Kelahiran imam Musa Al-Kazim
Imam Musa Al-Kazim As lahir pada hari ahad, bertepatan dengan 7 Safar 120 H, di sebuah lembah bernama Abwa yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam Musa As mencapai kedudukan Imamah di usia 21 tahun.
Abu Bashir menuturkan, “Kami bersama Imam Ja’far melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di sebuah tempat yang dikenal dengan Abwa dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam mendapat kabar bahwa Allah swt. telah menganugerahinya seorang putra.
Dengan penuh suka-cita Imam Ja’far segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, “Allah swt. telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari- Nya”.
Ibundanya bercerita bahwa ketika putranya lahir, ia merebah sujud dan memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah swt. Perbuatan ini merupakan tanda imamah beliau.
Saat tiba di Madinah, Imam Ja’far Ash-Shadiq as. menghidangkan jamuan makan selama tiga hari, mengundang orang-orang miskin dan orang-orang yang tertimpa kesusahan.
Ya’qub Sarraj menuturkan, “Aku mengunjungi Imam Ash-Shadiq as. di Madinah. Aku melihatnya berdiri di dekat ayunan putranya, Musa Al-Kazim as. Aku mengucapkan salam kepada beliau, dan dengan tatapan yang cerah beliau membalas salamku. Beliau berkata, ‘Mari mendekat kepada Imam dan sampaikan salam padanya’. Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Imam Ja’far berkata, ‘Allah swt. telah menganugerahimu seorang putri dan engkau telah memberinya nama yang kurang pantas untuknya. Pergilah dan gantilah namanya’.
Ibunda Musa Al-Kazim as. adalah seorang kaniz (budak) yang dibeli oleh Imam Ja’far. Meskipun demikian, ibunda telah mendapatkan pengajaran ilmu dari Imam Ja’far as., yang menjadikannya sebagai wanita yang memiliki keluasan ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga, terkadang Imam Ja’far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.
Periode kehidupan Imam Musa Al-Kazim as. dapat dibagi menjadi 2 bagian:
1. Kehidupan beliau bersama ayahandanya di Madinah selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum beliau mencapai Imamah.
2. Masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan dan pengasingan yang menimpa kehidupan Imam as.
Perjumpaan Imam Musa dengan Abu Hanifah
Suatu hari, kala Imam Ketujuh kita, Imam Musa al-Kazim yang masih berusia 5 tahun, salah seorang murid ayahnya yang bernama Abu Hanifah datang berkunjung untuk bertanya beberapa masalah kepada ayah Imam Musa al-Kazim As.
Imam Keenam kita, ayah Imam Musa al-Kazim, Imam Ja'far as-Sadiq sedang sibuk bersama dengan tamunya yang lain dan Abu Hanifah menunggu untuk beberapa waktu.
Lalu, ia melihat Imam Musa al-Kazim As sedang bermain dengan seekor binatang. Ia berkata kepada binatang tersebut, "Bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakanmu."
Abu Hanifah bertanya-tanya apakah si bocah belia ini akan menjadi Imam selanjutnya. Ia memutuskan untuk bertanya kepada Imam Musa al-Kazim As beberapa pertanyaan. Abu Hanifah berkata kepada Imam belia, "Bolehkah aku ajukan sebuah pertanyaan kepadamu?"
Lalu Imam Musa al-Kazim berdiri dan dengan mantap berkata kepada Abu Hanifa, silahkan ajukan pertanyaan apa pun yang engkau sukai?"
Kemudian Abu Hanifah mengajukab sebuah pertanyaan yang telah membuatnya kebingungan. Ia bertanya, "Apakah seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya atau berada dalam kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?
Imam Musa al-Kazim menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan ini:
1. Allah Swt memaksanya untuk melakukan sebuah perbuatan.
2. Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu.
3. Manusia melakukannya sendiri, dalam rangkuman kebebasannya.
Imam Musa al-Kazim As menjelaskan:
Apabila kemungkinan atau anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu. Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini tidaklah demikian adanya.
Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan ini juga tentu saja tidak masuk akal.
Kemudian, tersisa kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
Abu Hanifah berujar bahwa alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan!
Ia berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja'far Sadiq As, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa Kazim As.
