Imam Musa Sadr masih hidup. Berita semacam ini mungkin seringkali terdengar. Akan tetapi pemberitaan masih hidupnya Imam Musa Sadr di tengah Revolusi Rakyat di Libya, tentunya mempunyai kesan yang berbeda.
Beberapa hari lalu, Sami al-Misrati, seorang tokoh oposisi rezim berkuasa Libya dalam wawancaranya dengan televisi Alalam menyatakan, "Sebuah pesawat kecil kemarin (Senin, 21/2) merelokasi seorang yang ciri-cirinya seperti Imam Musa Sadr, dari bandara al-Abraq."
Kemudian setelah itu, para perwira militer Libya sebagaimana dikutip Situs Al-Muhit menyatakan bahwa Imam Musa Sadr hingga sekarang masih hidup. Menurut keterangan para perwira tersebut, Imam Musa Sadr ada di penjara Sabha.
Pada 25 Agustus 1978, Imam Musa Sadr bersama dua orang yaitu, Syeikh Muhammad Yaqub dan Abbas Badruddin, pimpinan redaksi kantor berita Lebanon, tiba di Libya. Menurut rencana tanggal 29 atau 30 Agustus, mereka akan berdialog dengan Presiden Libya, Muammar Gaddafi. Namun sejak itu hingga kini Imam Musa Sadr raib tanpa jejak. Para pejabat tinggi Libya mengklaim bahwa Gaddafi mendadak membatalkan pertemuannya dengan Imam Musa Sadr.
Peristiwa itu memang sudah lama terjadi. Meski demikian, ketokohan Imam Musa Sadr menjadi nostalgia tersendiri bagi orang-orang yanh merindukan sosok ulama dan pejuang yang nyaris sempurna. Untuk itu, sangatlah tepat jika ada catatan ringkas yang mengulas ketokohan dan keagungan Imam Musa Sadr. Siapakah tokoh ini sehingga Parlemen Iran menaruh perhatian khusus bahkan membentuka komite khusus di parlemen dari semenjak raibnya pada tahun 1978 hingga kini?
Imam Musa Sadr dan Imam Khomeini
Ketika mendengar Imam Khomeini ra diasingkan ke Najaf, Imam Musa Shadr langsung ke tempat kediaman Imam Khomeini. Bersamaan dengan kedatangan Imam Musa Sadr, ada rombongan dari Iran. Rombongan itu bertanya kepada Imam Khomeini, siapakah yang akan melanjutkan perjuangan ini bila Imam Khomeini tiada? Pertanyaan ini sangatlah wajar. Terlebih Imam Khomeini saat itu mendapat ancaman dari rezim Shah Pahlavi. Mendengar pertanyaan itu, Imam Khomeini dengan tenang menjawab, "Selama ada Imam Musa Shadr, kalian tidak perlu khawatir."
Jawaban itu kemudian dipahami bahwa Imam Musa Sadr adalah pengganti Imam Khomeini. Selain itu, pernyataan Imam Khomeini menjelaskan kesamaan perpektif dan idealisme Imam Khomeini dan Imam Musa Sadr.
Syiah, Sunni dan Kristen
Setelah Imam Musa Shadr pindah ke Lebanon, sosok kepemimpinan beliau mulai dikenal di dunia internasional. Bahkan sepak terjangnya menkhawatirkan Barat dan Rezim Zionis Israel. Siapapun yang menjadi musuh Barat dan Zionis Israel akan menjadi sosok yang menjadi perhastian luas di tingkat dunia. Imam Musa Sadr bukan saja sosok yang mampu mempersatukan Syiah dan Sunni di Lebanon, tapi beliau juga tokoh yang mampu mempersatukan Islam dan Kristen. Uskup Agung Lebanon waktu itu mengatakan, "Seandainya kami memiliki tokoh seperti Imam Musa Shadr, kami dapat memimpin dunia."
Film The Message
Ingatkah Film The Message yang pemeran utamanya adalah Anthony Quinn .Film tentang Nabi Muhammad Saw, The Message yang disutradarai oleh Moustapha Akkad pada awalnya, ditentang oleh seluruh umat Islam sedunia. Tapi Akkad kemudian mendapatkan semangat baru untuk membuat film tersebut setelah mendapat dorongan dari Imam Musa Shadr. Karena Itulah nama Imam Musa Sadr tercantum setelah nama-nama pemain dan kru film yang biasa ditampilkan di akhir film.
