Pemerintah versus Politik Islam, serta bahayanya politik prasangka
Disini kelompok poitik islam semakin hari semakin bersatu dan menjadikan pemerintah sebagai musuh bersama. Kini proyek terorisme yang kini dicanangkan pemerintah dicurigai sasaran sebenarnya adalah untuk menghabisi islam garis keras.
Kesalahan kita secara kolektif mungkin karena tingginya politik prasangka: prasangka bahwa pemerintah menjadi kakitangan asing, prasangka pemerintah akan menghabisi tokoh islam gris keras, prasangka pemerintah hanya mencari kambing hitam, sementara peperintah sendiri tidak pula pandai memainkan komunikasi politik untuk meredam prasangka buruk itu.
Setidaknya ada tiga lingkunagan politik yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya politik prasangka. Pertama, lingkungan opini dunia yang sudah terlanjur terbentuk. Perang global melawan terorisme sudah didistorsikan sebagai perang untuk melemahkan kekuatan dunia Islam.
Pemerintah Amerika berkali-kali menjelaskan bahwa perang itu tidak ada hubungannya dengan agama. Daftar 35 organisasi teroris internasional yang dikeluarkan Amerika banyak juga berasal dari agama lain, namun sebagian besarnya adalah kelompok islam, pembelaan amerika itu tidak laku. Kemarahan dan sentiment anti Amerika sudah sedemikian kuat. Sebagian besar sentiment ini justru diciptakan oleh Amerika sendiri akibat standar gandanya dalam soal konflik Israel-Palestina. Sebagian lagi, sentiment anti amerika dan propokasi Islam sengaja pula disebarkan oleh tokoh Islam, untuk mencari dukungan dunia Islam lainnya.
Kedua, berkali-kali pihak internasional menyatakan Indonesia menjadi sarang terorisme. Namun pemerintah masih tidak ingin bertindak ekstra keras karena khawatir terjadi konflik internal didalam politik masyarakat.
Saat itu dunia inetrnasional masih masih dapat memahami keengganan pemerintah bertindak keras karena labilnya politik domestic Indonesia sendiri. Tragedi bali menjadi batas akhir kesabaran internasional. Begitu banyak Negara tetangga yang tidak aman jika Indonesia tidak bereaksi, dan akhirnya pemerintahpun bereaksi. Abubakar Ba’asyir ditangkap, untuk kejahatan yang sebenarnya tidak berhubunagan dengan tragedy bali. Dan pemeritah Indonesia juga mendukung dimasukkannya jamaah islamiyah sebagai organisasi teroris. Karena kelemahan komunikasi politik, akhirnya kembali politik prasangka lebih menguasai, penangkapan Ba’asyir lebih dijadikan polemic ketimbang alasan penagkapannya. Citra yang timbul di masyarakat bukan ketegasan pemerintah bersikap, meleinkan pemerintah dianggap sudah semakin menjadi kaki tangan kekuatan asing, melawan rakyat sendiri. Prasangka ini diperkuat juga oleh tokoh-tokoh yang terpojok untuk memperkuat dan menambah dukungan politik.
Ketiga, Tidak bias di pungkiri mayoritas pemilih adalah muslim. Sentiment islam masih menjadi mesin pengumpul suara yang efektif. Dengan kualitas mayoritas elite yang korup, yang sangat tinggi motif berkuasa, namun rendah komitmennya kepada etika dan hukum, segala hal dapat terjadi.
Isu terorisme, termasuk penangkapan Ba’asyir akan mudah di politisi demi kepentingan jangka pendek masing-msing politikus. Didunia perasngka politik adalah peluru yang amat efktif untuk menusuk lawan dimata opini public. Kini sangat dibutuhkan komunikasi politik yang baik dari pemerintah, serta juga peran aktif pemimpin islam moderat untuk meyakinkan public.
Politik prasangka harus diminimalkan, walau tidak dapat dihapus samasekali. Public luas, yang bukan pemain politik, meski dibuat yakin dan percaya, bahwa seorang yang diburu aparat keamanan semata hanya karena tindakan kriminalnya, bukan karena agamanya.
Pemerintah versus Politik Islam, serta bahayanya politik prasangka
Disini kelompok poitik islam semakin hari semakin bersatu dan menjadikan pemerintah sebagai musuh bersama. Kini proyek terorisme yang kini dicanangkan pemerintah dicurigai sasaran sebenarnya adalah untuk menghabisi islam garis keras.
