Oleh DR. Omar Hashem Pengertian Sahabat Ibnu Hajar: Seorang sahabat adalah seorang yang telah bertemu dengan Nabi saw, beriman kepadanya dan meninggal sebagai Muslim. Dan yang menemui Rasul tersebut adalah orang yang datang untuk duduk dalam majlis Nabi atau hampir serupa dengan itu. Ia dapat meriwayatkan dari Nabi atau tidak, berperang bersama beliau atau tidak, dan yang melihatnya dan tidak pernah duduk dalam majlis beliau dan berhalangan melihat beliau, misalnya karena buta. Dan ditambahkan: Hanya para sahabat yang diangkat jadi jenderal dalam peperangan penaklukan daerahdaerah.[1] Dan tidak ada seorang pun yang tersisa di Makkah dan di daerah Tha'if, pada tahun 10 H/631 M selain kaum Muslimin dan mereka ikut naik haji Wada' bersama Nabi dan tidak tersisa seorang pun dari kaum Aws dan Khrazraj di akhir hayat Nabi saw kecuali telah memeluk Islam dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang menjadi kafir tatkala Nabi wafat.[2] Keadilan Para Sahabat Para sahabat semuanya adil, persengketaan antara para sahabat dilakukan menurut Ijtihad mereka masingmasing, yang kalau ijtihadnya benar pada sisi Tuhan maka mereka mendapat dua pahala dan kalau salah pada sisi Allah, mereka dapat satu pahala.[3] Imam Abu Hatim arRazi[4] "Sahabat Rasul saw adalah mereka yang menyaksikan dan mengikuti turunnya wahyu, mengetahui tafsir dan takwil. Mereka telah dipilih Allah, Maha Perkasa dan Maha Agung, untuk jadi sahabat dan penolong NabiNya dalam menegakkan agamaNya dan mengakui kebenaran yang dibawa Nabi. Nabi meridhai mereka sebagai Sahabat dan menjadikan mereka contoh dan teladan bagi kita. Mereka melestarikan apa yang disampaikan Allah kepada Rasulnya, yaitu apa saja yang ditetapkan, disyariatkan, dihukumkan, diputuskan (qadha), diberi kuasa (nadaba), diperintahkan, dilarang, dihindari dan diajarkan Nabi".' Mereka mengenal Rasul, menguasai agama, mengetahui perintah dan larangan Allah, mengetahui tujuan pandangan Rasul saw dan mereka belajar tafsir dan takwil AlQur'an dan mereka memahaminya dengan cepat. Allah, Mahaperkasa dan Mahaagung memuliakan dan bermurah hati kepada mereka. Allah melindungi mereka dari sak wasangka, dusta, kasar, keraguan, kecongkakan dan ketercalaan, serta menamakan mereka umat yang adil ('udulu'l ummah) dan Allah SWT telah menetapkan dalam KitabNya: Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat pertengahan supaya kamu menjadi saksi atas manusia.[5] Rasul menafsirkan kata pertengahan (washatan) dalam ayat di atas sebagai adil, karena mereka adalah umat yang adil, dan imamimam yang tertuntun dan hujjah atau argumen agama, perantara yang dapat dipercaya dalam penyampaian AlQur'an dan Sunah Nabi. Dan Allah SWT mengajak agar mengikuti tuntunan mereka, mengikuti petunjuk mereka, berperilaku menurut jalan dan keteladanan mereka dan Ia berfirman bahwa barangsiapa "mengikuti jalan yang bukan jalan orang beriman, Kami akan biarkan ia mengikuti kecenderungannya" [6] Dan Nabi saw dalam banyak kesempatan mengajak mereka agar bertabligh, menyampaikan sesuatu dari diri beliau dan beliau berkhotbah kepada mereka, diantaranya Nabi telah bersabda: "Allah memuliakan orangorang yang mendengar perkataanku, menjaga, menghafalnya dan menyampaikannya kepada yang lain." Dan Rasul Allah juga bersabda: 'Barangsiapa yang menyaksikan, agar menyampaikan kepada mereka yang tidak menyaksikan." Dan beliau juga bersabda: "Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat. Dan sampaikanlah ceritera dariku, dan jangan sampai salah." Demikian alHafizh, ahlul jarh wa ta'dil, Abu Hatim ArRazi. Ibnu 'Abdi'l Barr Ibnu 'Abdil Barr dalam pengantar bukunya AlIsti'ab punya pendapat serupa, bahwa para sahabat semuanya adalah adil. Ibnu Atsir Ibnu Atsir dalam pengantar bukunya Usdu'l Ghabah[7] mengatakan "Semua sahabat Nabi adil, jangan mencari cacat mereka." Ibnu Hajar Ibnu Hajar[8] mengatakan: Ahlus Sunnah sepakat bahwa semua sahabat itu adil, dan tidak ada perselisihan kecuali pembuat bid'ah yang menyimpang. Abu Zar'ah Abu Zar'ah[9] berkata: "Bila engkau melihat orang mencela (yantaqishu) seorang sahabat Rasul Allah saw maka ketahuilah bahwa ia sebenarnya adalah zindiq, ateis, karena Rasul Allah itu benar, AlQur'an itu benar dan yang mengiringinya adalah benar. Yang melaporkan kesaksian kepada kita semuanya adalah sahabat, dan bila orang tersebut mencaricari cacat akan kesaksian kita, maka ia telah membatalkan AlQur'an dan Sunnah dan dia adalah kaum zindiq yang tidak beragama. Urutan Kemuliaan Para Sahabat Sahabat Nabi yang paling mulia adalah Saidina Abu Bakar, sesudah itu Saidina Umar bin Khaththab, sesudah itu Saidina Utsman bin 'Affan, sesudah itu 'Ali bin Abi Thalib, sesudah itu sahabatsahabat yang sepuluh yang telah dikabarkan oleh Nabi akan masuk surga, yaitu 4 orang Khalifah ditambah dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin 'Awwam, Abdurrahman bin 'Auf, Sa'd bin Abi Waqash, Sa'id bin Zaid dan Abu Ubaidah bin AlJarrah; sesudah itu para sahabat pengikut perang Badr, pengikut perang Uhud, sesudah itu sahabatsahabat yang ikut Bai'atu'rridhwan, sesudah itu sekalian sahabat Nabi.