Makalah Ini Saya Buat Dalam tugas
Mingguan Isu-isu Politik Kontemporer
Oleh : Agil Shafi
Makna
Globalisasi
Menurut asal katanya, kata
"globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan
Globalisasi adalah suatu proses
menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di
dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi dipandang sebagai
suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama
lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[1]
Globalisasi cenderung berpengaruh
besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang
lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan
istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi
yang dimaksudkan dengan globalisasi:
- Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
- Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
- Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
- Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
- Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Pengaruh Globalisasi
Pengaruh
positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme[2]
:
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan
demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika
pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat
tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa
nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat dan dengan
adanya globalisasi yaitu diantaranya pemerintah yang ada dilaksanakan secara
transparan, demokratis dan penuh kebebebasan. Dengan adanya keterbukaan akan
dapat dicegahnya praktek KKN untuk menuju pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Dengan adanya pemerintahan yang demokratis akan meningkatkan
partisiasi rakyat dalam pemerintahan. Rakyat akan percaya terhadap penguasa
yang menjalankan pemerintahannya. Pemerintah akan memperoleh legitimasi dari
rakyatnya. Masyarakat yang demokratis pun akan kritis terhadap jalannya
pemerintahan. Dengan begitu akan ada check and balance, sehingga dapat
dihindari adanya penyalahgunaan kekuasaan, maupun praktek pemerintahan yang
menyeleweng dari konstitusi.
2.
Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut
akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional
bangsa.
3.
Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik
seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang
sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan
bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
Pengaruh
negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme :
1.Globalisasi mampu meyakinkan
masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran.
Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke
ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme
bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi,
hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar
negeri yang membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap
produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat
kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak
muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya
hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap
sebagai kiblat.
Tantangan Globalisasi Bagi
Masyarakat Muslim
Dewasa ini dunia sedang mengalami
proses yang sering disebut dengan istilah globalisasi, proses mendunia akibat
kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang
telekomunikasi dan transportasi.[3]
Globalisasi mengakibatkan orang tidak lagi memandang dirinya sebagai hanya
warga suatu negara, melainkan juga sebagai warga masyarakat dunia. Ia
tidak lagi menganggap benar nilai-nilai yang selama ini dianut oleh masyarakat
kampung, kota, propinsi, atau bangsanya, melainkan mulai membandingkannya
dengan nilai-nilai yang dia pelajari dari bangsa lain. Dalam bekerja pun,
ia tidak lagi memandang wilayah negaranya sebagai tempat mencari nafkah,
melainkan ia meluaskan pandangannya ke seluruh kawasan dunia sebagai lahan
tempat ia mencari nafkah.
Globalisasi ini membawa dampak
positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan ummat kita. Dampak
positif, misalnya, makin mudahnya kita memperoleh informasi dari luar sehingga
dapat membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan
masalah yang kita hadapi. (Misalnya, melalui internet kini kita dapat
mencari informasi dari seluruh dunia tanpa harus mengeluarkan banyak dana
seperti dulu. Demikian pula, dalam hal tenaga kerja, dana, maupun
barang). Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antar negara berarti makin
terbukanya pasar dunia bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang atau
jasa (tenaga kerja).
Dampak negatifnya adalah masuknya
informasi-informasi yang tidak kita perlukan atau bahkan merusak tatanan nilai
yang selama ini kita anut. Misalnya, budaya perselingkuhan yang dibawa
oleh film-film Italy melalui TV, gambar-gambar atau video porno yang masuk lewat
jaringan internet, majalah, atau CD ROM, masuknya faham-faham politik yang
berbeda dari faham politik yang kita anut, dsb. di bidang ekonomi,
perdagangan bebas juga berarti terbukanya pasar dalam negeri kita bagi barang
dan jasa dari negara lain.
Dalam kaitannya dengan ummat Islam
Indonesia, dampak negatif yang paling nyata adalah perbenturan nilai-nilai
asing, yang masuk lewat berbagai cara, dengan nilai-nilai agama yang dianut
oleh sebagian besar bangsa kita. Mengingat agama Islam adalah agama yang
berdasarkan hukum (syari’ah), maka perbenturan nilai itu akan amat terasa di
bidang syari’ah ini. Globalisasi informasi telah membuat ummat kita
mengetahui praktek hukum (terutama hukum keluarga) di negeri lain, terutama di
negeri maju, yang sebagian sama dan sebagian lagi berbeda dari hukum Islam.[4]
Keberhasilan negara maju yang sekuler dalam bidang ekonomi telah membuat segala
yang berasal dari negara tersebut tampak baik dan hal ini dapat menimbulkan
keraguan atas praktek yang selama ini kita anut. Contoh hukum Islam yang
berbeda dari hukum sekuler di negeri maju antara lain: hukum waris, kedudukan
wanita dan pria dalam perkawinan, kedudukan anak pungut/anak angkat dalam
keluarga, hak asasi anak, hak asasi manusia, hukum rajam, hukum potong tangan,
definisi zina, perkawinan campur, dlsb. Kemajuan teknologi di bidang
rekayasa genetik (cloning), misalnya, juga telah menimbulkan persoalan hukum
keluarga (waris dan perwalian).