Kesalahan kita secara kolektif mungkin karena tingginya politik prasangka: prasangka bahwa pemerintah menjadi kakitangan asing, prasangka pemerintah akan menghabisi tokoh islam gris keras, prasangka pemerintah hanya mencari kambing hitam, sementara peperintah sendiri tidak pula pandai memainkan komunikasi politik untuk meredam prasangka buruk itu.
Setidaknya ada tiga lingkunagan politik yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya politik prasangka. Pertama, lingkungan opini dunia yang sudah terlanjur terbentuk. Perang global melawan terorisme sudah didistorsikan sebagai perang untuk melemahkan kekuatan dunia Islam.
Pemerintah Amerika berkali-kali menjelaskan bahwa perang itu tidak ada hubungannya dengan agama. Daftar 35 organisasi teroris internasional yang dikeluarkan Amerika banyak juga berasal dari agama lain, namun sebagian besarnya adalah kelompok islam, pembelaan amerika itu tidak laku. Kemarahan dan sentiment anti Amerika sudah sedemikian kuat. Sebagian besar sentiment ini justru diciptakan oleh Amerika sendiri akibat standar gandanya dalam soal konflik Israel-Palestina. Sebagian lagi, sentiment anti amerika dan propokasi Islam sengaja pula disebarkan oleh tokoh Islam, untuk mencari dukungan dunia Islam lainnya.
Kedua, berkali-kali pihak internasional menyatakan Indonesia menjadi sarang terorisme. Namun pemerintah masih tidak ingin bertindak ekstra keras karena khawatir terjadi konflik internal didalam politik masyarakat.
Saat itu dunia inetrnasional masih masih dapat memahami keengganan pemerintah bertindak keras karena labilnya politik domestic Indonesia sendiri. Tragedi bali menjadi batas akhir kesabaran internasional. Begitu banyak Negara tetangga yang tidak aman jika Indonesia tidak bereaksi, dan akhirnya pemerintahpun bereaksi. Abubakar Ba’asyir ditangkap, untuk kejahatan yang sebenarnya tidak berhubunagan dengan tragedy bali. Dan pemeritah Indonesia juga mendukung dimasukkannya jamaah islamiyah sebagai organisasi teroris. Karena kelemahan komunikasi politik, akhirnya kembali politik prasangka lebih menguasai, penangkapan Ba’asyir lebih dijadikan polemic ketimbang alasan penagkapannya. Citra yang timbul di masyarakat bukan ketegasan pemerintah bersikap, meleinkan pemerintah dianggap sudah semakin menjadi kaki tangan kekuatan asing, melawan rakyat sendiri. Prasangka ini diperkuat juga oleh tokoh-tokoh yang terpojok untuk memperkuat dan menambah dukungan politik.
Ketiga, Tidak bias di pungkiri mayoritas pemilih adalah muslim. Sentiment islam masih menjadi mesin pengumpul suara yang efektif. Dengan kualitas mayoritas elite yang korup, yang sangat tinggi motif berkuasa, namun rendah komitmennya kepada etika dan hukum, segala hal dapat terjadi.
Isu terorisme, termasuk penangkapan Ba’asyir akan mudah di politisi demi kepentingan jangka pendek masing-msing politikus. Didunia perasngka politik adalah peluru yang amat efktif untuk menusuk lawan dimata opini public. Kini sangat dibutuhkan komunikasi politik yang baik dari pemerintah, serta juga peran aktif pemimpin islam moderat untuk meyakinkan public.
Politik prasangka harus diminimalkan, walau tidak dapat dihapus samasekali. Public luas, yang bukan pemain politik, meski dibuat yakin dan percaya, bahwa seorang yang diburu aparat keamanan semata hanya karena tindakan kriminalnya, bukan karena agamanya.
Agil asshofie 05:50:00 Admin Tangerang Indonesia
Disini kelompok poitik islam semakin hari semakin bersatu dan menjadikan pemerintah sebagai musuh bersama. Kini proyek terorisme yang kini dicanangkan pemerintah dicurigai sasaran sebenarnya adalah untuk menghabisi islam garis keras.
Kesalahan kita secara kolektif mungkin karena tingginya politik prasangka: prasangka bahwa pemerintah menjadi kakitangan asing, prasangka pemerintah akan menghabisi tokoh islam gris keras, prasangka pemerintah hanya mencari kambing hitam, sementara peperintah sendiri tidak pula pandai memainkan komunikasi politik untuk meredam prasangka buruk itu.
