Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Senandung Cinta untuk Gaza

Senandung Cinta untuk Gaza

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
(Michael Heart) "Ibu...kasihan ya anak itu sakit"
Celoteh putraku yang baru berusia tiga tahun, saat melihat poster besar seorang bayi Gaza terluka dalam pelukan ayahnya yang dipasang di pintu masuk utama Universitas Tehran.
"Iya, kasihan sekali, tapi ia akan bertemu Feresteh (malaikat)"
Hiburku sambil mengelus kepalanya yang tertutup rapat topi musim dingin.

Sambil menyusuri jalan Enqelab untuk bergabung dengan para peserta long march lainnya, aku masih merenungkan kejadian tadi. Kubayangkan, bagaimana bila anak yang ada dalam gambar itu adalah putraku dalam pangkuan ayahnya, Siapkah aku untuk berkata hal yang sama? Sepertinya, begitu mudah lisan ini melafalkan sebuah kalimat langit "Ia akan bertemu malaikat". Kenyataannya, aku hanyalah seorang ibu biasa sebagaimana ibu-ibu lainnya yang sangat terikat pada putranya, yang selalu berharap melihat anak dan suaminya baik-baik saja ketika bangun di pagi hari. Masihkah aku mengingat kata-kata itu bila kejadian yang sama menimpaku. Ah...begitu sulit untuk dibayangkan.

Aku yakin, para ibu di Gaza sudah sangat terdidik oleh situasi "tak terduga" yang selalu akan menerbangkan spiritualitasnya. Tapi, sekuat apapun hati mereka, luka itu akan tetap menggores hidupnya, sebuah luka karena ketidakadilan. Seperti sering diliput TV Iran, para ibu di Palestina terisak menyuarakan kepada ibu-ibu di dunia untuk tidak diam dengan ketidakadilan. Sepertinya panggilan itu terasa begitu berat, para ahli diplomasi dunia saja tak mampu melemparkan logika-logika mereka dan berbagai resolusi hanya berakhir di meja sidang. Faktanya, Gaza masih dikepung dan darah masih terus mengalir di sana.


Tapi, seberat dan sepahit apapun sebuah perubahan perlu aksi nyata meski berangkat dari hal sederhana. Sejak kuliah dulu, aku berusaha untuk menghadiri event-event Palestina baik aksi di jalanan, pementasan seni, konser musik amal dan berbagai acara penggalangan dana. Sayangnya, saat itu geliat pembelaan Palestina di tanah air hanya terasa di sekitar radius kampus dan beberapa ormas saja. Kotak-kotak media itu telah menyamarkan suara-suara Palestina dengan hingar bingar dunia hiburan.

Ketika aku menjejakkan kaki di negeri Persia, terutama di kota Qom, potret kehidupan Palestina tersuguh sedemikian dekat dalam keseharian. Pada setiap pemberitaan, Palestina menjadi ‘menu wajib' harian yang menghiasi berbagai media, terutama radio dan televisi. Di acara-acara doa bersama, misalnya doa Kumail di malam Jum'at atau doa Nudbah di pagi harinya, nama Palestina akan hadir bersama negeri-negeri lain yang terluka. Sebuah gedung teaterpun dinamakan Palestina, agar masyarakat tetap tersadarkan bahwa di tengah kebahagiaan yang mereka rasakan, ada sesamanya yang masih berduka.

Puncak penggalangan solidaritas bagi rakyat Palestina adalah dinobatkannya Jumat terakhir bulan Ramadhan sebagai hari Quds Sedunia. Sudah lebih dari 30 tahun, masyarakat terfasilitasi untuk mengekspresikan solidaritas mereka bagi bangsa Palestina. Berbagai lapisan masyarakat tua, muda juga perempuan turut bergabung.