[10] Sikap Muslim Terhadap Sahabat Sikap seorang Muslim menghadapi peristiwaperistiwa yang terjadi antara para sahabat digambarkan melalui syair Ibnu Ruslan (844 H/1440 M) dalam kitabnya Zubad sebagai berikut: Wama jara baina'shshahabi naskutu 'anhu, Wa ajru'l ijtihadi nutsbitu.[11] Yang terjadi antara sahabat, kita (hendaknya) diam, Dan bahwa pahala berijtahid kita kukuhkan. Kritik Terhadap Keadilan Semua Sahabat AlQuran dan Keadilan Para Sahabat Kritik pertama terhadap anggapan bahwa semua sahabat adalah adil berdasarkan ayatayat AlQur'an seperti yang digambarkan dalam surat AtTaubah berikut: "Orangorang Arab paling keras Dalam kekafiran dan kemunafikan, Dan paling cenderung mengabaikan Aturanaturan yang Allah turunkan atas RasulNya, Padahal Allah Mahatahu, Mahabijaksana." [12]atau: "Sungguh mereka telah mengusahakan keonaran sebelumnya, Dan memutar balik persoalan bagimu, Sampai datang kemenangan, Dan terbukti kebenaran agama Allah, Meskipun mereka tiada suka."[13] atau: Dan di antara orang Arab, sekitarmu, Ada orang munafik, Demikian pula di antara orang Madinah, Mereka berkeras dalam kemunafikan, Kau tidak mengetahui mereka, (Tapi) Kami mengenalnya…[14] Mengenai istilah munafik Bukhari meriwayat dari Sulaiman Abu Rabi dari Ismail bin Jafar dari Nafi bin Malik dari ayahnya dari Abu Hurairah yang mendengar dari Rasul yang bersabda: "Tandatanda dari munafik adalah: Bila berbicara, ia berbohong. Bila berjanji, tidak ia tepati. Bila memegang amanat ia akan khianati." Pepatah lama 'Arab menggambarkan munafik sebagai orang yang mencium tangan yang tidak dapat ia gigit. Dan karena para istri Rasul termasuk dalam kategori Sahabat, maka dapat dimasukkan ayatayat dalam surat Tahrim yang turun berhubungan dengan ummul muminin 'A'isyah dan Hafshah, dan meminta agar mereka bertobat. Hadis dan Keadilan Para Sahabat Bukhari Bukhari[15] meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda: Tatkala aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan muncul pula seorang lelaki di antara diriku dan rombongan itu. Lelaki itu berkata: "Ayo!"[16]Aku bertanya: "Kemana?" Ia menjawab 'Ke neraka, demi Allah!" Aku bertanya: "Ada apa dengan mereka?" Ia menjawab: "Mereka berbalik[17] setelah engkau wafat." Di bagian lain: Kemudian muncullah serombongan orang yang kukenal dan seorang lelaki muncul pula antara diriku dan mereka. Lelaki itu berkata: "Ayo!" Aku bertanya: 'Kemana? "Ia menjawab: 'Ke neraka, demi Allah!" Aku bertanya: "Ada apa dengan mereka? "Lelaki itu menjawab: 'Mereka telah berbalik setelah engkau wafat". Dan aku tidak melihat keikhlasan pada wajah mereka, seperti gerombolan unta tanpa gembala. Dan yang berasal dari Asma' binti Abi Bakar yang berkata, Nabi bersabda: "Tatkala berada di AlHaudh, aku tibatiba melihat ada di antara kamu yang mengingkariku [18] , yang mengikuti selain diriku. Aku berkata: "Ya Rabbi, dari diriku dan umatku?" Dan terdengar suara seseorang: "Apakah engkau mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu? Demi Allah mereka terus mengingkarimu[19] Dan tatakala membicarakan hadis ini Ibnu Abi Mulaikah berkata: "Allahumma, aku berlindung kepadaMu dari perbuatan ingkar dan merusak agama kami". Dari bab yang sama yang berasal dari Said bin Musayyib yang berasal dari para sahabat Nabi bahwa Nabi bersabda: Di AlHaudh' sejumlah sahabat berbalik dan aku bertanya: "Ya Rabbi! Mereka adalah sahabatku!". Dan mendapat jawaban: "Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik mengingkarimu!" Dan di bagian lain bab tersebut, dari Sahl bin Sa'd yang berkata, Nabi bersabda: Saya mendahului kamu di 'AlHaudh', barangsiapa meliwatiku akan minum dan setelah itu tidak akan pernah haus selamanya, dan beberapa kaum yang kukenal dan mereka juga mengenalku, berbalik dariku, kemudian aku dan mereka terpisah. Abu Hazm berkata: "Nu'man bin Abi' Iyasy memperdengarkannya kepadaku dan menanyakan apakah aku mendengar demikian dari Sahl?' Aku membenarkan. Ia melanjutkan: 'Aku bersaksi bahwa menurut Abi Said AlKhudri katakata tersebut punya kelanjutan: Dan aku (Nabi) berkata: 'Mereka itu adalah dari diriku'. Dan kedengaran jawaban: 'Sungguh engkau tidak tahu apa yang terjadi sesudahmu?' Dan aku berkata: 'Binasalah mereka yang berobah sesudahku.' Lagi dari Abu Hurairah yang meriwayatkan dari Rasul Allah saw yang bersabda: Telah berbalik di hari kiamat serombongan sahabatku yang memisahkan diri di AlHaudh dan aku bertanya: "Ya Rabbi, sahabatku,' "Dan Allah menjawab: 'Tiada engkau tahu apa yang mereka lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik dan menjadi ingkar.' Lagi, yang berasal dari 'Abdullah dari Nabi masih di bab yang sama: Kemudian mereka dipisahkan dariku, dan aku berseru: "Ya Rabbi, sahabatku!" Dan dijawab: "Engkau tidak tahu apa yang terjadi sesudahmu!". Bukhari melanjutkan: "Katakata serupa juga diriwayatkan 'Ashim yang berasal dari Abi Wa'il. Dan Hushain juga meriwayatkan serupa yang berasal dari Abi Wa'il dari Hudzaifah dari Nabi. Di bab lain, tatkala membicarakan Perang Hudaibiyah, Bukhari meriwayatkan dari al' Ala' bin Musayyib dari ayahnya[20] yang berkata: Aku bertemu alBarra' bin 'Azib dan aku berseru: 'Selamat bagi Anda, Anda beruntung jadi sahabat Nabi dan Anda telah membaiat Rasul di bawah pohon, 'bai'ah tahta syajarah!'. Ia menjawab: "Wahai anak saudaraku, engkau tidak tahu, apa yang kami lakukan sesudah Rasul wafat.!" Dan dalam bab lain Bukhari meriwayatkan yang berasal dari Ibnu 'Abbas dari Nabi saw:[21] 'Dan sejumlah sahabat mengambil jalan kiri[22] dan aku berseru "Sahabatku, sahabatku!" dan terdengar jawaban dengan katakata: 'Mereka tidak pernah berhenti berbalik ingkar sejak berpisah denganmu." Muslim "Sebagian orang yang menjadikan aku sebagai sahabat akan berbalik dariku di telaga AlHaudh, yaitu tatkala dengan tibatiba aku melihat mereka dan mereka melihat kepadaku, kemudian meninggalkanku dan aku benarbenar akan bertanya: "Wahai Rabbi, para sahabatku. Dan akan terdengar jawaban: "Engkau tidak tahu apa yang mereka lalukan sesudahmu."[23] Tentang Ummu'l mu'minin 'A'isyah Rasul juga bersabda tentang ummu'l mu'minin 'A'isyah: "Diriwayatkan oleh Musa bin Isma'il, dari Juwairiyah, dari Nafi', dari 'Abdullah yang berkata: "Nabi saw sedang berkhotbah dan beliau menunjuk ke arah kediaman 'A'isyah sambil berkata: 'Disinilah akan muncul tiga fitnah sekaligus, dan dari situlah akan muncul tanduk setan'.[24] 'Abdullah meriwayatkan dari Ubay dari 'Ikramah bin 'Ammar dari Ibnu 'Umar yang berkata: "Rasululah saw keluar dari rumah 'Aisyah dan bersabda: 'Kepala kekufuran akan muncul dari sini, dan dari sini akan muncul tanduk setan'.[25] Rasul Allah saw keluar dari rumah 'A'isyah sambil berkata: "Sesungguhnya kekafiran akan muncul dari sini akan muncul tanduk setan."[26] Sejarah dan Keadilan Sahabat Para penulis sejarah telah meriwayatkan ulah banyak sahabat yang bertentangan dengan nash AlQur'an dan hukum syar'i, seperti meneguk minuman keras, diantaranya ada yang pengikut perang Badar, menghamburhamburkan baitul mal, membunuh sahabat lain secara berdarah dingin tanpa pengadilan, membakar muslim hiduphidup, menyembelih bayi, memperbudak muslimah, memanggang kepala sahabat dalam tungku, memperkosa ribuan muslimah yang tidak berdosa, mempermainkan kepalakepala jenazah muslimin setelah dibalsem dengan garam dan kapur barus, kemudian mengarak kepalakepala dari kota kekota termasuk para sahabat dan cucu Rasul, meracuni sahabat, termasuk cucu Rasul, memerangi imam yang syah, menyogok para ulama', membentuk kerajaan dan lain-lain. Menamakan perbuatanperbuatan terkutuk serupa itu sebagai ijtihad adalah menipu diri sendiri, tidak adil dan bertentangan dengan syariat. Memilihmilih para 'pembuat onar' seperti pembunuh ahlul kisa' 'Ali dan Husain bin 'Ali[27]dan kaum khawarij sebagai penyalur hadis dan menamakan mereka mujtahid adalah tidak adil. Menghindar dan menolak mewawancarai keluarga ahlu'l bait yang menjadi korban kelaliman, seperti dilakukan oleh Imam Bukhari adalah juga tidak adil. Menamakan pembunuh 'Ali sebagai mujtahid dan tidak menamakan serupa pada pembunuh 'Utsman adalah juga tidak adil. [28] Menyebut 'pencaci' terhadap para sahabat sebagai zindiq dan tidak menyebut 'pencaci' 'Ali dengan sebutan serupa adalah juga tidak adil.[29] Mengurutkan kemuliaan para sahabat sesuai dengan urutan khalifah yang lurus juga tidaklah adil, sebab AlQur'an, para ahli hadis serta sejarawan telah 'melebihkan' Ali bin Abi Thalib dari sahabat yang lain, sehingga mengutamakan 'Ali dari sahabat lain bukanlah perbuatan dosa.Menuduh mereka yang mengutamakan 'Ali dari yang lain sebagai kaum rafidhah, dengan demikian, adalah juga tidak adil. Semboyan 'tunjukkan saya rafidhah yang kecil, akan saya tunjukkan syi'ah yang besar' juga tidaklah adil.