Oleh : Jimly Asshiddiqie Pemerintahan Daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi (desentralisasi) dan tugas perbantuan. Asas dekonsentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan prinsip otonomi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu, hubungan yang diidealkan antara pemerintah pusat dengan da- erah provinsi, dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota adalah hubungan yang tidak bersifat hirarkis. Namun demikian, fungsi koordinasi dalam rangka pembi- naan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagaimana mestinya. Namun demikian, karakteristik sistem pemerintahan daerah yang mengidealkan pola hubungan yang bersifat horizontal alias tidak hirarkis tersebut di atas menghadapi kritik yang sangat luas dari elite pemerintahan ataupun masyarakat biasa. Karena hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan antara Pemerin- tah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak lagi bersifat hirarkis maka fungsi koordinasi menjadi sulit dilakukan. Para Bupati dan Walikota cenderung enggan dikoordinasikan oleh Gubernur. Di samping itu muncul pula berbagai ekses negatif karena adanya pengertian pola hubungan yang tidak bersifat hirarkis itu. Karena itu, dalam rumusan Pasal 8 ayat ( ) yang baru (hasil Perubahan Kedua tahun 2000), ditegaskan: "Negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang". Dengan adanya perkataan 'dibagi atas' maka berarti hubungan antara Pusat dan Provinsi, serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota bersifat hirar- kis-vertikal. Karena perkataan pembagian atau membagi kekuasaan atas daerah-daerah provinsi atau atas daerah kabupaten/kota justru menunjukkan sifat hirarkis itu. Dengan demikian, sifat non-hirarkis yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 999 telah dikoreksi oleh Perubahan UUD 945 pada tahun 2000 melalui perbaikan UUD 945 pada rumusan Pasal 8 ayat ( ) tersebut. Akan tetapi, ketentuan UUD 945 hasil Perubahan Kedua pada tahun 2000 tersebut justru mempertegas prinsip-prinsip pengaturan yang bersifat federalistis dalam rumusan mengenai kewenangan daerah. Pasal 8 ayat (2) menegaskan: "Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan". Bahkan, dalam Pasal 8 ayat (5) ditegaskan lagi bahwa "Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat". Pada prinsipnya, semua urusan bersifat otonom atau desen- tralistis, kecuali jika UU menentukan sesuatu urusan sebagai urusan pemerintah pusat. Karena itu, secara teoritis prinsip pengaturan demikian memang dapat disebut bersifat federalistis karena konsep kekuasaan asal atau sisa (residual power) justru seolah-olah berada di Pemerintah Daerah. Prinsip demikian itu memang dikenal di ling- kungan negara-negara federal. Lebih-lebih jika kesimpulan demikian dikaitkan pula dengan ru- musan Pasal 8 ayat (2) tersebut yang secara terang-terangan hanya menyebutkan asas otonomi (desentralisasi) dan asas tugas perbantuan sebagai asas pemerintahan daerah menurut UUD 945. Padahal di samping kedua asas tersebut, ada pula asas dekonsentrasi yang secara inheren selalu terdapat dalam sistem negara kesatuan. Akan tetapi,Pasal 8 ayat (2) itu sama sekali tidak menyinggung adanya asas dekonsentrasi. Ada yang berpendapat bahwa tidak disebutnya asas dekonsentrasi di sini disebabkan oleh asas dekonsentrasi itu tidaklah berhubungan langsung dengan kewenangan Pemerintah Daerah, melainkan hanya terkait dengan kewenangan Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, asas dekonsentrasi tidak perlu disebut disini. Akan tetapi, jika logikanya demikian, untuk apa asas tugas perbantuan disebut secara eksplisit. Bukankah asas tugas perbantuan itu juga bersumber dari kewenangan Pemerintah Pusat, dan sifat pekerjaannya jauh lebih teknis dibandingkan dengan asas dekonsentrasi. Bukankah dengan demikian, tidak dicantumkannya asas dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah pasca Perubahan UUD 945, memang disengaja. Maksudnya ialah untuk mempertegas bahwa di masa depan tidak akan ada lagi tugas-tugas dekonsentrasi di daerah. Saya sendiri berpendapat bahwa hal ini tentu tidaklah realistis. Bahkan dalam sistem federal sekalipun seperti di Amerika Serikat, di Australia dan lain-lain, asas-asas pemerintahan daerah itu selalu mencakup tiga bentuk, yaitu yang didasarkan atas prinsip-prinsip desentralisasi (otonomi), dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Demi- kian pula dengan pengertian kekuasaan sisa (residual power) yang ditentukan berada di daerah seperti dalam sistem federal seperti tercermin dalam Pasal 8 