Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Syiah Mazhab Islam Murni

Syiah Mazhab Islam Murni

     Sebagian orang telah menyelidiki Islam secara dangkal. Mereka berpendapat bahwa Syi'ah timbul karena peristiwa-peristiwa sosial dan politik tertentu. Orang-orang semacam itu telah menuding bahwa fondasi Syi'ah berasal dari Abdullah bin Saba', sementara yang lain mengatakan bahwa kondisi sosial dan politik selama pemerintahan Ali menjadi dasar mulainya faham Syi'ah. Menurut pandangan kami, orang-orang tersebut kurang memahami tentang Syi'ah pada awal lahirnya Islam. Syi'ah tidak timbul pada suatu kondisi tertentu.

     Orang-orang tersebut telah menentukan mayoritas dan minoritas sebagai ukuran, dan menganggap cara dan sistem mayoritas sebagai yang benar sementara yang minoritas dianggapnya sebagai kurang penting dan hal yang sekunder. Setiap orang yang berakal sehat akan sadar bahwa ukuran demikian ini tidak benar dan bertentangan dengan logika atau hukum alam dan bertentangan dengan keyakinan.

Berikut ini kami akan membahas tentang Syi'ah dan akan menjawab dua pertanyaan:

1. Bagaimana lahirnya Syi'ah?

2. Bagaimana timbulnya Syi'ah?

 

Bagaimana Lahirnya syiah?

     Untuk menanggapi pertanyaan ini maka akan terjawab bahwa Sy'iah adalah berhubungan erat dengan timbulnya Islam dan merupakan produk alami Islam. Siapapun yang memahami benar-benar akan Islam dan Rasulullah saw maka akan memperoleh pentunjuk dan bimbingan yang tepat dari Rasulullah saw. Rasulullah saw adalah seorang pembimbing ke arah revolusi suci yang meliputi seluruh fase kehidupan seperti cahaya dan udara yang sanggup mengubah masyarakat yang buas dan jahil menjadi masyarakat yang teratur dan sempurna. Revolusi ini berdasarkan program Ilahi yang dibawa oleh rasulNya yang terpelajar dan mulia, dan yang sanggup menyebarkan misiNya ke segenap penjuruh dunia.

     Walaupun misi ini bergerak maju di bawah bimbingan Rasulullah saw tetapi periode penyebarannya cukup pendek, jadi kemajuannya tentu amat sedikit, maka perlu setelah beliau revolusi ini harus dilanjutkan oleh seorang yang mampu membimbing secara tepat dan benar. Wafatnya Rasulullah saw tidak dengan tiba-tiba, beliau sadar akan hal itu sedini mungkin, beliau menyatakan hal itu ketika Haji Wada', bahwa beliau akan segera manyampaikan ucapan selamat kepada umatnya. Baliau memiliki waktu amat banyak untuk memikirkan tentang masa depan penyebaran misinya dan beliau telah menghilangkan kemungkinan-kemungkinan yang menghalangi kemajuan misinya. Memang hal itu merupakan tugas seorang pembimbing dalam sebuah revolusi yang bijaksana dan setia terhadap revolusinya.

 

Usaha Nabi Saww Dengan Penyebaran Islam Dimasa

     Dalam masalah ini Nabi saw dipastikan akan melakukan tiga asumsi untuk menjaga kelancaran masa depan revolusinya

Asumsi Pertama

     Yakni, Nabi saw sendiri yang bertanggung jawab atas Islam dan muslimin selama masa hidup beliau, sedangkan setelah beliau wafat tentunya masa depan Islam dan muslimin bukan di tangan beliau lagi (tetapi diserahkan kepada muslimin). Tetapi asumsi demikian ini tidak mungkin terjadi kerena dua alasan:

Alasan Pertama

     Jika demikian, yakni beliau bertanggung jawab atas Islam dan muslimin hanya ketika beliau masih hidup, berarti setelah beliau wafat, tanggung jawab tersebut diserahkan kepada kaum muslimin secara umum dan bukan urusan Rasulullah saw lagi. Jadi beliau tidak ada urusan dan tidak menanggung resiko tentang masa depan Islam dan muslimin setelah beliau wafat. Tetapi jelas pandangan semacam ini tidak dapat begitu saja diterima, karena bagaimanapun setiap orang akan mengerti bahwa jika Nabi begitu saja meninggalkan Islam dan muslimin tanpa perlindungan atau tanpa petunjuk atau tanpa bimbingan beliau, maka tiga bahaya besar akan dialami oleh Islam dan muslimin.

