Oleh : Jimly Asshiddiqie
Satu lagi pemikiran
yang kita patut bangakan dari pemikir Indonesia yaitu Jimly Asshiddiqie yang mengangkat pembahasan
tentang demokrasi dan kedaulatan Rakyat yang dijelaskan diantaranya sebagai
berikut. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi
penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J.
Peaslee pada tahun 950, dari 8 UUD negara-negara yang diperbandingkannya,
terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan
rakyat (90%). Memang harus diakui sampai sekarang istilah demokrasi itu sudah
menjadi bahasa umum yang menunjuk kepada pengertian sistem politik yang diidealkan
dimana-mana.
Padahal dulunya, pada
zaman Yunani kuno, dari mana istilah demokrasi itu pada awalnya berasal,
istilah demokrasi itu mempunyai konotasi yang sangat buruk. Demokrasi (demos +
cratos atau demos + kratien) dibayangkan orang sebagai pemerintahan oleh semua
orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (autocracy).
Baik demokrasi maupun otokrasi, menurut pengertian umum di zaman Yunani kuno sama-sama
buruknya. Karena itu, yang diidealkan adalah ‘plutokrasi’ (pluto + cracy),
yaitu pemerintahan oleh banyak orang, bukan hanya dikendalikan oleh satu orang;
tetapi banyaknya orang itu tidak berarti semua orang ikut memerintah, sehingga
keadaan menjadi kacau dan tidak terkendali.
Sekarang, konsep
demokrasi itu dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu
negara ke negara lain. Setiap negara dan bahkan setiap orang menerapkan
definisi dan kriterianya sendiri-sendiri mengenai demokrasi itu. Sampai
sekarang, negara komunis seperti Kuba dan RRC juga tetap mengaku sebagai negara
demokrasi. Ia sudah menjadi paradigma dalam bahasa komunikasi dunia mengenai
sistem pemerintahan dan sistem politik yang diangap ideal, meskipun dalam
prakteknya setiap orang menerapkan standar yang berbeda-beda, sesuai
kepentingannya masing-masing.
Oleh karena itu, bisa
saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan atau bahkan ketidakpercayaan yang
luas mengenai kegunaan praktis konsep demokrasi modern ini. Jika itu terjadi,
niscaya orang mulai akan menggugat kembali secara kritis keberadaannya sebagai
sistem yang dianggap ideal. Sekarang saja, sudah makin banyak sarjana yang mulai
menaruh kecurigaan dan bahkan menilai bahwa sebenarnya konsep demokrasi itu
sendiri juga hanya mitos. Mimpi demokrasi hanyalah utopia, yang kenyataannya di
lapangan tidaklah seindah gagasan abstraknya.
Namun, terlepas dari kritik-kritik
itu, yang jelas, dalam sistem kedaulatan rakyat itu, kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara dianggap berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu
pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan
seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian dikem- bangkan sehubungan
dengan ini adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Bahkan, dalam sistem ‘participatory democracy’, dikembangkan pula tambahan
‘bersama rakyat’, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari
rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat”.
Pengertian mengenai
kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu dipahami bersifat monistik dan
mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan
tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan
sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka
susun dan sahkan bersama, terutama mereka mendirikan negara yang bersangkutan.
Inilah yang disebut dengan ‘kontrak sosial’ antara warga masyarakat yang
tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana
kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan
kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari.
Pada hakikatnya, dalam ide
kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya
pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi
kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif.
Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan
pengawasan serta penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.
Bahkan lebih jauh lagi,
untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan
diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya
kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang
bersifat ‘total’ dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.
