Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » ABRI di DPR Pada Masa ORBA

ABRI di DPR Pada Masa ORBA

Pada makalah kali ini, kekuatan politik yang akan dibahas adalah kekuatan politik ABRI atau TNI dalam dinamika politik di Indonesia. ABRI atau TNI yang merupakan intitusi milter tentunya mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika politik di Indonesia. Melihat sejarah yang ada, anggota militer pun bisa menjai seorang pemimpin negara. Contohnya bisa kita lihat secara jelas yaitu, Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang petinggi militer yang berkecimpung di dunia politik

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar.

Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak di bidang keamanan dan pertahanan di Indonesia.

Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan negara saja tetapi di setiap permasalahan yang mucul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep ‘Jalan Tengah’.

Pada saat ABRI lahir, ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang kurang kuat, kekuatan ABRI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat dwi-fungsi ABRI bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak dibidang pertahana dan keamanan serta dibidang sosial-politik Indonesia.

Fungsi ABRI ini kemudian diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta dicantumkannya fungsi ABRI sebagai ‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No. 20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai Dwifungsi ABRI ini, diperkukuh kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD 1945.

Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21 mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30 mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam usaha membela negara , kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas bahwa ABRI mempunyai peran Dwifungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sosial-politik.

Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pemerintah mendukung sifat Dwifungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa bergerak tidak hanya dibidang hankam tapi juga bidang sosial-politik terutama setelah diperkukuh melalui berbagai undang-undang. Peran ABRI dalam bidang hankam tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI menjadi salah satu faktor pendukunga yang kuat ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu.

Ketika itu namanya memang belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang hankam adalah ketika pemberontakan PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik di negara-negara tersebut.

Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-ruler. Undang-undang mengenai Dwifungsi ABRI memudahkan para anggotanya untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara informal.

jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang formal maupun informal.

Setelah semuanya berjalan cukup lama, kelamaan sifat Dwifungsi ABRI ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsi ABRI. Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas.Karena dapat bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhuan mengenai sifat Dwifungsi dalam undang-undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama dari sisi birokrasi kepemerintahan.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi-divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara.

namun yang dirasakan masyrakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan yang lebih halus terlebih dahulu.

Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara.

Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI. Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok antara menjalankan kewajiban –atau lebih tepatnya membela majikannya- dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi masyarakat.

ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya. Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia. Konflik ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin Dwifungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demo yang bermaksud untuk menumbangkan peran Dwifungsi ABRI.

Beberapa pengamat politik mengatakan, sebaiknya ABRI kembali pada posisi semula, yaitu sebagai alat pertahanan negara saja, dengan kata lain meninggalkan peran Dwifungsinya. Sedangkan PDI Perjuangan menyatakan bahwa kekuatan politik riil ABRI tetap merupakan suatu hal yang harus diperhitungkan.

PDI Perjuangan lebih memilih bersikap realistis dengan mengatakan bahwa perubahan dan penghapusan peran Dwifungsi ABRI tidak bisa dilakukan secara mendadak. Alasannya, masyarakat Indonesia sudah sekian lama terbiasa hidup dengan doktrin tersebut, sehingga jika Dwifungsi dilepas sama sekali, hal yang mereka takutkan adalah masyarakat awam yang belum matang secara politik akan bertambah bingung.

Legitimasi atas Dwifungsi ABRI pada tatanan Peraturan Perundang-Undangan memberikan ruang bagi ABRI dalam skala struktural maupun personal untuk berkecimpung secara langsung dan terlibat pada konstelasi politik nasional termasuk untuk memberikan keputusan-keputusan politik atas kebijakan di lingkup Pemerintahan. Hal ini dikarenakan ABRI memiliki kursi di DPR / MPR dalam kurun waktu tertentu.

Dominasi politik ABRI yang bertumpu pada konsep Dwifungsi memasuki babak baru pada saat runtuhnya rezim Pemerintahan orde baru.Dwifungsi ABRI sebagai satu konsep politik yang menempatkan ABRI sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam suprastruktur maupun infrastruktur mulai dianggap sebagai bentuk legitimasi ABRI untuk mempertahankan status quo dan menunjukkan sikap anti perubahan yang sangat bertolak belakang dengan tuntutan reformasi dan semangat kedaulatan rakyat yang menghendaki demokrasi dan kebebasan, karena meskipun Dwifungsi ABRI dalam perkembangannya dianggap merupakan konsensus nasional atau bahkan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Demokrasi Pancasila, namun dalam aktualisasinya justru menjadi satu kekuatan yang dominan dalam pemerintahan. Oleh karena itu pada titik kulminasi reformasi menghendaki dihapuskannya dwifungsi ABRI dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Pada tanggal 10-13 November 1998, MPR melaksanakan Sidang Istimewa sebagai upaya untuk merespons dan mengakomodasi aspirasi seluruh rakyat Indonesia dalam pelaksanaan agenda reformasi nasional secara konstitusional. Salah satu hasil ketetapan yang dihasilkan MPR adalah Ketetapan MPR No. XIV / MPR / 1998 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 1 ayat 7 butir (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa :

1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas anggota partai politik hasil Pemilihan Umum dan anggota ABRI yang diangkat.