Tiga Bahaya Tersebut Adalah:

(1).Muslimin yang menghadapi berhentinya petunjuk religius semacam ini yang mana mereka belum tahu pasti tentang pemerintahan atas kaum muslimin, manajemen dan organisasinya serta pengaturan dan operasionalnya. Karena dibingungkan dengan situasi demikian itu sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk berfikir kearah itu. Dengan alasan inilah Umar bin Khaththab menyatakan bahwa Nabi saw tidak wafat. Kaum muslimin sadar bahwa Islam tidak akan menghasilkan sesuatu tanpa seorang pemimpin, maka pasti mereka akan segera memilih pemimpin mereka. Tetapi pemilihan pemimpin macam di Saqifah itu tidak sesuai dengan ruh Islam, apalagi pemilihan tersebut dilakukan oleh mereka yang mentalnya masih lemah dan dipengaruhi oleh situasi dan keterikatan sehubungan dengan pemilihan tersebut.

(2).Karena muslimin belum memiliki kematangan mental dan kesadaran akan ruh Islam seperti halnya Nabi saw sendiri, mereka belum dapat melaksanakan pemerintahan Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsinya.

(3).Segolongan yang menamakan dirinya muslimin, yang sebenarnya mereka jauh dari Islam dan ingin memetik keuntungan untuk menodai bahkan merusak Islam di saat Nabi saw telah wafat dan kosongnya pengganti beliau yang sebenarnya, hal ini merupakan kesempatan yang amat baik bagi musuh-musuh Islam.

     Kita tahu bahwa Abu Bakar menyadari akan tanggung jawabnya terhadap Islam dan masa depan muslimin sehingga menetapkan dirinya sebagai pengganti Nabi saw. Dan ketika dia diprotes karena tindakannya yang tergesa-gesa itu, yakni dalam menduduki jabatan pemerintahan Islam, ia menjawab bahwa karena masyarakat saat itu masih belum jauh dari jahiliahnya dan dari sifat mereka yang primitif dan bahwa mereka masih sering berbuat durhaka setelah wafatnya Rasulullah saw[1]. Dengan demikian maka tentunya timbul pertanyaan: Apakah Rasulullah saw tidak bertanggung jawab sebagaimana yang dirasakan Abu Bakar?. Bukankah beliau lebih banyak memikirkan masa depan Islam dan muslimin daripada Abu Bakar?,

Alasan Kedua

     Jika memang masa depan Islam dan muslimin diserahkan begitu saja kepada umat beliau, berarti beliau tidak lagi bertanggung jawab terhadap Islam dan mengabaikan masa depan Islam. Apalagi konon, beliau tidak menunjuk seorang sebagai gantinya, jelas hal ini akan membahayakan bagi Islam dan muslimin. Dan berarti beliau hanya hendak menyelamatkan Islam dan melindungunya sepanjang masa hidup beliau saja. Setiap orang yang berfikiran sehat menyadari bahwa hal yang demikian itu tidak mungkin ada pada perasaan seorang Nabi seperti beliau. Bahkan jika memang demikian maka beliau bukan seorang yang mempunyai hubungan dengan Tuhan dan beliau hanyalah seorang filosof.

