Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Masalah kasus di Indonesia

Masalah kasus di Indonesia

Pendahuluan

Tahun 2011 merupakan tahun yang menunjukkan gejala pemberantasan korupsi yang kelihatan semakin menambah parah keadaan para elite Indonesia. Dari sekian banyak catatan, hal yang paling mengkhawatirkan tentu saja adalah kemampuan penegakan hukum untuk membongkar semua pelaku tindak pidana korupsi.  Kita mengetahui diantara kasus yang ada hingga kini tidak banyak memberikan sumbangan untuk membongkar kasus sesungguhnya, yakni perkara yang melibatkan Nazaruddin, dan yang terkini Nunun. 

Nazaruddin  yang menjadi tersangka setelah tertangkap banyak berjanji untuk membuka banyak hal. Bahkan, ia pun menjelaskan orang orang yang terlibat, tetapi hingga kini belum ada pemeriksaan kepada orang yang disebut Nazaruddin. Hal yang dikatakan Nazaruddin melalui media sangat sulit untuk kemudian di percaya begitu saja apa pun yang dikatakannya. Sulit untuk memberikan jaminan bahwa yang dikatakannya benarbenar merupakan upaya untuk memperjelas perkara, atau bisa jadi hanya sekadar memperkeruh. Mana yang benar dan mana yang pembenaran. Ada sekian banyak pengakuan yang sudah diberikan, tapi sangat jarang yang kemudian ditindaklanjuti.Baik Nazaruddin, maupun Nunun terlihat belum dipergunakan secara maksimal untuk membongkar yang lebih besar.

Menurut saya ini terjadi karena kasus ini melibatkan banyak petinggi partai dan juga karena menyeret begitu banyak kegiatan internal kepartaian. Kegagalan mengungkap perkara ini secara terang-terangan akan mengancam kemampuan negara ini untuk memberantas korupsi. Parahnya lagi orang yang diberi kekuasaan atau tugas untuk bongkar kasus-kasus ini sering kali diragukan kemauannya untuk membongkar segalanya. Dalam banyak kesempatan, ada yang ditutupi, bahkan terlihat tidak konsisten dalam memberikan keterangan. 
Begitu pula dengan Nunun. Setelah sekian lama buron, ia akhirnya tertangkap, meski masih belum ditanyakan kasusnya secara maksimal untuk membongkar mafia pengusaha yang menjadi penyuap untuk menempatkan antek kepentingan dalam jabatan deputi gubernur senior di Bank Indonesia.

Tapi hingga kini,penegakan hukum masih belum maksimal untuk menyelesaikan kasusnya. Bahkan,orang yang paling diuntungkan dalam penyuapan tersebut juga belum dapat diungkap. Hanya sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menikmati uang sogokan tersebut, yang kemudian sudah menjalani proses hukum. 

Dari serangkaian aksi-aksi menghebohkan diatas muncul Sondang Hutagalung yang memperotes ketimpangan pengurusan Hukum, Ham, serta yang paling penting adalah carut marutnya para pemangku jabatan publik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat umum. Dia melakukan aksi protes dengan cara yang berbeda yaitu membakar dirinya sebagai tanda perlawanan dia terhadap penguasa tiran. 

Kasus Nazaruddin

Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus wisma atlet SEA Games, Nazaruddin bisa dengan mudah lolos dari tangkapan aparat keamanan. Tidak hanya itu selama hampir tiga bulan dalam pelariannya, Nazaruddin menghubungi berbagai kantor redaksi media massa untuk membeberkan siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Setiap hari media massa menjadikan Nazaruddin sebagai berita utama.

Pemberitaan media mengarah pada dirinya. Tanpa terkecuali ketika Nazaruddin tertangkap di Kolombia, hingga pemulangannya yang harus menggunakan pesawat yang dicarter KPK seharga Rp 4 miliar. Kalangan jurnalis dengan setia menunggunya selama berjam-jam. Namun sudah dapat di tebak dalam pelariannya itu dia membeberkan semua siapa saja yang yang terlibat, justru saat dia dibawa ke Indonesia Nazaruddin bungkam ketika ditanya media dan diinterogasi KPK. Nazaruddin menyatakan lupa semuanya dan ingin divonis tanpa melalui proses hukum.  

