Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Peran Perempuan Dalam Sebuah Sinema

Peran Perempuan Dalam Sebuah Sinema

Pada saat itu, di Barat muncul gerakan-gerakan feminisme yang mengkritik sistem sosial masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua.

Kata feminisme yang diartikan sebagai gerakan pembelaan terhadap hak-hak perempuan, mengapa ini bias terjadi? Apakah orang-orang masih menerima pandangan sebagian filsuf dan pemikir kuno dalam masyarakat? Ditahun pertama pada abad ke-20, pemikiran mengenai pembelaan terhadap hak-hak perempuan mulai diangkat beberapa penulis perempuan di Barat, di antaranya oleh Virginia Woolf. Woolf dalam buku romannya mengecam atmosfer superioritas laki-laki dalam masyarakat Eropa saat itu. Dia juga mengkritik semua peran perempuan pada saat itu hanya dibatasi pada peran-peran perempuan dan dibatai hanya pada urusan keluarga dan rumah tangga, Woolf juga menjelaskan apabila kaum perempuan diberikan kesempatan mereka pasti mampu untuk menghasilkan berbagai hal yang luar biasa baik dan banyak.

Setelah munculnya Wolf, muncul juga berbagai gerakan yang ekstrim untuk membela hak-hak perempuan yang umumnya dikendalikan oleh mereka para cendikiawan. Menurut mereka kaum feminis, media masa sangat berperan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat tentang perempuan terutama film dan sinema. Sejak dimulainya sejarah-sejarah sinema para perempuan tidak pernah mendapat peran yang signifikan, mereka hanya pendapat peran-peran kaum pinggiran, mereka juga dimanfaatkan dalam film dan sinema yang bertemakan yang menyentuh hati, horror, bahkan yang paling banyak digemari adalah film-film yang bertemakan seksual. Ketika kaum feminisme terus melakukan gerakan-gerakan untuk merubah hal tadi maka akhirnya pun kehadiran para perempuan pun megalami banyak perubahan.

Para kaum feminisme menginginkan perempuan dalam sinema tidak ditampilkan dalam peran-peran yang monoton, melainkan mereka menginginkan peran-peran yang melindungi hak-hak perempuan secara ekstrim dan fanatik. Laura Mulvey, seorang aktivis feminisme, menyatakan bahwa sinema adalah alat untuk memenuhi kesenangan laki-laki. Satu abad yang lalu pada Era perang dunia kedua, kaum feminis berhasil keluar dari peran yang dipaksakan kaum cendikiawan tadi. Namun segera setelah perang berakhir, sinema Amerika kembali menampilkan peran-peran perempuan sebagai penghias layar serta mencela aktivitas perempuan dalam masyarakat. adapula sebagian sineas Barat seperti Antonioni, Alan Resnais, dan Francois Truffaut yang menampilkan perempuan dalam sudut pandang yang baru, yang melawan arus yang berkembang pada zaman itu.

Kecenderungan seperti ini berlanjut hingga akhirnya memuncak pada tahun-tahun akhir abad ke-20. Dalam karya para sineas ini, perempuan ditampilkan sebagai manusia yang memiliki kehendak dan kemampuan, sehingga karenanya, mempunyai posisi dan kedudukan dalam masyarakat

Tapi berbeda dengan Negara-negara timur seperti Iran sejak Revolusinya film-film ditampilkan dalam peran-peran yang bervariasi sebagaimana yang ada dalam kenyataan masyarakat. Dalam film-film pasca Revolusi Islam, perempuan diharuskan tampil dengan menutup aurat dan tidak ada adegan-adegan yang sensual. Dengan demikian, kaum perempuan dalam sinema Iran pasca Revolusi Islam tampil dengan membawa peran yang signifikan, bukan sebagai obyek eksploitasi keindahan tubuh.

Dalam sebagian besar film-film Iran kontemporer, perempuan ditampilkan sebagai unsur aktif dalam masyarakat yang selalu berusaha meraih kemajuan dalam kehidupannya. Peran perempuan lainnya yang menonjol dalam sinema Iran adalah peran sebagai ibu. Dalam pandangan Islam, seorang ibu memiliki kedudukan yang mulia dan merupakan poros utama dalam kehidupan masyarakat karena ibu-lah yang akan menentukan kualitas generasi-generasi masa depan. Film berjudul “Ibu” karya sutradara terkenal Iran, Ali Hatami film yang isinya, menyimbolkan hubungan yang erat antara anak-anak bangsa dengan tanah air mereka, dan ibunya berhasil menciptakan hubungan yang sangat harmonis dengan anak-anaknya.

Masih banyak lagi para sutradara-sutradara Iran yang terkenal yang tidak mungkin kita sebutkan semua, intinya bagaimanapun juga yang jelas, sosok perempuan dalam sinema haruslah ditampilkan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, dalam arti tidak dijadikan bahan eksploitasi sensual dan memainkan peran-peran yang mengangkat harga diri dan jatidiri seorang perempuan. Dengan cara ini, film akan menjadi inspirasi bagi kaum perempuan untuk terus maju dan membangun dirinya

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.