     Setiap orang yang menciptakan sebuah mazhab pemikiran tertentu pasti bersikap amat setia kepada mazhabnya itu. Dia pasti memikirkan benar-benar akan masa depan mazhabnya dan bekerja keras untuk menciptakan sistem agar mazhab tersebut berlangsung terus dan lebih maju. Untungnya sejarah kehidupan Rasulullah saw merupakan bukti nyata bagaimana kesetiaan yang beliau miliki di dalam misi kerasulannya dan alangkah banyak pengorbanan yang dilakukan beliau demi kemajuan misi kerasulannya itu. Beliau selalu memeras otaknya memikirkan perkembangan masa depan Islam. Sebagai contoh: Sebelum wafat, beliau memerintahkan pasukan muslimin agar berperang di bawah komando Usamah. Ketika beliau terbaring di atas tempat tidur di saat kritisnya, sambil sebentar-sebentar beliau pingsan, beliau berkali-kali memerintahkan dan memberi semangat untuk menggerakkan pasukan Usamah.

     Rasulullah yang menekankan betapa pentingnya masalah-masalah remeh seperti strategi perang, walaupun pada saat-saat kritis masa hidup beliau tetap memikirkan masalah tersebut. Mungkinkah beliau tidak memikirkan masa depan Islam dengan meninggalkan dan membiarkan masalah yang gawat dan membingungkan yakni masalah pengganti beliau yang menyangkut masa depan muslimin?. Memang masalah di atas telah dipikirkan beliau dan terutama pada saat-saat akhir kehidupan beliau. Bahkan hal itu telah ditegaskan bahwa Rasulullah saw selalu berfikir tentang masa depan Islam dan muslimin. Masalah tersebut dengan suara bulat diakui baik oleh Syi'ah maupun Sunni. Sebuah contoh bagaimana Nabi yang suci (saw) itu dengan susah payah memikirkan tentang masa depan perkembangan Islam dan muslimin.

     Saat itu Rasulullah saw sedang berbaring di tempat tidurnya, dan beliau sedang sakit keras. Sebagian muslimin mengerumuni beliau di sekitar tempat tidur beliau. Di antara mereka hadir pula Umar bin Khaththab. Kemudian beliau bersabda: "Bawakan kepadaku kertas dan tinta, aku akan tuliskan kepada kalian sehingga kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya"[2] . Perintah Nabi saw ini merupakan bukti yang jelas bahwa beliau selalu memikirkan tentang masa depan Islam dan muslimin. Beliau memandang penting bertindak demikian agar setelah wafat beliau, muslimin dan Islam bebas dari bahaya dan gangguan di masa depan. Jadi asumsi pertama di atas tidak dapat diterima.

Asumsi Kedua

     Jika telah kita akui bahwa Rasulullah saw selalu mimikirkan tentang masa depan Islam dan muslimin, tapi membiarkan masalah kekhalifahan dimusyawarahkan bersama oleh masyarakat banyak, maka hal ini tidak dapat diterima berdasarkan berbagai alasan.

Alasan Pertama

     Jika memang Rasulullah saw telah menjelaskan kepada muslimin tentang pemerintahan demokratis dan segi-seginya yang terpenting, dan beliau membuat persiapan terhadap masyarakat luas bagi pembentukan pemerintahan semacam itu dan membuat agar muslimin menaati cara beliau tersebut, berarti semua sabda beliau menyatakan secara tidak langsung bahwa masalah pemerintahan tidak mungkin dilaksasnakan dengan musyawarah sedemikian rupa. Di samping itu kaum muslimin di zaman Nabi saw belum memiliki gambaran sedikit pun tentang sebuah pemerintahan. Dengan alasan inlah sebelum wafatnya, Abu Bakar tidak setuju apabila pemerintahan Islam dibentuk dengan cara musyawarah, dan ia menyerahkan kepemimpinan Islam kepada Umar, dan kaum muslimin tidak keberatan dengan tindakan itu sebagaimana yang telah dilukiskan dalam sejarah.

