Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.

Otonomi Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5  memberikan definisi Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada definisi normatif dalam UU No 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah : 

1. Hak.
2. Wewenang.
3. Kewajiban Daerah Otonom.

Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam UU NO 32 Tahun 2004 yang dimaksud hak dalam konteks otonomi daerah adalah hak-hak daerah yang dijabarkan pada  Pasal 21 Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak: 1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. 2. Memilih pimpinan daerah. 3. Mengelola aparatur daerah. 4. Mengelola kekayaan daerah. 5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah. 6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. 7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah. 8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah, maka daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus urusan pemerintahanya, urusan pemerintahan yang tertulis pada Pasal 12 UU No 32 Tahun 2004 memberikan panduan, yaitu: (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.

Selanjutnya  urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah di daerah otonom didasarkan pada asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 7 UU No 32 Tahun 2004). Urusan Pemerintahan ini ada yang diklasifikasi menjadi urusan wajib dan dalam konstruksi UU No 32 Tahun 2004 ada urusan wajib  berskala provinsi dan berskala kabupaten, sebagaimana diatur pada Pasal 13.

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan. b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. d. penyediaan sarana dan prasarana umum. e. penanganan bidang kesehatan. f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota. j. pengendalian lingkungan hidup. k. pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. m .pelayanan administrasi umum pemerintahan. n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya untuk urusan pemerintahan skala kabupaten Pasal 14. (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan. b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. d. penyediaan sarana dan prasarana umum. e. penanganan bidang kesehatan. f. penyelenggaraan pendidikan. g. penanggulangan masalah sosial. h. pelayanan bidang ketenagakerjaan. i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah. j. pengendalian lingkungan hidup. k. pelayanan pertanahan. l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. m. pelayanan administrasi umum pemerintahan. n. pelayanan administrasi penanaman modal. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya. p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 

Untuk melaksanakan kewenangan wajib tersebut, maka daerah otonom dalam melaksanakan otonomi daerah pada Pasal 22 yang menyatakan : Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan. e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan. f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. h. mengembangkan sistem jaminan sosial. i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah. k. melestarikan lingkungan hidup. l. mengelola administrasi kependudukan. m. melestarikan nilai sosial budaya. n. membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Kepemimpinan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah 

Persoalan kepemimpinan dan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka berkisar pada lima pilar tata kelola pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu :

Pilar Pertama, Demokrasi melalui PILKADA  Kebijakan pemberlakuan otonomi membuat setiap daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan yang dianggap sesuai. Terlebih dengan pemilihan kepala daerah secara langsung yang diselenggarakan sejak tahun 2005 ini, membuat kepala daerah terpilih mendapat legitimasi lebih kuat, dibanding saat dipilih oleh anggota DPRD. Tentunya kepala daerah hasil pilkada langsung ini membuahkan harapan yang cukup besar bagi masyarakat, yaitu kesejahteraan yang akan makin meningkat.  

Pilar Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM), Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi pelaku dan penentu. SDM yang diperlukan  Yaitu SDM yang memiliki: moral yang baik (good morality), kemampuan kepemimpinan (leadership), kemampuan manajerial (managerial skill), dan kemampuan teknis (technical skill). Seorang kepala daerah perlu didukung oleh aparat yang mempunyai empat kualifikasi tersebut, diberbagai level jabatan dan fungsinya. Moral yang baik menjadi prasyarat utama. Karena tanpa moral yang baik, semua kebijakan, sistem, program maupun kegiatan yang dirancang akan menjadi sia-sia.