[30] Menjauhi peristiwa yang terjadi di antara para sahabat akan menutupi kebenaran dan hal ini adalah tidak adil dan menyulitkan memahami mazhab Syi'ah, menuduh mereka sebagai pemaki sahabat, dan karena itu mengkafirkan mereka dan hal ini pun tidaklah adil. Setelah mengkafirkan biasanya akan disusul dengan menghalalkan darah mereka. Dan ini pun tidaklah adil. Bila menulis sejarah sebagaimana adanya, dianggap zindik atau ateis, karena memuat juga aib para sahabat, maka tidak ada lagi sejarawan, Imam mazhab, ahli hadis yang bukan zindik. Dan membedakan mereka dari kaum Syi'ah yang membuat hal serupa, adalah tidak adil. Sejarawan muslim telah menulis sejarah sebagaimana adanya, dan tulisan mereka menunjukkan bahwa di antara para sahabat ada yang zuhud, berakhlak mulia dan menjadi contoh teladan bagi umat Islam, dan ada juga yang lalim, pemabuk, pembunuh berdarah dingin, pembersih etnis, pembuat hadishadis palsu, pemerkosa, penghina Baitullah, dan perbuatanperbuatan jahiliah lain yang tak terkira dahsyatnya. Tulisan para sejarawan telah memperkuat AlQur'an bahwa di antara para sahabat ada yang munafik seperti 300 orang sahabat yang dipimpin 'Abdullah bin 'Ubay yang telah melakukan disersi, meninggalkan pasukan Rasul Allah pada perang Uhud, sebelum pertempuran dimulai yang dimuat di bukubuku sejarah. Tulisantulisan mereka menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil dan menolak fakta ini adalah menolak konstatasi AlQur'an dan Hadis Nabi. [1] Innahum kanu fi'l futuh la yu'ammiruna illa shahabah. AlIshabah, jilid 1, hlm. 13, 16. [2] Ibnu Hajar, AlIshabah, jilid 1, hlm. 10; Shahabah adalah kata jamak dari Shahabi. Dalam AlQur'an dan di zaman Rasul kata Shahabi tidak ditemukan. Di zaman itu seorang sahabat disebut Shahib dan bentuk jamaknya adalah Ashhab seperti dipakai sampai sekarang. Kata Shahabi dan Shahabah kemudian digunakan khusus sebagai sahabat Rasul Allah dan telah jadi akidah, berbeda dengan pengertian sahabat dalam bahasa Indoneisa. Dalam buku ini kata sahabat memaksudkan sahabat Rasul. [3] Lihat juga K.H. Sirajuddin 'Abbas, Itiqad Ahlussunnah WalJama'ah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1985, hlm. 107, 108. [4] Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim arRazi (m. 337 H) dalam Taqdimah AlMa'rifah li Kitab alJarh wa Ta'dil, hlm. 79, Haiderabat, 1371 H. [5] AlQur'an, AlBaqarah (2): 143. [6] AlQur'an AnNisa' (4), 115. [7] Ibnu Atsir, Usdul Ghabah, jilid 1, hlm. 3. [8] Ibnu Hajar, AlIshabah, jilid 1, hlm. 1722. [9] Dipetik dari AlIshabah, jilid 1, hlm. 18. [10] Lihat juga K.H. Sirajuddin 'Abbas, Itiqad Ahlussunnah WalJamaah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1985, hlm. 88. [11] Lihat juga K.H. Sirajuddin 'Abbas, Itiqad Ahlussunnah WalJamaah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1985, hlm. 158. [12] AlQur'an, AtTaubah (IX): 97. [13] AlQur'an, AtTaubah (IX): 48. [14] AlQur'an, AtTaubah (IX): 48. [15] Bukhari, Shahih, jilid 4, Bab alHaudh [alHaudh, nama Telaga di Surga], akhir Bab arRuqab, hlm. 94. [16] "Halumma", logat orang Hijaz, kata panggil untuk lelaki atau perempuan, tunggal, dua orang maupunjamak. Dalam kalimat ini yang dipanggil adalah serombongan orang, 'zumrah'. [17] irtaddu, lihiat AlQur'an 12:96; 2:217. [18] yaruddu 'alayya. [19] Ma barihu yarji'una 'ala a' qabihim. [20] Bukhari, Shahih,jilid 3, hlm. 30 dalam bab Ghaswah Hudaibiyah. [21] Bukhari, Shahih, jilid 2, hlm. 154, bab yang menerangkan ayat "Dan Allah menjadikan Ibrahim kesayanganNya" (QS 4:125) dalam Kitab Bad'ul Khalq. [22] Golongan kiri, lihat QS 56:41. [23] Muslim, Shahih, Kitab Fadhail, hadits 40. Lihat juga Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 453, jilid 2, hlm. 28 jilid 5, hlm. 48. [24] Bukhari, Shahih dalam bab "Ma ja'a fi buyuti'l AzwajinNabi'. [25] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 23. [26] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 26. [27] Lihat Bab 2: 'Sumber', sub bab 'Ibnu Katsir, Ibn Hazm dan Ibnu Taimiyah'. [28] Lihat Bab 2: 'Sumber', sub bab 'Ibnu Katsir' dan 'Ibnu Hazm.' [29] Lihat Bab 1: 'Pengantar', sub bab 'Melaknat 'Ali Dalam Khotbah'. [30] Lihat Bab 2: 'Sumber', sub bab Thabari. Rafidhah (bentuk gender perempuan, jamak rawafidh) berarti sekelompok anggota pasukan yang melakukan 'desersi' (dari dua syaikh, Abu Bakar dan 'Umar) dan lawannya adalah Nashibi (bentuk jamaknya Nawashib), pembenci Ahlu'lbait dan pengikutnya. |