     Ketika Abu Bakar sakit keras, ia memerintahkan Usman agar menuliskan sebuah wasiat. Usman menulis apa yang dikehendaki Abu Bakar sebagai berikut: "Aku adalah khalifah Rasulullah, aku nyatakan kepada kaum muslimin: Salam atas kalian. Segala puji kupanjatkan kehadirat Allah, Aku mengangkat Umar bin Khaththab sebagai pemimpin kalian. Kalian harus menaatinya". Dalam waktu yang singkat Abdurrahman bin Auf masuk ke tempat itu, dan setelah menegur sapa, Abu Bakar berkata: "Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian sebagai pemimpin kalian, jika tidak demikian, maka kalian akan mementingkan diri kalian kalian sendiri"[3].

     Pengangkatan yang dilakukan Abu Bakar tersebut membuktikan bahwa jelas ia tidak memiliki konsep pemerintahan berdasarkan kehendak masyarakat, dan ia menganggap bahwa telah menjadi haknya untuk mengangkat seseorang sebagai gantinya setelah wafat. Oleh karena itu ketika khalifah kedua mendapat luka berat, orang-orang ramai berkerumun di sekitarnya, mereka mengusulkan agar ia harus mengangkat penggantinya karena mereka jelas tidak mempunyai gagasan untuk mengangkat seorang pengganti dengan cara musyawarah.

Alasan Kedua

     Jika Rasulullah saw menyerahkan pemerintahan kepada umat Islam dan pelaksanaan manajemennya kepada kehendak muslimin, maka menjadi keharusan bagi beliau untuk mengumumkan hal itu bahwa keagungan ruh dan pemikiran Islam telah mencapai puncaknya dan kesulitan-kesulitan kenabian telah tiada dan terhenti, serta pemerintahan Islam dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tetapi sayang, peristiwa-peristiwa yang menyusul setelah wafat beliau menunjukkan bahwa kaum muslimin kurang cakap, bahkan khalifah tidak peduli dengan adanya fakta bahwa daerah-daerah yang diduduki muslimin sebagai hasil rampasan perang, begitu saja dibagikan kepada para pahlawan menurut hukum agama, atau diserahkan kepada masyarakat umum untuk kepentingan bersama.

     Mungkinkah bagi seorang Nabi yang telah meramalkan kemenangan kaum muslimin atas Kaisar dan Kosru membiarkan kaum muslimin tidak faham akan hukum agama sehubungan dengan hilangnya tanah-tanah hasil rampasan perang?.

Alasan Ketiga

     Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada agama lain yang menyamainya. Inilah agama yang akan mengguncangkan dunia dan mengubah seluruhnya serta melalui ajarannya dan peradabannya sanggup membimbing masyarakat Islam kepada ketinggian, kemulian dan kemajuan. Pada sisi lain bayang-bayang Nabi yang suci menaungi setiap kepala umat Islam hanya dalam jangka waktu sepuluh tahun. Walaupun demikian jelas tak mungkin masyarakat primitif, buas dan barbar itu dapat berubah menjadi beradab dalam jangka waktu sependek itu sehingga cakap bertanggung jawab untuk membimbing dalam segala segi. Oleh Karena itu sehubungan dengan prinsip-prinsip setiap suatu ajaran, setelah perintisnya maka para anggotanya harus melanjutkan misi itu secara progresif di bawah bimbingan penggantinya, sehingga para anggota tersebut dapat bimbingan yang patut. Tetapi ternyata mereka yang hidup sezaman dengan Nabi saw masih merupakan para korban ortodikisme dan kebiasaaan-kebiasaan buruk dan belum tertanam di dalam jiwa mereka ruh Islam secara sempurna. Dengan demikian mereka belum punya cara untuk memilih pembimbing yang tepat untuk membimbing mereka.

     Sejarah adalah saksi atas kenyataan bahwa pemerintah Islam akhirnya berubah menjadi kerajaan turun temurun[4], sehingga orang-orang yang berhati suci dibunuh tanpa salah dan sebagian dari mereka dirampas kekayaan dan hak miliknya. Ajaran-ajaran Islam tinggal hanya permainan, dan Islam tidak bertambah kuat bahkan ia cenderung berantakan. Mengapa hal ini terjadi?. Jelas hal ini hanya disebabkan oleh sebagian muslimin menciptakan sebuah pola pemerintahan Islam dan kehalifahan setelah wafat Rasululllah yang suci. Pola tersebut tidak patut dan tidak sesuai diterapkan pada saat itu. Oleh karena itu pola demikian adalah jauh dari logis dan keadilan bila kita menganggap bahwa pemerintahan semacam itu disetujui Rasulullah. Dengan demikian apapun yang dikatakan telah jelas bahwa asumsi kedua di atas tidaklah bijaksana dan mustahil Rasulullah saw akan menerimanya.