Nilai Sikap Santun Imam Musa Kazim
Pada masa Imam Ketujuh, terdapat seorang miskin, seorang peladang yang tidak terdidik berlaku sangat kasar kepada Imam Musa al-Kazim As, manakala ia melihatnya. Tanpa memandang betapa kasar orang ini, Imam Musa As tidak pernah merasa gusar dan tidak pernah berkata kasar sebagai balasan atas orang itu. Para sahabat Imam Musa bermaksud untuk menghajar orang itu, akan tetapi Imam tidak membolehkan mereka melakukan hal itu. Imam Musa Kazim As berkata kepada mereka bahwa ia sendirilah yang akan mengajar orang itu.
Suatu hari Imam Musa As menunggangi kudanya bertolak menuju ladang tempat orang yang kasar itu bekerja. Tatkala ia melihat Imam Musa As, ia menghentikan kerjanya dan berkacak pinggan, bersiap-siap untuk berlaku kasar kembali.
Imam turun dari kudanya dan maju mendekat orang tersebut dan memberikan salam dan senyum bersahabat kepadanya. Imam Musa As berkata kepadanya bahwa ia hendaknya tidak terlalu banyak bekerja sendiri dan ladang yang ia miliki merupakan ladang yang baik. Imam bertanya kepadanya ihwal berapa banyak yang ia harapkan untuk ia terima ketika menuai hasil ladangnya.
Si peladang menjadi sangat kaget pada sikap santun dan ketulusan Imam. Ia berpikir sesaat, dan ia kemudian berkata bahwa ia mengharapkan 200 keping emas dari tanah garapannya ini. Imam Musa As merogoh sebuah kantong dan menyerahkan kepada si peladang bahwa dalam kantung uang tersebut terdapat 300 keping emas, lebih dari nilai hasil ladang garapanmu. Imam Musa As berkata kepada orang itu untuk mengambil uang itu dan juga tetap memiliki hasil garapan. Dan ia berharap untuk mendapatkan lebih banyak dari itu.
Tatkala ia mendapatkan perlakuan yang demikian baik dan santun, si peladang kasar itu menjadi sangat malu kepada dirinya dan meminta kepada Imam Musa As untuk memaafkannya.
Setelah itu, manakala peladang kasar itu melihat Imam Musa As, ia segera menyapa Imam Musa As dengan santun. Para sahabat Imam Musa As sangat takjub akan perilaku orang tersebut.
Suatu hari Imam melintas di hadapan seorang miskin. Ia menyapanya dengan sopan dan berbicara dengannya selama beberapa menit., menanyakan apakah ia baik-baik saja.
Tatkala Imam Musa As akan pergi, ia berkata kepada orang miskin tersebut kalau-kalau ada yang dapat dilakukan untuk orang itu, ia akan melakukannya.
Para pengikut Imam Musa As melihat dan mendengar betapa baiknya Imam kepada orang papah ini. Mereka berkata kepada Imam bahwa tidak pantas orang sebesar Imam berkata dan menawarkan jasa kepada orang seperti orang itu.
Imam menjawab bahwa mereka lupa bahwa mereka semuanya merupakan hamba Allah, dan Allah Swt menciptakan seluruh manusia sama. Juga bahwa jika seorang miskin tidak berarti bahwa ia akan tetap miskin seumur hidupnya dan demikian juga bagi seorang yang kaya.
Imam Musa Kazim As berkata kepada mereka bahwa siapa yang memerlukan pertolongan darimu hari ini boleh jadi akan menolongmu suatu hari kelak.
Akhlak Imam Musa as.
Meskipun postur tubuh Imam Musa Al-Kazim as. kurus, namun beliau memiliki jiwa yang kuat. Baju dalam beliau terbuat dari bahan kain kasar. Beliau kadang-kadang berjalan kaki di tengah keramaian penduduk, menyampaikan salam pada mereka, mencintai keluarganya dan menghormati mereka.
Imam Musa Al-Kazim adalah orang yang sangat peduli pada kehidupan kaum fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan secara sembunyi-sembunyi; tanpa diketahui oleh mereka tentang keberadaan beliau. Bahkan setiap bulannya, Imam memberikan santunan kepada beberapa orang di antara mereka.
Salah seorang sahabat Imam bercerita tentang ketabahan dan kesabaran beliau. Ia menuturkan, “Musuh-musuhnya terkadang merasa malu dan berkecil hati atas akhlak luhur yang ditunjukkan oleh Imam”.
Pada suatu waktu, seorang warga Madinah melihat Imam Musa. Ia menghadang beliau lalu menyampaikan kata-kata kasar dan makian dihadapan beliau. Para sahabat Imam berkata, “Izinkan kami untuk menghajarnya, wahai Imam!”.
