Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Nabi Bermuka Masam

Nabi Bermuka Masam

Surah ke 80 (Abasa): Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang Dia (seorang pemimpin Bani Umayah tertentu) bermuka masam dan berpaling (ketika ia sedang bersama Nabi), Karena telah datang seorang buta (Ibnu Ummi Maktum) kepadanya, Tahukah kamu mungkin ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) Atau dia ingin mendapatkan pelajaran, sehingga pelajaran itu memberi rnanfaat kepadanya (orang buta)? Adapun orang yang merasa dirinya (pemimpin Bani Umayah) serba cukup, Maka kamu melayaninya? Padahal tiada (celaan) atasmu jika dia tidak membersihkan diri (beriman) Dan adapun orang yang datarvg kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) Sedang ia takut (kepada Allah dalam hatinya) Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaranajaran Tuhan itu adalah satu peringatan.

Sebab turunnya surah ini merupakan peristiwa sejarah yang terjadi. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW tengah bersama sejumlah orang kaya Quraisy dari suku Umayah, di antaranya Utsman bin Affan, yang belakangan menduduki tampuk kekhalifahan.

Ketika Rasulullah SAW tengah mengajari mereka, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, datang kepadanya. Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Bagaimanapun, Nabi tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy.

Karena Abdullah miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayah (yakni Utsman bin Affan) bermuka masam dan berpaling kepadanya. Perbuatan pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah SWT dan pada gilirannya Dia menurunkan Surah Abasa (80) melalui malaikat Jibril di waktu yang sama. Surah ini memuji kedudukan Abdullah kendati ia papa dan buta.

Dan dalam ayat-ayat belakangan Allah 'mengingatkan' Nabi-Nya SAW bahwa mengajari seorang kafir tidaklah penting andai kata orang kafir itu tidak cenderung untuk menyucikan dirinya dan menyakiti seorang mukmin hanya karena ia tidak kaya dan sehat. Sekelompok mufasir Sunni yang bersama Nabi Muhammad SAW sepanjang standar aturan-aturan moral biasa menuduh beliau menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka mencoba mengatakan bahwa beliau tidak bebas dari kelemahan karakter dan perilaku. Ini terjadi ketika orang yang menghina si miskin tadi adalah seorang kaya dari Bani Umayah yang masih non-Muslim, atau baru masuk Islam (yakni Utsman).

Namun sebagian orang demi membersihkan wajah Utsman dari perilaku buruk semacam itu tidak segan dan sungkan menuduh Nabi Muhammad SAW berbuat seperti itu (bermuka masam) dan mengritik Nabi Muhammad SAW demi membela Utsman. Ulangan peristiwa yang sama dilakukan oleh Umayah selama kekuasaan mereka melalui (lisan dan tulisan) para perawi bayaran. Terkenal dalam sejarah bahwa Umayah adalah musuh paling sengit terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW dan Islam.

Seperti telah dikatakan, itu tidak sesuai bagi mereka dimana pemimpin mereka,Utsman, diperingatkan Quran. Demikianlah, para ulama yang bekerja untuk Umayah dipaksa menulis bahwa ayat ini diperintahkan untuk menegur Nabi Muhammad SAW, bukannya Utsman. Omong kosong semacam itu adalah untuk menjaga wibawa dan kehormatan Utsman dengan harga menghinakan Nabi Muhammad SAW sebagai penghulu para Nabi. Berikut ini merupakan mendapat sejumlah mufasir Sunni. Disebutkan bahwa ayat-ayat ini turun sekaitan dengan Abdullah bin Ummi Maktum, yakni Abdullah bin Syarih bin Malik bin Rabi'ah Fihri dari (kabilah) Bani Amir bin Luay.