Hanya saja, karena
kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan demokrasi ini dianggap perlu dilakukan
melalui prosedur perwakilan. Dari sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau
lembaga parlemen dalam sejarah. Dalam sistem ‘representative democracy’ ini
tentu ada saja usaha untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu. Karena
itu, dalam sejarah pernah muncul pengertian kedaulatan rakyat yang bersifat
totaliter. Bung Karno dan Soepomo pernah terjebak dalam pengertian totaliter
ini ketika mereka berdua pernah mengidealkan konsep negara yang disebut oleh
Soepomo sebagai negara integralistik. Dalam konsep integralistik itu diidealkan
bahwa rakyat dan pemimpinnya bersatu padu, yang secara bersama-sama menjadi satu
kesatuan organis yang membentuk negara, sehingga rakyat yang berdaulat dalam
sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat itu adalah rakyat dalam arti
keseluruhan, bukan orang per orang rakyat.
Jika kedaulatan rakyat
dipahami dalam konteks orang per orang, maka pandangan demikian dianggap oleh
Soekarno dan Soepomo sebagai pandangan yang dipengaruhi oleh paham
individualisme dan liberalisme. Atas dasar pengertian demikian itu pulalah maka
semula Soekarno dan Soepomo sama-sama menolak ide untuk mencantumkan pasal-pasal
tentang hak asasi manusia ke dalam UUD. Atas dasar itu juga Soepomo, pada
tanggal 8 Agustus, 945, masih mengusulkan agar ketentuan
Pasal yang menegaskan bahwa “segala
keputusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak” supaya dihapus dari UUD.
Untungnya, Bung Hatta menolak pencoretan itu dengan menyatakan: “Saya tidak
setuju kalau dicoret, sebab ketentuan itu berdasarkan kedaulatan rakyat.
Meskipun kedua soal itu
akhirnya terselesaikan dalam arti berhasil disepakati tidak seperti usulan
Soekarno dan Soepomo, tetapi sejarah telah mencatat bahwa ide semacam itu
pernah muncul dalam awal perjalanan sejarah pemikiran kenegaraan kita di
Indonesia. Karena itu, ketika pada zaman Orde Baru, paham semacam itu muncul
kembali, mudah dimengerti. Seperti dimaklumi, pandangan integralistik ten- tang
negara kembali muncul di zaman Orde Baru dalam bentuknya yang baru. MPR
dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, dan DPR dianggap sudah menjadi
perwakilan rakyat yang bersifat mutlak. Apapun aspirasi rakyat dituntut supaya
disalurkan hanya kepada dan melalui MPR dan DPR. Hak mogok ataupun unjuk rasa dilarang.
Kebebasan pers juga dibungkam, kemerdekaan berserikat dibatasi. Pluralisme
horizontal ataupun vertikal diseragamkan di bawah jargon pentingnya memelihara
‘persatuan dan kesatuan’.
Seolah-olah adanya
sistem dan lembaga perwakilan rakyat bersifat mutlak. Namun, di masa reformasi
dewasa ini, semua itu sudah berlalu. Kedaulatan rakyat sesuai dengan
hakikatnya, tidaklah berkurang sedikitpun hanya karena ada lembaga perwakilan
rakyat. Badan-badan perwakilan itu hanyalah sarana atau bahkan salah satu bagi
rakyat untuk menjalankan kedaulatannya. Selain badan atau lembaga perwakilan
rakyat itu, masih ada media komunikasi massa, yang disebut sebagai pers yang
secara bebas dapat dijadikan sarana mengungkapkan dan menyalurkan aspirasi,
pendapat, dan pikiran-pikiran yang didasarkan atas kehendak bebas setiap rakyat
sendiri.
Di samping itu, masih
tetap ada kebebasan untuk berserikat, berunjuk rasa, dan sebagainya, yang dalam
literatur disebut sebagai ‘representation in ideas’ yang tetap dimungkinkan
meskipun sudah ada lembaga parlemen. Dengan perkataan lain, keberadaan badan
atau lembaga perwakilan rakyat itu sama sekali tidak dapat mengurangi makna
kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat yang berdaulat itu.
