Ketika berbagai kecanggihan IPTEK sedemikian rupa menginvasi dunia kita, maka muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah agama-agama masih mempunyai tempat di situ? Masihkah kita menemukan orang-orang yang taat beragama di era teknologi ini? Sesungguhnya pertanyaanpertanyaan seperti ini bukanlah hal baru. Jauh sebelumnya. ketika ilmu pengetahuan melepaskan diri dari teologi.
ketika Eropa memasuki apa yang disebut zaman Pencerahan. berbagai pertanyaan sejenis ini telah dihadapi bukan saja sebagai pertanyaan-pertanyaan akademis. tetapi juga sebagai persoalan-persoalan hidup. Karena itu kita tidak perlu heran apabila pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul. Hal ini sejalan dengan watak ilmu pengetahuan itu sendiri yang memang bersifat menjelajah dan mengeksplorasi, yang membawa kita masuk ke tempat-tempat yang selama ini dianggap misterius dan tabu. Untuk dapat melakukan itu, maka IPTEK harus berani melepaskan diri dari perkiraan-perkiraan yang selama ini dipegang, termasuk perkiraan agamawi.
Tragedi Copernicus. Galileo Galilei dan yang lainnya adalah akibat ketidak beranian melepaskan diri dari perkiraan tersebut. Ketika orang-orang beragama memegang teguh keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta dan karena itu tidak diragukan lagi bahwa bendabenda langit yang lain berputar mengelilingi bumi, dan hal itu sesuai dengan Alkitab. Copernicus dan Galileo mengajukan pendapat yang berbeda yang didasarkan pada pengamatan mereka atas gerak-gerik alam semesta. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik.
Sayangnya, konflik-konflik seperti itu justru secara berulang-ulang terjadi dalam sejarah. Dalam bentuk yang paling ekstrem kita menemukan ilmuwan yang merasa tidak perlu beragama, sedangkan di pihak lain, orang-orang saleh seringkali diasosiasikan sebagai orang-orang yang tidak tahu-menahu terhadap segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tentu saja pemilahan ini sangat skematis, namun tidak mengurangi kebenaran sinyalemen bahwa kecenderungan untuk melepaskan diri dari otoritas tertinggi. yang di dalam agama dikenal sebagai "Allah". dapat disebut sebagai sikap masyarakat yang terlampau dikuasai IPTEK, jika agama-agama tidak mampu mengartikulasikan kembali otoritas tertinggi itu dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat tersebut. Pengalaman masyarakat pasca-industri di negara-negara Barat kiranya merupakan contoh berharga yang dapat dipelajari umat manusia dari berbagai gejala yang baru saja kita sebutkan tadi. Penamaan terhadap masyarakat tersebut sebagai masyarakat pasca-Kristen tampaknya tidak berlebihan.
Di Indonesia kita menyadari betul kenyataan GBHN secara tegas memberikan tempat bagi agama-agama. Agama-agama dilihat sebagai pemberi landasan moral, etik dan spiritual pembangunan nasional. Lebih konkret lagi. prinsip itu diungkapkan sebagai salah satu asas pembangunan nasional di mana keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diharapkan dapat menghindarkan bangsa Indonesia dari berbagai kecenderungan seperti yang dialami negara-negara Barat tadi. Tetapi perumusan saja tidak cukup. la harus ditindaklanjuti dengan implementasi yang tidak saja verbalistis dan formalistis, tetapi yang sungguh-sungguh masuk ke dalam persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia yang merupakan keprihatinan bersama baik oleh agama maupun IPTEK.
Kalau persoalan mendasar manusia itu adalah bagaimana mencapai kebahagian tertinggi, maka hal itu harus diupayakan secara Serius. Pertanyaannya adalah, dapatkah IPTEK memberikan kepada manusia kebahagiaan tertinggi melalui segala hasil yang telah dicapai selama ini, tanpa mencampakkan manusia itu kembali ke dalam kehausan yang tidak habis-habisnya untuk mencapai hal itu? Di pihak lain. kita dapat mengajukan pertanyaan serupa kepada agama: Haruskah pencapaian kebahagian tertinggi itu terjadi dengan mengabaikan segala hasil yang selama ini dicapai oleh IPTEK?
Cara pengajuan pertanyaan seperti ini sangat dikotomisris. Artinya, seakan-akan dalam diri manusia ada "ranah" yang hanya boleh disentuh oleh agama. dan ada "ranah" lainnya yang hanya boleh disentuh oleh IPTEK. Pada hal, manusia itu adalah suatu totalitas. Namun tetap merupakan keprihatinan bersama bagaimana seseorang itu sungguh-sungguh beriman dan pada saat yang sama juga sungguh-sungguh aktif dalam pengupayaan IPTEK.