Imam berkata, “Biarkanlah, jangan kalian ganggu dia!”.
Beberapa hari kemudian, tidak ada berita tentang orang tersebut. Imam menanyakan ihwal kesehatan orang itu. Penduduk kota menjawab, “Ia pergi bercocok tanam di ladangnya yang terletak di luar kota Madinah”. Mendengar kabar tersebut, Imam as. segera menunggang kudanya dan bergerak menuju ke ladang orang tersebut.
Ketika orang itu melihat kedatangan Imam as., ia berteriak dengan lantang dari kejauhan, “Jangan sekali-kali kau menginjakkan kakimu di ladangku. Aku adalah musuhmu dan musuh datuk-datukmu”.
Namun, Imam malah mendekatinya, menyampaikan salam dan menanyakan kesehatan serta keadaan hidupnya. Dengan penuh ramah Imam bertanya, “Berapa Dinar yang Anda habiskan untuk biaya ladangmu ini?”.
Ia menjawab, “Seratus Dinar”.
Imam bertanya lagi, “Berapa banyak keuntungan yang Anda harapkan dari semua ini?”.
Orang itu menjawab, “Dua ratus Dinar”.
Mendengar jawaban ini, Imam mengambil sekantung uang yang berisi tiga ratus Dinar dan memberikannya pada orang tersebut. Imam berkata, “Ambillah uang ini, dan ladang ini tetap menjadi milikmu”.
Orang yang selama ini berlaku kurang ajar dan kasar kepada Imam itu, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan sesantun itu dari Imam.
Ketika hendak kembali ke Madinah, Imam berpesan, “Lepaskan amarahmu dengan cara seperti ini”. Yakni, tetap menunjukkan akhlak yang luhur.
Al-Kazim adalah sebuah gelar yang berarti orang yang mampu mengendalikan amarahnya ketika mendapat gangguan dan membalasnya dengan kebaikan serta penghormatan. Perbuatan mulia ini telah membuat musuh-musuhnya menjadi begitu malu.
Salah satu kebiasaan Imam Musa as. ialah menunjukkan cinta kasih dan kehangatannya kepada kerabat beliau. Beliau berkata, “Apabila terjadi permusuhan di antara kerabat, lalu mereka saling berjabatan tangan ketika mereka berjumpa, maka permusuhan itu akan pergi dan sesama mereka akan saling mencintai satu sama lainnya dan sama-sama menyambut gembira”.
Tragedi Fakh
Atas perintah Imam Musa Al-Kazim as., seorang Alawi (keturunan Imam Ali) asal Madinah bernama Husain bin Ali melakukan pemberontakan terhadap Al-Hadi yang menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah ketika itu. Beserta dengan tiga ribu pasukan, Husain bangkit melawan pemerintahan Abbasiyah karena kejahatan dan kezaliman mereka terhadap anak keturunan Ali bin Abi Thalib as.
Namun, pasukan Al-Hadi berhasil mengepung mereka di tanah Fakh dan melakukan pembantaian massal di tempat itu, yaitu memenggal kepala mereka, satu persatu. Kepala-kepala yang terpenggal itu dan para tawanan perang dibawa ke hadapan Al-Hadi. Dia memberi perintah kepada algojonya untuk membunuh para tawanan itu.
Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Fakh dan pejuang ‘Alawi itu dikenal dengan “Husain”, Sang Syahid Fakh.
Hijrah Pertama ke Baghdad
Mansur tewas dibunuh pada 158 H. Segera anaknya Al-Mahdi naik tahta sebagai khalifah yang menggantikan ayahnya. Ia memberlakukan siasat-siasat keji atas masyarakat. Ia bertingkah seakan-akan seorang alim yang taat beragama di hadapan khalayak, tetapi di belakang ia justru senantiasa berbuat zalim dan maksiat.
Ketika memegang kekuasaan, Khalifah Al-Mahdi membebaskan para tahanan politik, di antaranya Imam Musa as., dan mengembalikan harta yang dirampas dari tangan mereka. Akan tetapi, ia juga memberikan hadiah yang besar kepada para penyair yang memaki dan melaknat keluarga Ali bin Abi Thalib as. Seperti ketika ia memberikan hadiah tujuh puluh ribu Dirham kepada Busyr bin Burd dan seratus ribu Dirham kepada Marwan karena syair-syair mereka berisikan laknat dan makian terhadap keluarga Imam Ali as.