Selain itu, seperti
disebut di atas, kedaulatan dan dalam hal ini kedaulatan rakyat sebagai konsep
tentang kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat dapat dilihat dari segi
ruang lingkupnya (scope of power), dan juga dapat dilihat dari segi jangkauan
kekuasaannya (domain of power). Lingkup kedaulatan rakyat itu menyangkut
kegiat- an apa saja yang dilakukan dalam lingkup kedaulatan rakyat itu, sedangkan
jangkauan kedaulatan menyangkut siapa yang menjadi ‘penguasa’ atau pemegang
kekuasaan tertinggi itu dan siapa ‘subjek’ yang dijangkau oleh pengaruh
kekuasaan itu. Yang terakhir ini berkenaan dengan hubungan kekuasaan antara
“the subjects” dan “the sovereign”.
Dalam hubungan dengan
lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat meliputi proses pengambilan keputusan,
baik di bidang legislatif maupun di bidang eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai
otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan
mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan
ketentuan hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam
perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap
pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa
depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, dalam
konsep demokrasi, pemerintahan suatu negara merupakan pemerintahan oleh rakyat.
Hanya saja, dalam pengertian zaman sekarang, pengertian pemerintahan disini
tidak lagi diharuskan bersifat langsung melainkan dapat pula bersifat tidak
langsung atau perwakilan (representative government). Atas dasar prinsip
demikian itulah, kekuasaan pemerintahan dibagi-bagi ke dalam beberapa fungsi,
yang atas pengaruh Montesquieu, terdiri atas fungsi-fungsi legislatif,
eksekutif, dan judikatif. Dalam negara yang menganut kedaulatan rakyat,
pembagian ketiga fungsi itu tidak mengurangi makna bahwa yang sesungguhnya
berdaulat adalah rakyat. Semua fungsi kekuasaan itu tunduk pada kemauan rakyat yang
disalurkan melalui institusi yang mewakilinya. Di bidang legislatif, rakyat
mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya produk
legislatif.
Di bidang eksekutif,
rakyat mempunyai kekuasaan untuk melak- sanakan atau setidak-tidaknya mengawasi
jalannya roda pemerintahan, serta melaksanakan peraturan yang ditetapkannya
sendiri. Demikian pula di bidang judikatif, pada hakikatnya, rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusan akhir dan tertinggi
mengenai fungsi judikatif. Artinya, siapapun yang melaksanakan fungsi-fungsi
itu di dalam praktek penyelenggaraan negara, sumber kekuasaan yang dimilikinya
pada dasarnya adalah daulat rakyat. Sementara itu, konsep jangkauan kedaulatan
(domain of sovereignty), mempersoalkan hubungan antara ‘subject’ dan ‘sovereign’,
yaitu soal apa atau siapa yang didaulat dan apa atau siapa yang berdaulat.
Mengenai siapa atau apa yang berdaulat, seperti diuraikan di atas, dikenal
adanya lima teori kedaulatan dalam sejarah, yaitu Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan
Raja, Kedaulatan Negara, dan Kedaulatan Rakyat serta Kedaulatan Hukum.
Namun, sejauh mengenai
apa atau siapa yang didaulat oleh pemegang kedaulatan ini, timbul problem
ilmiah yang tidak mudah. Secara teoritis atau demikianlah kenyataannya dalam
sejarah, yang dapat didaulat itu adalah orang atau barang (benda kekayaan).
Dalam sejarah, kedua hal itu dibedakan orang sejak zaman Romawi kuno melalui
konsep ‘imperium’ versus ‘dominium’. ‘Dominium’ merupakan konsep mengenai ‘the
rule over things by the individuals’, sedangkan ‘imperium’ merupakan konsep
mengenai ‘the rule over all individuals by the prince’. Kedua hal inilah yang
menurut pendapat saya berperan penting dalam perkembangan pemikiran di kemudian
hari mengenai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sebagai fenomena mengenai
kedaulatan rakyat di bidang politik dan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
makasih buat bahannya :)
ReplyDelete