Menurut penulis semua kejadian itu menunjukkan Nazaruddin sedemikian menyadari bagaimana media bekerja dalam artian bahwa inilah era tontonan politik dan politik tontonan. Tontonan politik menunjukkan bagaimana politik yang memuat pertarungan kekuasaan telah hadir sebagai sajian yang menyenangkan bagi kehidupan publik.  Ketika politik telah berhenti mengurusi permasalahan-permasalahan publik, yang tersisa sekadar tontonan yang menghadirkan konflik di antara elite-elite partai yang sedang berkuasa. Tontonan politik merupakan sinetron kekuasaan yang meskipun membosankan dan menyebalkan, tetap layak terus diberitakan. 
Publik masih teringat bagaimana suara-suaranya yang menebarkan berbagai tudingan melalui media ke arah rekan-rekan separtainya. Politik tontonan yang digelarnya itu, pada kenyataannya, memiliki efek yang kuat. Berbagai pembicaraan, analisis, bahkan simpati, terus tertuju ke arahnya. Nazaruddin dalam keadaan terjepit menjadi sang pemenang, sementara teman-teman separtainya yang mendapatkan tudingan darinya berubah sebagai pecundang.

Jurnalis dan publik amat terhipnotis dan terkesima dengan sosoknya. Publik tidak pernah melihat buronan KPK dan kepolisian negara itu secara langsung. Apa yang mampu ditangkap publik hanyalah gambar dan suara Nazaruddin belaka. Tapi, Nazaruddin tetap bisa menyedot perhatian massa secara luar biasa.  Berbagai bincang televisi digelar. Para komentator politik diundang. Berbagai laporan dan analisis terhadap Nazaruddin dipampangkan. Itulah fenomena yang dinamakan politik tontonan yang hanya memberikan komentar tetapi setalah Nazaruddin di tangkap kasusnya tidak lagi di sorot, bahkan sekarang ini  ditangkapnya nazaruddin tidak berpengaruh pada pengusa atau setidaknya membuat penguasa gerah.

Persoalan-persoalan kompleks yang melibatkan kekuasaan politik dan korupsi yang menyelimuti kasus Nazaruddin telah dipertunjukkan media. Dalam masyarakat tontonan, segala persoalan yang rumit terasa menjadi ringan dipikirkan. 

Pada konteks ini, Debord menyatakan ketika dunia yang nyata berubah menjadi imaji-imaji yang sederhana, imaji-imaji yang sederhana itu menjadi keadaan yang nyata. Media telah mengonstruksikan kompleksitas persoalan korupsi Nazaruddin sebagai konflik antara faksi-faksi dalam Partai Demokrat. Padahal, sangatlah mungkin, persoalannya tidak sesederhana itu. Boleh jadi, faksi-faksi yang bertikai dalam partai yang sedang berkuasa itu sama-sama menikmati hasil korupsi Nazaruddin.

Nazaruddin mungkin menjadi salah satu aktor intelektual korupsi, tapi karena kemampuannya dalam membaca bagaimana media bekerja, Nazaruddin berhasil memanfaatkan media. Lebih dari itu, media menjadi forum bagi Nazaruddin membela dan membongkar borok politik rekan-rekannya.

Dalam kajian media terdapat teori pengaturan agenda yang berisi pengandaian: apa pun yang diprioritaskan media menjadi pembicaraan utama dalam kehidupan publik. Media dianggap memiliki kekuatan yang berlebih daripada publik itu sendiri.  Teori pengaturan agenda yang telah sangat klasik itu kini mendapatkan pembaharuan. Ini karena, dalam berbagai peristiwa politik, justru seseorang yang menjadi sorotan publik dapat mengatur agenda media. Nazaruddin mengerti benar situasi ini meskipun dia belum tentu pernah mempelajari teori-teori media. 

Bukan menjadi realitas yang janggal jika selama dalam pelariannya Nazaruddin mengontak sejumlah redaksi media. Begitu pula ketika Nazaruddin bungkam, pasti akan menjadi sorotan media. Nazaruddin mendapatkan keuntungan, demikian pula pihak media. Itulah simbiosis mutualisme antara media dan Nazaruddin. Nazaruddin juga menyadari kedudukannya sebagai buronan sebenarnya juga berstatus sebagai pemegang kotak pandora. Dalam pemahaman kontemporer, Pandora yang pada awalnya sosok yang cantik dan menyenangkan, kini berubah sebagai figur yang membawa malapetaka. 