ayat (5). Terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (5) tersebut, kita dapat membedakan antara konsep power dan author ity. Sebagai negara kesatuan, maka konsep kekuasaan asal atau sisa (residual power) pada pokoknya tetap dapat dikatakan berada di tangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi, 'authority' sebagai 'legalized power' dapat dikatakan berada di daerah. Sesungguhnya yang ditentukan oleh Pasal 8 ayat (5) tersebut bukanlah kekuasaan (residual power) melainkan kewenangan (authority) yang melimpah dari kekuasaan yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat yang berasal dari rakyat sesuai dengan doktrin kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju, dalam kenyataan demikian itulah rumusan Pasal 8 UUD 945 hasil Perubahan Kedua pada tahun 2000. Meskipun kita harus berhati-hati menangkap maknanya, saya cenderung untuk berpendapat bahwa ketentuan baru Pasal 8, Pasal 8A dan Pasal 8B, telah mengubah format bentuk negara kita dari bentuk Negara Kesatuan yang kaku kepada bentuk Negara Kesatuan yang dinamis. Dalam dinamisme bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 8, 8A dan Pasal 8B UUD 945 itu203, pertama, dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua, dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu, di- mungkinkan pula dikembangkannya kebijakan otonomi yang bersifat pluralis, dalam arti bahwa untuk setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda. Keragaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterima prinsip otonomi khusus provinsi Nan- groe Aceh Darussalam dan provinsi Papua yang keduanya memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain pada umumnya. Dalam kaitannya dengan kekuasaan eksekutif, dapat dikatakan bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mendahului dengan mengadopsi sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemerintah Daerah Provinsi di seluruh Indonesia dipimpin oleh seorang Gubenur, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati dan Walikota. Ketig- anya disebut sebagai Kepala Daerah. Di luar Aceh, secara bertahap sesuai dengan perkembangan keadaan di masing-masing daerah, para Kepala Daerah ini dapat pula dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Sebelum perkembangan ke arah pemilihan langsung dapat dilaksanakan, Kepala Daerah dipilih oleh rakyat secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Dae- rah setempat. Dengan demikian, pelaksanaan pemilihan langsung itu di satu daerah dapat dilakukan berbeda dari pemilihan kepala daerahdi daerah lain, tergantung kesiapan daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan pemilihan yang bersifat langsung itu. Pelaksanaan pemilihan langsung tersebut perlu diatur dengan undang-undang. Sesungguhnya, kebijakan otonomi daerah telah diletakkan dasar- dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah- setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal. Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 945 yang telah di- perbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk me- nyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan mem-perhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diang- gap sangat penting karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan yang terus meningkat. Perkembangan keadaan objektif memang mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya masing-masing sertaperimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah. Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Dae- rah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini maka UU yang mengatur materi yang sama sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang- Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Ta- hun 974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 974 No. 8 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 974 No. 0 7), UU No.5 Tahun 979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 979 No. 56 dan TLN Tahun 979 No. 5 ), dan UU No. 2 Tahun 956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 956 No.77 dan TLN Tahun 956 No. 442). Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Si-dang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pent- ingnya kemandirian dan prakarsa dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu me- nunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 8 UUD 945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijakan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan para- digma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut.
