Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Landasan Hukum Nikah Mut'ah

Landasan Hukum Nikah Mut'ah

Syi'ah meyakini bahwa nikah ada dua macam, (1) daim, permanen, dan (2) muwaqqat, temporer. Nikah daim dilakukan untuk waktu yang tak terbatas, sementara nikah
muwaqqat atau yang dalam istilah fiqh lebih dikenal dengan sebutan nikah mut'ah masa berlakunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Nikah mut’ah halal hukumnya dan memiliki banyak kesamaan dengan nikah daim. Antara lain: (1) perlunya mahar, (2) tidak adanya penghalang pada pihak perempuan, (3) ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah anak, di mana anak-anak yang lahir buah nikah mut'ah sama posisinya dengan anak-anak yang lahir hasil nikah daim, sedikitpun tidak berbeda, dan (4) kewajiban iddah sesudah perpisahan. Semua ketentuan di atas diyakini Syi'ah dengan sepenuhnya. Dengan kata lam, nikah mut'ah adalah nikah dalam arti sebenarnya.

Akan tetapi tentu saja ada perbedaan-perbedaannya dengan nikah daim, yaitu antara lain: (1) suami tidak wajib memberi nafkah lahir kepada isteri dan (2) kedua-duanya, suaini-isteri, tidak saling mewarisi.

Adapun anak-anak, mereka mewarisi kedua orang tuanya, Demikian pula sebaliknya. Apa pun persoalannya, kehalalan nikah mut'ah ini dipahami Syi'ah dari al-Quran yang berkata:

Perempuan-perempuan yang kamu nikmati, (menikahinya secara mut'ah) berikanlah maharnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban atasmu.(QS. 4:24)

Mengomentari ayat ini, banyak ahli hadis terkemuka dan mufassir temarna menegaskan bahwa ayat tersebut memang menerangkan kehalalan nikah mut’ah. Antara lain dapat dilihat pada kitab Tafsir Thabari yang banyak mengutip riwayat-riwayat Nabi saw yang menegaskan kehalalan nikah mut’ah ini. Demikian pula kesaksian sejumlah besar sahabat Nabi saw. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kitab Tafsir al-Durr al-Mantsur dan Sunan Baihaqi, di mana keduanya banyak mengutip riwayat-riwayat tentang kehalalan nikah mut’ah. Bahkan dalam kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya, banyak diriwayatkan hadis-hadis tentang berjalannya nikah mut’ah pada masa Rasulullah saw, meskipun harus diakui terdapat pula riwayat-riwayat yang berseberangan.

Sejumlah fuqaha Sunni percaya bahwa nikah mut’ah memang halal di zaman Rasulullah saw, tapi kehalalannya sudah dibatalkan atau mansukh. Sebagian lainnya percaya bahwa hingga akhir hayat Rasulullah saw, hukum nikah mut’ah tidak pernah dimansukh, tetap halal. Tetapi kemudian haram karena Khalifah Umar telah membatalkannya. Populer pemyataan Umar:

Dua mut’ah yang dulu halal di zaman Rasulullah, aku haramkan dan akan kuhukum pelakunya, yaitu mut’ah perempuan dan mutab haji. ( Hadis di atas dengan redaksi yang sama atau redaksi lain yang tidak berbeda dari segi makna dapat Anda lihat pada banyak sumber, antara lain Sunan Baihaqi, jilid VII, hal.206. Sementara itu, penulis al-Ghadir dalam kitabnya mencatat ada 25 kitab sahih dan musnad yang menukil hadis tentang mut’ah bahwa nikah mut’ah halal hukumnya dalam Islam dan bahwa pada masa Nabi saw, Khalifah Abu Bakar, dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar telah berjalan dengan lazim. Hanya saja Umar kemudian mengharamkannya pada akhir usianya. (Lihat al-Ghadir, jilid II, hal.322)

Dengan demikian ada tiga pendapat di kalangan Sunni mengenai kehalalan nikah mut’ah ini. Pertama, menganggap nikah mut’ah telah dibatalkan kehalalannya sejak zaman Rasulullah saw. Kedua, pembatalannya terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn al-
Khattab. Dan ketiga, menolaknya sama sekali; tapi pendapat ketiga ini praktis sedikit sekali.

Perbedaan pandangan seperti ini, sangat lumrah dalam ilmu fiqh. Akan tetapi fuqaha Syi'ah sepakat bahwa nikah mutali halal hukurnnya dan tidak pernah dibatalkan kehalalannya, baik di zaman Rasulullah, apalagi sesudah wafatnya. Bahkan tidak boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan kehalalannya oleh Rasulullah saw.

Syi'ah meyakini bahwa jika kehalalan nikah mut'ah tidak disalahgunakan ia akan memberikan solusi yang sangat baik bagi berbagai problerna sosial, khususnya orang-orang muda yang karena sesuatu dan lain hal belum dapat membina rumah tangga permanen dan para musafir yang terpaksa berpisah dengan keluarganya untuk waktu yang lama karena pekerjaan-pekerjaan mereka.

Mengharamkan nikah mut’ah buat kelompok-kelompok ini akan mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuahin maksiat; lebih-lebih di era kita saat ini, dimana usia perkawinan semakin meningkat dan pengumbar-pengumbar syahwat semakin meraja-lela. Karena itu, jika jalan ini ditutup maka pasti akan semakin membuka jalan maksiat. Tapi kehalalan hukum nikah mut'ah ini tidak boleh disalahgunakan. Tidak boleh dijadikan alat untuk mengumbar hawa nafsu atau menyeret perempuan ke lembah kemaksiatan dan kenistaan.

Syiah sangat menentang hal ini dan menentang keras segala praktik macam ini. Tapi penyalahgunaan oleh beberapa budak nafsu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus hukum ini dari akarnya. Itu tidak mungkin. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mencegah penyalagunaan kehalalan hukum nikah ini, bukan menghapusnya.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.