Makalah Ini adalah Makalah Agil Shafi Dalam Dalam Matakuliah Isu-Isu Politik Kontemporer UIN Jakrta Semester 5.
Pengertian Civil Society
Masyarakat
madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah
masyarakat ideal yang dicita-citakan. Masyarakat madani adalah masyarakat yang
berpegang teguh pada azas demokrasi, menghargai hak asasi meanusia,taat hukum
dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Masyarakat
madani adalah masyarakat yang selalu mengacu pada demokrasi , HAM, hukum dan
keadilan. Dengan keadilan maka tidak akan terjadi kesenjangan dalam masyarakat.
Baik kesenjangan ekonomi,pendidikan maupun informasi. Dengan rendahnya tingkat kesenjangan maka
potensi konflik antar masyarakat dapat dieliminasi seminimal mungkin. Apalagi
masyarakat indonesia sangat majemuk, sehingga isu ketidak adilan dan
kesenjangan akan menjadi isu yang potensial akan terjadinya perpecahan di
antara kompone-komponen bangsa Indonesia ini.
Mohammad
Hikam berpendapat bahwa apapun istilah yang akan di pilih sbagai padanan dari
istilah civil society pada hakekatnya elemen penting yang tidak dapat di
tinggalkan, yakni elemen “Demokrasi” tanpa Demokrasi sulid untuk menciptakan masyarakat
madani. Di sini Hikam melihat “rumah” masyarakat madani adalah Demokrasi.
Apabila ingin menciptakan masyarakat madani, maka yang pertama harus di bangun
adalah demokrasi. Tidak ada masyarakat madani tanpa demokrasi. Dan untuk
membangun masyarakat madani perlu waktu dan kemauan dari semua pihak untuk
mengupayakanya, sebab demokrasi tidak bisa hadir dengan tiba-tiba.
Civil Society Dalam Pemikir Barat
Dan Islam
Para
pemikir Islam Demokrat selalu berdebat akan maslah ini dengan para pemikir
barat. Pemikrkir Islam menjelaskan bahwa
ajaran Islam konpentabel dengan demokrasi yang pada akhirnya akan mewujudkan
masyarakat madani, sebagai bukti jelas terdokumentasikan dengan baik 15 abad
silam (Mintarti, 2003). Kala itu, masyarakat Madinah dididik membangun dan
menjunjung masyarakat ideal yang
kerap disebut masyarakat madani atau civil society; masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
peradaban. Masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang baik, berazas pada prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Implementasinya
antara lain dengan terbentuknya good governance yang tunduk pada sistem dan perundang-undangan yang akuntabel dan transparan.
Dalam
Islam dikenal doktrin fitrah yang sejalan dengan makna trust. Setiap bayi yang
terlahir adalah laksana kertas putih
bersih. Islam tidak mengenal dosa turunan. Manusia pada dasarnya adalah baik. Maka, dalam konteks relasi sosial,
Islam menganjuran untuk berprasangka baik dan melarang ghibah dan fitnah.
Ajaran filosofis tersebut dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW, khususnya dalam
berdagang sehingga beliau dikenal dengan sebutan al-Amin (orang yang terpercaya).
Belakangan
ini, banyak kalangan akademis yang terpengaruh bahkan terprovokasi oleh tesis
yang menyatakan bahwa Islam tidak
kompatibel dengan demokrasi dan civil society yang merupakan indikator penting modal sosial.
Sebagai contoh, Huntington, Kedourie dan Lewis berargumen bahwa :
Islam
memiliki korelasi negatif dengan demokrasi dan civil society, alasannya (lihat
Mujani, 2007):
1.
Islam adalah pandangan hidup yang menyeluruh yang tidak membedakan antara agama
dan politik dan pandangan ini dianut
sebagian besar umat Islam.
2.
Masyarakat Muslim cenderung antipati terhadap ide-ide pembebasan (liberalisme)
dari Barat, karena cenderung mencurigai apa pun yang berasal dari Barat.
3.
Doktrin ummah secara diametral bertentangan dengan konsep nation-state, salah
satu prasyarat utama tumbuhnya demokrasi. Juan Linz dan Alfred Stepan menegaskan
bahwa demokrasi tidak dapat diwujudkan tanpa negara-bangsa. Menurut Huntington,
Kedourie dan Lewis, dengan adanya konsep ummah, masyarakat Muslim menjadi asing
terhadap konsep negara-bangsa.
4.
Dunia Islam dipandang tidak akomodatif terhadap gagasan civil society yang juga
merupakan pilar demokrasi. Di kalangan Islam, mungkin saja ada perkumpulan
kewargaan. Tetapi, karena tidak bersifat sekuler, tidak semua kelompok sosial
berdiri secara independen dari otoritas agama.
Huntington bahkan
menunjukkan bahwa ketika gelombang demokratisasi yang ia sebut sebagai The
Third Wave, meningkat di hampir semua belahan bumi pasca Perang Dingin, dunia
Islam seakan tidak terpengaruh oleh kecenderungan global ini. Hampir semua
negara bekas Uni Soviet memilih demokrasi sebagai pengganti sistem otoriter
imperium ini. Namun, enam negara Muslim, yakni Azerbaijan, Kyrgistan,
Kajakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan, tidak melakukannya.
