Pendahuluan
Abdurrahman
Wahid atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur lahir di Denanyar
Jombang Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Ia merupakan seorang inteletual
Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Sejak kecil Gus Dur dididik dan
dibesarkan dalam keluarga pesantren dan dibawah naungan keluarga ulama.
Kakeknya sendiri adalah Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, salah satu
pendiri Nahdlatul Ulama –NU- dan pelopor Pesantren Tebuireng Jombang, sedangkan
ayahnya K.H Wahid Hasyim selain Ulama juga merupakan tokoh nasioanal yang
pernah menjabat sebagai Menteri Agama R.I pada tahun 1950. dari garis keturunan
Ibunya Gus Dur juga mewarisi darah ulama sebut saja K.H Bisri Syamsuri adalah
kakeknya.[1]
Abdurrahman Addakhil, adalah julukan Gus Dur kecil. Pada
saat bocah, tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Gus Dur lebih memilih
ikut kakeknya dari pada tinggal bersama orang tuanya. Di saat serumah dengan
kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari
hilir-mudik dirumah kakeknya.[2]
Ayahnya K.H Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama
yang membuat keluarganya harus menetap di Jakarta, karena kedudukan sang ayah
ini pula, untuk kesekian kalinya GusDur kecil lebih akrab dengan dunia politik
yang di dengar dari rekan ayahnya yang sering mangkal dirumah mereka. Selain
itu, Gus Dur sendiri tergolong bocah yang amat peka mengamati sekitarnya.
Berdasarkan pengakuan ibunya, Ny. Wahid Hasyim, “Sejak usia lima tahun , dia sudah
lancar membaca. Gurunya, waktu itu, adalah ayahnya sendiri.”[3]
Kegemaran Gus Dur selain melahap segala macam buku
seperti filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra, juga
melahap majalah, dan surat kabar, adalah main bola, catur, musik, dan nonton
film. Hobbynya ini semakin jadi ketika Gus Dur melanjutkan sekolah di
Jogyakarta. Pada tahun 1955, Ia masuk SMEP Gowongan sambil nyantri di Pesantren
Krapyak. Penguasaannya terhadap bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Jerman,
semakin membuatnya ‘gila buku’. Tak heran kalau pada usia 15 tahun, bocah nyeleneh
ini sudah melahap Das Kapital-nya Karl Mark, filsafat Plato, Thalles,
novel-novel William Bochner dan buku-buku lain yang dipinjamnya dari berbagai
perpustakaan dan juga gurunya di Pesantren dan SMEP.[4]
Setamat dari SMEP Jogyakarta, Gus Dur kembali melanjutkan
perantauan intelektualnya ke Pesantren Tegalrejo Magelang sekitar tiga tahun.
Namun, karena Ia merasa pendalamannya terhadap ilmu agama masih belum cukup,
maka Gus Dur memutuskan untuk kembali ke Jombang tepatnya di Pesantren kakeknya
dari nasab ibunya. Selama di Pesantren hari-hari Gus Dur banyak di habiskan hanya untuk
mengaji. Di sela-sela kesibukannya mengaji, rupanya sifat ke-berandalan-nya
sebagai seorang anak, tampak juga disana. Seperti ceritanya di bawah ini ;
Suatu ketika, Ia dan seorang temannya
tertangkap basah sedang mencuri ikan di
empang milik seorang Kiai. Kemudian mereka di adili, tapi dengan cerdik, Gus
Dur berkelit, “justru saya sedang menangkap orang yang mau nyolong ikan, kiai.”
Sang Kiaipun termakan omongan Gus Dur lalu percaya.”.[5]
Pada tahun 1964, Gus Dur memperoleh beasiswa belajar di Ma’had
Ali Dimsat al-Islamiyah Universitas al- Azhar Kairo dengan mengambil
spesialisasi Syari’ah. Gus Dur yang ketika berangkat ke Arab berusia 23 tahun
sudah memiliki 1000 baris gramatika bahasa Arab yang di hafalnya diluar kepala.
Merasa tidak cocok dengan dunia atmosfir intelektual yang lebih menekankan pada
metode hafalan. Yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan pesantren
di Indonesia, dengan
demikian Gus Dur justru jarang masuk
kuliah dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan
terlengkap di Kairo, yaitu American University Library. Serta menonton
film.[6]
Merasa jenuh belajar di Mesir, Gus Dur lalu pindah ke
Bagdad untuk mengikuti kuliah di Universitas Bagdad. Di Bagdad, Gus Dur
bukannya memperdalam studi-studi keislaman, akan tetapi Ia malah mempelajari
sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa, dan teori social.[7]
Tak lama kemudian di tempat inilah, bakat empirismenya tumbuh pesat. Di
lingkungan yang baru tersebut, Gus Dur banyak membaca karya-karya fenomenal
seperti pemikiran Emile Durkheim, Lenin, Mao Zedong, Gramsci, Ortega Y. Gasset.