Aku sering tak dapat menahan haru saat melihat demonstran cacat yang didorong dalam kursi rodanya, turut bergabung dalam aksi Palestina. Tidak sedikit pula para ibu yang membawa bayinya turun ke jalan, padahal terkadang musim kurang mengijinkan, saat panas mentari terlalu kuat membakar atau angin dingin begitu mencengkram. Entah semangat apa yang ada dalam diri ibu-ibu sederhana itu, berjalan cepat sambil sesekali menyuarakan yel-yel "Marg bar Israel Marg bar Amrika" (yel-yel yang mengutuk keterlibatan kedua negara itu dalam kekacauran di Timur Tengah) menempuhi jarak yang tidak pendek, membelah jalan Azadi hingga bundaran Palestina.

Barangkali, sebuah semangat sama yang saat ini mengantarkanku dan keluarga kecil ini ke jalan Enqelab untuk bergabung dalam aksi damai mendukung perjuangan rakyat Palestina dan Gaza melawan penjajah Israel. Dalam dekapan angin musim dingin, kaki ini bersama puluhan kaki-kaki lain terus bergerak menyuarakan empati untuk Gaza, terutama bagi perempuan-perempuan yang berduka.

Sejak penyerangan rezim Israel ke Gaza pada akhir Desember 2008 lalu yang menelan korban lebih dari 700 orang dan sebagian besar adalah perempuan serta anak-anak, dukungan untuk Palestina terus mengalir dari seluruh penjuru dunia. Yel-yel "Save Palestine" atau "Free Free Palestine" terdengar dari sudut-sudut kota di Amerika Latin hingga ke jantung Eropa. Terlebih, empati ini kian memuncak di negara-negara muslim yang memang sejak awal mendukung perjuangan bangsa Pelestina, seperti Iran. Aksi-aksi semacam ini kerap digelar di berbagai tempat dari mulai sekolah-sekolah dan kampus, masjid-masjid hingga puncaknya hari ini masyarakat berduyun menuju bundaran Palestina selepas menunaikan shalat Jum'at.

Debu-debu jalanan yang menari dan berputar di angkasa, juntaian kain-kain hitam dari lautan manusia membawaku pada sebuah lorong waktu di tahun 61 hijriah, saat tanah Karbala baru saja memerah. Di lorong-lorong Kufah iring-iringan perempuan dan anak-anak berjalan gontai di kawal pasukan lengkap bersenjata. Mereka diperlakukan bak tawanan setelah sebelumnya menyaksikan langsung darah bersimbah di tubuh orang-orang yang dicintainya, sebuah luka sejarah. Peristiwa yang mencabik-cabik hati nurani setiap manusia yang membacanya.

Tapi ajaib, Zainab binti Husain, pemimpin perempuan dalam rombongan itu sungguh berhati teguh. Saat menjawab pertanyaan penguasa Kufah tentang perasaannya, ia berkata lantang: "Aku tidak melihat semua ini, melainkan keindahan" Sejarah lalu mengabadikan nama Zainab lewat pidato panjang yang dinilai berhasil meruntuhkan kepongahan penguasa saat itu. Zainab pula yang membawa pesan Karbala hingga bertahun-tahun kemudian tetap dikenang oleh puluhan generasi setelahnya. Hari-hari ini, para perempuan di dunia Islam mengunduh semangat yang dulu pernah diledakkan srikandi bernama Zainab.

Antara Gaza dan Karbala, terpisah rentangan waktu yang teramat panjang, tapi ada banyak kesatuan cerita yang menghubungkan dua peristiwa besar sejarah itu, tentang ketidakadilan, tentang perlawanan dan tentang perempuan-perempuan yang gemilang di tengah ladang kedukaan. Dari sudut jalan Enqelab ini, bersama Michael Heart ingin kulantunkan sanandung cinta untuk saudara-saudarku di Gaza sana "You can burn up our mosques and our homes and our schools. But our spirit will never die"

Oleh: Afifah Ahmad

Tehran, Desember 2009
Ditulis setahun lalu saat mengikuti demonstrasi mengenang perlawanan masyarakat Gaza atas Invasi Israel.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.