|
Oleh : Jimly Asshiddiqie Pemerintahan Daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi (desentralisasi) dan tugas perbantuan. Asas dekonsentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang belum siap atau belum sepenuhnya melaksanakan prinsip otonomi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu, hubungan yang diidealkan antara pemerintah pusat dengan da- erah provinsi, dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota adalah hubungan yang tidak bersifat hirarkis. Namun demikian, fungsi koordinasi dalam rangka pembi- naan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagaimana mestinya. Namun demikian, karakteristik sistem pemerintahan daerah yang mengidealkan pola hubungan yang bersifat horizontal alias tidak hirarkis tersebut di atas menghadapi kritik yang sangat luas dari elite pemerintahan ataupun masyarakat biasa. Karena hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan antara Pemerin- tah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak lagi bersifat hirarkis maka fungsi koordinasi menjadi sulit dilakukan. Para Bupati dan Walikota cenderung enggan dikoordinasikan oleh Gubernur. Di samping itu muncul pula berbagai ekses negatif karena adanya pengertian pola hubungan yang tidak bersifat hirarkis itu. Karena itu, dalam rumusan Pasal 8 ayat ( ) yang baru (hasil Perubahan Kedua tahun 2000), ditegaskan: "Negara Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang". Dengan adanya perkataan 'dibagi atas' maka berarti hubungan antara Pusat dan Provinsi, serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota bersifat hirar- kis-vertikal. Karena perkataan pembagian atau membagi kekuasaan atas daerah-daerah provinsi atau atas daerah kabupaten/kota justru menunjukkan sifat hirarkis itu. Dengan demikian, sifat non-hirarkis yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 999 telah dikoreksi oleh Perubahan UUD 945 pada tahun 2000 melalui perbaikan UUD 945 pada rumusan Pasal 8 ayat ( ) tersebut. Akan tetapi, ketentuan UUD 945 hasil Perubahan Kedua pada tahun 2000 tersebut justru mempertegas prinsip-prinsip pengaturan yang bersifat federalistis dalam rumusan mengenai kewenangan daerah. Pasal 8 ayat (2) menegaskan: "Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan". Bahkan, dalam Pasal 8 ayat (5) ditegaskan lagi bahwa "Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat". Pada prinsipnya, semua urusan bersifat otonom atau desen- tralistis, kecuali jika UU menentukan sesuatu urusan sebagai urusan pemerintah pusat. Karena itu, secara teoritis prinsip pengaturan demikian memang dapat disebut bersifat federalistis karena konsep kekuasaan asal atau sisa (residual power) justru seolah-olah berada di Pemerintah Daerah. Prinsip demikian itu memang dikenal di ling- kungan negara-negara federal. Lebih-lebih jika kesimpulan demikian dikaitkan pula dengan ru- musan Pasal 8 ayat (2) tersebut yang secara terang-terangan hanya menyebutkan asas otonomi (desentralisasi) dan asas tugas perbantuan sebagai asas pemerintahan daerah menurut UUD 945. Padahal di samping kedua asas tersebut, ada pula asas dekonsentrasi yang secara inheren selalu terdapat dalam sistem negara kesatuan. Akan tetapi,Pasal 8 ayat (2) itu sama sekali tidak menyinggung adanya asas dekonsentrasi. Ada yang berpendapat bahwa tidak disebutnya asas dekonsentrasi di sini disebabkan oleh asas dekonsentrasi itu tidaklah berhubungan langsung dengan kewenangan Pemerintah Daerah, melainkan hanya terkait dengan kewenangan Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, asas dekonsentrasi tidak perlu disebut disini. Akan tetapi, jika logikanya demikian, untuk apa asas tugas perbantuan disebut secara eksplisit. Bukankah asas tugas perbantuan itu juga bersumber dari kewenangan Pemerintah Pusat, dan sifat pekerjaannya jauh lebih teknis dibandingkan dengan asas dekonsentrasi. Bukankah dengan demikian, tidak dicantumkannya asas dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah pasca Perubahan UUD 945, memang disengaja. Maksudnya ialah untuk mempertegas bahwa di masa depan tidak akan ada lagi tugas-tugas dekonsentrasi di daerah. Saya sendiri berpendapat bahwa hal ini tentu tidaklah realistis. Bahkan dalam sistem federal sekalipun seperti di Amerika Serikat, di Australia dan lain-lain, asas-asas pemerintahan daerah itu selalu mencakup tiga bentuk, yaitu yang didasarkan atas prinsip-prinsip desentralisasi (otonomi), dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Demi- kian pula dengan pengertian kekuasaan sisa (residual power) yang ditentukan berada di daerah seperti dalam sistem federal seperti tercermin dalam Pasal 8 ayat (5). Terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (5) tersebut, kita dapat membedakan antara konsep power dan author ity. Sebagai negara kesatuan, maka konsep kekuasaan asal atau sisa (residual power) pada pokoknya tetap dapat dikatakan berada di tangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi, 'authority' sebagai 'legalized power' dapat dikatakan berada di daerah. Sesungguhnya yang ditentukan oleh Pasal 8 ayat (5) tersebut bukanlah kekuasaan (residual power) melainkan kewenangan (authority) yang melimpah dari kekuasaan yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat yang berasal dari rakyat sesuai dengan doktrin kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju, dalam kenyataan demikian itulah rumusan Pasal 8 UUD 945 hasil Perubahan Kedua pada tahun 2000. Meskipun kita harus berhati-hati menangkap maknanya, saya cenderung untuk berpendapat bahwa ketentuan baru Pasal 8, Pasal 8A dan Pasal 8B, telah mengubah format bentuk negara kita dari bentuk Negara Kesatuan yang kaku kepada bentuk Negara Kesatuan yang dinamis. Dalam dinamisme bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 8, 8A dan Pasal 8B UUD 945 itu203, pertama, dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua, dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu, di- mungkinkan pula dikembangkannya kebijakan otonomi yang bersifat pluralis, dalam arti bahwa untuk setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda. Keragaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterima prinsip otonomi khusus provinsi Nan- groe Aceh Darussalam dan provinsi Papua yang keduanya memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain pada umumnya. Dalam kaitannya dengan kekuasaan eksekutif, dapat dikatakan bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mendahului dengan mengadopsi sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemerintah Daerah Provinsi di seluruh Indonesia dipimpin oleh seorang Gubenur, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati dan Walikota. Ketig- anya disebut sebagai Kepala Daerah. Di luar Aceh, secara bertahap sesuai dengan perkembangan keadaan di masing-masing daerah, para Kepala Daerah ini dapat pula dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Sebelum perkembangan ke arah pemilihan langsung dapat dilaksanakan, Kepala Daerah dipilih oleh rakyat secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Dae- rah setempat. Dengan demikian, pelaksanaan pemilihan langsung itu di satu daerah dapat dilakukan berbeda dari pemilihan kepala daerahdi daerah lain, tergantung kesiapan daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan pemilihan yang bersifat langsung itu. Pelaksanaan pemilihan langsung tersebut perlu diatur dengan undang-undang. Sesungguhnya, kebijakan otonomi daerah telah diletakkan dasar- dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah- setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal. Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 945 yang telah di- perbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk me- nyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan mem-perhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diang- gap sangat penting karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan yang terus meningkat. Perkembangan keadaan objektif memang mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya masing-masing sertaperimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah. Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Dae- rah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini maka UU yang mengatur materi yang sama sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang- Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Ta- hun 974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 974 No. 8 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 974 No. 0 7), UU No.5 Tahun 979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 979 No. 56 dan TLN Tahun 979 No. 5 ), dan UU No. 2 Tahun 956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 956 No.77 dan TLN Tahun 956 No. 442). Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Si-dang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pent- ingnya kemandirian dan prakarsa dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu me- nunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 8 UUD 945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijakan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan para- digma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut.
|
Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah
« Prev Post
Next Post »
Berikan Komentar Anda