Setidaknya ada tiga lingkunagan politik yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya politik prasangka. Pertama, lingkungan opini dunia yang sudah terlanjur terbentuk. Perang global melawan terorisme sudah didistorsikan sebagai perang untuk melemahkan kekuatan dunia Islam.
Pemerintah Amerika berkali-kali menjelaskan bahwa perang itu tidak ada hubungannya dengan agama. Daftar 35 organisasi teroris internasional yang dikeluarkan Amerika banyak juga berasal dari agama lain, namun sebagian besarnya adalah kelompok islam, pembelaan amerika itu tidak laku. Kemarahan dan sentiment anti Amerika sudah sedemikian kuat. Sebagian besar sentiment ini justru diciptakan oleh Amerika sendiri akibat standar gandanya dalam soal konflik Israel-Palestina. Sebagian lagi, sentiment anti amerika dan propokasi Islam sengaja pula disebarkan oleh tokoh Islam, untuk mencari dukungan dunia Islam lainnya.
Kedua, berkali-kali pihak internasional menyatakan Indonesia menjadi sarang terorisme. Namun pemerintah masih tidak ingin bertindak ekstra keras karena khawatir terjadi konflik internal didalam politik masyarakat.
Saat itu dunia inetrnasional masih masih dapat memahami keengganan pemerintah bertindak keras karena labilnya politik domestic Indonesia sendiri. Tragedi bali menjadi batas akhir kesabaran internasional. Begitu banyak Negara tetangga yang tidak aman jika Indonesia tidak bereaksi, dan akhirnya pemerintahpun bereaksi. Abubakar Ba’asyir ditangkap, untuk kejahatan yang sebenarnya tidak berhubunagan dengan tragedy bali. Dan pemeritah Indonesia juga mendukung dimasukkannya jamaah islamiyah sebagai organisasi teroris. Karena kelemahan komunikasi politik, akhirnya kembali politik prasangka lebih menguasai, penangkapan Ba’asyir lebih dijadikan polemic ketimbang alasan penagkapannya. Citra yang timbul di masyarakat bukan ketegasan pemerintah bersikap, meleinkan pemerintah dianggap sudah semakin menjadi kaki tangan kekuatan asing, melawan rakyat sendiri. Prasangka ini diperkuat juga oleh tokoh-tokoh yang terpojok untuk memperkuat dan menambah dukungan politik.
Ketiga, Tidak bias di pungkiri mayoritas pemilih adalah muslim. Sentiment islam masih menjadi mesin pengumpul suara yang efektif. Dengan kualitas mayoritas elite yang korup, yang sangat tinggi motif berkuasa, namun rendah komitmennya kepada etika dan hukum, segala hal dapat terjadi.
Isu terorisme, termasuk penangkapan Ba’asyir akan mudah di politisi demi kepentingan jangka pendek masing-msing politikus. Didunia perasngka politik adalah peluru yang amat efktif untuk menusuk lawan dimata opini public. Kini sangat dibutuhkan komunikasi politik yang baik dari pemerintah, serta juga peran aktif pemimpin islam moderat untuk meyakinkan public.
Politik prasangka harus diminimalkan, walau tidak dapat dihapus samasekali. Public luas, yang bukan pemain politik, meski dibuat yakin dan percaya, bahwa seorang yang diburu aparat keamanan semata hanya karena tindakan kriminalnya, bukan karena agamanya.
Agil asshofie 05:50:00 Admin Tangerang Indonesia
Pemerintah versus Politik Islam, serta bahayanya politik prasangka
Posted by Agil Asshofie
on 05:50:00
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Artikel Terkait:
Islam di Afrika Selatan Sejarah Islam di Afrika Selatan Pada awalnya wilayah Afrik ...
Otonomi Daerah Menurut UU No 9 Tahun 2015 Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan ...
Pemikiran Politik Ayatullah Khomeini Ayatullah al-Uzma Sayyid Ruhullah Al-Musavi Ayatullah Khomeini lahir di Khumyn pada tanggal 24 Oktober 1902 (20 Jumadi al-Sani 1320 ...
Pemerintahan Dalam Pandangan John Locke John Locke berpendapat, kebebasan individu hanya apat dijamin dengan suatu pemerintah yang memiliki kewenangan yang terbatas. Sebel ...
Perjuangan Politik Islam di Malaysia, Thailad dan Filipina Jika berbicara bagaimana Islam di malaysia memperjuangkan kepentingan mereka melalui politik, sesungguhnya telah melalui masalah-ma ...
Berikan Komentar Anda