Dia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau tengah mencoba memasukkan orang-orang ini kepada Islam Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib, Ubay dan Umayah bin Khalaf. Orang buta itu berkata, "Wahai Rasulullah, bacakanlah kepadaku kepadaku dan ajari aku sesuatu yang Allah ajarkan kepadamu!" Dia terus menyeru Nabi dan mengulang-ulang permohonannya, tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW tpngah sibuk menghadapi orang lain, sampai kegusaran tampak pada wajah Nabi karena disela.

Nabi Muhammad SAW berkata kepada dirinya sendirinya bahwa orang – orang (pembesar Quraisy) ini akan mengatakan bahwa para pengikutnya (Muhammad) hanyalah orang buta dan para budak, maka beliau berpaling darinya dan bersitatap dengan orang-orang yang ia ajak bicara. Maka ayat-ayat selanjutnya pun diturunkan. Setelah itu Rasulullah SAW pun bersikap baik kepadanya. Dan apabila ia memandang orang buta, ia biasa berkata, "Selamat datang orang yang kepadanya Tuhanku menegurku

karenanya!" Beliau biasa meminta Abdullah bin Ummi Maktum jika beliau membutuhkan sesuatu dan menjadikannya sebagai wakil di Madinah dua kali selama peperangan.

Tafsir Sunni di atas juga telah disebutkan dalam al-Durr al-Mantsur oleh Suyuthi, dengan sedikit perbedaan. Abul A'la Maududi seorang mufasir Quran lainnya memiliki pandangan yang lebih moderat. Berikut ini tafsirannya atas Surah Abasa ayat 17: Di sini kebinasaan telah diungkapkan secara langsung bagi orang-orang kafir yang tidak memperhatikan pesan kebenaran. Sebelum ini, dari permulaan surah hingga ayat 16, sesungguhnya ia ditujukan untuk menegur orang-orang kafir kendati seolah-olah ia ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.' Bagaimanapun, faktanya adalah Quran tidak memberikan keterangan apapun bahwa orang yang bermuka masam kepada orang buta adalah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut).

Dalam ayat-ayat di atas Allah SWT tidak mengalamatkan kepada Nabi Muhammad SAW entah oleh nama atau julukannya (yakni wahai Muhammad, atau wahai Nabi, atau wahai Rasulullah). Lebih dari itu, terjadi perubahan kata benda dari `dia' dalam dua ayat pertama kepada 'engkau' dalam ayat-ayat terakhir dalam surah tersebut. Allah tidak menyatakan, 'Engkau bermuka masam dan berpaling'. Alih-alih, Yang Maha Kuasa menyatakan, Dia bermuka dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa (QS. 80:1-3).

Kendatipun kita mengandaikan bahwa 'engkau' dalam ayat ke tiga tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, maka nyatalah dari tiga ayat di atas bahwa kata-kata 'dia' (orangyang bermuka masam) dan 'kamu' tertuju pada dua orang yang berbeda. Dua ayat selanjutnya mendukung gagasan ini; Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya (QS. 80: 5-6).

Dengan demikian, orang yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW karena ada perbedaan antara `dia' dan 'kamu'. Dalam surah 80:6 Allah berfirman kepada Nabi-Nya SAW dengan mengatakan bahwa mendakwahi orang-orang yang sombong dari bangsa Quraisy yang bermuka masam kepada seorang buta tidaklah pantas dan tidaklah apaapa untuk lebih mendahulukan mendakwahi seorang yang buta, sekalipun orang buta datang belakangan. Alasannya, mendakwahi siapapun yang tidak bermaksud untuk menyucikan dirinya (sampai ke tingkat ia bermuka masam kepada seorang mukmin) tidaklah berguna.

Lebih dari itu, bermuka masam bukanlah perilaku yang berasal dari Nabi Muhammad SAW terhadap musuh-musuhnya yang nyata, apalagi (bermuka masam) terhadap orang beriman yang mencari petunjuk! Satu pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana bisa seorang Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat untuk umat manusia berbuat tidak senonoh ketika seorang mukmin awam tidak berbuat seperti itu? Dakwaan ini juga berlawanan dengan pujian Allah SWT sendiri atas moral luhur dan etika mulia dari Nabi Muhammad SAW, Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam 68 : 4).