Moral yang baik akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Namun moral yang baik belumlah cukup, harus diimbangi dengan kompetensi. Yaitu kemampuan di bidang kepemimpinan, manajerial, dan teknis. Untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, tidak terlepas dari sistem kepegawaian yang diterapkan. Model manajemen SDM berbasis kompetensi nampaknya menjadi keniscayaan. Termasuk sistem kompensasi yang memadai harus menjadi perhatian.  Selain itu perlu didukung dengan perubahan paradigma, yaitu dari mental penguasa menjadi pelayan masyarakat. Termasuk budaya kerja yang proaktif dan cepat tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Pilar Ketiga, Kebijakan Maksudnya adalah berbagai konsep kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Secara formal, kebijakan tersebut akan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah. Kepala daerah antara lain harus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan, konsep manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien, konsep investasi yang mengakomodir kepentingan pihak terkait, serta berbagai konsep kebijakan lainnya. Hal ini sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang mengamanatkan kepala daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), yang menjabarkan visi dan misinya selama lima tahun masa pemerintahannya. Sehingga dengan demikian arah pembangunan sejak dilantik hingga lima tahun ke depan sudah jelas. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah antara lain jika pemerintah dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar masyarakatnya, yaitu: pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, dan kesehatan.

Pilar Keempat, Sistem Artinya pemerintahan harus berjalan berdasarkan sistem, bukan tergantung pada figur. Sangat penting bagi kepala daerah untuk membangun sistem pemerintahan yang kuat. Beberapa sistem yang harus dibangun agar pemerintahan dapat berjalan secara baik antara lain: sistem perencanaan pembangunan, sistem pengelolaan keuangan daerah, sistem kepegawaian, sistem pengelolaan aset daerah, sistem pengambilan keputusan, sistem penyeleksian dan pemilihan rekanan, sistem dan standar pelayanan, sistem pengawasan. Sistem yang dimaksud di sini dapat bersifat manual maupun yang berbasis teknologi informasi. Dukungan teknologi informasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan jika pemerintahan ingin berjalan lebih efisien dan efektif. 

Pilar Kelima, yaitu Investasi. Tidaklah mungkin suatu pemerintahan daerah hanya mengandalkan dana dari APBD untuk membangun daerahnya. Karena bisa dikatakan, sebagian besar daerah menggunakan rata-rata 2/3 dana APBD tersebut untuk membiayai penyelenggaraan aparaturnya. Hanya sekitar 1/3 yang dapat dialokasikan untuk pembangunan. Dibutuhkan dana ratusan milyar bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, bandar udara, telekomunikasi, rumah sakit, hotel. Sedangkan infrastruktur merupakan syarat agar sebuah daerah dapat berkembang. Contoh lain adalah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki, juga memerlukan dana yang tidak sedikit, yang tentunya tidak mungkin jika hanya mengandalkan dana APBD saja.  Dengan keterbatasan dana yang dimiliki tersebut, mau tidak mau pemerintah daerah harus melibatkan pihak investor (dalam maupun luar negeri) dalam membangun daerahnya. Kepala daerah harus dapat menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan investasi di daerahnya.

Untuk mengawal lima pilar tata kelola pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, UU No 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya, memberikan panduan, yaitu asas-asas pengelolaan tata pemerintahan yang baik, sebagaimana dimaksud  Pasal 20. (1). Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. asas kepastian hukum. b. asas tertib. penyelenggara negara. c. asas kepentingan umum. d.asas keterbukaan. e. asas proporsionalitas. f. asas profesionalitas. g. asas akuntabilitas. h. asas efisiensi. i. asas efektivitas. (2). Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemikiran Cicero Tentang Hukum

Salah satu sumbangan penting filosof Romawi, terutama setelah Cicero mengembangkan karyanya De Re Publica dan De Legibus adalah pemikiran tentang hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh para filosof Yunani. Bagi para filosof Romawi, terutama Ulpian, “a ruler’s will actually is law”, “a command of the emperor in due form is a lex”. “any imperial constitution, like a senatus consultum, should have the place of a lex (legis vicem optineat)”, “because the Emperor himself receives his imperium by virtue of a lex (per legem)”. 
Dengan perkataan lain, di sini jelas dan tegas sekali dipakainya istilah “lex” yang kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan hukum di zaman Romawi kuno. Sebagaimana dikemukakan oleh Gaius pada abad ke-2, “a lex is what the people orders and has established”. Setelah 4 abad kemudian, ‘a lex’ didefinisikan sebagai ‘what the Roman people was accustomed to establish when initiated by a senatorial magistrate such as as consul’. Penggunaan perkataan ‘lex’ itu nampaknya lebih luas cakupan maknanya daripada ‘leges’ yang mempunyai arti yang lebih sempit. Konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan bahkan di atas negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai ‘lex’ yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip ‘the higher law’