Pandora adalah profil yang sedang melampiaskan dendam karena pernah disia-siakan. Bukankah itu pula yang sekarang dialami Nazaruddin? Ketika berada dalam Partai Demokrat, Nazaruddin berhasil menggapai posisi istimewa sebagai bendahara umum yang bertugas menjadi mesin uang.  Tapi, ketika skandal korupsi yang membelit partai bersimbol berlian itu hanya diarahkan pada dirinya, Nazaruddin meronta dan memberontak. Perlawanan ala Pandora yang dilakukan Nazaruddin itu telah menjadi tontonan politik. Namun, media dan publik pada akhirnya paham: semua tontonan itu ialah siasat politik semata.

Kasus Nunun Nurbaeti

Siapa yang tidak kenal wanita satu ini? Dialah Wanita yang menjadi buron terkait masalah dugaan suap senilai tak kurang dari Rp 24 miliar. Akhirnya Nunun Nurbaeti ditangkap pada hari Jumat sore di Bangkok, Thailand. Dia tiba di Indonesia dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum ditanyai tentang kasus yang dialaminya.  Nunun dituduh mendistribusikan suap kepada anggota parlemen, agar memenangkan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur BI.

Sementara beberapa anggota parlemen yang menerima suap telah dikurung, Nunun, yang merupakan tersangka kunci, melarikan diri ke Singapura sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan larangan perjalanan terhadap dirinya. Dia kemudian dilaporkan bepergian ke Kamboja sebelum  di tangkap di Bangkok, Thailand.

Nunun selama ini telah telah memberikan bangsa ini teka-teki bagaimana cara memecahkan kasus ini. Karena seprti yang diberitakan media selama ini dia diberitakan kabur ke luar negeri dan pada akhirnya di tangkap juga. Dia sering menyatakan bahwa ia pergi ke luar negeri untuk perawatan medis. 

Harapan untuk melawan korupsi bangsa semakin meningkat setelah penangkapan Nunun. Sekarang giliran KPK untuk mengungkap lingkaran setan tersangka korupsi, terutama yang melibatkan politisi dan konglomerat bisnis. 

Penangkapan Nunun tidak akan menjadi kisah sukses besar jika KPK kehilangan jejak profil tinggi tersangka korupsi dan pemodal besar politik mereka. KPK melakukan hal yang benar dengan menahan para politisi. Namun, seharusnya tidak hanya fokus pada mereka yang diduga menerima suap, tetapi juga pada orang-orang yang membayar mereka. 

Penangkapan Nunun seharusnya untuk mengkonsolidasikan elit politik negara itu melawan korupsi sebagai musuh bersama. Jangan sampai kemauan politik memberantas korupsi yang telah ditunjukkan secara meyakinkan oleh pemerintah ternyata sekadar didorong oleh kesadaran yang mengandung kepalsuan. Artinya, kesadaran yang muncul secara tiba-tiba karena hanya mengejar tujuan atau agenda politik sempit golongan politik dalam pemerintahan atau yang ingin berkuasa, bersifat temporer dan dangkal.

Pandangan itu penting dikemukakan mengingat masih banyak pengamat antikorupsi yang menyinyalir bahwa yang dilakukan pemerintah dalam konteks pemberantasan korupsi hanya adegan sandiwara. Maksudnya, ketika pemerintah terdesak oleh kepungan politik pesaing mereka yang tidak berada di pusat pemerintahan, apalagi disertai dengan ancaman penggunaan hak politik yaitu hak menyatakan pendapat maka reaksi yang muncul adalah menciptakan bargaining politik dengan cara mencari tumbal, bisa jadi seperti yang dilakukan terhadap Nunun.  Meskipun kekuatan besar melindungi Nunun dengan sarana keuangan yang kuat, penangkapan menunjukkan bahwa masih ada sedikit harapan yang bisa dicapai untuk membongkar kasus yang dialami nunun.

