Salah
satu sumbangan penting filosof Romawi, terutama setelah Cicero mengembangkan karyanya
De Re Publica dan De Legibus adalah pemikiran tentang hukum yang berbeda sama
sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh para filosof
Yunani. Bagi para filosof Romawi, terutama Ulpian, “a ruler’s will actually is law”, “a command of the emperor in due form
is a lex”. “any imperial constitution, like a senatus consultum, should have
the place of a lex (legis vicem optineat)”, “because the Emperor himself
receives his imperium by virtue of a lex (per legem)”.
Dengan
perkataan lain, di sini jelas dan tegas sekali dipakainya istilah “lex” yang
kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan hukum di zaman
Romawi kuno. Sebagaimana dikemukakan oleh Gaius pada abad ke-2, “a lex is what the people orders and has
established”. Setelah 4 abad kemudian, ‘a lex’ didefinisikan sebagai ‘what the Roman people was accustomed to
establish when initiated by a senatorial magistrate such as as consul’.
Penggunaan perkataan ‘lex’ itu nampaknya lebih luas cakupan maknanya daripada
‘leges’ yang mempunyai arti yang lebih sempit. Konstitusi mulai dipahami
sebagai sesuatu yang berada di luar dan bahkan di atas negara. Tidak seperti
masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai ‘lex’ yang menentukan
bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip ‘the
higher law’.
Prinsip
hirarki hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktek
penyelenggaraan kekuasaan Di samping itu, para filosof Romawi jugalah yang
secara tegas membedakan dan memisahkan antara pengertian hukum publik (jus publicum)
dan hukum privaat (jus privatum), sesuatu hal baru yang belum dikembangkan
sebelumnya oleh para filosof Yunani. Bahkan perkataan ‘jus’ dalam bahasa Latin
sendiripun tidak dikenal padanannya dalam bahasa Yunani kuno seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Biasanya, keduanya dibedakan dari sudut kepentingan yang dipertahankan.
Hukum publik membela kepentingan umum yang tercermin dalam kepentingan
‘negara’, ‘the civitas’, sedangkan hukum privaat menyangkut kepentingan orang
per orang, ‘that which pertains to the utility of individuals’.
Namun
demikian, baik kepentingan umum maupun privaat, sebenarnya tetap berkaitan
dengan kepentingan individu setiap warga negara. Seperti dikatakan oleh Rudolf
van Ihering, hak-hak publik dan hak-hak privaat tidak dapat dibedakan satu sama
lain (not distinguishable). Subjek keduanya selalu persis sama, yaitu
menyangkut ‘the natural person’, makhluk manusia. Perbedaan hakiki keduanya
hanya terletak pada kenyataan bahwa
“private rights affect private individuals exclusively, while all the
individual citizens alike participate in the public”. (hak-hak privat,
secara eksklusif, mempengaruhi dan menentukan pribadi-pribadi perseorangan,
sedangkan individu warga negara semuanya sama-sama terlibat berpartisipasi
dalam kegiatan publik tanpa kecuali).
Pemikiran
politik Cicero didasarkan atas penerimaannya yang kuat terhadap ‘the Stoic universal law of nature’ yang merangkul dan mengikat
seluruh umat manusia:
“There is in fact a true law –
namely, right reason – which is in accor- dance with nature, applies to all
men, and is unchangeable and eternal. By its commands this law summons men to
the performance of their duties; by its prohibitions it restrains them from
doing wrong. Its commands and prohibitions always influence good men, but are
without effect upon the bad.”
Cicero
juga menegaskan adanya ‘one common master
and ruler of men, namely God, who is the author of this law, it sinterpreter,
and tis sponsor’. Tuhan, bagi Cicero, tak ubahnya bagaikan Tuan dan
Penguasa semua manusia, serta merupakan Pengarang atau Penulis, Penafsir dan
Sponsor Hukum. Oleh karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hukum dalam
pemahamannya tentang persamaan antar umat manusia. Baginya, konsepsi tentang
manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai ‘political animal’ atau insan politik,melainkan
lebih utama adalah kedudukannya sebagai ‘legal animal’ atau insan hukum.
Selain
itu, beberapa kesimpulan dapat ditarik dari pengalaman sejarah
konstitusionalisme Romawi kuno ini adalah: Pertama, untuk memahami konsepsi
yang sebenarnya tentang ‘the spirit of our consti tutional antecedents’ dalam
sejarah, ilmu hukum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya sama
pentingnya dibandingkan dengan sekedar perbincangan mengenai materi hukum.
Kedua, ilmu pengetahuan hukum yang dibedakan dari hukum sangat bercorak Romawi
sesuai asal mula pertumbuhannya. Ketiga, pusat perhatian dan prinsip pokok yang
dikembangkan dalam ilmu hukum Romawi bukanlah ‘the absolutisme of a prince’
sebagaimana sering dibayangkan oleh banyak ahli, tetapi justru terletak pada
doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi
kewenangan politik dalam satu negara. Dengan demikian, rakyatlah dalam perkembangan
pemikiran Romawi yang dianggap sebagai sumber yang hakiki dari hukum dan sistem
kekuasaan
Oleh: Jimly Assiddiqy
Berikan Komentar Anda