Prinsip hirarki hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan Di samping itu, para filosof Romawi jugalah yang secara tegas membedakan dan memisahkan antara pengertian hukum publik (jus publicum) dan hukum privaat (jus privatum), sesuatu hal baru yang belum dikembangkan sebelumnya oleh para filosof Yunani. Bahkan perkataan ‘jus’ dalam bahasa Latin sendiripun tidak dikenal padanannya dalam bahasa Yunani kuno seperti yang sudah dijelaskan di atas. Biasanya, keduanya dibedakan dari sudut kepentingan yang dipertahankan. Hukum publik membela kepentingan umum yang tercermin dalam kepentingan ‘negara’, ‘the civitas’, sedangkan hukum privaat menyangkut kepentingan orang per orang, ‘that which pertains to the utility of individuals’.  

Namun demikian, baik kepentingan umum maupun privaat, sebenarnya tetap berkaitan dengan kepentingan individu setiap warga negara. Seperti dikatakan oleh Rudolf van Ihering, hak-hak publik dan hak-hak privaat tidak dapat dibedakan satu sama lain (not distinguishable). Subjek keduanya selalu persis sama, yaitu menyangkut ‘the natural person’, makhluk manusia. Perbedaan hakiki keduanya hanya terletak pada kenyataan bahwa “private rights affect private individuals exclusively, while all the individual citizens alike participate in the public”. (hak-hak privat, secara eksklusif, mempengaruhi dan menentukan pribadi-pribadi perseorangan, sedangkan individu warga negara semuanya sama-sama terlibat berpartisipasi dalam kegiatan publik tanpa kecuali). 

Pemikiran politik Cicero didasarkan atas penerimaannya yang kuat terhadap ‘the Stoic universal law of nature’ yang merangkul dan mengikat seluruh umat manusia: 

“There is in fact a true law – namely, right reason – which is in accor- dance with nature, applies to all men, and is unchangeable and eternal. By its commands this law summons men to the performance of their duties; by its prohibitions it restrains them from doing wrong. Its commands and prohibitions always influence good men, but are without effect upon the bad.”

Cicero juga menegaskan adanya ‘one common master and ruler of men, namely God, who is the author of this law, it sinterpreter, and tis sponsor’. Tuhan, bagi Cicero, tak ubahnya bagaikan Tuan dan Penguasa semua manusia, serta merupakan Pengarang atau Penulis, Penafsir dan Sponsor Hukum. Oleh karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hukum dalam pemahamannya tentang persamaan antar umat manusia. Baginya, konsepsi tentang manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai ‘political animal’ atau insan politik,melainkan lebih utama adalah kedudukannya sebagai ‘legal animal’ atau insan hukum. 

Selain itu, beberapa kesimpulan dapat ditarik dari pengalaman sejarah konstitusionalisme Romawi kuno ini adalah: Pertama, untuk memahami konsepsi yang sebenarnya tentang ‘the spirit of our consti­ tutional antecedents’ dalam sejarah, ilmu hukum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya sama pentingnya dibandingkan dengan sekedar perbincangan mengenai materi hukum. Kedua, ilmu pengetahuan hukum yang dibedakan dari hukum sangat bercorak Romawi sesuai asal mula pertumbuhannya. Ketiga, pusat perhatian dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hukum Romawi bukanlah ‘the absolutisme of a prince’ sebagaimana sering dibayangkan oleh banyak ahli, tetapi justru terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi kewenangan politik dalam satu negara. Dengan demikian, rakyatlah dalam perkembangan pemikiran Romawi yang dianggap sebagai sumber yang hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan 

Oleh: Jimly Assiddiqy

Konstitusi Dalam Pandangan Plato dan Aristoteles

Oleh: jimly asshiddiqie

Menurut Sir Paul Vinogradoff: 

"The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled".

Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian (center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani kuno. Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa "Our whole state is an imitation of the best and noblest life". Socrates dalam bukunya Panathenaicus atau pun dalam Areopagiticus menyebut bahwa "the politeia is the 'soul of the polis' with power over it like that of the mind over the body". Keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian pula Aristoteles dalam bukunya Politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase "in a sense the life of the city".

Dalam bukunya Politics, Aristoteles menyatakan:

"A constitution (or polity) may be defined as 'the organization of a polis, in respect of its offices generally, but especially in respect of that particular office which is sovereign in all issues".

Selanjutnya oleh Aristoteles dikatakan:

"The civic body (the politeuma, or body of persons established in power by the polity) is everywhere the sovereign of the state; in fact the civic body is the polity (or constitution) itself".

Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada (i) the ends pursued by states, and (ii) the kind of authority exercised by theirgovernment. Tujuan tertinggi dari negara adalah 'a good life', dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Ka- rena itu, Aristoteles membedakan antara 'right constitution' dan 'wrong constitution' dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebutnya konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.

Konstitusi yang terakhir ini dapat disebut pula sebagai 'perverted constitution' yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang 'selfish' (the selfish interest of the ruling authority). Konstitusi yang baik adalah konstitusi yang normal, sedangkan yang tidak baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik-buruknya atau normal-tidaknya konstitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa "political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled".

Di antara karya-karya Plato seperti Republic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog Plato yang diberi judul Politicus atau Statesman yang memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan konstitusionalisme. Buku terakhir ini, di samping buku-buku lainnya, banyak mempengaruhi pemikiran Aristoteles di kemudian hari tentang gagasan konstitusionalisme seperti yang kita pahami sekarang.

Jika dalam Republic, Plato menguraikan gagasan 'the best possible state', maka dalam buku Politicus (Statesman) sebelum ia menyelesaikan karya monumental berjudul Nomoi, Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh negara sehingga ia menerima negara dalam bentuknya sebagai 'the second best' dengan menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi. "Plato's Republic deals with an unattainable ideal; his Politicus treats of the attainable in its rela­ tion to this same ideal". Jika dalam Republic ia mengidealkan peranan 'his philosopherking' yang mempunyai 'a strength of art which is superior to the law' atau bahkan dikatakan sang pemimpin itu sendirilah yang membuat seni kepemimpinannya sebagai hukum, 'not by laying down rules, but by making his art a law'. Karena itu, banyak kalangan sarjana yang memperdebatkan apakah Plato itu 'an absolutist or constitutionalist'.

Namun, jika kita berusaha menafsirkan secara kritis perkembangan pemikiran Plato sendiri yang tercermin dalam karya-karyanya, kita tidak dapat melepaskan kenyataan adanya keterkaitan antara pemikiran yang dikembangkannya sebagai intelektual dengan pergaulan empirisnya dengan kekuasaan setelah ia diangkat menjadi penasehat Raja Dyonisius II. Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan yang tajam antara idealitas negara yang tergambar dalam Republic dan apa yang diuraikan Plato dalam Nomoi, dan sebelum menulis Nomoi terlebih dulu Plato menyelesaikan Politicus.

Namun dari pendapat-pendapat muridnya, yaitu Aristoteles, memang dapat dibayangkan pandangan para filosof pada zaman Yunani Kuno itu tentang negara dan hukum tentu tidak seperti sekarang.

Misalnya, Aristoteles mengatakan:

"A godlike ruler should rule like a god, and if a godlike man should appear among men, godlike rule would and should be gladly conceded to him".

Artinya, Aristoteles sendiri juga membayangkan keberadaan seorang pemimpin negara yang bersifat 'superman' dan berbudi luhur. Karena, sejarah kenegaraan Yunani pada zamannya sangat labil. Pertama, di zamannya, belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindakan-tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang 'inkonsti­ tusional'. Kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak hanya mengubah corak 'public law', tetapi juga menjungkirbalikkan segala institusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan berakibat pada tuntutan perubahan keseluruhan 'way of life' (masyarakat) 'polity' yang bersangkutan. Dalam keadaan demikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan 'polity' dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ketiga, revolusi demikian selalu terjadi dengan disertai kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan bahkan kematian, sehingga orang Yunani dihinggapi oleh penyakit "fear of stasis".

Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Aristoteles berada dalam posisi untuk memberikan nasehat kepada sang 'tyrant' mengenai bagaimana memperpanjang tipe kekuasaan (type of government) yang diakuinya sebagai kekuasaan yang paling menindas di dunia (the most oppressive in the world) serta paling singkat usianya. Kondisi sosial politik yang tidak stabil itulah yang menyebabkan orang berusaha memilih 'status quo' (to preserve the status quo). Misalnya, dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya Politics:

"Politics generally are liable to dissolution not only from within but from without, when there is a state having an antagonistic polity near to them or distant but possessed of considerable power".

Dalam bagian lain dari tulisannya, Aristoteles juga me- nyatakan: 

"The practice of cutting off prominent characters and putting out of the way the high spirits in the state; the prohibition of common meals, political clubs, high culture and everything else of the same kind; pre- cautionary measures against all that tends to produce two results, viz., spirit and confidence". "A tyrant is fond of making wars, as a means of keeping his subjects in employment and in continual need of a commander".

Namun demikian, harus juga dimengerti bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics, orang Yunani kuno memang belum membedakan sama sekali antara konsep negara (state) dan masyarakat (society), antara 'civil' dan 'social'. Karena itu, para filosof Yunani cenderung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang 'polity', tentang negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles Rhetorica yang menyebut istilah 'common law' dalam arti 'the natural law' yang tidak lebih daripada satu porsi pengertian saja dari 'the state's actual laws'. Pemikiran filsafat Yunani kuno yang dikembangkan oleh Aristoteles dan kawan-kawan tidak atau belum membayangkan hukum sebagai sesuatu yang berada di luar pengertian 'polity' (negara) atau sesuatu yang terpisah dari negara, di mana negara harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya.

Perubahan terhadap pandangan yang tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang berada di luar atau di atas negara, baru timbul setelah Cicero memperkenalkan pemikirannya dengan mengartikan negara sebagai suatu 'a bond of law' (vinculum juris). Dalam pengertian 'vinculum juris' itu, hukum tidak hanya dilihatnya sebagai elemen suatu negara, tetapi 'an antecedent law'. Dalam bukunya De Re Publica, Cicero mengatakan bahwa hukum dalam arti demikian sama tuanya dengan pemikiran tentang keberadaan Tuhan, jauh sebelum adanya negara di manapun juga. Negara, bagi Cicero, merupakan kreasi hukum. Sejak Cicero, dapat dikatakan pemikiran kenegaraan dan hukum mengalami revolusi besar-besaran. Karena perbedaan di antara tradisi Yunani yang dimotori oleh Aristoteles dengan tradisi Romawi yang dimotori oleh Cicero cenderung sangat tajam, maka Charles Howard McIlwain menyatakan:

"We can not hope to bridge the gap between the constitutionalism of Aristotle and that of Cicero, but even the most superficial comparison of the two will show that a gap is there, and a very wide one".

Karena lebarnya jurang di antara keduanya, kita tidak mungkin berharap akan dapat menjembatani berbedaan antara gagasan konstitusionalisme Aristoteles dan konstitusionalisme Cicero. Bahkan, oleh Dr. Carlyle dikatakan:

"The is no change in political theory so startling in its completeness as the change from the theory of Aristotle to the later philosophical view represented by Cicero and Seneca… We have ventured to suggest that the dividing-line between the ancient and the modern political theory must be sought, if anywhere, in the periode between Aristotle and Cicero".

Tidak ada perubahan yang begitu mendasar dalam perkembangan teori politik dalam sejarah seperti perubahan yang begitu menakjubkan dari pemikiran Aristoteles ke Cicero dan Seneca. Jika kita berusaha menemukan garis pemisah yang begitu tegas di antara sejarah pemikiran politik klasik dan zaman modern, maka era pemi- sah itu adalah periode di antara Aristoteles dan Cicero.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.