Ia menghabiskan harta negara untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, sebagaimana ketika ia habiskan 59 juta Dirham untuk pesta pernikahan anaknya, Harun.
Suatu ketika, mata-mata Al-Mahdi melaporkan popularitas Imam dan kecondongan masyarakat kepada beliau. Mendengar berita itu, dia benar-benar geram dan segera memerintahkan orang-orang dekatnya untuk membawa Imam as. dari Madinah ke Baghdad dan memenjarakannya di sana.
Abu Khalid berkata, “Suatu hari Imam dikawal oleh pasukan resmi kerajaan tiba di rumahku di Zubala. Dalam waktu yang singkat itu, Imam sempat lepas dari pengawalan pasukan kerajaan itu, dan beliau memintaku untuk membelikan beberapa barang. Aku sangat bersedih dan menangis melihat keadaan Imam seperti itu. Kepadaku Imam mengatakan, ‘Jangan risaukan aku, karena aku akan segera kembali, dan nantikan aku hingga hari itu, di tempat itu’.
“Aku persembahkan diriku atas apa yang telah Imam perintahkan kepadaku. Kulihat beliau memimpin karavan tersebut. Dengan gembira Aku maju ke depan dan mencium Imam. Beliau berkata, “Wahai Abu Khalid, mereka akan membawaku kembali ke Baghdad dan aku tidak akan kembali dari perjalanan itu”.
“Ketika aku mencari tahu alasan mengapa Imam dibebaskan, aku menjadi tahu bahwa Al-Mahdi melihat Imam Ali bin Abi Thalib as. dalam mimpinya, pada malam yang sama. Dalam mimpinya itu, dia melihat Imam Ali dengan tatapan marah dan memberi peringatan kepadanya. Karena ketakutan, pada pagi harinya dia pun melepaskan Imam dan mengirimnya kembali ke Madinah dengan segenap hormat dan santun”.
Meskipun keadaan yang mencekik dan menyiksa di Madinah, Imam Musa as. tetap giat membimbing dan menuntun warga kota. Tidak lama berselang, Al-Mahdi meninggal dunia dan anaknya Al-Hadi naik tahta menggantikannya sebagai khalifah.
Berbeda dengan ayahnya, Al-Hadi memulai permusuhan dan penindasannya terhadap anak keturunan Imam Ali as. tidak lagi sembunyi-sembunyi, tetapi malah terang-terangan. Perbuatannya yang paling jahat ialah pembantaiannya terhadap anak keturunan Ali as. yang kemudian dikenal dengan nama “Tragedi Fakh”, dan oleh ahli sejarah dicatat sebagai tragedi terkejam kedua setelah tragedi Karbala.
Al-Hadi adalah orang yang berlumuran dosa, berperangai jahat dan sama sekali tidak layak menduduki kursi kekhalifahan. Ia menghabiskan uang sewenang-wenang, hanya untuk berpoya-poya dan bersenang-senang, dan memberikan hadiah yang melimpah kepada mereka yang membacakan syair dan yang mendendangkan lagu untuknya.
Al-Hadi meninggal pada 170 Hijriah. Lalu Harun menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Ketika itu, Imam telah berusia 42 tahun.
Setelah dibaiat oleh orang-orang setianya, Harun melantik Yahya Barmaki –berkebangsaan Iran– sebagai menterinya dan memberikan wewenang yang penuh kepadanya. Harun sendiri menyibukkan dirinya menguras kekayaan negara “Baitul Mal” yang ketika itu sedang melimpah.
Ia menghabiskan seluruh kekayaan negara itu secara berlebih-lebihan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Bahkan untuk pembelanjaan suatu acara makan, dia menghabiskan biaya senilai empat ribu Dirham.
Kecongkakan Harun
Harun sangat terusik dengan perlawanan anak keturunan Ali as. terhadap Dinasti Abasiyah. Ia menggunakan segala cara untuk menjauhkan masyarakat dari keluarga Ali as. Ia pun memberikan uang yang melimpah kepada para pujangga yang mendendangkan syair-syair berisikan makian, hujatan, cemoohan terhadap mereka. Oleh karena itu, Harun memberikan izin kepada salah seorang pujangga –yang bait-bait syairnya menghujat keluarga Ali– masuk ke dalam gudang kekayaannya untuk memilih dan mengambil barang sesuka hatinya.
