Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Imam Ali Zainal Abidin

Imam Ali Zainal Abidin

Pada suatu hari, terdengar seseorang menangis seraya menggumamkan kalimat, La ilaha illallah haqqan haqqa. La ilaha illallah ta’abudan wa riqqa. La ilaha illallah imanan wa shidqa…. (“Tidak ada tuhan kecuali Allah, yang sebenar-benarnya-Nya. Tidak ada tuhan selain Allah, dengan penuh penghambaan dan kelembutan hati. Tidak ada tuhan kecuali Allah, dengan keimanan dan ketulusan.”)

“Ya Sayyidi,” kata seseorang dari belakang menegur, “Apakah belum juga datang waktunya dukamu berhenti dan tangismu berkurang?”

“Bagaimana engkau ini, Yakub bin Ishaq adalah nabi dan putra nabi. Ia punya dua belas putra. Seorang di antara mereka hilang dan Yakub menderita. Matanya buta karena sering menangis dan rambutnya beruban. Padahal, anak yang ditangisinya masih hidup di dunia. Aku melihat Ayahku, saudaraku, dan tujuh belas saudaraku dibantai di depanku. Mungkinkah hilang dukaku dan berkurang tangisku?” jawabnya, seraya kembali bersujud melafalkan asma Allah.

Siapakah laki-laki itu? Tak lain adalah Sayyidina Ali bin Husain yang lebih dikenal dengan julukannya, Ali Zainal Abidin. Ia adalah cicit Rasulullah SAW, satu-satunya keturunan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib yang selamat dalam peristiwa Karbala, Irak, 10 Muharram 61 H (680 M).

Kala itu, usianya masih belia, 11 tahun, dan sedang sakit keras. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keluarganya dibantai dengan sadis oleh tentara Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah.

Tunas muda keturunan Rasulullah SAW pun berguguran, yang tersisa hanya kaum hawa dan anak-anak. Pakaian mereka penuh dengan darah para syuhada, sementara penutup wajah mereka compang-camping direnggut tentara musuh.

Ia teringat, sore itu, tepatnya hari Senin, pada saat matahari padang pasir Karbala yang garang mulai terbenam. Mata lembut ayahnya, Sayyidina Husain, memandangnya. Syuhada itu lalu berkata, “Anakku, sesungguhnya segala urusan kembali kepada Allah Yang Maha Besar. Semua yang hidup akan menempuh jalan sepertiku”.

Hatinya serasa di sayat sembilu. Ingin rasanya ia ikut berjuang menghalau tentara Bani Umayyah yang sedang mengepung mereka berhari-hari. Ingin rasanya menghapus dahaga yang menyerang rombongannya, karena sumber air, Sungai Furat, dikuasai tentara lawan. Tapi, apa daya, tubuhnya lemas.

Ia juga teringat saat bibinya, Sayyidah Zainab, berkata kepada ayahnya: “Wahai saudaraku, sejelek-jelek kehidupan adalah hari ini. Pada hari ini, wafatlah kakekku: Al-Musthafa SAW, ibuku: Fatimah RA, ayahku: Ali RA, dan kakakku: Hasan RA.”

Dengan lembut ayahnya mengingatkan, “Adikku, jangan sampai setan menghilangkan kesabaranmu”.

Lalu, bibinya jatuh pingsan. Ayahnya segera mendekat dan menuangkan air di wajah bibinya sampai sadar kembali.

Takutlah kepada Allah, wahai adikku. Bersabarlah. Ketahuilah bahwa semua penghuni bumi akan mati. Segala sesuatu akan binasa, kecuali Allah SWT. Kakekku, ayahku, ibuku, dan saudaraku semuanya telah wafat. Kakekku lebih baik daripada aku. Ayahku lebih baik daripada aku. Ibuku lebih baik daripada aku. Saudaraku lebih baik daripada aku. Mereka semua lebih baik daripada aku. Rasullah SAW adalah teladan bagiku, bagi mereka, dan bagi setiap muslim. Maka, jangan sampai setan melenyapkan kesabaranmu,” kata SAyyina Husain menghibur hati adik perempuannya itu.

Saat itu, yakinlah Ali Zainal Abidin bahwa ayah yang sangat ia cintai dan hormati telah bertekad bulad untuk memperoleh syahid sebentar lagi.

Benar saja. Tak berapa lama Ali mendengar, ayahnya, juga saudara kandungnya, Abdullah bin Husain, serta banyak kaum muslimin dalam rombongannya, telah syahid. Jantungnya berdegup kencang. Lebih-lebih lagi saat ia mendengar betapa pasukan Ibnu Ziyad membunuh orang-orang yang dikasihinya. Mereka membidik tubuh Abdullah bin Husain, saudara kandungnya, dengan panah saat hendak menciduk air Sungai Furat untuk melepas dahaga yang menyiksanya. Abdullah tewas tepat di hadapan ayahnya, Sayyidina Husain.

Begitu pula sang ayah, dibunuh dengan cara yang tak kalah kejamnya. Pipinya dipanah hingga berlumuran darah saat hendak meraih air minum. Kemudian, tubuhnya ditusuk pedang, hingga akhirnya tentara musuh bernama Syammar bin Ziljausan menyergap dan memenggal leher orang yang sangat dikasihi Rasullah SAW itu hingga putus. Belum puas, tentara musuh itu membantai tubuh yang sudah tak bernyawa itu beramai-ramai.

Air mata Ali Zainal Abidin mengalir deras. Nafasnya memburu. Jantungnya pun berdegup makin cepat. Ia tak menyangka sungguh biadab perbuatan pasukan yang diperintahkan oleh penguasa Bani Umayyah, Yazid bin Muawaiyyah, itu. Mereka membantai keluarga Rasulullah SAW dan pengikutnya tanpa welas asih.

Ia sendiri nyaris terbunuh, kalau saja bibinya tidak menghalangi pasukan musuh yang sudah siap menghunuskan pedang tepat di jantungnya.

Dengan susah payah, Ali meminta kepada bibinya untuk dibekali tongkat dan pedang, agar bisa membela ayahnya dan gugur bersamanya. Ia butuh tongkat untuk bersandar dan pedang untuk berperang. Namun, sang bibi mencegah dengan alasan sakit yang dideritanya sangat parah.

Itulah cara Allah SWT menyelamatkan nyawa Ali dan memelihara keturunan Sayyidina Husain.


Ditulis Oleh Sadam Arfash Alhindustan

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.