 Seseorang yang menghina orang lain tidaklah pantas menerima pujian semacam itu. Disepakati bahwa Surah Al-Qalam turun sebelum Surah Abasa. Ia bahkan diturunkan segera setelah Surah Iqra (96-surah pertama yang diwahyukan).

Bagaimana bisa masuk akal bahwa Allah SWT melimpahkan kebesaran pada makhluk-Nya di permulaan keNabiannya, menyatakan bahwa ia berada dalam budi pekerti yang agung, dan setelah itu balik menegur dan mengecamnya atas keraguan yang tampak pada tindakantindakan moralnya. Allah SWT berfiman, Dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS. as-Syu'ara : 214-5).

Masyhur diketahui bahwa ayat-ayat ini merupakan wahyu Mekkah awal. Katakata yang sama bisa ditemukan di ujung Surah al-Hijr ayat 88. Allah Yang Maha Mulia lebih jauh berfirman, Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik! (QS. 15:94).

Beliau diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik dalam ayat ini yang diketahui telah diturunkan pada permulaan 'seruan terbuka kepada Islam' (setelah periode sembunyi-sembunyi). Bagaimana bisa dibayangkan bahwa setelah semua perintah ini, Rasul agung dan mulia berbuat salah dengan cara sedemikian yang akan membutuhkan pelarangan yang dinyatakan? Para mufasir Quran dari madrasah Ahlulbait lebih jauh menegaskan bahwa bahkan dalam pertanyaan ayat ketiga dan ke empat surah tersebut mengenai keraguan apakah Abdullah mendapatkan manfaat dengan berbicara dengan Nabi Muhammad SAW ataukah tidak, telah tertanam dalam minda orang yang belum memeluk Islam, dan tidak menyadari jiwa Islam.

Hal ini tidak pernah terdapat dalam minda Nabi Muhammad SAW yang telah diutus untuk mengajarkan keimanan kepada setiap orang dan semuanya, tanpa memandang kedudukan duniawi apapun. Itulah sebabnya mereka menyimpulkan bahwa kata 'kamu' dalam ayat ke tiga tetap tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW.

Alih-alih ia berlaku bagi salah seorang yang hadir dari Umayah, dan bahwa tak satu pun dari ayat pertama surah ini (80:1- 4) tertuju kepada Nabi Muhammad SAW kendatipun ayat-ayat terakhir ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka yang memahami bahasa Quran dan membaca bahasa Arab Quran yang orisinal menyadari lompatan konstan antara gaya penulisan Quran orang pertama, kedua, dan ketiga.

Dalam banyak ayat Quran, Allah mengubah objek pembicara (sasaran) secara tajam, dan dengan sendirinya, adalah tidak selalu mudah untuk melukiskan siapakah yang dituju ketika nama sasaran pembicaraan tidak diungkapkan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kita untuk merujuk pada Ahlulbait as dalam hal penafsiran ayat-ayat Quran karena mereka adalah 'orang-orang yang mendalam ilmunya' (QS. 3:7), 'ahli zikir' (QS. 16:43; 21:7), dan 'orang-orang yang disucikan yang telah menyentuh pengertian al- Quran (lihat 56:79).

Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq as berkata, "Ia diturunkan sekaitan dengan seorang lelaki dari Bani Umayah. Ia tengah berada di majelis Nabi Muhammad SAW, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang. Ketika ia melihat Ibnu Ummi Maktum ia merasa kesal kepadanya, bermuka masam, dan berpaling darinya. Maka Allah SWT mengatakan apa yang Dia sebut sebagai ketidak sukaan atas perbuatannya." Demikian juga dikatakan bahwa Imam Shadiq as berkata, "Setiap kali Rasulullah SAW melihat Abdullah bin Ummi Maktum, beliau berkata, ' Selamat datang, selamat datang, demi Allah, engkau tidak akan mendapati Allah menegurku terhadapmu' (80:5- 11), ini karena rasa malu." Dalam tafsir Sayid Syubbar dilaporkan dari Qummi bahwa ayat tersebut diturunkan tentang Utsman dan Ibnu Ummu Maktum, seorang yang buta.