Asumsi Ketiga

     Seharusnya kita yakini bahwa Rasulullah saw selalu memikirkan tentang masa depan Islam dan muslimin dan telah menunjuk seorang yang patut sebagai pengganti beliau sesuai kehendak Allah, sehingga pengganti beliau itu sanggup melaksanakan pemerintahan Islam sepeninggal beliau. Dan berkat kemampuannya membimbing, dan dengan tindakannya yang bijak akan mudah mengenyahkan bahaya-bahaya yang  mengancam Islam dan muslimin, serta membimbing umat ke arah kemajuan. Seorang yang terkemuka ini seharusnya bijaksana, dari hasil bayang-bayang Nabi saw, yang keberadaannya dan hidupnya benar-benar menyatu dengan realitas Islam dan kehidupan Nabi saw, dan orang itu seharusnya memiliki jiwa yang manunggal dengan jiwa Nabi saw.

     Sejarah bersaksi bahwa orang semacam itu tiada lain adalah Imam Ali bin Abi Thalib as. Sebenarnya Imam Ali telah berkata di dalam kitab Nahjul Balaghah: "Rasulullah telah memelihara aku semenjak kanak-kanakku. Beliau mengambil aku sebagai anaknya dan memelukku di ranjangnya bila kami tidur. Rasulullah memberiku pelajaran berupa etika dan hal-hal yang menakjubkan lainnya setiap hari. Pada saat itu tidak ada seorang muslimin pun yang menyelamatkan Nabi kecuali dirinya, Khadijah dan aku".

     Juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas di dalam Hulyatul Auliyah bahwa Nabi saw mewasiatkan kepada Ali tujuh puluh hal yang tidak beliau wasiatkan kepada orang lain.

Diriwayatkan Nasa'i bahwa Imam Ali berkata: "Setiap aku bertanya kepada Nabi, beliau menjawab, bila aku diam, beliau tetap bersabda kepadaku".

     Riwayat Nasa'i lainnya mengatakan bahwa Ummu Salamah (istri Rasulullah saw) berkata: "Aku besumpah demi Allah, Ali lebih dekat kepada Rasulullah daripada siapapun".

     Satu keharusan bagi logika yang matang meyakini bahwa siapapun yang merintis sebuah mazhab pemikiran tertentu pasti mempunyai pengikut. Jika si perintis mazhab pemikiran tersebut telah yakin dan setia kepada mazhabnya tersebut, maka pasti mengkader dan mendidik seorang yang paling cakap di antara muridnya ketika ia masih hidup, dan ia memilih orang itu sebagai pembimbing dalam mazhabnya dan mengangkatnya sebagai penggantinya serta mempercayakan kepadanya dan memperkenalkan dia kepada masyarakat sehingga masyarakat akan dibimbingnya kepada keharmonisan tanpa adanya perselisihan, perbedaan dan kemunduran.

     Logika semacam ini telah dilakukan oleh Nabi saw sehubungan dengan Imam Ali. Dalam beberapa peristiwa beliau menunjuk Ali sebagai pengganti beliau dan memimpin kaum muslimin. Yakni berdasarkan Hadis ad-Dar, Hadis Tsaqalain, Hadis Manzilat, Hadis Ghadir. Hadis-hadis inilah sebagai bukti atas dalih-dalih di atas. Sejarah telah membuktikan bahwa hanya Imam Ali yang sanggup menyelesaikan berbagai masalah. Pengaturan kekhalifahan Islam, walaupun tentang kebijaksanaan yang rumit sekali pun berhasil diselesaikan.

