Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Islam dan Demokrasi

Islam dan Demokrasi

Definisi Demokrasi

Demokrasi, sebuah kosakata politik yang begitu sering digunakan dan diperdengarkan dalam wacana sosial politik kenegaraan. Demokrasi disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara. Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat dan “creatain” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Dengan bahasa lain demokrasi adalah pemerintahan rakyat; pemerintahan yang diikuti oleh rakyat secara suka rela dan bukan karena takut atau paksa. 

Jenis-Jenis Pemerintahan

Di sini kita melihat adanya empat tipelogi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Individual yang bertumpu pada kekuatan, seperti pemerintahan para raja dan penguasa-penguasa tempo dulu, dimana kekuatan, kekerasan dan kemampuan militer merupakan landasan utama. Dengan kata lain, siapa yang paling kuat secara militer dialah yang akan mengendalikan kekuasaan. Jika kita melihat sejarah kawasan di sekitar kita, baik pada masa sebelum atau sesudah Islam, dengan mudah kita dapat melihat bahwa pemerintahan-pemerintahannya termasuk dalam kategori tipe pertama ini. Penguasa-penguasanya memerintah dengan semena-mena. Untuk menjadi penguasa tidak ada persyaratan khusus. Tidak penting apakah sang penguasa, yang biasanya kepala suku atau komandan militer, seorang yang cakap memerintah atau tidak. Tapi karena ia kuat, mampu menaklukkan daerah-daerah yang luas, maka dialah yang berkuasa. Tapi jika kemudian kekuasaannya melemah, maka giliran kepala suku lain atau penguasa lokal dari keluarga lain yang berhasil melakukan kudeta terhadap penguasa sebelumnya yang akan berkuasa dan melahirkan dinasti baru.

Demikianlah. Silih berganti kekuasaan berpindah dari tangan satu keluarga ke keluarga lain. Dari satu orang ke orang lain. Tanpa sedikit pun harus membawa perbaikan nasib rakyatnya, kecuali menambah penderitaan-penderitaan mereka. Tidak hanya pada masa lalu. Bentuk pemerintahan yang serupa juga dapat kita lihat pada banyak pemerintahan-pemerintahan dewasa ini. Bukankah pemerintahan-pemerintahan yang lahir melalui kudeta-kudeta militer yang kerap dilakukan oleh sekelompok perwira militer tertentu pada banyak negara, yang biasanya didukung oleh negara asing tertentu, dan memerintah dengan tangan besi dan dukungan tank dan bedil sama saja dengan pemerintahan-pemerintahan otoriter tempo dulu ? Sama sekali tidak ada bedanya.

Afghanistan (pada masa komunis) misalnya, sekelompok perwira tertentu, yang didukung penuh oleh negara asing tertentu (Soviet) memaksakan kekuasaan mereka pada rakyat. Tapi ketika rakyat marah dan para penguasa tidak mampu mempertahankan kekuasaan mereka, mereka meminta negara asing itu (Soviet) melakukan intervensi ke negeri mereka guna mengamankan posisi mereka. Negara yang bersangkutan, dengan dalih mempertahankan pemerintahan yang sah, menduduki Afganistan, membombardir rakyat, dan melakukan kejahatan-kejahatan. Tapi sayangnya dunia diam saja. Kalau toh ada protes paling-paling protes lisan. Bukankah semua ini adalah penggunaan kekuatan dan kekerasan ?
Tipe kedua, Pemerintahan Individual oleh seorang shalih. Yang mengatur urusan negara hanya seorang, tapi seorang yang shalih. Mayoritas rakyat atau paling tidak sebagian besar mendukungnya dan mempercayainya mengatur urusan mereka. Dialah yang menentukan segalanya, tapi tidak didasarkan pada kekuatan atau kekerasan seperti tipe pertama, melainkan dengan cara bijak dan adil. Pemerintahan para Nabi contohnya. Para Nabi adalah segalanya. Mereka yang mengatur, menetapkan, dan berkuasa penuh. Tapi karena mereka adalah orang-orang yang shalih, roda pemerintahan dijalankan dengan cara yang terbaik. Sesekali mungkin mereka juga melakukan musyawarah dengan banyak pihak, tetapi tetap saja keputusan terakhir di tangan mereka. Tipe pemerintahan ini hanya terbatas pada pemerintahan para Nabi dan Imam-Imam yang suci. Sebab tidak ada jaminan bahwa selain Nabi dan para Imam, mereka tidak akan jatuh pada kekeliruan.

Tipe ketiga, Pemerintahan Demokrasi Liberal. Kedaulatan berada penuh di tangan rakyat ; dalam arti siapapun yang dipercaya dan dipilih rakyat untuk menjadi penguasa, tidak menjadi masalah apakah yang bersangkutan seorang filosof, aktor, beragama atau malah seorang atheis, tapi selama rakyat telah memilihnya, maka dialah yang berkuasa. Model kekuasaan semacam ini dianut oleh banyak negara dewasa ini. Biasanya berlaku formula 50+1. Maksudnya jika seorang dipilih oleh separuh ditambah satu dari jumlah pemilih, maka sahlah kekuasaannya. Hal ini juga berlaku dalam penetapan undang-undang. Jika anggota legislasi menetapkan peraturan, meskipun peraturan itu bertentangan dengan norma-norma agama dan kemanusiaan, seperti yang terjadi di Inggris yang mengesahkan perilaku seks menyimpang, tapi karena berdasarkan keputusan dewan legislatif, maka apapun bentuknya harus tetap dihormati dan dihargai sebagai hukum yang sah. Inilah demokrasi gaya Barat.