Harun mengasingkan anak keturunan Ali as. dari Baghdad ke Madinah, dan membunuh banyak di antara mereka.
Hamid bin Fathaba, gubernur Khalifah Harun di Khurasan, menukilkan kepada Abdullah Bazzaz Neishaburi, “Harun memiliki satu taman di Neishabur yang dikunjunginya setiap tahun. Pada suatu waktu, ia memanggilku di tengah malam dan berkata, “Tunjukkan seberapa tinggi imanmu kepadaku?”
Aku berkata, “Aku korbankan hidup dan hartaku untukmu.
Ia berkata, “Apa lagi?”
Kujawab, “Kehormatanku, istriku dan anakku, semua itu untukmu”.
Ia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?”
Kukatakan, “Agamaku”.
Harun menegakkan kepalanya dan berkata sambil tertawa, “Anda telah mengatakan apa yang aku nantikan. Mendekatlah, ambil pedang ini dan laksanakan perintah yang disampaikan budakku kepadamu!”.
“Budak Harun itu menuntunku ke sebuah rumah yang menyekap enam puluh orang. Mereka adalah anak-anak muda dan orang-orang tua keluarga Ali as. Kemudian ia menyeret mereka satu persatu dan memerintahkan aku untuk membunuh mereka. Aku dengan setia mematuhi perintah Harun tersebut. Setelah aku mengeksekusi mereka, aku buang mayat-mayat itu ke dalam sebuah sumur yang penuh dengan lumpur di sebuah kampung.
“Duhai sahabatku! Setiapkali aku mengingat tragedi memilukan ini, tubuhku bergetar, bulu romaku merinding. Dengan segala kekejian dan kejahatannya, Harun masih memerintahkan aku untuk menggali kuburan Imam Husain as. dan menghancurkan pusaranya dengan maksud agar orang-orang tidak dapat menziarahinya lagi”.
Ikrar Imam Musa as.
Sudah jelas mengapa Imam Musa Kazim as. begitu tegasnya menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan zalim dan biadab seperti Dinasti Abasiyah. Beliau tidak dapat berdiam diri di hadapan kezaliman mereka. Oleh karena itu, beliau bangkit memberontak melawan pemerintahan Harun.
Di mana saja tempat yang dianggap perlu, Imam as. menyingkapkan kekejaman dan kebejatan perangai Harun kepada masyarakat. Hal ini tentu saja membuat Harun menjadi malu dan tercoreng namanya di hadapan mereka.
Selain itu, Imam Musa as. memerintahkan beberapa sahabatnya untuk menolak segala bentuk kerja sama dan bantuan dari pemerintahan Harun. Misalnya kepada Sofwan, sahabat setia Imam. Kepadanya beliau berkata, “Engkau adalah orang yang berbudi baik dalam segala hal kecuali satu, bahwa engkau telah menyewakan untamu kepada Harun”.
Sofwan menjawab, “Aku menyewakan untaku kepadanya hanya pada musim haji saja, dan aku pun tidak menyertai perjalanannya”.
Imam berkata, “Duhai Sofwan, tidakkah kau akan gembira sampai untamu kembali, dan Harun tetap hidup sehingga kau menerima uang sewa darinya”.
Ia menjawab, “Ya, betul”.
Imam berkata lagi, “Barang siapa yang suka bila seorang dzalim tetap hidup, maka ia pun termasuk bagian darinya”.
Walaupun Sofwan telah menandatangani perjanjian sewa-menyewa dengan Harun yang mensyaratkan supaya Sofwan menyediakan perlengkapan perjalanan haji kepada Khalifah, namun selekas mendengar ucapan Imam Musa as. itu, ia pun menjual seluruh unta yang dimilikinya. Harun kemudian memanggil dan mendesaknya untuk mengatakan alasan apa sehingga menjual seluruh unta itu tanpa sedikit pun memberi kabar kepadanya.
Akhirnya, Harun mengerti apa yang telah terjadi dan berkata kepada Sofwan, “Sekiranya aku tidak mengingat hubungan persahabatan yang dulu terjalin di antara kita, maka detik ini juga aku perintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Aku tahu siapa yang memberikan perintah ini kepadamu. Musa bin Ja’far yang telah memerintahkan ini padamu”.