2. Pengangkatan anggota ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah dilakukan pengurangan jumlahnya secara bertahap dan selanjutnya diatur dengan Undang-undang.

ABRI sebagai salah satu komponen bangsa sudah seharusnya mengikuti rule of game yang ada di Negara Kesatuan republik Indonesia di mana ABRI berkewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. ABRI sebagai bagian dari rakyat sudah semestinya memerhatikan aspirasi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penghapusan dwifungsi ABRI yang dalam aktualisasinya dinilai terlalu besar melibatkan ABRI di dalam tatanan politik dan Pemerintahan.

Di tahun 2000 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor VI / MPR /2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII / MPR / 2000 yang memisahkan antara TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) dan POLRI yang dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

TNI selanjutnya diembankan tugas untuk menjaga pertahanan negara terhadap ancaman dari luar wilayah kedaulatan nasional, dan POLRI ditugaskan untuk menjaga keamanan negara terhadap ancaman dari dalam negeri. Kedua fungsi tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu sistem pertahanan dan keamanan yang tangguh guna menciptakan stabilitas nasional yang kokoh.

Pemisahan antara TNI dan POLRI memiliki arti penting dalam perkembangan sistem pertahanan dan keamanan nasional, sebab diketahui bahwa sesungguhnya integrasi antara TNI dan POLRI ke dalam struktur ABRI adalah hanya atas kebijakan Presiden Soekarno yang lebih didasarkan pada pertimbangan politis untuk lebih memudahkan pengendalian aparat di tahun 1963 dan bukan didasarkan pada aspek kepentingan nasional.

Hal ini menjadi nyata dengan diangkatnya pimpinan tertinggi setiap angkatan menjadi Menteri, sehingga Menteri / Panglima Angkatan Darat sejajar dengan menteri / Panglima Angkatan Kepolisian, semuanya berkedudukan sebagai Pembantu Presiden. Kebijakan integrasi satu atap selanjutnya juga diteruskan oleh Pemerintahan orde baru dengan pertimbangan politis yang sama, meskipun otonomi serta kekuasaan yang luas dari pimpinan kematraan baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara serta POLRI diambil alih Panglima ABRI yang sampai 1983 merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Keterlibatan ABRI semakin jauh berkurang dari kancah perpolitikan sejak dihapuskannya Dwifungsi ABRI. ABRI benar-benar menjadi lembaga yang mandiri sebagai kekuatan utama dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal 30 UUD NRI 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.

Dua fakta penting dalam semakin berkurangnya jumlah kursi yang di pegang oleh perwira militer dalam kabinet dan keputusan Soeharto pada tahun 1995 untuk mengurangi kursi abri di DPR. Pada kabinet tahun 1988-1993, terdapat sebelas menteri dengan latar belakang militer, dalam kabinet tahun 1993-1998, terdapat delapan menteri dengan latar belakang yang sama dan dalam kabinet. Kemudian turun lagi menjadi lima menteri yang berlatarkan militer. Di DPR fraksi ABRI juga harus menyerahkan 25 kursi dari 100 kursi yang dahulu didukinya. Fakta ini perlu diletakkan dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam konteks upaya Soeharto yang terus mempertahankan legalitas peranan politik ABRI.

Pada tahun 1992, misalnya ketika para akademisi Indonesia mulai membicarakan untuk memperkecil jumlah anggota ABRI di DPR, Soeharto mulai memberi reaksi keras. Tidak mungkin, katanya, bagi ABRI untuk melepas peranan politiknya dan semata-mata melaksanakan fungsi militernya. Dengan menuduh para akademisi tidak mampu memahami hakikat yang sesungguhnya makna Dwifungsi, Soeharto memberikan jaminan kepada perwira, yang disebutnya rekan-rekan perwira, yang mengunjungi peternakannya di Tapos, Jawa Barat, bahwa kehadiran ABRI dalam badan legislatif tidak hanya mewakili ABRI, tetapi juga untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepada ABRI oleh rakyat. Dia kembali mengulangi bahwa Dwifungsi angkatan bersenjata Indinesia memiliki landasan hukum yang kuat disamping alasan historis berdasarkan sejarah perjuangan Nasional.


Daftar Pustaka

1. Dr. Indria Samego et al, … Bila ABRI Menghendaki; Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI , MIZAN, Bandung, 1998.
2. Soebijono dkk., Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995.
3. Hisyam, Muhammad, Krisis Masakini dan Orde Baru, Obor, Jakarta, 2003.

Previous
« Prev Post

1 Komentar

  1. artikelnya sangat menarik, terimakasih sukses selalu

    ReplyDelete

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.