Spengler, dan lainnya.[8]
Sebagai pribadi yang gemar membaca, Gus Dur melahap buku
apa saja. Modalnya untuk itu adalah penguasaan bahasa : Arab, Inggris, Belanda,
Jerman, dan Perancis.
Nampaknya Gus
Dur menyukai musik.dan dunia film, Kebetulan,
pada saat Gus Dur tinggal di Jakarta, rumahnya berdekatan dengan gedung
bioskop, sehingga hampir setiap saat jika ada pemutaran film bagus, Gus Dur dapat
dipastikan menonton. Bahkan tak peduli jika esok harinya Ia harus ada ulangan di
sekolahnya.[9]
Sepulang dari
pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun
1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun
kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai
menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Pada tahun
1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng
Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan
menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di
dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES
bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun
1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun
1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam
diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai
kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut
dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang
dianggap `menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus
pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Beliau juga
menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun
1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad
Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di
Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak
Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak
sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak
orang.
Pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid
a. Pluralisme dan Toleransi
Salah satu aspek yang sangat mudah dipahami dari sosok Gus Dur adalah pemikirannya
tentang pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China
–khonghucu- Indonesia, bahkan Ia juga tidak segan membela kelompok agama
minoritas, keyakinan, dan kelompok lain yang dianggap terdiskriminasi dan
dilanggar hak kemanusiaannya.[10] Dengan bahasa lain Gus Dur dapat dipahami
sebagai figure yang memperjuangkan diterimanya kenyataan social bahwa Indonesia
itu beragam, dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga
pesan utama Islam itu sendiri. lebih dari itu, Gus Dur adalah seorang tokoh
spiritual dan tokoh moderat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi dan
ukhrawi.
Ada satu pertanyaan mendasar yang sering diungkapkan
kalangan “barat” terhadap Gus Dur, bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu
mencintai agamanya dan khususnya sub-kultur agamanya tempat ia tumbuh, mampu
menjadikannya seorang yang pluralistic dan non-chauvinis.[11]
Salah satu idiom popular barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa
hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran,
kenyataan ini sama sekali tidak berlaku bagi Gus Dur.
Pemikiran Gus Dur tidak jarang membuat banyak tafsiran
tentang sosok beliau, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa pada satu sisi Gus
Dur dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figure religius dan pada sisi
lain ditafsirkan oleh banyak orang sebagai politisi yang sekuler dan juga
sebagai intelektual yang liberal.
b. Politik, Demokrasi dan HAM
Sebagian besar diskusi mengenai Gus Dur, atau yang lebih
jarang lagi mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek lain dari
identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya
yang paling sering dibahas daripada pergumulannya dengan dunia kepesantrenan.
Kalau mau diperhatikan, sangat jarang sekali berita atau tulisan tentang Gus
Dur yang mengangkat topic dirinya sebagai tokoh religius yang memimpin
organisasi Islam terbesar di Indonesia dan bahkan juga dunia. Sebagai tokoh
nasional yang dianggap juga sebagai guru bangsa, Gus Dur juga dikenal sebagai
intelektual public yang terpandang yang selalu mengkampanyekan demokratisasi
dan penegakan HAM. Akibatnya banyak orang merasa sulit memahami bagaimana
seorang muslim yang setia, atau penganut agama yang taat, dapat menjadi figure
modern yang liberal.
Membincang gaya komunikasi politik Gus Dur, sama halnya
dengan membuka peluang bagi munculnya multi-tafsir atas berbagai gaya yang
ditampilkannya. Sikap politik Gus Dur yang lentur menjadikan dirinya sebagi
kekuatan yang selalu diperhitungkan siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu
dengan banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang
atau kekuatan politik yang berseberangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat
membaca scenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga.[12]
Gaya komunikasi politik Gus Dur memang unik dan berbeda
dengan kebanyakan tokoh nasional maupun internasional. Dia seringkali membuka
diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk persoalan yang bagi
sebagian orang dianggap sebagai isu sensitif. Mengkritik dan bersikap oposan
terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade
mark diri Gus Dur.[13]
Ide besar yang selalu diusung oleh Gus Dur selama ini
adalah proses demokratisasi di Indonesia. Kalau diperhatikan betul, Gus Dur
selalu membuat berbagai diskursus di public untuk menjelaskan berbagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi public untuk mengubah dan
mempertahankan suatu betuk susunan masyarakat yang demokratis pula.[14]
c. Dualisme Islam Dan Negara
Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara
agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada,
termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini
memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara
Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam.
Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum
Islam[15]. Komitmen umat Islam pada
negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi
ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai
bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan
keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri
urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang
menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui
5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping
diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde
Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan
seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu
domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu
lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia)
bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi
legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu
agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan
umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah
mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong
Hu Cu misalnya, Gus Dur termasuk salah
seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan
otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu
pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong
Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas
mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara
dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam
pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang
mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk
mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh
memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka,
sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat
beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi
Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam
Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk
persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi terbuka harus mengakomodasi
semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat, termasuk politik Islam.[16]
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak
bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus
Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik.
Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih
menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat
dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya
muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang
sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti
politik. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara
maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam
menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan
politik tertentu dengan simbol agama.
Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa
dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam
sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan
kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan Kesejahteraan bersama
kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat
formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada
upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas
sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar
kebijakan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih,
sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri
sebagai hambatan di kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian
apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh,
digunakan tolok ukur sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada
pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat”.[17]
Penutup.
Pada suatu loka karya di Semarang, Prof. Dr. Noeng
Muhadjir mengatakan bahwa Gus Dur berpikir dengan wawasan post-modernisme,
oleh sebab itu, kata Prof. Noeng, Gus Dur berpikir dari berbagai titik
perspektif yang berdimensi banyak segi dan sudut pandang sehingga sulit
dimengerti. Orang harus mampu mencermati pemikirn Gus Dur untuk dapat
memahaminya. Di mata sebagian orang, Gus Dur bagaikan teks yang mengandung
banyak konteks, atau, ia harus di baca sebagai konteks dibalik teks.
Sebelum menutup makalah ini, penulis juga tertarik untuk
menyampaikan sekilas ungkapan Jaya Suprana ketika melakukan wawancara eklusif
disalah satu TV swasta mengatakan, “Presiden RI ke-empat bukan orang gila,
tetapi membuat orang jadi gila”. Dengan logika “biarinisme-nya”, Gus Dur telah
membuat banyak orang jadi kesal, kecewa, jengkel, geram, dan bahkan gila.
Itulah Gus Dur, mantan presiden yang ter-antik di dunia.
Demikianlah makalah ini penulis sampaikan, dari pemaparan
di atas bisa disimpulkan secara umum bahwasannya Gus Dur adalah tokoh religius
sekaligus bangsawan yang memiliki kepedulian yang tinggi kepada Islam dan
negara.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Barton, Greg, Liberalismen: Dasar-dasar
Progesifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid,
Centre of Southeast Asian Studies Monash University, Victoria : 1994
Darwis, Ellyasa (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil,
LKiS, Jogyakarta : 1994
Malik,Dedy D. Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia,
Pemikiran dan Aksi Politik, Zaman Wacana Mulia, Jakarta : 1998
El-sastrow, Gus, Siapa Sih Sampeyan, LKiS, Jogyakarta
: 2000
Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme
Politik, Mitra Cendikia, Jakarta : Wahid,
Abdurrahman, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, LKiS,
Jogyakarta : 1997
Wahid, Abdurrahman, Membangun
Demokrasi, Rosda, Bandung: 2000
Wahid, Abdurrahman, Pancasila
sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian.
Pancasila sebagai Ideologi, BP 7 Pusat, Jakarta: 1991
Wahid, Abdurrahman, Prisma
Pemikiran Gus Dur, LkiS, Yogyakarta: 1999
[1] . Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman
Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik, (Zaman Wacana Mulia,
Jakarta : 1998), hal. 78-79
[2] . lihat dalam KOMPAS 3 Desember
1989. juga Ibid. Dedy D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam
Indonesia……., hal. 79
[3] . Tulian ini dapat dilihat dalam Editor, 22 Desember 1990. Ibid. Dedy
D. Malik, Idi S. Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia……., hal. 79
[4] . Ellyasa Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan
Masyarakat Sipil, (LKiS, Jogyakarta : 1994), hal. 59
[5] . Elsastrow, Gus, Siapa Sih Sampeyan, (LKiS,
Jogyakarta : 2000), hal. 34
[6] . Faizal Ismail, Dilema NU di Tengah
Badai Pragmatisme Politik, (Mitra Cendikia, Jakarta : 2004), hal. 190
[7] . Greg Barton, Liberalismen: Dasar-dasar
Progesifitas Pemikiran Abdurrahman Wahid,
(Centre of Southeast Asian Studies Monash University, Victoria : 1994), hal 168
[8]. Greg Barton, Liberalismen: Dasar-dasar
Progesifitas Pemikiran Abdurrahman …….,
hal. 170
[9] . Lihat Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik
Membela Pemerintah, (LKiS, Jogyakarta : 1997), hal. 39
[10] . Greg Barton, Sebuah Pengantar memahami
Abdurrahman Wahid. Untuk lebih jelasnya lhat dalam Prisma Pemikiran Gus
Dur, (LKiS, Jogyakarta, 1999), hal. XXii
[11] . Ibid, Greg Barton, Sebuah
Pengantar………….
[12] . Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah
Badai Pragmatisme Politik, (Mitra Cendikia, Jakarta : 2004), hal.152
[13] . Ibid, Faisal Ismail, Dilema NU………………hal.
153
[14] . Ibid, Faisal Ismail, Dilema NU………………hal.
155
[16] Abdurrahman Wahid, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan
Kehidupan Beragama danKepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo
Oesman dan Alfian.Pancasila sebagai Ideologi, (BP
7 Pusat,
Jakarta: 1991).
,sosok teridola......Gus Dur :D
ReplyDelete