     Dengan demikian terbukti bahwa Syi'ah dilahirkan oleh Islam dan Nabi saw sendiri yang menanamkan fondasinya dengan wahyu Allah. Alasan ini menyatakan agar Islam dan muslimin dapat dilindungi dari kemerosotan dan pertikaian, sehingga dapat mencapai kesempurnaan dan kemajuan Islam dan kaum muslimin. Secara fakta Syi'ah dilahirkan oleh Islam dengan cara alamiah, dan hanya Islam yang harus melahirkannya, karena Syi'ah adalah Islam itu sendiri yang dapat disaksikan sejarah ketika saat wafatnya Nabi saw sebagaimana yang telah diuraikan dan dijelaskan oleh Rasulullah atas kehendak Allah SWT.

Bagaimana Timbulnya Syiah?

     Kami telah meneliti tentang keadaan sekitar penyebab timbulya Syi'ah, dan sekarang masalah yang akan kami bahas adalah bagaimana tibulnya Syi'ah, sehingga terjadi pembagian dua golongan muslimin, yakni Syi'ah dan Sunni. Bila kita menperhatikan dan melayangkan fikiran kita kepada saat kedatangan Islam, maka kita akan mendapatkan bahwa muslimin pada saat itu telah menunjukkan adanya pengelompokan masing-masing. Satu golongan percaya dan yakin bahwa segala masalah dan hukum agama telah terang dan jelas, dan perintah-perintah khusus harus diikuti dan tidak ada masalah atau hukum yang dapat diciptakan orang lain. Golongan yang lain percaya dan yakin bahwa hal ini terbatas hanya pada masalah-masalah ubudiyah dan masalah-masalah ghaib, sedangkan masalah-masalah selain itu adalah tugas orang-orang yang dapat meneliti dan memecahkannya sesuai dengan apa yang dipandangngnya baik walaupun sebenarnya perintah agama telah jelas.

     Karena pandangan ini berdasarkan kecenderungan kemauan orang, dengan sendirinya pengikutnya semakin bertambah, sehingga sebagian sahabat Nabi yang terkenal seperti Umar bin Khaththab bergabung ke dalam kelompok ini. Dalam banyak hal mereka bertindak menurut kehandak mereka sendiri dan opini pribadi sambil tidak memperhatikan perintah-perintah Rasulullah saw yang telah jelas. Sebagaimana masalah perdamaian Hudaibiyah, mereka memprotes dan mengkritik Rasulullah saw, melenyapkan kata-kata "Hayya ala khairil amal" dari azan, meniadakan haji tamattu' dan perkawinan mut'ah, dan masih banyak lagi lainnya.

     Telah diriwayatkan oleh Abullah bin Abbas bahwa ketika Rasulullah saw memerintahkan agar orang-orang mendekat ke tempat pembaringan beliau di saat hampir wafat, kemudian beliau meminta agar mereka membawakan kertas dan tinta sehingga beliau dapat mendiktekan wasiatnya dan ditulis di kertas tersebut sehingga kaum muslimin tidak akan tersesat selamanya. Umar bin Khaththab menuruti kehendaknya sendiri, ia berkata bahwa Nabi sakit keras dan mengigau, Qur'an sudah cukup sebagai petunjuk. Maka timbullah perbedan pendapat di antara mereka yang hadir. Sebagian di antara mereka mendesak agar perintah Rasulullah saw segera dipenuhi dan kertas serta pena agar disediakan, sebagian yang lain mendukung pendapat Umar. Ketika suara ribut dan gaduh itu terdengar dan mengganggu Nabi, beliau mengusir mereka.

Satu Kejadian Tragis Lainnya

     Ketika Rasulullah saw mengangkat Usamah bin Zaid sebagai komandan tempur prajurit Islam, beberapa sahabat bertindak atas kehendak mereka sendiri dan menolak perintah Usamah. Walaupun dalam keadaan sakit keras, beliau saw berusaha keluar rumah dan berteriak kepada mereka: "Aku telah mendengar sikap kalian tentang kepemimpinan Usamah. Kalian tidak hanya mengkritik kepada kepemimpinan Usamah, tetapi juga memboikot kepemimpinan ayahnya dahulu. Demi Allah, baik Usama atau ayahnya sangat tepat menduduki posisi itu".  