Oleh DR. Omar Hashem Pengertian Sahabat Ibnu Hajar: Seorang sahabat adalah seorang yang telah bertemu dengan Nabi saw, beriman kepadanya dan meninggal sebagai Muslim. Dan yang menemui Rasul tersebut adalah orang yang datang untuk duduk dalam majlis Nabi atau hampir serupa dengan itu. Ia dapat meriwayatkan dari Nabi atau tidak, berperang bersama beliau atau tidak, dan yang melihatnya dan tidak pernah duduk dalam majlis beliau dan berhalangan melihat beliau, misalnya karena buta. Dan ditambahkan: Hanya para sahabat yang diangkat jadi jenderal dalam peperangan penaklukan daerahdaerah.[1] Dan tidak ada seorang pun yang tersisa di Makkah dan di daerah Tha'if, pada tahun 10 H/631 M selain kaum Muslimin dan mereka ikut naik haji Wada' bersama Nabi dan tidak tersisa seorang pun dari kaum Aws dan Khrazraj di akhir hayat Nabi saw kecuali telah memeluk Islam dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang menjadi kafir tatkala Nabi wafat.[2] Keadilan Para Sahabat Para sahabat semuanya adil, persengketaan antara para sahabat dilakukan menurut Ijtihad mereka masingmasing, yang kalau ijtihadnya benar pada sisi Tuhan maka mereka mendapat dua pahala dan kalau salah pada sisi Allah, mereka dapat satu pahala.[3] Imam Abu Hatim arRazi[4] "Sahabat Rasul saw adalah mereka yang menyaksikan dan mengikuti turunnya wahyu, mengetahui tafsir dan takwil. Mereka telah dipilih Allah, Maha Perkasa dan Maha Agung, untuk jadi sahabat dan penolong NabiNya dalam menegakkan agamaNya dan mengakui kebenaran yang dibawa Nabi. Nabi meridhai mereka sebagai Sahabat dan menjadikan mereka contoh dan teladan bagi kita. Mereka melestarikan apa yang disampaikan Allah kepada Rasulnya, yaitu apa saja yang ditetapkan, disyariatkan, dihukumkan, diputuskan (qadha), diberi kuasa (nadaba), diperintahkan, dilarang, dihindari dan diajarkan Nabi".' Mereka mengenal Rasul, menguasai agama, mengetahui perintah dan larangan Allah, mengetahui tujuan pandangan Rasul saw dan mereka belajar tafsir dan takwil AlQur'an dan mereka memahaminya dengan cepat. Allah, Mahaperkasa dan Mahaagung memuliakan dan bermurah hati kepada mereka. Allah melindungi mereka dari sak wasangka, dusta, kasar, keraguan, kecongkakan dan ketercalaan, serta menamakan mereka umat yang adil ('udulu'l ummah) dan Allah SWT telah menetapkan dalam KitabNya: Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat pertengahan supaya kamu menjadi saksi atas manusia.[5] Rasul menafsirkan kata pertengahan (washatan) dalam ayat di atas sebagai adil, karena mereka adalah umat yang adil, dan imamimam yang tertuntun dan hujjah atau argumen agama, perantara yang dapat dipercaya dalam penyampaian AlQur'an dan Sunah Nabi. Dan Allah SWT mengajak agar mengikuti tuntunan mereka, mengikuti petunjuk mereka, berperilaku menurut jalan dan keteladanan mereka dan Ia berfirman bahwa barangsiapa "mengikuti jalan yang bukan jalan orang beriman, Kami akan biarkan ia mengikuti kecenderungannya" [6] Dan Nabi saw dalam banyak kesempatan mengajak mereka agar bertabligh, menyampaikan sesuatu dari diri beliau dan beliau berkhotbah kepada mereka, diantaranya Nabi telah bersabda: "Allah memuliakan orangorang yang mendengar perkataanku, menjaga, menghafalnya dan menyampaikannya kepada yang lain." Dan Rasul Allah juga bersabda: 'Barangsiapa yang menyaksikan, agar menyampaikan kepada mereka yang tidak menyaksikan." Dan beliau juga bersabda: "Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat. Dan sampaikanlah ceritera dariku, dan jangan sampai salah." Demikian alHafizh, ahlul jarh wa ta'dil, Abu Hatim ArRazi. Ibnu 'Abdi'l Barr Ibnu 'Abdil Barr dalam pengantar bukunya AlIsti'ab punya pendapat serupa, bahwa para sahabat semuanya adalah adil. Ibnu Atsir Ibnu Atsir dalam pengantar bukunya Usdu'l Ghabah[7] mengatakan "Semua sahabat Nabi adil, jangan mencari cacat mereka." Ibnu Hajar Ibnu Hajar[8] mengatakan: Ahlus Sunnah sepakat bahwa semua sahabat itu adil, dan tidak ada perselisihan kecuali pembuat bid'ah yang menyimpang. Abu Zar'ah Abu Zar'ah[9] berkata: "Bila engkau melihat orang mencela (yantaqishu) seorang sahabat Rasul Allah saw maka ketahuilah bahwa ia sebenarnya adalah zindiq, ateis, karena Rasul Allah itu benar, AlQur'an itu benar dan yang mengiringinya adalah benar. Yang melaporkan kesaksian kepada kita semuanya adalah sahabat, dan bila orang tersebut mencaricari cacat akan kesaksian kita, maka ia telah membatalkan AlQur'an dan Sunnah dan dia adalah kaum zindiq yang tidak beragama. Urutan Kemuliaan Para Sahabat Sahabat Nabi yang paling mulia adalah Saidina Abu Bakar, sesudah itu Saidina Umar bin Khaththab, sesudah itu Saidina Utsman bin 'Affan, sesudah itu 'Ali bin Abi Thalib, sesudah itu sahabatsahabat yang sepuluh yang telah dikabarkan oleh Nabi akan masuk surga, yaitu 4 orang Khalifah ditambah dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin 'Awwam, Abdurrahman bin 'Auf, Sa'd bin Abi Waqash, Sa'id bin Zaid dan Abu Ubaidah bin AlJarrah; sesudah itu para sahabat pengikut perang Badr, pengikut perang Uhud, sesudah itu sahabatsahabat yang ikut Bai'atu'rridhwan, sesudah itu sekalian sahabat Nabi.