khonghucu- Indonesia, bahkan Ia juga tidak segan membela kelompok agama minoritas, keyakinan, dan kelompok lain yang dianggap terdiskriminasi dan dilanggar hak kemanusiaannya.[10]  Dengan bahasa lain Gus Dur dapat dipahami sebagai figure yang memperjuangkan diterimanya kenyataan social bahwa Indonesia itu beragam, dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu sendiri. lebih dari itu, Gus Dur adalah seorang tokoh spiritual dan tokoh moderat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi.

         Ada satu pertanyaan mendasar yang sering diungkapkan kalangan “barat” terhadap Gus Dur, bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu mencintai agamanya dan khususnya sub-kultur agamanya tempat ia tumbuh, mampu menjadikannya seorang yang pluralistic dan non-chauvinis.[11] Salah satu idiom popular barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran, kenyataan ini sama sekali tidak berlaku bagi Gus Dur. 

            Pemikiran Gus Dur tidak jarang membuat banyak tafsiran tentang sosok beliau, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa pada satu sisi Gus Dur dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figure religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang sebagai politisi yang sekuler dan juga sebagai intelektual yang liberal.

b. Politik, Demokrasi dan HAM

            Sebagian besar diskusi mengenai Gus Dur, atau yang lebih jarang lagi mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek lain dari identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya yang paling sering dibahas daripada pergumulannya dengan dunia kepesantrenan. Kalau mau diperhatikan, sangat jarang sekali berita atau tulisan tentang Gus Dur yang mengangkat topic dirinya sebagai tokoh religius yang memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia dan bahkan juga dunia. Sebagai tokoh nasional yang dianggap juga sebagai guru bangsa, Gus Dur juga dikenal sebagai intelektual public yang terpandang yang selalu mengkampanyekan demokratisasi dan penegakan HAM. Akibatnya banyak orang merasa sulit memahami bagaimana seorang muslim yang setia, atau penganut agama yang taat, dapat menjadi figure modern yang liberal.

            Membincang gaya komunikasi politik Gus Dur, sama halnya dengan membuka peluang bagi munculnya multi-tafsir atas berbagai gaya yang ditampilkannya. Sikap politik Gus Dur yang lentur menjadikan dirinya sebagi kekuatan yang selalu diperhitungkan siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu dengan banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama  dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat membaca scenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga.[12]

            Gaya komunikasi politik Gus Dur memang unik dan berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional maupun internasional. Dia seringkali membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk persoalan yang bagi sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif. Mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade mark diri Gus Dur.[13]

            Ide besar yang selalu diusung oleh Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia. Kalau diperhatikan betul, Gus Dur selalu membuat berbagai diskursus di public untuk menjelaskan berbagai  aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi public untuk mengubah dan mempertahankan suatu betuk susunan masyarakat yang demokratis pula.[14]

c. Dualisme Islam Dan Negara  

Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam[15]. Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.   

Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur   termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.  

Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat, termasuk politik Islam.[16]
 
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.   

Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan Kesejahteraan bersama kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.  

Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat”.[17]

Penutup.
            Pada suatu loka karya di Semarang, Prof. Dr. Noeng Muhadjir mengatakan bahwa Gus Dur berpikir dengan wawasan post-modernisme, oleh sebab itu, kata Prof. Noeng, Gus Dur berpikir dari berbagai titik perspektif yang berdimensi banyak segi dan sudut pandang sehingga sulit dimengerti. Orang harus mampu mencermati pemikirn Gus Dur untuk dapat memahaminya. Di mata sebagian orang, Gus Dur bagaikan teks yang mengandung banyak konteks, atau, ia harus di baca sebagai konteks dibalik teks.

            Sebelum menutup makalah ini, penulis juga tertarik untuk menyampaikan sekilas ungkapan Jaya Suprana ketika melakukan wawancara eklusif disalah satu TV swasta mengatakan, “Presiden RI ke-empat bukan orang gila, tetapi membuat orang jadi gila”. Dengan logika “biarinisme-nya”, Gus Dur telah membuat banyak orang jadi kesal, kecewa, jengkel, geram, dan bahkan gila. Itulah Gus Dur, mantan presiden yang ter-antik di dunia. 

            Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, dari pemaparan di atas bisa disimpulkan secara umum bahwasannya Gus Dur adalah tokoh religius sekaligus bangsawan yang memiliki kepedulian yang tinggi kepada Islam dan negara.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Barton, Greg, Liberalismen: Dasar-dasar Progesifitas Pemikiran  Abdurrahman Wahid, Centre of Southeast Asian Studies Monash University, Victoria : 1994
Darwis, Ellyasa (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, LKiS, Jogyakarta : 1994
Malik,Dedy D. Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik, Zaman Wacana Mulia, Jakarta : 1998
El-sastrow, Gus, Siapa Sih Sampeyan, LKiS, Jogyakarta : 2000
Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Mitra Cendikia, Jakarta : Wahid,
Abdurrahman, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, LKiS, Jogyakarta : 1997
Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi, Rosda, Bandung: 2000
Wahid, Abdurrahman, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian. Pancasila sebagai Ideologi, BP 7 Pusat,  Jakarta: 1991
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, LkiS, Yogyakarta: 1999




[1] . Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik, (Zaman Wacana Mulia, Jakarta : 1998), hal. 78-79
[2] . lihat dalam KOMPAS 3 Desember 1989. juga Ibid. Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia……., hal. 79 
[3] . Tulian ini dapat dilihat dalam  Editor, 22 Desember 1990. Ibid. Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia……., hal. 79

[4] . Ellyasa Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (LKiS, Jogyakarta : 1994), hal. 59
[5] . Elsastrow, Gus, Siapa Sih Sampeyan, (LKiS, Jogyakarta : 2000), hal. 34
[6] . Faizal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Mitra Cendikia, Jakarta : 2004), hal. 190
[7] . Greg Barton, Liberalismen: Dasar-dasar Progesifitas Pemikiran  Abdurrahman Wahid, (Centre of Southeast Asian Studies Monash University, Victoria : 1994), hal 168
[8]. Greg Barton, Liberalismen: Dasar-dasar Progesifitas Pemikiran  Abdurrahman ……., hal. 170
[9] . Lihat Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, (LKiS, Jogyakarta : 1997), hal. 39
[10] . Greg Barton, Sebuah Pengantar memahami Abdurrahman Wahid. Untuk lebih jelasnya lhat dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, (LKiS, Jogyakarta, 1999), hal. XXii
[11] . Ibid, Greg Barton, Sebuah Pengantar………….
[12] . Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Mitra Cendikia, Jakarta : 2004), hal.152
[13] . Ibid, Faisal Ismail, Dilema NU………………hal. 153
[14] . Ibid, Faisal Ismail, Dilema NU………………hal. 155
[15] Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Rosda, Bandung: 2000), hal. 11.
[16] Abdurrahman Wahid, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama danKepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian.Pancasila sebagai Ideologi, (BP 7 Pusat,  Jakarta: 1991).

[17] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (LkiS, Yogyakarta: 1999), hal. 159.

Previous
« Prev Post

1 Komentar

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.