Kasus Sondang Hutagalung

Beberapa saat yang lalu kita dikejutkan oleh aksi nekat bin gila Sondang Hutagalung, aktivis Mahasiswa, yang melakukan bakar diri di depan istana Kepresidenan. Sondang mungkin bisa benar atau salah dalam tindakan nekatnya itu. Sondang Hutagalung memprotes berbagai pelanggaran HAM yang terjadi, selain itu ia juga memprotes semakin bercokolnya Kapitalisme di Indonesia yang membuat rakyat semakin sengsara. Penguasa mengesahkan pertambangan-pertambagan tetapi mengabaikan masyarakat sekitar pertambangan, yak akhirnya semakin memperburuk ekonomi masyarakat. Akibatnya Sondang rela memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa untuk melawan kedikdatoran penguasa harus rela mengorbankan apapun, termasuk mengorbankan diri sendiri.  

Setuju atau tidak Sondang telah berusaha mencoba membawa kita kepada kesadaran penting bahwa kita tak mungkin bertinggal diam dan membiarkan sekelompok kecil penguasa menguasai segala hal di negara ini, dan dengan begitu mudahnya mereka membalikkan keadaan seperti yang mereka inginkan.   

Menurut saya keadaan yang membuat Sondang melakukan aksi bakar diri karena dia tidak melihat perubahan akibat demonstrasi yang hanya sekedar dengan teriak-teriak di jalan,oleh sebab itu dia melakukannya dengan aksi yang berbeda dengan membakar dirinya sendiri sehingga dapat menggugah hati para penguasa dan masyarakat agar tidak berhenti melawan penguasa yang korup dimana mereka harus melihat betul akan gawatnya keadaan negara yang sebenarnya. 

Ada satu fakta yang di jelaskan di media elektronik bahwa seandainya Sondang Hutagalung seorang muslim dan juga aktivis dakwah, dan ia melakukan aksi bakar diri, maka ia langsung dicap Teroris. Pembahasannya yang akan timbul di media bukanlah latarbelakang aksi nekat yang di lakukan dan apa pelajaran yang diberikan. Namun akan timbul suatu paradigma bahwa sondang yang menganut Islam dari aliran tertentu merupakan teroris yang tidak layak di berikan simpati. Namun seperti yang kita ketahui Sondang Hutalagung bukanlah seorang muslim, sehingga aksi bakar dirinya justru mendapat simpati besar-besaran.

Terlepas dari dia seorang muslim atau tidak, menurut saya protes yang dilakukan sondang tidak lain ditimbulkan oleh sistem Kapitalisme yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyengsarakan rakyat di Indonesia, yang kapitalisme didukung secara kuat oleh penguasa. 

Para Kapitalisme di indonesia (yang dikuasai Amerika) didukung oleh pengusa membangun tambang-tambang emas, gas, baja. Dll. Secara bebas tanpa mengetahui apakah masyarakat setuju atau tidak. Perusahaan-perusahaan Tambang yang merampok kekayaan alam kita dan dengan manisnya membohongi rakyat kita dengan iklan-iklan di televisi, bahkan tidak jarang dalam film tidak lupa disusupi doktrin tentang kebaikan perusahaan tambang agar membuat perusahaan itu di terima di masyarakat. 

Contoh kasus Perusahaan PT New Mont di NTB melalui media berusaha menampilkan peran perusahaan tambang tersebut melalui film “SERDADU KUMBANG” agar masyarakat disana melihat peran PT New Mont sangat membantu masyarakat, padahal jika dilihat dalam kenyataannya PT tersebut masih menyengsarakan rakyat Sumbawa dilihat dari dampak Limbah pabrik, perekrutan pegawai yang didominasi oleh asing, hanya segelintir masyarakat Sumbawa yang bisa bekerja di perusahaan tambang itu. Sangat berlainan ketika diperlihatkan melalui fil Serdadu Kumbang yang memperlihatkan PT tersebut membantu masyarakat miskin. Jika contoh secara umumnya seperti iklan Exxon Mobile, dan yang terbaru chevron yang  dalam iklannya mengatakan bahwa perusahaan itu seolah berjasa telah menyediakan energi panas bumi untuk 9 juta lebih rakyat Indoensia, padahal kita harus membelinya dengan harga mahal atas energi itu yang sesungguhnya milik kita, sebuah kebohongan publik yang juga melibatkan bintang iklannya juga.