Walaupun Imam as. tidak membolehkan seorang pun untuk berkerja sama dengan Harun, akan tetapi beliau memerintahkan seseorang yang pandai tentang seluk beluk pemerintahan, untuk menyusup dan membangun pengaruh di dalam pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dan membantu sahabat-sahabat Imam yang kesusahan, serta melaporkan informasi, rencana atau keputusan yang telah diambil oleh pemerintah.
Dalam rangka ini, beliau memberikan izin kepada Ali bin Yaqthin untuk mengemban tugas ini dan berhasil menjabat sebagai salah satu menteri Harun Al-Rasyid. Dengan tugas ini, Ali dapat membantu sahabat-sahabatnya dan pengikut-pengikut Imam as.
Suatu hari, Imam menulis surat yang isinya meminta Ali bin Yaqtin, “Bahwasanya bila tidak ada orang yang melihatmu, kau dapat mengambil wudhu sesuai dengan ajaran Imam, namun bila ada yang menemanimu, maka berwudhulah dengan cara mereka. Terima hadiah-hadiah yang diberikan padamu –sebagai salah satu cara Harun menguji kesetiaan orang-orangnya– dan jangan engkau tolak”.
Dialog Harun dan Imam Musa as.
Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.
Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as., “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya”.
Imam: “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu”.
Harun: “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?!”.
Imam: “Kami lebih dekat kepada Nabi saw. dari pada Anda. Sebab, ayah kami Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw. adalah dua bersaudara dari ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja”.
Harun: “Sewaktu Nabi wafat, ayahmu Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan”.
Imam: “Selama seorang anak masih hidup, paman tidak dapat menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak ada hak untuk menerima warisan”.
Harun melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu”.
Imam: “Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah Anda bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya”.
Harun: “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan”.
Imam: “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk lalu beliau nikahi”.
Harun: “Mengapa demikian?”
Imam: “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah”.
Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu, biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku”.
Pengkhianatan Seorang Kerabat
Kemenakan Imam yang bernama Ali bin Isma’il diundang oleh sahabat Harun untuk menemaninya ke Baghdad guna memberi kabar kepada Harun perihal keadaan Musa bin Ja’far. Ketika Imam diberi tahu tentang undangan itu, beliau memanggil kemenakannya itu dan berkata, “Ke manakah kau hendak pergi?”
Ali bin Isma’il menjawab, “Ke Baghdad”.
Imam berkata, “Untuk keperluan apa kau ke sana?”.
Ia menjawab, “Aku terlilit hutang, barangkali dengan kepergian ini aku mendapatkan uang untuk membayar hutangku itu”.
Imam berkata lagi, “Aku yang akan membayar seluruh utangmu itu dan mencukupi keperluan hidupmu beserta keluargamu”.
Tetapi Isma’il menolak tawaran Imam tersebut dan bersikeras untuk tetap pergi. Kepada Imam ia berkata, “Aku tetap akan pergi dan aku meminta nasihat darimu”.
Imam berkata padanya, “Aku wasiatkan kepadamu dan ini adalah perintahku, bahwa engkau jangan turut serta dan mengambil andil dalam penumpahan darahku, karena akibatnya buruk untukmu kelak”.
Isma’il bertanya, “Apa maksud perkataan Anda ini?” Ia mendesak Imam untuk memberinya nasihat. Imam kembali mengulangi perkataannya kepada Isma’il. Ia tidak tahu bahwa Imam mengetahui apa yang akan terjadi.
Isma’il beranjak pergi meninggalkan Imam. beliau memberikan tiga ratus Dinar padanya dan berkata, “Ini untuk anak-anakmu”. Isma’il mengambil uang tersebut dan pergi.
Setelah kepergian Isma’il, Imam menyampaikan pesan kepada orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. Beliau berkata, “Demi Allah, kemenakanku ini akan turut andil dalam pembunuhanku dan menjadikan anak-anakku yatim”.
Para hadirin bertanya-tanya, “Wahai putra Rasulullah, jika Anda mengetahui dia akan berlaku khianat padamu, lalu mengapa Anda masih saja membantunya?!”.
Beliau menjawab, “Datukku Rasulullah bersabda, ‘Jika seseorang berbuat baik dan mencintai kerabatnya dan si kerabat itu membalasnya dengan perbuatan jahat, maka Allah akan mengazabnya dan ia tidak akan pernah sampai pada apa yang ditujunya”.