Keempat, Pemerintahan Demokrasi Primer. Kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi tidak penuh sebagaimana yang dianut tipe ketiga. Melainkan terikat oleh norma-norma tertentu. Rakyat bebas menentukan pilihannya, tapi tidak boleh memilih sembarang orang. Harus orang-orang yang sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku. Demikian pula pada masalah perundang-undangan. Tidak semua ketetapan yang telah disahkan oleh Parlemen dapat dibenarkan, yaitu jika undang-undang itu tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, baik pada pemilihan seorang penguasa maupun pada tingkat penetapan undang-undang harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Orang-orang Komunis mengklaim bahwa mereka bagian dari tipe ini karena mereka menjalankan demokrasi yang terikat dengan norma-norma Marxisme. Tapi, terlepas dari kritik-kritik terhadap konsep dasar komunisme itu sendiri, mereke sebenarnya tidak dapat dikatagorikan pada tipe ini. Sebab dalam prakteknya, mereka tidak beda dengan pemerintahan-pemerintahan tipe pertama.

 Lalu di mana letak Pemerintahan Islam? Dengan mudah kita katakan bahwa Islam menganut tipe keempat. Inti Pemerintahan Islam atau Republik Islam bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi, penetapan undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami demokrasi Barat, melainkan terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi.

Islam dan Demokrasi Menurut Imam Khomeini

Imam Khomeini punya konsep tersendiri tentang demokrasi yang menurut saya sangat unik dan berbeda dengan para pemikikir Islam lainnya. Yaitu tentang Konsep wilayatul faqih yang sudah tentu mengambil dari demokrasi Primer yang tidak mengabaikan Keislaman. Tentu saja tidak sama dengan apa yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut demokrasi tak terbatas, sementara wilayatul faqihtunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam. Lebih jauh, mari kita ikuti pembahasan berikut ini.

Pada dasarnya setiap negara memiliki tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada negara yang menganut sistem demokrasi terikat seperti negara Republik Islam, maka dalam menetapkan undang-undang pemilihan anggota atau badan eksekutif dan yudikatif sudah barang tertentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam. Sama sekali tidak boleh keluar dari Islam. Undang-undang yang disahkan oleh parlemen sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Islam. Kepala Pemerintahan yang dipilih rakyat harus memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kehendak Islam. Demikian pula anggota eksekutif lainnya serta anggota badan yudikatif. Seorang hakim tidak boleh sembarang orang. Ia harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya. Karena itu tidak ada jalan bagi badan legislatif misalnya, mengesahkan praktek riba, sebab bertentangan dengan aturan Islam yang mengharamkan riba.

Untuk menjamin berlakunya kedua prinsip ini sekaligus dengan baik, di satu pihak menjunjung tinggi kehendak rakyat dan pada waktu yang bersamaan tidak menyalahi aturan agama Islam, maka perlu dibentuk badan yang mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam Majelis, parlemen, telah dibentuk apa yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang. Tugas utamanya adalah mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Jika ada undang-undang yang bertentangan dengan Islam, mereka berhak menolak dan membatalkannya. Tapi sebetulnya, jika semua angota parlemen atau paling tidak mayoritas angatanya adalah orang-orang yang ahli tentang Islam, maka Badan Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan karena para anggota parlemen dengan sendirinya sudah dapat melakukan pengawasan. Tapi karena pada prakteknya sulit diwujudkan maka badan Pengawas Undang-Undang ini mutlak diperlukan, hal ini supaya tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma Islam.

Demikian pula terhadap pemilihan kepala negara atau presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab maka keabsahan pemilihannya sebagai presiden tergantung pada persetujuan wali faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi. Hal yang sama juga berlaku pada pengangkatan anggota Badan Yudikatif. Meskipun pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh parlemen dan pengangkatan anggota Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim atau qadi itu sendiri, tetapi tetap saja keputusan terakhir ada di tangan wali faqih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam atau negara Demokrasi Agama, kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama bergandengan dan menjadi satu. Inilah yang kita sebut dengan wilayatul faqih.

Persamaan dan Perbedaan Islam dan Demokrasi

Persamaan Islam dan Demokrasi 

Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya:

Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, jelainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.

Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.

Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam. 

Perbedaan Islam dan Demokrasi

Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.

Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.

Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi. 

Pandangan Yusuf al-Qardhawi Tentang Demokrasi

Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:

 - Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. 

- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. 

- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. 

- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. 

- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 

Pandangan Salim Ali al-Bahnasawi Tentang Demokrasi

Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi sebagai berikut: 

-  Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. 

- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. 

- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36). 

- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. 

Pemilu dan Pemungutan Suara 

Ada yang beranggapan bahwa Pemungutan suara atau Pemilu adalah bentuk perampasan hak Allah Swt sebagai Hakim karena dalam Pemilu keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Pernyataan ini tidak benar karena :

Kita bicara tentang Pemilu di negeri muslim: kandidatnya muslim, pemilihnya pun muslim dan keterlibatan nonmuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.

Adanya campur tangan manusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Swt berfirman, ”hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu”.(QS ath Thalaq:2). ”Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri”. (QS an Nisa:35).

Jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah azza wa Jalla berfirman, ”hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu”. (QS ath Thalaq:2) ”dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS al Baqarah:282). 



Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.