Saya setuju dengan perkataan bung Karno yang secara jelas mengatakan biarkan kekayaan alam Indonesia tetap berada di perut bumi, sampai anak cucu kita kelak bisa mengolahnya.  Rakyat Indonesia hanya dijadikan bangsa konsumen, tidak boleh memproduksi, tidak jarang membuat pola pikir masyarakat Indonesia menjadi konsumtif. 

Oleh karena itulah menurut penulis motif dari Songdang untuk memperotes ketidak adilan di Indonesia dengan cara yang berbeda agar di dengar oleh penguasa dan di sadari oleh masyarakat Indonesia. Mungkin saja Songdang Ingin melakukan aksi membakar diri seprti di Tunisia yang dilakukan oleh Bouazizi yang akhirnya dapat menyadarkan masyarakat dan menggulingkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali, Bahkan revolusi tersebut kemudian memberikan inspirasi di kawasan Timur Tengah untuk menggulingkan penguasa Tiran.

Namun sayangnya pengorbanan Sondang tidak di Imbangi dengan budaya masyarakat Indonesia yang serba menerima, agaknya sulit berharap akan terjadi pergerakan untuk melakukan aksi yang lebih besar lagi. Ketika kejadian-kejadian tersebut muncul dimedia pemerintah cukup mencounternya dengan ucapan “turut berduka” atau “turut prihatin”. Maka keluarga korbanpun akan segera melupakan anggota keluarganya. Menurut penulis budaya masyarakat indonesia yang sangat kental akan dengan nerima saja dan di ikuti dengan pola pikir kedekatan etnik semakin memperparah lagi akan terjadinya pergerakan yang lebih besar lagi. Kedekatan etnik yang saya mksudkan adalah Kalau Sondang Hutagalung adalah pemuda asli Batak, maka dalam kasus kematiannya yang paling mungkin untuk bergerak adalah etnik Batak kalau bukan hanya marga Hutagalung saja.  

Seandainya jika media terus menerus menyoroti kasus Sondang, maka tidak mungkin akan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk melawan pemerintah,bukan menyoroti aksinya tetapi menyoroti penyebab dia melakukannya. Sayangnya lagi-lagi media hanya menyoroti kasus ini hanya beberapa hari saja yang pada akhirnya tidak membuat masyarakat mengerti akan kebobrokan penguasa. Justru masyarakat tidak mengambil pelajaran dari kasus Sondang Hutagalung malah mereka membenci dan menganggap sebagai orang yang putus asa.

Kesimpulan
    
Sudah saatnya kasus-kasus yang ada di tuntaskan secara menyeluruh oleh penegak hukum, dengan syarat penegak hukum mempunyai niat untuk menyelesaikan masalah yang ada di negeri ini tanpa niat tidak mungkin akan tercapai mewujudkan negari yang aman, damai, dan bebas korupsi dan mampu membawa masyarakat lebih sejahterah. Kasus yang dialami Nazaruddin dan Nunun dijadikan sebagai cambuk agar penegak hukum mampu bekerja keras dalam memberi sangsi para koruptor. Tidak ada pandang bulu jika bersalah wajib di hukum seperti yang telah di tetapkan Undang-undang. Sudah saatnya menegakkan hukum yang adil, jangan samakan orang yang mencuri sandal dengan koruptor. Kasus yang dialami sekarang ini seorang anak yang mencuri sandal diponis 5 tahun, hukuman tersebut sama dengan hukuman para koruptor.
    
Dengan adanya kesejahteraan bagi masyarakat pemakalah yakin tidak akan ada kasus seperti yang dialami Sondang Hutagalung yang rela membakar dirinya untuk membuktikan kepada masyarakat Indonesia bahwa kita di jajah oleh para kapital yang didukung oleh penguasa yang selalu memberikan izin kepada perusahaan tambang untuk mengeruk kekayaan Indonesia dan mengabaikan dampak eksternalitas. Lebih baik para penguasa meresapi kata Bung Karno yang lebih memilih untuk menyimpan kekayaan alam Indonesia jika masyarakat belum bisa mengambil manfaat sepenuhnya dari alam, lebih baik kekayaan alam itu sebagai tabungan anak cucu kelak, bukan anak cucu di lahirkan dengan lobang-lobang raksasa bekas pertambangan yang sudah tidak ada gunanya.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.