Setelah membuat film itu dan mendapat pujian dari banyak kalangan bahkan ulama Islam, Imam Musa Shadr meminta Akkad untuk membuat film tentang Imam Ali as. Moustapha Akkad mengatakan, "Saya akan membuatnya tapi dengan syarat pemeran Imam Ali as adalah anda sendiri." Imam Musa Sadr hanya menanggapinya dengan senyum. Kata Akkad, "Imam Musa Sadr hanya tersenyum mendengar usulan saya itu."
Qom
Imam Musa Shadr melewati masih muda di kota Qom. Beliau ketika masih muda di tidak hanya belajar fiqih dan ushul fiqih, tapi juga Filsafat. Imam Musa Sadr juga belajar "Manzhumah" bersama saudaranya Sayyid Ridha.
Ketika Allamah Thaba'thaba'i mengajar buku Asfar Arba'ah, Imam Musa Shadr langsung juga ikut dalam kuliah Allamah dan menjadi salah satu murid terbaiknya. Syahid Muthahhari mengatakan, "Musa Sadr merupakan sosok terbaik yang dengan mudah menyelesaikan masalah-masalah kompleks dari buku Manzhumah. Ia adalah orang terbaik yang mampu memahami ucapan-ucapan Mulla Sadra dengan benar."
Najaf
Imam Musa Sadr ketika melanjutkan pendidikannya di Najaf, beliau belajar mata kuliah kharij fiqih dan ushul fiqih (jenjang terakhir kuliah fikih yang bisa disetarakan dengan jenjang kuliah doktoral) kepada Ayatullah Sayyid Muhsin al-Hakim, Sayyid Abul Qasim Khu'i, Sayyid Mahmoud Syahroudi dan Syeikh Murtadha Ali Yasin. Mereka adalah ulama besar Najaf waktu itu. Selain itu, Imam Musa Sadr juga belajar filsafat kepada Ayatullah Badkoubeh.
Ayatullah Sayyid Khu'i punya perhatian khusus kepadanya. Ketika Imam Musa Shadr meninggalkan hauzah Najaf, Ayatullah Khu'i mengatakan, "Bila dia tinggal dua atau tiga tahun lagi di Najaf, Imam Musa Sadr bakal menjadi ulama Syiah terbesar di dunia." Meratapi kepergian Imam Musa Sadr Ayatullah Khu'i mengatakan, "Sangat disayangkan dia meninggalkan Najaf. Akan lebih baik bila saya tidak pernah mengenalnya."
Banyak yang menyayangkan keputusan Imam Musa Sadr untuk pergi ke Lebanon . Sayyid Muhammad Baqir Shadr (Syahid Shadr) yang juga sepupunya mengatakan, "Bila Imam Musa Sadr tetap komitmen dengan tradisi hauzah dan tinggal di Najaf , ia bakal menjadi satu-satunya marji mutlak Syiah."
Sebagian lainnya meyakini bahwa Lebanon terlalu kecil bagi Imam Musa Sadr. Apalagi beliau dikenal sebagai sosok yang punya program untuk masa depan. Menurut mereka, sangat disayangkan bila Imam Musa Sadr membatasi dirinya di tempat yang kecil.
Imam Musa Sadr mendengar semua ucapan ini. Tapi beliau telah membulatkan tekadnya untuk bertolak ke Lebanon. Untuk itu, beliau mencoba hidup selama sebulan di Lebanon dengan melihat kehidupan di sana dari dekat. Selama sebulan itu pula Imam Musa Shadr begitu terharu atas kondisi masyarakat Syiah di sana yang hidup dalam kemiskinan.
Ketika kembali ke Qom, Imam Musa Sadr tidak lagi berpikiran soal hauzah dan masalah marjaiyah. Kepada seorang dari temannya beliau berkata, "Semua pelajar tinggal di Najaf untuk menjadi mujtahid.
SUmber :http://indonesian.irib.ir
Berikan Komentar Anda