[10] Sikap Muslim Terhadap Sahabat Sikap seorang Muslim menghadapi peristiwaperistiwa yang terjadi antara para sahabat digambarkan melalui syair Ibnu Ruslan (844 H/1440 M) dalam kitabnya Zubad sebagai berikut: Wama jara baina'shshahabi naskutu 'anhu, Wa ajru'l ijtihadi nutsbitu.[11] Yang terjadi antara sahabat, kita (hendaknya) diam, Dan bahwa pahala berijtahid kita kukuhkan. Kritik Terhadap Keadilan Semua Sahabat AlQuran dan Keadilan Para Sahabat Kritik pertama terhadap anggapan bahwa semua sahabat adalah adil berdasarkan ayatayat AlQur'an seperti yang digambarkan dalam surat AtTaubah berikut: "Orangorang Arab paling keras Dalam kekafiran dan kemunafikan, Dan paling cenderung mengabaikan Aturanaturan yang Allah turunkan atas RasulNya, Padahal Allah Mahatahu, Mahabijaksana." [12]atau: "Sungguh mereka telah mengusahakan keonaran sebelumnya, Dan memutar balik persoalan bagimu, Sampai datang kemenangan, Dan terbukti kebenaran agama Allah, Meskipun mereka tiada suka."[13] atau: Dan di antara orang Arab, sekitarmu, Ada orang munafik, Demikian pula di antara orang Madinah, Mereka berkeras dalam kemunafikan, Kau tidak mengetahui mereka, (Tapi) Kami mengenalnya…[14] Mengenai istilah munafik Bukhari meriwayat dari Sulaiman Abu Rabi dari Ismail bin Jafar dari Nafi bin Malik dari ayahnya dari Abu Hurairah yang mendengar dari Rasul yang bersabda: "Tandatanda dari munafik adalah: Bila berbicara, ia berbohong. Bila berjanji, tidak ia tepati. Bila memegang amanat ia akan khianati." Pepatah lama 'Arab menggambarkan munafik sebagai orang yang mencium tangan yang tidak dapat ia gigit. Dan karena para istri Rasul termasuk dalam kategori Sahabat, maka dapat dimasukkan ayatayat dalam surat Tahrim yang turun berhubungan dengan ummul muminin 'A'isyah dan Hafshah, dan meminta agar mereka bertobat. Hadis dan Keadilan Para Sahabat Bukhari Bukhari[15] meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda: Tatkala aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan muncul pula seorang lelaki di antara diriku dan rombongan itu. Lelaki itu berkata: "Ayo!"[16]Aku bertanya: "Kemana?" Ia menjawab 'Ke neraka, demi Allah!" Aku bertanya: "Ada apa dengan mereka?" Ia menjawab: "Mereka berbalik[17] setelah engkau wafat." Di bagian lain: Kemudian muncullah serombongan orang yang kukenal dan seorang lelaki muncul pula antara diriku dan mereka. Lelaki itu berkata: "Ayo!" Aku bertanya: 'Kemana? "Ia menjawab: 'Ke neraka, demi Allah!" Aku bertanya: "Ada apa dengan mereka? "Lelaki itu menjawab: 'Mereka telah berbalik setelah engkau wafat". Dan aku tidak melihat keikhlasan pada wajah mereka, seperti gerombolan unta tanpa gembala. Dan yang berasal dari Asma' binti Abi Bakar yang berkata, Nabi bersabda: "Tatkala berada di AlHaudh, aku tibatiba melihat ada di antara kamu yang mengingkariku [18] , yang mengikuti selain diriku. Aku berkata: "Ya Rabbi, dari diriku dan umatku?" Dan terdengar suara seseorang: "Apakah engkau mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu? Demi Allah mereka terus mengingkarimu[19] Dan tatakala membicarakan hadis ini Ibnu Abi Mulaikah berkata: "Allahumma, aku berlindung kepadaMu dari perbuatan ingkar dan merusak agama kami". Dari bab yang sama yang berasal dari Said bin Musayyib yang berasal dari para sahabat Nabi bahwa Nabi bersabda: Di AlHaudh' sejumlah sahabat berbalik dan aku bertanya: "Ya Rabbi! Mereka adalah sahabatku!". Dan mendapat jawaban: "Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik mengingkarimu!" Dan di bagian lain bab tersebut, dari Sahl bin Sa'd yang berkata, Nabi bersabda: Saya mendahului kamu di 'AlHaudh', barangsiapa meliwatiku akan minum dan setelah itu tidak akan pernah haus selamanya, dan beberapa kaum yang kukenal dan mereka juga mengenalku, berbalik dariku, kemudian aku dan mereka terpisah. Abu Hazm berkata: "Nu'man bin Abi' Iyasy memperdengarkannya kepadaku dan menanyakan apakah aku mendengar demikian dari Sahl?' Aku membenarkan. Ia melanjutkan: 'Aku bersaksi bahwa menurut Abi Said AlKhudri katakata tersebut punya kelanjutan: Dan aku (Nabi) berkata: 'Mereka itu adalah dari diriku'. Dan