Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.
Home » » Sewa Menyewa

Sewa Menyewa

A. Pengertian dan Hukum Ijarah (sewa menyewa)

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Al-ijarah merupkan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperuan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.

Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan suati imbalan.

Berdasarkan definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bearti sewa menyewa atau upah mengupah.

B. Rukun-Rukun dan Syarat Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah ada empat, yaitu: (a) orang yang berakat, (b) sewa/imbalan, (c) manfaat, dan shighat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya. Adapun syarad-syarad akad ijarah adalah sebagai berikut:

1. Untuk kedua orang yang berakad, menurut ulama syafi ‘iyah Hanabilah, disyaratkan telah telah balig dan berakal. Apabila tidak berakal dan belum mencapai baliq maka tidak sah.

2. kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijrah. Dan apabila dintara salah satu diantara mereka terpaksa maka akadnya tidaksah. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Anisa’ 4:29 yang berbunyi:


“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamudengan cara yang batil, kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka…………….

3. Ujrah, di syaratkan duketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa dan upah mengupah.

C Upah Dalam Pekerjaan Ibadah

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbutan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca al- Quran yang pahalanya yang dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut karena Rasulullah saw bersabda:

“Bacalah olehmu Alquran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu.”

Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia, apabila salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati (keluarga) memerintah kepada para santri yang lainnya yang pandai membaca al-quran dirumah atau kuburan secara bergantian selama tiga malam bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang meninggal sudah dewasa. Dan setelah selesai semuanya mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya tersebut.

Menurut mazhab Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan azan, qamat, mengajarkan al-Quran, fiqh, hadits, badal haji dan dan pusa qadha adalah tidak boleh, dan diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, sepertti mengajarkan al-Quran, hadist dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrup, seperti membaca al-quran, shalat dan yang lainnya.

Mazhab maliki, syafi’i dan Ibnu hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan al-Quran dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.

Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tiwat al-Quran dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran al-Quran, azan, dan badal haji.
DMenyewakan Barang Sewaan

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika dinyatakan bahwa kerbau itu desewa untuk membajak disawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul Musta’jir kedua, maka kerbau itupun harus digunakan untuk membajak pula.

Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil atau seimbang

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan dari akibat dari kelalaian Musta’jir. Bila kecelakaan kibat kelalaian Musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah Musta’jir itu sendiri, misalnya menyewa mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang layak.

E. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:

1. terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.

2. rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.

3. terpenuhnya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dujahitkan. Serta pendapat menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa took untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

Para ulama menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:

1. tenggang waknu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya.

2. obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahidkan hilang. Kedua hal ini disepakati oleh ulama fiqh.

F. Pengambilan Sewaan

Jika Ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap ( ‘iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.

Mazhab hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang tiptipan.

Previous
« Prev Post

Berikan Komentar Anda

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.