Oleh: jimly asshiddiqie Menurut Sir Paul Vinogradoff: "The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled". Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian (center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani kuno. Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa "Our whole state is an imitation of the best and noblest life". Socrates dalam bukunya Panathenaicus atau pun dalam Areopagiticus menyebut bahwa "the politeia is the 'soul of the polis' with power over it like that of the mind over the body". Keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian pula Aristoteles dalam bukunya Politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase "in a sense the life of the city". Dalam bukunya Politics, Aristoteles menyatakan: "A constitution (or polity) may be defined as 'the organization of a polis, in respect of its offices generally, but especially in respect of that particular office which is sovereign in all issues". Selanjutnya oleh Aristoteles dikatakan: "The civic body (the politeuma, or body of persons established in power by the polity) is everywhere the sovereign of the state; in fact the civic body is the polity (or constitution) itself". Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada (i) the ends pursued by states, and (ii) the kind of authority exercised by theirgovernment. Tujuan tertinggi dari negara adalah 'a good life', dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Ka- rena itu, Aristoteles membedakan antara 'right constitution' dan 'wrong constitution' dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebutnya konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah. Konstitusi yang terakhir ini dapat disebut pula sebagai 'perverted constitution' yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang 'selfish' (the selfish interest of the ruling authority). Konstitusi yang baik adalah konstitusi yang normal, sedangkan yang tidak baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik-buruknya atau normal-tidaknya konstitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa "political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled". Di antara karya-karya Plato seperti Republic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog Plato yang diberi judul Politicus atau Statesman yang memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan konstitusionalisme. Buku terakhir ini, di samping buku-buku lainnya, banyak mempengaruhi pemikiran Aristoteles di kemudian hari tentang gagasan konstitusionalisme seperti yang kita pahami sekarang. Jika dalam Republic, Plato menguraikan gagasan 'the best possible state', maka dalam buku Politicus (Statesman) sebelum ia menyelesaikan karya monumental berjudul Nomoi, Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai 'the second best' dengan menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi. "Plato's Republic deals with an unattainable ideal; his Politicus treats of the attainable in its rela tion to this same ideal". Jika dalam Republic ia mengidealkan peranan 'his philosopherking' yang mempunyai 'a strength of art which is superior to the law' atau bahkan dikatakan sang pemimpin itu sendirilah yang membuat seni kepemimpinannya sebagai hukum, 'not by laying down rules, but by making his art a law'. Karena itu, banyak kalangan sarjana yang memperdebatkan apakah Plato itu 'an absolutist or constitutionalist'. Namun, jika kita berusaha menafsirkan secara kritis perkembangan pemikiran Plato sendiri yang tercermin dalam karya-karyanya, kita tidak dapat melepaskan kenyataan adanya keterkaitan antara pemikiran yang dikembangkannya sebagai intelektual dengan pergaulan empirisnya dengan kekuasaan setelah ia diangkat menjadi penasehat Raja Dyonisius II. Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan yang tajam antara idealitas negara yang tergambar dalam Republic dan apa yang diuraikan Plato dalam Nomoi, dan sebelum menulis Nomoi terlebih dulu Plato menyelesaikan Politicus. Namun dari pendapat-pendapat muridnya, yaitu Aristoteles, memang dapat dibayangkan pandangan para filosof pada zaman Yunani Kuno itu tentang negara dan hukum tentu tidak seperti sekarang. Misalnya, Aristoteles mengatakan: "A godlike ruler should rule like a god, and if a godlike man should appear among men, godlike rule would and should be gladly conceded to him". Artinya, Aristoteles sendiri juga membayangkan keberadaan seorang pemimpin negara yang bersifat 'superman' dan berbudi luhur. Karena, sejarah kenegaraan Yunani pada zamannya sangat labil. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindakan-tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang 'inkonsti tusional'. Kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak hanya mengubah corak 'public law', tetapi juga menjungkirbalikkan segala institusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan berakibat pada tuntutan perubahan keseluruhan 'way of life' (masyarakat) 'polity' yang bersangkutan. Dalam keadaan demikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan 'polity' dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ketiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan bahkan kematian, sehingga orang Yunani dihinggapi oleh penyakit "fear of stasis". Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Aristoteles berada dalam posisi untuk memberikan nasehat kepada sang 'tyrant' mengenai bagaimana memperpanjang tipe kekuasaan (type of government) yang diakuinya sebagai kekuasaan yang paling menindas di dunia (the most oppressive in the world) serta paling singkat usianya. Kondisi sosial politik yang tidak stabil itulah yang menyebabkan orang berusaha memilih 'status quo' (to preserve the status quo). Misalnya, dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya Politics: "Politics generally are liable to dissolution not only from within but from without, when there is a state having an antagonistic polity near to them or distant but possessed of considerable power". Dalam bagian lain dari tulisannya, Aristoteles juga me- nyatakan: "The practice of cutting off prominent characters and putting out of the way the high spirits in the state; the prohibition of common meals, political clubs, high culture and everything else of the same kind; pre- cautionary measures against all that tends to produce two results, viz., spirit and confidence". "A tyrant is fond of making wars, as a means of keeping his subjects in employment and in continual need of a commander". Namun demikian, harus juga dimengerti bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics, orang Yunani kuno memang belum membedakan sama sekali antara konsep negara (state) dan masyarakat (society), antara 'civil' dan 'social'. Karena itu, para filosof Yunani cenderung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang 'polity', tentang negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles Rhetorica yang menyebut istilah 'common law' dalam arti 'the natural law' yang tidak lebih daripada satu porsi pengertian saja dari 'the state's actual laws'. Pemikiran filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh Aristoteles dan kawan-kawan tidak atau belum membayangkan hukum sebagai sesuatu yang berada di luar pengertian 'polity' (negara) atau sesuatu yang terpisah dari negara, di mana negara harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya. Perubahan terhadap pandangan yang tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang berada di luar atau di atas negara, baru timbul setelah Cicero memperkenalkan pemikirannya dengan mengartikan negara sebagai suatu 'a bond of law' (vinculum juris). Dalam pengertian 'vinculum juris' itu, hukum tidak hanya dilihatnya sebagai elemen suatu negara, tetapi 'an antecedent law'. Dalam bukunya De Re Publica, Cicero mengatakan bahwa hukum dalam arti demikian sama tuanya dengan pemikiran tentang keberadaan Tuhan, jauh sebelum adanya negara di manapun juga. Negara, bagi Cicero, merupakan kreasi hukum. Sejak Cicero, dapat dikatakan pemikiran kenegaraan dan hukum mengalami revolusi besar-besaran. Karena perbedaan di antara tradisi Yunani yang dimotori oleh Aristoteles dengan tradisi Romawi yang dimotori oleh Cicero cenderung sangat tajam, maka Charles Howard McIlwain menyatakan: "We can not hope to bridge the gap between the constitutionalism of Aristotle and that of Cicero, but even the most superficial comparison of the two will show that a gap is there, and a very wide one". Karena lebarnya jurang di antara keduanya, kita tidak mungkin berharap akan dapat menjembatani berbedaan antara gagasan konstitusionalisme Aristoteles dan konstitusionalisme Cicero. Bahkan, oleh Dr. Carlyle dikatakan: "The is no change in political theory so startling in its completeness as the change from the theory of Aristotle to the later philosophical view represented by Cicero and Seneca… We have ventured to suggest that the dividing-line between the ancient and the modern political theory must be sought, if anywhere, in the periode between Aristotle and Cicero". Tidak ada perubahan yang begitu mendasar dalam perkembangan teori politik dalam sejarah seperti perubahan yang begitu menakjubkan dari pemikiran Aristoteles ke Cicero dan Seneca. Jika kita berusaha menemukan garis pemisah yang begitu tegas di antara sejarah pemikiran politik klasik dan zaman modern, maka era pemi- sah itu adalah periode di antara Aristoteles dan Cicero. |