Ketika berbagai kecanggihan IPTEK sedemikian rupa menginvasi dunia kita, maka muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah agama-agama masih mempunyai tempat di situ? Masihkah kita menemukan orang-orang yang taat beragama di era teknologi ini? Sesungguhnya pertanyaanpertanyaan seperti ini bukanlah hal baru. Jauh sebelumnya. ketika ilmu pengetahuan melepaskan diri dari teologi.
ketika Eropa memasuki apa yang disebut zaman Pencerahan. berbagai pertanyaan sejenis ini telah dihadapi bukan saja sebagai pertanyaan-pertanyaan akademis. tetapi juga sebagai persoalan-persoalan hidup. Karena itu kita tidak perlu heran apabila pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul. Hal ini sejalan dengan watak ilmu pengetahuan itu sendiri yang memang bersifat menjelajah dan mengeksplorasi, yang membawa kita masuk ke tempat-tempat yang selama ini dianggap misterius dan tabu. Untuk dapat melakukan itu, maka IPTEK harus berani melepaskan diri dari perkiraan-perkiraan yang selama ini dipegang, termasuk perkiraan agamawi.
Tragedi Copernicus. Galileo Galilei dan yang lainnya adalah akibat ketidak beranian melepaskan diri dari perkiraan tersebut. Ketika orang-orang beragama memegang teguh keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta dan karena itu tidak diragukan lagi bahwa bendabenda langit yang lain berputar mengelilingi bumi, dan hal itu sesuai dengan Alkitab. Copernicus dan Galileo mengajukan pendapat yang berbeda yang didasarkan pada pengamatan mereka atas gerak-gerik alam semesta. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik.
Sayangnya, konflik-konflik seperti itu justru secara berulang-ulang terjadi dalam sejarah. Dalam bentuk yang paling ekstrem kita menemukan ilmuwan yang merasa tidak perlu beragama, sedangkan di pihak lain, orang-orang saleh seringkali diasosiasikan sebagai orang-orang yang tidak tahu-menahu terhadap segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tentu saja pemilahan ini sangat skematis, namun tidak mengurangi kebenaran sinyalemen bahwa kecenderungan untuk melepaskan diri dari otoritas tertinggi. yang di dalam agama dikenal sebagai "Allah". dapat disebut sebagai sikap masyarakat yang terlampau dikuasai IPTEK, jika agama-agama tidak mampu mengartikulasikan kembali otoritas tertinggi itu dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat tersebut. Pengalaman masyarakat pasca-industri di negara-negara Barat kiranya merupakan contoh berharga yang dapat dipelajari umat manusia dari berbagai gejala yang baru saja kita sebutkan tadi. Penamaan terhadap masyarakat tersebut sebagai masyarakat pasca-Kristen tampaknya tidak berlebihan.
Di Indonesia kita menyadari betul kenyataan GBHN secara tegas memberikan tempat bagi agama-agama. Agama-agama dilihat sebagai pemberi landasan moral, etik dan spiritual pembangunan nasional. Lebih konkret lagi. prinsip itu diungkapkan sebagai salah satu asas pembangunan nasional di mana keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diharapkan dapat menghindarkan bangsa Indonesia dari berbagai kecenderungan seperti yang dialami negara-negara Barat tadi. Tetapi perumusan saja tidak cukup. la harus ditindaklanjuti dengan implementasi yang tidak saja verbalistis dan formalistis, tetapi yang sungguh-sungguh masuk ke dalam persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia yang merupakan keprihatinan bersama baik oleh agama maupun IPTEK.
Kalau persoalan mendasar manusia itu adalah bagaimana mencapai kebahagian tertinggi, maka hal itu harus diupayakan secara Serius. Pertanyaannya adalah, dapatkah IPTEK memberikan kepada manusia kebahagiaan tertinggi melalui segala hasil yang telah dicapai selama ini, tanpa mencampakkan manusia itu kembali ke dalam kehausan yang tidak habis-habisnya untuk mencapai hal itu? Di pihak lain. kita dapat mengajukan pertanyaan serupa kepada agama: Haruskah pencapaian kebahagian tertinggi itu terjadi dengan mengabaikan segala hasil yang selama ini dicapai oleh IPTEK?