     Dengan memperhatikan peristiwa di atas kita dapat memahami bahwa sebagian sahabat Nabi saw ada yang taat kepada Nabi saw dalam menerima kepemimpinan Usamah, sedang sebagian dari mereka menuruti kehendak mereka sendiri dan tidak menerima kepemimpinan Usamah. Kedua perbedaan pendapat dan keyakinan yang amat kontroversial di antara kaum muslimin ini adalah awal mula terjadinya perbedaan dalam pemerintahan kehalifahan Islam.

     Golongan pertama menerima pemerintahan dan kekhalifahan Islam sesuai metode yang diajarkan Rasulullah saw, yakni mengakui seseorang yang ditunjuk Rasulullah saw sebagai pemimpin dan menaati pemimpin yang telah ditunjuk oleh Nabi saw. Golongan ini disebut sebagai Syi'ah. Golongan kedua menggunakan kehendak mereka sendiri walaupun perintah agama telah jelas dan terang, menyelenggarakan pemerintahan dan kekhalifahan Islam dengan cara musyawarah, karena mereka menganggap hal tersebut lebih tepat menurut pendapat mereka. Golongan ini disebut Sunni.

     Dengan penjelasan tersebut maka kita tahu bahwa timbulnya Syi'ah bersamaan dengan saat-saat Rasulullah saw akan wafat. Peristiwa menjelang wafatnya Rasulullah saw tersebut menunjukkan kepada kaum muslimin bahwa beliau saw menunjuk Ali sebagai Khalifah Rasulullah saw serta sebagai pemimpin kaum muslimin di dalam melaksanakan perintah-perintah Nabi yang jelas, dan mengkritik mereka yang menolak hal itu yang mana mereka akan mengangkat orang lain untuk menduduki tempat yang mulia itu.

     Sehingga mereka yang memprotes pengangkatan Khalifah Abu Bakar pada saat itu sebagaimana yang telah tercatat di dalam kitab-kitab baik dari kalangan Sunni maupun Syi'ah, mereka adalah Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad dan Ammar bin Yasir, dan lain-lain yang mana mereka termasuk sahabat Nabi saw yang amat termasyhur dan terpercaya.

Tulisan Diatas Ditulis Oleh  "Sayid Muhammad Baqir Shadr"

 

Semoga Artikel Diatas Dapat Membantu Kita Semua Memahami Syiah Sebagai Mazhab Dalam Islam.

 



[1] Sarah Nahjul Balaghah: Ibn Abil Hadid, jilid I hal. 54  

[2].Musnad Ahmad bin Hambal jilid I, hal. 300 Shahih Muslim jilid II: "Wasiat akhir Rasulullah" Shahih Bukhari jilid I: Kitabus Suhl  

[3] Tarikh Ya'qubi, jilid II, hal. 128  

[4] Dinasti-dinasti Bani Umaiyah, Bani Abbas dan lain-lain   

Previous
« Prev Post

2 Komentar

  1. Pemaparan yang hebat, propganda yang dipaparkan mendalam dan amat tersusun rapi, meskipun "taqiyya" masih tetap saja kalian (syiah) gunakan. Coba kita pakai akal sehat sedikit saja, siapa yang lebih mengedepankan hawa nafsu dan keinginan sendiri, golongan yang melarang nikah mut'ah atau mereka yang melakukannya kembali? Wallahua'lam, semoga kita tidak tersesat... amien...

    Salam,
    Aneuk Aceh.

    ReplyDelete
  2. Maaf jika anda tidak senang dengan mazhab yang kami anut.. setidaknya bagi saya, kita mempunyai argumen masing- masing dalam mempertahankan keyakinan kita, dan mempunyai argumen juga dalam mempertahankan keyakinan orang lain...

    Salamm......

    ReplyDelete

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.