Ia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau sedang bersama para sahabat. Di saat itu, ada Utsman. Rasulullah SAW mengenalkannya kepada Utsman, dan Utsman bermuka masam dan memalingkan wajahnya darinya. Allah Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran tentang Nabi Muhammad SAW,...dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya (QS. 53: 3-4).

Maka bagaimana bisa Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu v.-ang menyerang jika ucapan-ucapannya adalah wahyu atau ilham? Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginan sendirinya. Secara menarik, kaum Sunni membenarkan bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an-Najm dimana ia menyatakan Nabi Muhammad SAW tidak berbicara karena keinginannya sendiri.

Juga dalam Surah al-Ahzab ayat 33 membenarkan bahwa Ahlulbait itu suci tidak berdosa. Kita semua mafhum bahwa keutamaan Nabi lebih tinggi ketimbang keutamaan keluarganya. Beliau juga terhitung sebagai Ahlulbait. Lantas, bagaimana mungkin ia menyakiti hati seorang mukmin namun tetap menjaga kesucian secara sempurna ? Perhatikan juga firman Allah berikut! Padahal tiada (celaan) atasmu (untuk mengajari kepala kabilah yang sombong) jika dia tidak membersihkan diri (beriman) (QS. Abasa : 7).

Hal di atas tidak berarti bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kesalahan, karena Allah menggunakan frase `padahal tiada celaan atasmu'. Ini artinya pilihan Nabi tidaklah galat, melainkan itu bukan sesuatu yang tercela untuk dilakukan. Juga ketika Allah menyatakan, mengajarinya tidak penting jika orang Quraisy itu tidak menyucikan dirinya. Nah, Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui sebelumnya bahwa orang Quraisy itu akan bermuka masam kepada orang mukmin yang buta tersebut, dengan demikian, syarat jika tidak terpenuhi. Karena itu, apa yang Nabi Muhammad SAW lakukan adalah tepat sebelum ketika orang tersebut bermuka masam (karena Nabi Muhammad SAW berada di tengah-tengah pembicaraannya dengan orang-orang Quraisy itu ketika Ibnu Ummi Maktum datang).

Dan begitu orang Quraisy itu bermuka masam, Nabi menghentikan pembicaraan dan kemudian ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana bisa kita saksikan, apa yang Nabi SAW lakukan merupakan tugasnya detik demi detik. Teguran tersebut untuk masa depan, sebagaimana dalam kasus ayat Quran lainnya dimana Allah mengingatkan Nabi-Nya bahwa tidak layak baginya untuk mempersulit diri sendiri guna memandu orang-orang karena sebagian dari mereka tidak pernah bisa diberi petunjuk, dan tidak seyogianya Nabi sedih atas mereka.

Kesimpulannya, kami menyediakan bukti dan keterangan dari Quran, hadis, sejarah, dan tata bahasa Arab, untuk mendukung fakta bahwa ayat-ayat sebelumnya dari surah ini tidak merujuk Nabi Muhammad SAW dan sesungguhnya orang yang bermuka masam kepada orangbuta itu bukanlah Nabi Muhammad SAW. Kami sebutkan juga bahwa Surah Abasa ayat 511 hanyalah pengingat untuk masa depan Nabi Muhammad SAW bahwa mendakwahi seorang kafir tidaklah berhasil sekiranya orang kafir tersebut tidak mencoba untuk menyucikan dirinya sendiri dan ketika seorang kafir tersebut menyakiti dan melukai seorang mukmin hanya gara-gara orang mukmin itu miskin dan buta (tidak sehat jasmaninya).

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.