Cara pengajuan pertanyaan seperti ini sangat dikotomisris. Artinya, seakan-akan dalam diri manusia ada "ranah" yang hanya boleh disentuh oleh agama. dan ada "ranah" lainnya yang hanya boleh disentuh oleh IPTEK. Pada hal, manusia itu adalah suatu totalitas. Namun tetap merupakan keprihatinan bersama bagaimana seseorang itu sungguh-sungguh beriman dan pada saat yang sama juga sungguh-sungguh aktif dalam pengupayaan IPTEK. Agil asshofie 05:44:00 Admin Tangerang Indonesia
ketika Eropa memasuki apa yang disebut zaman Pencerahan. berbagai pertanyaan sejenis ini telah dihadapi bukan saja sebagai pertanyaan-pertanyaan akademis. tetapi juga sebagai persoalan-persoalan hidup. Karena itu kita tidak perlu heran apabila pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul. Hal ini sejalan dengan watak ilmu pengetahuan itu sendiri yang memang bersifat menjelajah dan mengeksplorasi, yang membawa kita masuk ke tempat-tempat yang selama ini dianggap misterius dan tabu. Untuk dapat melakukan itu, maka IPTEK harus berani melepaskan diri dari perkiraan-perkiraan yang selama ini dipegang, termasuk perkiraan agamawi.
Tragedi Copernicus. Galileo Galilei dan yang lainnya adalah akibat ketidak beranian melepaskan diri dari perkiraan tersebut. Ketika orang-orang beragama memegang teguh keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta dan karena itu tidak diragukan lagi bahwa bendabenda langit yang lain berputar mengelilingi bumi, dan hal itu sesuai dengan Alkitab. Copernicus dan Galileo mengajukan pendapat yang berbeda yang didasarkan pada pengamatan mereka atas gerak-gerik alam semesta. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik.
Sayangnya, konflik-konflik seperti itu justru secara berulang-ulang terjadi dalam sejarah. Dalam bentuk yang paling ekstrem kita menemukan ilmuwan yang merasa tidak perlu beragama, sedangkan di pihak lain, orang-orang saleh seringkali diasosiasikan sebagai orang-orang yang tidak tahu-menahu terhadap segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tentu saja pemilahan ini sangat skematis, namun tidak mengurangi kebenaran sinyalemen bahwa kecenderungan untuk melepaskan diri dari otoritas tertinggi. yang di dalam agama dikenal sebagai "Allah". dapat disebut sebagai sikap masyarakat yang terlampau dikuasai IPTEK, jika agama-agama tidak mampu mengartikulasikan kembali otoritas tertinggi itu dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat tersebut. Pengalaman masyarakat pasca-industri di negara-negara Barat kiranya merupakan contoh berharga yang dapat dipelajari umat manusia dari berbagai gejala yang baru saja kita sebutkan tadi. Penamaan terhadap masyarakat tersebut sebagai masyarakat pasca-Kristen tampaknya tidak berlebihan.
Di Indonesia kita menyadari betul kenyataan GBHN secara tegas memberikan tempat bagi agama-agama. Agama-agama dilihat sebagai pemberi landasan moral, etik dan spiritual pembangunan nasional. Lebih konkret lagi. prinsip itu diungkapkan sebagai salah satu asas pembangunan nasional di mana keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diharapkan dapat menghindarkan bangsa Indonesia dari berbagai kecenderungan seperti yang dialami negara-negara Barat tadi. Tetapi perumusan saja tidak cukup. la harus ditindaklanjuti dengan implementasi yang tidak saja verbalistis dan formalistis, tetapi yang sungguh-sungguh masuk ke dalam persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia yang merupakan keprihatinan bersama baik oleh agama maupun IPTEK.
Kalau persoalan mendasar manusia itu adalah bagaimana mencapai kebahagian tertinggi, maka hal itu harus diupayakan secara Serius. Pertanyaannya adalah, dapatkah IPTEK memberikan kepada manusia kebahagiaan tertinggi melalui segala hasil yang telah dicapai selama ini, tanpa mencampakkan manusia itu kembali ke dalam kehausan yang tidak habis-habisnya untuk mencapai hal itu? Di pihak lain. kita dapat mengajukan pertanyaan serupa kepada agama: Haruskah pencapaian kebahagian tertinggi itu terjadi dengan mengabaikan segala hasil yang selama ini dicapai oleh IPTEK?
Cara pengajuan pertanyaan seperti ini sangat dikotomisris. Artinya, seakan-akan dalam diri manusia ada "ranah" yang hanya boleh disentuh oleh agama. dan ada "ranah" lainnya yang hanya boleh disentuh oleh IPTEK. Pada hal, manusia itu adalah suatu totalitas. Namun tetap merupakan keprihatinan bersama bagaimana seseorang itu sungguh-sungguh beriman dan pada saat yang sama juga sungguh-sungguh aktif dalam pengupayaan IPTEK. Agil asshofie 05:44:00 Admin Tangerang Indonesia
Home »
Pegetahuan Umum
» Kecanggihan IPTEK dan Tempat Agama di dalamnya
Kecanggihan IPTEK dan Tempat Agama di dalamnya
Posted by Agil Asshofie
on 05:44:00
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Berikan Komentar Anda