Oleh: jimly asshiddiqie Menurut Sir Paul Vinogradoff: "The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled". Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian (center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani kuno. Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa "Our whole state is an imitation of the best and noblest life". Socrates dalam bukunya Panathenaicus atau pun dalam Areopagiticus menyebut bahwa "the politeia is the 'soul of the polis' with power over it like that of the mind over the body". Keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian pula Aristoteles dalam bukunya Politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase "in a sense the life of the city". Dalam bukunya Politics, Aristoteles menyatakan: "A constitution (or polity) may be defined as 'the organization of a polis, in respect of its offices generally, but especially in respect of that particular office which is sovereign in all issues". Selanjutnya oleh Aristoteles dikatakan: "The civic body (the politeuma, or body of persons established in power by the polity) is everywhere the sovereign of the state; in fact the civic body is the polity (or constitution) itself". Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada (i) the ends pursued by states, and (ii) the kind of authority exercised by theirgovernment. Tujuan tertinggi dari negara adalah 'a good life', dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Ka- rena itu, Aristoteles membedakan antara 'right constitution' dan 'wrong constitution' dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebutnya konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah. Konstitusi yang terakhir ini dapat disebut pula sebagai 'perverted constitution' yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang 'selfish' (the selfish interest of the ruling authority). Konstitusi yang baik adalah konstitusi yang normal, sedangkan yang tidak baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik-buruknya atau normal-tidaknya konstitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa "political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled". Di antara karya-karya Plato seperti Republic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog Plato yang diberi judul Politicus atau Statesman yang memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan konstitusionalisme. Buku terakhir ini, di samping buku-buku lainnya, banyak mempengaruhi pemikiran Aristoteles di kemudian hari tentang gagasan konstitusionalisme seperti yang kita pahami sekarang. Jika dalam Republic, Plato menguraikan gagasan 'the best possible state', maka dalam buku Politicus (Statesman) sebelum ia menyelesaikan karya monumental berjudul Nomoi, Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai 'the second best' dengan menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi. "Plato's Republic deals with an unattainable ideal; his Politicus treats of the attainable in its rela tion to this same ideal". Jika dalam Republic ia mengidealkan peranan 'his philosopherking' yang mempunyai 'a strength of art which is superior to the law' atau bahkan dikatakan sang pemimpin itu sendirilah yang membuat seni kepemimpinannya sebagai hukum, 'not by laying down rules, but by making his art a law'. Karena itu, banyak kalangan sarjana yang memperdebatkan apakah Plato itu 'an absolutist or constitutionalist'. Namun, jika kita berusaha menafsirkan secara kritis perkembangan pemikiran Plato sendiri yang tercermin dalam karya-karyanya, kita tidak dapat melepaskan kenyataan adanya keterkaitan antara pemikiran yang dikembangkannya sebagai intelektual dengan pergaulan empirisnya dengan kekuasaan setelah ia diangkat menjadi penasehat Raja Dyonisius II. Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan yang tajam antara idealitas negara yang tergambar dalam Republic dan apa yang diuraikan Plato dalam Nomoi, dan sebelum menulis Nomoi terlebih dulu Plato menyelesaikan Politicus. Namun dari pendapat-pendapat muridnya, yaitu Aristoteles, memang dapat dibayangkan pandangan para filosof pada zaman Yunani Kuno itu tentang negara dan hukum tentu tidak seperti sekarang. Misalnya, Aristoteles mengatakan: "A godlike ruler should rule like a god, and if a godlike man should appear among men, godlike rule would and should be gladly conceded to him". Artinya, Aristoteles sendiri juga membayangkan keberadaan seorang pemimpin negara yang bersifat 'superman' dan berbudi luhur. Karena, sejarah kenegaraan Yunani pada zamannya sangat labil. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindakan-tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang 'inkonsti tusional'. Kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak hanya mengubah corak 'public law', tetapi juga menjungkirbalikkan segala institusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan berakibat pada tuntutan perubahan keseluruhan 'way of life' (masyarakat) 'polity' yang bersangkutan. Dalam keadaan demikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan 'polity' dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ketiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan bahkan kematian, sehingga orang Yunani dihinggapi oleh penyakit "fear of stasis". Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Aristoteles berada dalam posisi untuk memberikan nasehat kepada sang 'tyrant' mengenai bagaimana memperpanjang tipe kekuasaan (type of government) yang diakuinya sebagai kekuasaan yang paling menindas di dunia (the most oppressive in the world) serta paling singkat usianya. Kondisi sosial politik yang tidak stabil itulah yang menyebabkan orang berusaha memilih 'status quo' (to preserve the status quo). Misalnya, dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya Politics: "Politics generally are liable to dissolution not only from within but from without, when there is a state having an antagonistic polity near to them or distant but possessed of considerable power". Dalam bagian lain dari tulisannya, Aristoteles juga me- nyatakan: "The practice of cutting off prominent characters and putting out of the way the high spirits in the state; the prohibition of common meals, political clubs, high culture and everything else of the same kind; pre- cautionary measures against all that tends to produce two results, viz., spirit and confidence". "A tyrant is fond of making wars, as a means of keeping his subjects in employment and in continual need of a commander". Namun demikian, harus juga dimengerti bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics, orang Yunani kuno memang belum membedakan sama sekali antara konsep negara (state) dan masyarakat (society), antara 'civil' dan 'social'. Karena itu, para filosof Yunani cenderung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang 'polity', tentang negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles Rhetorica yang menyebut istilah 'common law' dalam arti 'the natural law' yang tidak lebih daripada satu porsi pengertian saja dari 'the state's actual laws'. Pemikiran filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh Aristoteles dan kawan-kawan tidak atau belum membayangkan hukum sebagai sesuatu yang berada di luar pengertian 'polity' (negara) atau sesuatu yang terpisah dari negara, di mana negara harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya. Perubahan terhadap pandangan yang tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang berada di luar atau di atas negara, baru timbul setelah Cicero memperkenalkan pemikirannya dengan mengartikan negara sebagai suatu 'a bond of law' (vinculum juris). Dalam pengertian 'vinculum juris' itu, hukum tidak hanya dilihatnya sebagai elemen suatu negara, tetapi 'an antecedent law'. Dalam bukunya De Re Publica, Cicero mengatakan bahwa hukum dalam arti demikian sama tuanya dengan pemikiran tentang keberadaan Tuhan, jauh sebelum adanya negara di manapun juga. Negara, bagi Cicero, merupakan kreasi hukum. Sejak Cicero, dapat dikatakan pemikiran kenegaraan dan hukum mengalami revolusi besar-besaran. Karena perbedaan di antara tradisi Yunani yang dimotori oleh Aristoteles dengan tradisi Romawi yang dimotori oleh Cicero cenderung sangat tajam, maka Charles Howard McIlwain menyatakan: "We can not hope to bridge the gap between the constitutionalism of Aristotle and that of Cicero, but even the most superficial comparison of the two will show that a gap is there, and a very wide one". Karena lebarnya jurang di antara keduanya, kita tidak mungkin berharap akan dapat menjembatani berbedaan antara gagasan konstitusionalisme Aristoteles dan konstitusionalisme Cicero. Bahkan, oleh Dr. Carlyle dikatakan: "The is no change in political theory so startling in its completeness as the change from the theory of Aristotle to the later philosophical view represented by Cicero and Seneca… We have ventured to suggest that the dividing-line between the ancient and the modern political theory must be sought, if anywhere, in the periode between Aristotle and Cicero". Tidak ada perubahan yang begitu mendasar dalam perkembangan teori politik dalam sejarah seperti perubahan yang begitu menakjubkan dari pemikiran Aristoteles ke Cicero dan Seneca. Jika kita berusaha menemukan garis pemisah yang begitu tegas di antara sejarah pemikiran politik klasik dan zaman modern, maka era pemi- sah itu adalah periode di antara Aristoteles dan Cicero. |
Konstitusi Dalam Pandangan Plato dan Aristoteles
« Prev Post
Next Post »
Berikan Komentar Anda