kedengaran jawaban: 'Sungguh engkau tidak tahu apa yang terjadi sesudahmu?' Dan aku berkata: 'Binasalah mereka yang berobah sesudahku.' Lagi dari Abu Hurairah yang meriwayatkan dari Rasul Allah saw yang bersabda: Telah berbalik di hari kiamat serombongan sahabatku yang memisahkan diri di AlHaudh dan aku bertanya: "Ya Rabbi, sahabatku,' "Dan Allah menjawab: 'Tiada engkau tahu apa yang mereka lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik dan menjadi ingkar.' Lagi, yang berasal dari 'Abdullah dari Nabi masih di bab yang sama: Kemudian mereka dipisahkan dariku, dan aku berseru: "Ya Rabbi, sahabatku!" Dan dijawab: "Engkau tidak tahu apa yang terjadi sesudahmu!". Bukhari melanjutkan: "Katakata serupa juga diriwayatkan 'Ashim yang berasal dari Abi Wa'il. Dan Hushain juga meriwayatkan serupa yang berasal dari Abi Wa'il dari Hudzaifah dari Nabi. Di bab lain, tatkala membicarakan Perang Hudaibiyah, Bukhari meriwayatkan dari al' Ala' bin Musayyib dari ayahnya[20] yang berkata: Aku bertemu alBarra' bin 'Azib dan aku berseru: 'Selamat bagi Anda, Anda beruntung jadi sahabat Nabi dan Anda telah membaiat Rasul di bawah pohon, 'bai'ah tahta syajarah!'. Ia menjawab: "Wahai anak saudaraku, engkau tidak tahu, apa yang kami lakukan sesudah Rasul wafat.!" Dan dalam bab lain Bukhari meriwayatkan yang berasal dari Ibnu 'Abbas dari Nabi saw:[21] 'Dan sejumlah sahabat mengambil jalan kiri[22] dan aku berseru "Sahabatku, sahabatku!" dan terdengar jawaban dengan katakata: 'Mereka tidak pernah berhenti berbalik ingkar sejak berpisah denganmu." Muslim "Sebagian orang yang menjadikan aku sebagai sahabat akan berbalik dariku di telaga AlHaudh, yaitu tatkala dengan tibatiba aku melihat mereka dan mereka melihat kepadaku, kemudian meninggalkanku dan aku benarbenar akan bertanya: "Wahai Rabbi, para sahabatku. Dan akan terdengar jawaban: "Engkau tidak tahu apa yang mereka lalukan sesudahmu."[23] Tentang Ummu'l mu'minin 'A'isyah Rasul juga bersabda tentang ummu'l mu'minin 'A'isyah: "Diriwayatkan oleh Musa bin Isma'il, dari Juwairiyah, dari Nafi', dari 'Abdullah yang berkata: "Nabi saw sedang berkhotbah dan beliau menunjuk ke arah kediaman 'A'isyah sambil berkata: 'Disinilah akan muncul tiga fitnah sekaligus, dan dari situlah akan muncul tanduk setan'.[24] 'Abdullah meriwayatkan dari Ubay dari 'Ikramah bin 'Ammar dari Ibnu 'Umar yang berkata: "Rasululah saw keluar dari rumah 'Aisyah dan bersabda: 'Kepala kekufuran akan muncul dari sini, dan dari sini akan muncul tanduk setan'.[25] Rasul Allah saw keluar dari rumah 'A'isyah sambil berkata: "Sesungguhnya kekafiran akan muncul dari sini akan muncul tanduk setan."[26] Sejarah dan Keadilan Sahabat Para penulis sejarah telah meriwayatkan ulah banyak sahabat yang bertentangan dengan nash AlQur'an dan hukum syar'i, seperti meneguk minuman keras, diantaranya ada yang pengikut perang Badar, menghamburhamburkan baitul mal, membunuh sahabat lain secara berdarah dingin tanpa pengadilan, membakar muslim hiduphidup, menyembelih bayi, memperbudak muslimah, memanggang kepala sahabat dalam tungku, memperkosa ribuan muslimah yang tidak berdosa, mempermainkan kepalakepala jenazah muslimin setelah dibalsem dengan garam dan kapur barus, kemudian mengarak kepalakepala dari kota kekota termasuk para sahabat dan cucu Rasul, meracuni sahabat, termasuk cucu Rasul, memerangi imam yang syah, menyogok para ulama', membentuk kerajaan dan lain-lain. Menamakan perbuatanperbuatan terkutuk serupa itu sebagai ijtihad adalah menipu diri sendiri, tidak adil dan bertentangan dengan syariat. Memilihmilih para 'pembuat onar' seperti pembunuh ahlul kisa' 'Ali dan Husain bin 'Ali[27]dan kaum khawarij sebagai penyalur hadis dan menamakan mereka mujtahid adalah tidak adil. Menghindar dan menolak mewawancarai keluarga ahlu'l bait yang menjadi korban kelaliman, seperti dilakukan oleh Imam Bukhari adalah juga tidak adil. Menamakan pembunuh 'Ali sebagai mujtahid dan tidak menamakan serupa pada pembunuh 'Utsman adalah juga tidak adil. [28] Menyebut 'pencaci' terhadap para sahabat sebagai zindiq dan tidak menyebut 'pencaci' 'Ali dengan sebutan serupa adalah juga tidak adil.[29] Mengurutkan kemuliaan para sahabat sesuai dengan urutan khalifah yang lurus juga tidaklah adil, sebab AlQur'an, para ahli hadis serta sejarawan telah 'melebihkan' Ali bin Abi Thalib dari sahabat yang lain, sehingga mengutamakan 'Ali dari sahabat lain bukanlah perbuatan dosa.Menuduh mereka yang mengutamakan 'Ali dari yang lain sebagai kaum rafidhah, dengan demikian, adalah juga tidak adil. Semboyan 'tunjukkan saya rafidhah yang kecil, akan saya tunjukkan syi'ah yang besar' juga tidaklah adil.