Makalah Saya Dalam Tugas Mingguan Isu-Isu Politik Kontemporer Pengertian Radikalisme Secara sederhana radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal. Pertama, sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan[1]. Penyebab Munculnya Radikalisme Islam Kita mengetahui bahwa segala sesuatu yang muncul pasti ada sebabnya, begitu juga dengan radikalisme muncul bukan dengan tanpa sebab yaitu: Pertama, faktor-faktor sosial-politik, disini terlihat jelas bahwa, umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan[2]. Kedua, faktor emosi keagamaan, faktor ini adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Ketiga, faktor kultural, Barat dianggap oleh kalangan muslim telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam[3]. Keempat, faktor ideologis anti westernisme, Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari'at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri'at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Radikalisme di Indonesia Di masa penjajahan Belanda, kata 'radikal' bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai "Radicale Concentratie", yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam,. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. 'Radikalisme' berasal dari bahasa Latin "radix, radicis", artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata "akar" ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), [4] radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan radikalisme, diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis, sikap ekstrim di suatu aliran politik. Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini terkadang berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari'at Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, disamping yang memperjuangkan berdirinya kekhalifahan Islam, pola organisasinya pun beragam[5], mulai dari gerakan Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan Jama‟ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika)[6]. Sementara itu, dipihak lain adalah orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam, tetapi lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat. Hanya saja, dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga moralitas Islam, mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan. Islam Radikal Atau Militan Islam radikal memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari‟ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam[7]. Mereka dengan tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi, kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya. radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya. Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Dalam buku (Hegemoni Kristen- Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi) dijelaskan dalam catatan kakinya bahwa pada tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul "Gerakan Salafi Radikal di Indonesia" Ada empat kelompok yang mendapat cap "salafi radikal" dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir. Menurut buku ini, kriteria 'Islam radikal' adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok 'Islam radikal' seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan[8]. Tentang ideologi Islam radikal, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah 'Islam revivalis'. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk 'kembali kepada Islam' sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial[9].
[1] http://www.fahmina.or.id/, judul artikel, Teroris; Manifes Radikalisme Agama. Diakses pada tanggal 12 oktober 2011. [2] Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996,hlm.18 [3] Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an, LESFI, Yogyakarta, 1992, hlm.95. [4] Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990). [5] Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press, 2005), Hlm 5 [6] Lihat Riza Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005). Karya ini merupakan hasil riset tentang gerakan-gerakan fundamentalis atau radikal Islam di Indonesia, seperti MMI, HTI, Jamaah Salafi Bandung, FPI Surakarta dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan.
[7] William Shepard, "What is „Islamic Fundamentalism‟?," Studies in Religion 17, 1 (1988): 11. [8] Adian Husaini, Hegemoni Kristen- Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta, Gema Insani Press, 2006. 243 [9] Ibid. 244 |
Makalah Saya Dalam Tugas Mingguan Isu-Isu Politik Kontemporer Pengertian Radikalisme Secara sederhana radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal. Pertama, sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan[1]. Penyebab Munculnya Radikalisme Islam Kita mengetahui bahwa segala sesuatu yang muncul pasti ada sebabnya, begitu juga dengan radikalisme muncul bukan dengan tanpa sebab yaitu: Pertama, faktor-faktor sosial-politik, disini terlihat jelas bahwa, umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan[2]. Kedua, faktor emosi keagamaan, faktor ini adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Ketiga, faktor kultural, Barat dianggap oleh kalangan muslim telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam[3]. Keempat, faktor ideologis anti westernisme, Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari'at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri'at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Radikalisme di Indonesia Di masa penjajahan Belanda, kata 'radikal' bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai "Radicale Concentratie", yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam,. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. 'Radikalisme' berasal dari bahasa Latin "radix, radicis", artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata "akar" ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), [4] radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan radikalisme, diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis, sikap ekstrim di suatu aliran politik. Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini terkadang berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari'at Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, disamping yang memperjuangkan berdirinya kekhalifahan Islam, pola organisasinya pun beragam[5], mulai dari gerakan Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan Jama‟ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika)[6]. Sementara itu, dipihak lain adalah orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam, tetapi lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat. Hanya saja, dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga moralitas Islam, mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan. Islam Radikal Atau Militan Islam radikal memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari‟ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam[7]. Mereka dengan tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi, kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya. radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya. Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Dalam buku (Hegemoni Kristen- Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi) dijelaskan dalam catatan kakinya bahwa pada tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul "Gerakan Salafi Radikal di Indonesia" Ada empat kelompok yang mendapat cap "salafi radikal" dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir. Menurut buku ini, kriteria 'Islam radikal' adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok 'Islam radikal' seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan[8]. Tentang ideologi Islam radikal, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah 'Islam revivalis'. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk 'kembali kepada Islam' sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial[9].
[1] http://www.fahmina.or.id/, judul artikel, Teroris; Manifes Radikalisme Agama. Diakses pada tanggal 12 oktober 2011. [2] Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996,hlm.18 [3] Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an, LESFI, Yogyakarta, 1992, hlm.95. [4] Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990). [5] Endang Turmudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta :LIPI Press, 2005), Hlm 5 [6] Lihat Riza Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005). Karya ini merupakan hasil riset tentang gerakan-gerakan fundamentalis atau radikal Islam di Indonesia, seperti MMI, HTI, Jamaah Salafi Bandung, FPI Surakarta dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan.
[7] William Shepard, "What is „Islamic Fundamentalism‟?," Studies in Religion 17, 1 (1988): 11. [8] Adian Husaini, Hegemoni Kristen- Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta, Gema Insani Press, 2006. 243 [9] Ibid. 244 |
Radikalisme Gerakan Politik
« Prev Post
Next Post »
Berikan Komentar Anda