Menghindari globalisasi sebagai
proses alami ataupun menghilangkan sama sekali dampak negatif globalisasi itu
barangkali tidak mungkin. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak
siap, kita harus menghadapi globalisasi ini dan menerima segala dampaknya,
negatif maupun positif. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi sebagai
kelompok elit ummat adalah: Bagaimana kita dapat memanfaatkan semaksimal
mungkin dampak positif globalisasi itu dan meminimalkan dampak negatifnya yaitu
dengan meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Logikanya, dengan iman dan taqwa yang teguh, maka segala macam godaan untuk
menyimpang dari hukum Allah akan dapat ditepis.
Saran ini memang mudah diucapkan
tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan, mengingat kuatnya godaan dan gempuran
globalisasi ini, terutama oleh ummat yang awam. Apalagi kalau diingat
bahwa, agar berhasil secara nasional, peningkatan keimanan dan ketaqwaan ini
bukan hanya individual, melainkan juga kolektif. Secara individual, kita
mungkin bisa menyuruh diri kita sendiri, kalau kita mau, untuk melakukan
hal-hal yang dapat meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah. Namun,
untuk bisa meningkat secara kolektif, maka diperlukan usaha-usaha tambahan
untuk mempengaruhi orang lain agar mau melakukan hal-hal yang dapat
meningkatkan iman dan taqwa mereka. Kita perlu ‘reach-out’.
Dalam kalangan muslim, ini disebut dakwah.
Dakwah sering diartikan secara
sempit dengan menyeru orang untuk mengikuti ajaran Islam, biasanya melalui
ceramah (karena itu, yang disebut da’i biasanya adalah mereka yang suka
berceramah di pengajian). Namun, sebenarnya dakwah dapat diartikan secara
luas menjadi ‘segala perbuatan yang membuat orang tertarik kepada Islam atau
membuat Islam dikenal orang banyak’. Dengan arti ini, orang yang
melakukan kewajibannya sebagai muslim di tengah orang-orang non-muslim pun
dapat disebut sedang berdakwah. Ada sinyalemen bahwa di bidang inilah
kita, ummat Islam, amat lemah. Pernyataan seorang tokoh terkenal di masa
lalu bahwa ‘keindahan Islam tertutup oleh kejelekan ummatnya’ menunjukkan
kelemahan ummat Islam di bidang ini.
Beberapa faktor yang menunjang
keberhasilan dakwah adalah:
- keteladanan atas penghayatan dan pengamalan ajaran Islam
- pemahaman akan cara berfikir (budaya) orang yang menjadi sasaran dakwah (apakah mereka orang desa, kota, muslim, kristen, hindu, agnostik, dll.). Dalam agama Kristen, para anggota missi selalu mempelajari bahasa dan budaya masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya agar usaha missi mereka berhasil.
- teknik penyampaian yang tepat. Hal ini perlu agar ‘pesan yang baik’ tidak ditolah kanya karena cara penyampaiannya tidak tepat.
Ini jelas merupakan tantangan bagi
elit ummat Islam, yakni para ulama (yang jadi panutan/pedoman secara informal
di masyarakat), para pegawai Pengadilan Agama sebagai penegak hukum Islam
secara formal, sebagai tempat penyiapan para ahli hukum Islam secara
formal.
[1]
Globalisasi dan krisis demokrasi, Budi Winarno, 2007, hal 4
[2]
Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan, Martin Wolf, 2007 hal 26
[3]
Globalisasi: Persektis Sosialis, Ali Sugihardjanto, 2003, hal 41
[4]
Ibid, hal 56
DAFTAR PUSTAKA
Winarno,
Budi, Globalisasi dan Krisis Demokrasi,
2007, Jakarta: Gramedia.
Wolf,
Martin, Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan, 2007, Jakarta : Obor Indonesia.
Sugihardjanto,
Ali, Globalisasi : Perspektif Sosialis, 2003.
Berikan Komentar Anda