[30] Menjauhi peristiwa yang terjadi di antara para sahabat akan menutupi kebenaran dan hal ini adalah tidak adil dan menyulitkan memahami mazhab Syi'ah, menuduh mereka sebagai pemaki sahabat, dan karena itu mengkafirkan mereka dan hal ini pun tidaklah adil. Setelah mengkafirkan biasanya akan disusul dengan menghalalkan darah mereka. Dan ini pun tidaklah adil. Bila menulis sejarah sebagaimana adanya, dianggap zindik atau ateis, karena memuat juga aib para sahabat, maka tidak ada lagi sejarawan, Imam mazhab, ahli hadis yang bukan zindik. Dan membedakan mereka dari kaum Syi'ah yang membuat hal serupa, adalah tidak adil. Sejarawan muslim telah menulis sejarah sebagaimana adanya, dan tulisan mereka menunjukkan bahwa di antara para sahabat ada yang zuhud, berakhlak mulia dan menjadi contoh teladan bagi umat Islam, dan ada juga yang lalim, pemabuk, pembunuh berdarah dingin, pembersih etnis, pembuat hadishadis palsu, pemerkosa, penghina Baitullah, dan perbuatanperbuatan jahiliah lain yang tak terkira dahsyatnya. Tulisan para sejarawan telah memperkuat AlQur'an bahwa di antara para sahabat ada yang munafik seperti 300 orang sahabat yang dipimpin 'Abdullah bin 'Ubay yang telah melakukan disersi, meninggalkan pasukan Rasul Allah pada perang Uhud, sebelum pertempuran dimulai yang dimuat di bukubuku sejarah. Tulisantulisan mereka menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil dan menolak fakta ini adalah menolak konstatasi AlQur'an dan Hadis Nabi. [1] Innahum kanu fi'l futuh la yu'ammiruna illa shahabah. AlIshabah, jilid 1, hlm. 13, 16. [2] Ibnu Hajar, AlIshabah, jilid 1, hlm. 10; Shahabah adalah kata jamak dari Shahabi. Dalam AlQur'an dan di zaman Rasul kata Shahabi tidak ditemukan. Di zaman itu seorang sahabat disebut Shahib dan bentuk jamaknya adalah Ashhab seperti dipakai sampai sekarang. Kata Shahabi dan Shahabah kemudian digunakan khusus sebagai sahabat Rasul Allah dan telah jadi akidah, berbeda dengan pengertian sahabat dalam bahasa Indoneisa. Dalam buku ini kata sahabat memaksudkan sahabat Rasul. [3] Lihat juga K.H. Sirajuddin 'Abbas, Itiqad Ahlussunnah WalJama'ah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1985, hlm. 107, 108. [4] Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Hatim arRazi (m. 337 H) dalam Taqdimah AlMa'rifah li Kitab alJarh wa Ta'dil, hlm. 79, Haiderabat, 1371 H. [5] AlQur'an, AlBaqarah (2): 143. [6] AlQur'an AnNisa' (4), 115. [7] Ibnu Atsir, Usdul Ghabah, jilid 1, hlm. 3. [8] Ibnu Hajar, AlIshabah, jilid 1, hlm. 1722. [9] Dipetik dari AlIshabah, jilid 1, hlm. 18. [10] Lihat juga K.H. Sirajuddin 'Abbas, Itiqad Ahlussunnah WalJamaah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1985, hlm. 88. [11] Lihat juga K.H. Sirajuddin 'Abbas, Itiqad Ahlussunnah WalJamaah, Penerbit Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1985, hlm. 158. [12] AlQur'an, AtTaubah (IX): 97. [13] AlQur'an, AtTaubah (IX): 48. [14] AlQur'an, AtTaubah (IX): 48. [15] Bukhari, Shahih, jilid 4, Bab alHaudh [alHaudh, nama Telaga di Surga], akhir Bab arRuqab, hlm. 94. [16] "Halumma", logat orang Hijaz, kata panggil untuk lelaki atau perempuan, tunggal, dua orang maupunjamak. Dalam kalimat ini yang dipanggil adalah serombongan orang, 'zumrah'. [17] irtaddu, lihiat AlQur'an 12:96; 2:217. [18] yaruddu 'alayya. [19] Ma barihu yarji'una 'ala a' qabihim. [20] Bukhari, Shahih,jilid 3, hlm. 30 dalam bab Ghaswah Hudaibiyah. [21] Bukhari, Shahih, jilid 2, hlm. 154, bab yang menerangkan ayat "Dan Allah menjadikan Ibrahim kesayanganNya" (QS 4:125) dalam Kitab Bad'ul Khalq. [22] Golongan kiri, lihat QS 56:41. [23] Muslim, Shahih, Kitab Fadhail, hadits 40. Lihat juga Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 453, jilid 2, hlm. 28 jilid 5, hlm. 48. [24] Bukhari, Shahih dalam bab "Ma ja'a fi buyuti'l AzwajinNabi'. [25] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 23. [26] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 26. [27] Lihat Bab 2: 'Sumber', sub bab 'Ibnu Katsir, Ibn Hazm dan Ibnu Taimiyah'. [28] Lihat Bab 2: 'Sumber', sub bab 'Ibnu Katsir' dan 'Ibnu Hazm.' [29] Lihat Bab 1: 'Pengantar', sub bab 'Melaknat 'Ali Dalam Khotbah'. [30] Lihat Bab 2: 'Sumber', sub bab Thabari. Rafidhah (bentuk gender perempuan, jamak rawafidh) berarti sekelompok anggota pasukan yang melakukan 'desersi' (dari dua syaikh, Abu Bakar dan 'Umar) dan lawannya adalah Nashibi (bentuk jamaknya Nawashib), pembenci Ahlu'lbait dan pengikutnya. |
Sahabat Nabi Muhammad Saw
« Prev Post
Next Post »
Berikan Komentar Anda