Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Di Balik Seruan Pembakaran Al-Quran

Di Balik Seruan Pembakaran Al-Quran

700 tahun lalu, bangsa Mongolia melakukan pembakaran kitab-kitab berharga di masa itu. Pembakaran itu terjadi pada abad pertengahan masehi. Sama sekali tidak terlintas di benak kita bahwa pembakaran semacam itu terulang kembali di masa sekarang ini. Belum lama ini, pendeta kontroversial, Terry Jones, menyerukan pembakaran Al-Quran. Tidak disangka, pembakaran Al-Quran itu terjadi pada abad 21 di Barat yang mengklaim sebagai pihak yang unggul dalam peradaban. Dengan demikian, praktik pembakaran bangsa Mongolia yang pernah terjadi ratusan abad lalu kembali dilakukan oleh Barat pada era yang disebut moderen ini.

Washington Tidak Serius

Bukan hal yang penting bahwa apakah Terry Jones, pendeta gereja di AS menangguhkan rencana pembakaran Al-Quran atau tidak? Akan tetapi upaya itu berhasil memprovokasi kalangan ekstrim di AS yang akhirnya melakukan penyobekan Al-Quran dekat kawasan bekas gedung kembar WTC yang menjadi saksi Peristiwa 11 September. Sekelompok orang lainnya juga berani melakukan penyobekan Al-Quran depan Gedung Putih. Penyobekan Al-Quran itu dilakukan di depan turis-turis yang tengah berjalan-jalan di sekitar Gedung Putih. Selain itu, acara pembakaran Alquran juga terjadi di dua gereja negara bagian Tennesse.

Aksi penyobekan dan penistaan Al-Quran itu tentunya membuktikan bahwa Barat bukan pendukung kebebasan berpikir dan berpendapat. Slogan itu hanya sebatas wacana semata. Sebelumnya, Presiden AS. Barack Obama di hadapan ratusan juta warga AS dan dunia menjelakan penghormatan pada Al-Quran dan ajaran-ajaran mulia kitab suci itu. Dikatakannya, "Islam bukan penyebab Peristiwa 11 September. Pelaku serangan itu adalah segelintir kelompok teroris yang menyimpang dari agama ini."

Pernyataan Obama itu hanya sebatas ucapan saja. Ketika terjadi aksi penyobekan dan penistaan al-Quran yang tentunya melukai ummat Islam di dunia, Obama tidak menindak para pelaku itu. Sejak Peristiwa 11 September 2001, para pejabat AS terus melakukan kebijakan radikal dan terhadap ummat Islam. Status muslim cukup dijadikan alasan untuk diperiksa secara ketat saat tiba di bandara AS. Bahkan pihak-pihak keamanan di bandara mengambil sidik jari setiap muslim yang turun di bandara AS. Bagi mereka, memeluk agama Islam itu sama halnya dengan melakukan tindakan kriminal. Para imigran muslim akan menghadapi kesulitan untuk mendapat surat izin tinggal di AS. Adapun para imigran yang non muslim akan dipermudah. Kebijakan luar negeri AS kian memperjelas wajah asli Washington yang bersikap sentimen terhadap dunia Islam. Irak, Afghanistan dan Pakistan yang semuanya adalah negara Islam dijadikan sasaran serangan dengan alasan sarang teroris.

Semua itu ditambah dengan film-film Hollywood yang berupaya menggambarkan Islam sebagai agama teroris. Dalam film-film produksi Hollywood digambarkan bahwa para teroris melakukan shalat dan membaca kitab suci Al-Quran. Imej yang berusaha mengindentikkan Islam dengan teroris, terus dibangun dan dipublikasikan, sehingga warga AS dan dunia kian berburuk sangka pada Islam. Meski terorisme itu dikendalikan kelompok Al-Qaedah, tapi propaganda media berupaya mengesankan bahwa terorisme itu identik dengan Islam, bukan kelompok Al-Qaedah.

Taliban yang juga kelompok terdekat dengan Al-Qaedah, menjadi alat AS untuk mengendalikan Afghanistan. Kelompok ini mempunyai hubungan kuat dengan AS dan mitra-mitranya di Arab. Kelompok ini dikoordinasi dengan melibatkan para jenderal Pakistan. Taliban mendapat dukungan dana yang tidak sedikit dari AS dan sejumlah negara Arab. Padahal Taliban dapat dikatakan sebagai minoritas, tapi AS berupaya mengkoordinasi kekuatan minoritas ini untuk menjaga kepentingannya di Afghanistan. Dengan cara itu, AS dapat menempatkan pasukannya di Afghanistan dan mengeruk sumber-sumber kekayaan alam di negara ini.

Para pejabat AS ketika memojokkan Islam dan mengesankan agama ini sebagai ancaman teroris, mengabaikan dampak-dampak sosial dan budayanya. Pada dasarnya, pembakaran Al-Quran itu adalah dampak dari propaganda miring selama 9 tahun. Dalam berbagai propaganda miring, Islam selalu dikesankan dengan terorisme. Propaganda miring yang dimulai dari Peristiwa 11 September dan agresi ke Afghanistan dan Irak dengan alasan memerangi terorisme, secara perlahan-lahan berubah menjadi konflik antar-agama.