Isma’il tiba di Baghdad dan berkunjung ke kediaman Yahya Barmaki. Setelah itu, bersama Yahya pergi menjumpai Harun. Ia menyampaikan laporannya kepada Harun. Katanya, “Wahai Harun! Musa bin Ja’far telah memerintah Madinah dan ia memiliki uang yang melimpah yang dikirim oleh orang-orangnya dari berbagai tempat. Ia telah mengambil keputusan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahanmu”.
Harun senang mendapatkan laporan dari Isma’il itu dan memberi uang sebanyak dua ratus Dirham kepadanya. Isma’il dengan senang hati menerima uang tersebut lalu segera pulang ke rumahnya di Madinah.
Namun, tiba-tiba rasa sakit menyerang tenggorokannya dan mati seketika di tempat itu pula. Harun memutuskan untuk datang ke Madinah guna menangkap Imam dan menjebloskannya ke dalam penjara.
Pada tahun yang sama, Harun menulis surat kepada seluruh orang-orangnya untuk menyebar di Makkah dan Madinah. Sepulangnya dari Madinah, ia memerintahkan gubernur Madinah untuk menangkap Imam dan mengirimnya ke Basrah. Imam as. dipenjarakan selama satu tahun di sana. ketika itu kota Basrah berada di bawah pemerintahan Gubernur Yahya Barmaki.
Selama di penjara, akhlak, budi luhur dan perilaku Imam meninggalkan kesan yang dalam pada diri Yahya. Kesan itu memaksanya untuk menulis surat kepada Harun, “Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu apa pun pada diri Musa bin Ja’far selama dalam penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan. Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan bebaskan dia pergi”.
Maka, Harun memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah pengawasan Fadhl. Seperti pengalaman Yahya, Fadhl pun terpesona oleh kepribadian luhur Imam Musa as. dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi beliau.
Akhirnya, Imam dipindahkan lagi ke penjara Sindi bin Syahik, seorang yang bengis dan kejam.
Imam melewatkan hari-harinya di penjara itu dengan shalat, puasa, ibadah dan doa. Semua itu menambah kedekatan diri beliau kepada Allah swt.
Perlawanan di dalam Penjara
Harun terus berupaya bagaimana caranya membunuh Imam Musa. Suatu hari, dia mengutus Yahya bin Khalik ke penjara. Tugas yang diemban Yahya adalah meminta Imam untuk tidak menentang Khalifah dan menawarkan pengampunan serta pembebasan kepada beliau. Namun, Imam menolak semua tawaran itu.
Imam as. menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi, “Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara kau lalui hari-harimu dengan kesenangan. Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga di suatu hari yang tiada akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, ketika orang-orang licik hanya akan menjadi pecundang dan terhinakan”.
Hari Kesyahidan
Alasan Harun mengapa dia harus memindahkan Imam Musa as. dari satu penjara ke penjara lain, tidak ada lain adalah karena permintaannya kepada setiap kepala penjara untuk membunuh Imam, namun mereka tidak bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Sindi yang berhati keras itu bersedia untuk meracun Imam as. maka, di dalam penjara Sindi-lah beliau meninggal akibat racun yang dibubuhkan ke dalam makanan beliau, tepatnya pada 183 H.
Harun dengan menggunakan saksi-saksi palsu dan orang-orang bayaran mencoba menunjukkan kepada khalayak, bahwa kematian Imam Musa adalah sebuah kematian yang wajar dan alamiah. Siasat licik dan keji ini digunakan untuk menghindari pemberontakan sahabat-sahabat dan orang-orang setia Imam. Namun, segala kelicikan dan siasat Harun sia-sia belaka. Seorang lelaki bernama Sulaiman malah memimpin pemberontakan di Baghdad.
Setelah dikeluarkan dari penjara, mayat suci Imam Musa Al-Kazim as. digeletakkan di atas jembatan begitu saja; dalam keadaan sunyi senyap dan jauh dari keluarga serta umatnya. Ketika itu, hanya seorang tabib yang kebetulan melewati jembatan dan menemukan mayat suci itu. setelah memeriksanya ia mengatakan, “Sesungguhnya Imam telah diracun hingga meninggal oleh seorang pembunuh”.
Kesyahidan Imam as. itu membuat kekalutan dan berita besar di kota Baghdad. Sementara bagi pengikut-pengikut Ahlul Bait, kesyahidan beliau merupakan kesedihan dan kegetiran di hati-hati mereka.
Imam Musa Al-Kazim as. dikebumikan di pemakaman orang-orang Quraisy di kota Kazimain...
Sumber :
Berikan Komentar Anda