Menurut
saya penelitian yang di lakukan Huntington masih bersifat relatif, kenapa
demikian? Saya menyimpulkan bahwa Huntington tidak menjelaskan bahwa demokrasi
tidak cocok dengan Islam yang bagaimana, padahal jika kita menilik lebih dekat
Islam itu bermacam-macam entah dari ideologi, dan mazhab, memang di kalangan
Islam tradisional menganggap Islam tidak sejalan dengan demokrasi namun dalam
Islam Modern Atau Islam demokrat menganggap bahwa demokrasi sangat sejalan
dengan Islam, tidak ada perbedaan yang signifikan dan sangat banyak
persamaannya. Hanya saja yang ditegaskan antara muslim tradisional dan moderen
bahwa orang yang keluar dari agama Islam harus Di hukum Mati. Sekarang kita
bisa melihat contohnya bahwa demokrasi telah berlangsung di negara-negara Islam
seperti di Turki, dan di Indonesia dan masih banyak lagi.
Untuk
lebih jelasnya mari kita simak pendapat Saiful
Mujani dalam bukunya, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik
di Indonesia Pasca-Orde Baru memberi ”serangan balik” terhadap pendapat di atas. Dengan menggunakan
pendekatan civic culture dalam konteks Indonesia, Mujani menelisik demokrasi melalui
beberapa unsur budaya demokrasi itu sendiri, yang mencakup: keterlibatan
kewargaan yang bersifat sekular (secular civic engagement), sikap saling
percaya sesama warga (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politis
(political engagement), dukungan terhadap sistem demokrasi, dan partisipasi
politik (political participation).
Dalam
garis besar, penelitian Mujani menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam tidak
sejalan dengan demokrasi dan civil society. Merujuk pada banyak pakar politik
(seperti Anderson, Halliday, Entelis, Gerges, Tessler, Al-Braizat, Rose,
Esposito dan Voll, Mousalli dll), serta studi lapangan, Mujani menemukan bahwa:
1.
Masyarakat Islam memiliki modal sosial yang cukup bagi tumbuhnya demokrasi.
Sebagai budaya politik, Islam memiliki nilai-nilai yang mendukung demokrasi.
Defisit demokrasi di negara-negara Islam tidak berkaitan dengan Islam itu sendiri.
Melainkan dengan faktor-faktor non-keagamaan, yaitu faktor sosial, ekonomi,
geopolitik, dan internasional.
2.
Tingkat civic engagement di kalangan Muslim Indonesia cukup tinggi. Sekitar 26%
terlibat dalam kelompok arisan; 15,5% terlibat di organisasi tingkat desa; 8,7%
di organisasi pekerja; 5% di koperasi; dan 2% terlibat di klub olah raga.
Secara umum, tingkat civic engagement umat Muslim Indonesia mencapai 38,9%.
3.
Tingkat toleransi masyarakat Muslim Indonesia pada tataran sikap terhadap
kelompok tertentu, seperti komunis, Kristen, Islamis Muslim, Cina, Hindu, Budha
dan seterusnya, tampak rendah. Akan tetapi, hal ini tidak melemahkan demokrasi,
sebab kepuasan terhadap kinerja demokrasi tinggi, yang pada gilirannya mendukung
nilai-nilai demokrasi.
4.
Dukungan masyarakat Islam Indonesia terhadap institusi politik relatif rendah.
Tetapi, tingkat partisipasi politik, baik konvensional maupun non-konvensional
sangat tinggi.
Konsep
mengenai demokrasi dan civil society yang merupakan pilar-pilar modal sosial
telah bersemi dan mendapat tempat yang baik dalam khazanah ajaran Islam. Namun,
dalam praktiknya nilai-nilai ini tidak berjalan begitu saja dan mewujud dalam
perilaku keseharian umat Islam. Pengalaman dan praktik demokrasi dan civil
society di negara-negara Muslim sangat berpelangi.
Merujuk
pada konteks masyarakat di Indonesia, tampaknya umat Islam memiliki modal
sosial yang cukup tinggi. Meskipun ini tidak berarti bahwa tidak ada hal yang
perlu dikembangkan. Beberapa kasus, seperti intoleransi terhadap penganut agama
”selain” Islam (misalnya kekerasan terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah) atau
kekurang-kompakan di kalangan umat Islam (misalnya dalam partai politik dan
penentuan Idul Fitri dan Idul Adha), menunjukkan bahwa trust di kalangan Islam masih
harus terus diperkokoh. Pendidikan kewargaan, penguatan multikulturalisme, dan
dialog lintas agama, misalnya, kiranya masih tetap relevan digelorakan.
Modal
sosial bisa dilihat dari keterlibatan negara dalam menyediakan pelayanan
publik, terutama kesehatan dan pendidikan. Secara umum, data yang ada menunjukkan
bahwa perhatian negara terhadap pendidikan dan kesehatan masih relatif rendah
di kalangan negara Islam, termasuk Indonesia. Ini menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga civil society di Indonesia dapat mengembangkan strategi
advokasi kepada negara agar memperkuat kebijakan sosial.
Makalah ini Sengaja tidak disediakan Catatan kaki dan daftar pustaka, merupakan kebijakan dari penulis.
he he ruar biasa tulisan ini ...
ReplyDelete