Genderang Perang

Seruan pembakaran Al-Quran oleh seorang pendeta asal AS, Terry Jones sama halnya dengan penabuhan genderang anti-Islam. Meski pembakaran Al-Quran itu ditunda, tapi seruan itu membuka pintu bagi para penista nilai-nilai agama. Jones telah menyulut api yang akan berdampak pada sikap-sikap radikalisme.

Masyarakat dunia khawatir bahwa genderang anti-Islam ini sengaja ditabuh sebagai kebijakan AS untuk menguasai wilayah strategis di dunia. Apalagi Barat saat ini membutuhkan langkah cepat untuk menangani kondisi ekonominya yang kian terpuruk. Kali ini, agama menjadi sasaran kebijakan radikal Washington. Jika kondisi ini terus berlanjut, perang salib versi baru yang melibatkan masjid dan gereja akan kembali digelar.

Para pejabat AS ketika menyikapi seruan pembakaran Al-Quran, hanya mengeluarkan pernyataan sebatas verbal tanpa ditindak lanjuti dengan menindak para provokator. Bahkan pemerintah AS tidak mengerahkan polisi untuk mengantisipasi pembakaran Al-Quran yang rencana sebelumnya akan dilakukan di pada tanggal 11 September di area bekas WTC. Pejabat AS semestinya tidak hanya bersikap mengeluarkan statemen pada tingkat verbal, tapi juga harus menindak para povokator.

Pada faktanya, ummat Islam sangat menghormati kitab-kitab suci dan agama lainnya, bahkan mereka tidak menyamakan Yahudi dan kitab suci Taurat dengan ajaran Zionis Israel yang keji dan radikal. Ini menunjukkan bahwa ummat Islam sendiri malah bersikap ingin menyelamatkan kitab suci dan agama lain yang disalahgunakan oleh kelompok tertentu. Dalam menentang Zionis Israel, ummat Islam tidak pernah menghina Taurat dan Yahudi yang diklaim sebagai pedoman Zionis Israel. Muncul sebuah pertanyaan; Bila ummat Islam dalam mengecam Zionis Israel, menghina agama Yahudi dan Taurat, apakah para pemimpin Barat akan bersikap diam dan tidak bertindak apapun?

Para pejabat AS dalam menentang upaya pembakaran Al-Quran yang diserukan pendeta kontroversial, Terry Jones, menilainya sebagai langkah yang malah akan membahayakan para serdadu AS yang ditempatkan di Irak dan Afghanistan. Dengan ungkapan lain, apa yang dikhawatirkan AS adalah dampak yang akan merugikan negara ini. Washington sama sekali tidak menganggap penting penghormatan pada agama lain dan nilai-nilainya. Bagi Washington, perasaan ummat Islam tidaklah penting. Gedung Putih sepertinya lupa bahwa jutaan warga muslim AS dapat mengacaukan stabilitas Negeri Paman Sam.

Sikap Rahbar

Sementara itu, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyebut organisasi Zionis yang berpengaruh di pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai dalang utama penistaan Kitab Suci al-Qur'an.

Menyusul aksi penistaan al-Qur'an di AS, Rahbar dalam pesannya kepada seluruh umat Islam dunia menyebutkan bahwa Israel sebagai dalang yang mengorganisir aksi ini. Djelaskannya, "Pemerintah AS untuk menguatkan klaimnya bahwa mereka tidak terlibat dalam aksi ini. Untuk itu, Washington harus menindak tegas pelaku pelecehan al-Qur'an."

Beliau menambahkan, aksi pelecehan terhadap al-Qur'an berjalan dengan pengamanan polisi dan digelar oleh organisasi yang sejak semula mengagendakan Islamophobia dalam sistem kerjanya. Dalam pesannya Rahbar menandaskan, aksi ini adalah lanjutan dari serangkaian aksi anti Islam yang dimulai dari pengkhianatan Salman Rushdi, karikaturis Denmark dan produksi film anti Islam di Hollywood.

Ayatullah Khamenei menegaskan, tak diragukan lagi arsitek utama penistaan al-Qur'an ini adalah Zionis yang mengakar kuat di tubuh pemerintah AS, Inggris dan sejumlah negara Eropa, mengingat aksi ini digelar bersamaan dengan arogansi di Pakistan, Afghanistan, Irak, Lebanon dan Palestina.
Menurut Rahbar, kebencian utama kaum arogan dunia saat ini adalah Islam dan al-Qur'an. Iran menjadi musuh mereka karena Tehran dengan berani menentang arogansi mereka. Ditegaskannya, "Bohong jika mereka menyatakan tidak memusuhi Islam dan ummatnya." Dalam pesan ini ditekankan bahwa akar utama kebencian mereka terhadap Islam adalah pengaruh Islam yang kian besar di Barat.

Rahbar menyebut konflik antara Islam dan Kristen adalah harapan dan ambisi musuh. Beliau menjelaskan, peristiwa terakhir tidak berkaitan dengan Gereja dan umat Kristen. Gerakan sejumlah pendeta tolol tidak seharusnya dicatat atas nama umat Kristen. Rahbar menjelaskan, "Kita umat Islam tidak akan melakukan tindakan serupa terhadap kesucian agama lain karena ajaran al-Qur'an menentang hal ini."

SUMBER:http://indonesian.irib.ir

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.