Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.

Melihat Kembali Nasib Penyandang Cacat

Tanggal 3 Desember merupakan hari khusus yang ditetapkan PBB sebagai Hari Penyandang Cacat Sedunia. Pencanangan ini merupakan bentuk penghargaan Majelis Umum PBB terhadap jasa, peran dan kemampuan para penyandang cacat. Hari ini merupakan juga momentum bagi masyarakat internasional untuk memperhatikan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi para penderita cacat. Secara umum, mereka yang tidak mampu melakukan seluruh atau sebagian dari aktifitas normal kehidupan pribadi atau sosial lantaran mengalami kelainan tubuh atau mental bisa digolongan sebagai penyandang cacat. Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), cacat dianggap sebagai kondisi yang menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan. Menurut WHO, penderita cacat merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia. Sebab, dalam setiap masyarakat, rata-rata 10 persen darinya merupakan penyandang cacat.

Laporan WHO juga menyebutkan, jumlah penderita cacat tubuh, mental dan sosial di dunia saat ini sekitar lebih dari 600 juta orang. 80 persen dari jumlah itu berada di kalangan negara-negara berkembang. Perlu diketahui juga, anak-anak mengambil porsi sepertiga dari total penderita cacat dunia. Berdasarkan pelbagai data yang ada, dari setiap sepuluh anak yang lahir di dunia, seorang diantaranya menderita cacat bawaan atau pun mengalami cacat pasca masa kelahiran akibat beragam insiden. Sebagian besar kasus cacat yang terjadi pasca kelahiran disebabkan gizi buruk, kemiskinan, minimnya pengetahuan soal kesehatan, dan kecerobohan dalam menjaga kesehatan serta beragam faktor lainnya yang merupakan dampak dari ketertinggalan masyarakat.

Menurut perkiraan Bank Dunia, 20 persen dari penduduk termiskin di dunia adalah kalangan penyandang cacat. Beragam hasil penelitian menunjukkan, persoalan utama yang banyak dihadapi penderita cacat saat ini ternyata bukan hanya disebabkan oleh faktor kesehatan, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Sebagian besar penderita cacat mengalami persoalan fisik, budaya dan sosial. Hambatan sosial, merupakan salah satu penghalang utama bagi penyandang cacat untuk memperoleh fasilitas publik yang layak. Di sisi lain,tidak adanya pandangan sosial yang obyektif telah meminggirkan penderita cacat dari lingkaran interaksi sosial yang sehat.

Namun yang lebih ironis lagi adalah nasib perempuan penyandang cacat. Adanya diskriminasi terhadap perempuan penyandang cacat untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan kerja dan keterampilan, serta layanan sosial lainnya membuat persoalan yang dihadapi perempuan cacat semakin berat. Yang jelas baik lelaki ataupun perempuan cacat, sama-sama mengalami keterbatasan dan kesulitan dalam kehidupannya. Dan tanpa bantuan yang lain, tentu persoalan tersebut tidak akan bisa terselesaikan.

Selama dua dekade belakangan, beragam upaya untuk mensosialisasikan persoalan yang dihadapi penderita cacat kepada masyarakat dunia telah diupayakan secara luas. Salah satu tonggak penting dari upaya itu adalah penetapan tahun 1981 sebagai Tahun Penyandang Cacat Sedunia oleh Majelis Umum PBB. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dunia di tahun tersebut mulai
memberikan perhatian bagi perbaikan kualitas hidup penyandang cacat yang didasarkan pada prinsip persamaan kesempatan dan partisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Setelah itu, tahun 1982 PBB mengesahkan undang-undang program internasional terkait masalah penyandang cacat. Undang-undang ini sejatinya merupakan pedoman untuk merancang beragam program nasional yang terkait dengan persoalan penyandang cacat di setiap negara.

Berikutnya, PBB mencanangkan selang waktu antara tahun 1983 hingga 1992 sebagai Dekade Penyandang Cacat Sedunia. Langkah itu dilakukan untuk meningkatkan peran aktif penyandang cacat dalam kehidupan sosial. Kemudian pada tahun 1993, PBB menyempurnakan undang-undang tahun1982 dengan menambahkan aturan standarisasi bagi persamaan kesempatan penyandang cacat dalam berbagai aspek. Untuk mempertegas komitmen itu, pada Desember 2006 melalui sidang Majelis Umum, PBB mensahkan Konvensi Lengkap Hak-Hak Penyandang Cacat. Seluruh negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut berkewajiban untuk menerapkan beragam kebijakan untuk mendukung hak-hak penderita cacat dan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap mereka.

Di penghujung setiap tahun, saat peringatan Hari Penyandang Cacat Sedunia makin dekat, perhatian terhadap kelompok masyarakat cacat juga meningkat. Momentum ini merupakan kesempatan untuk melihat kembali dan menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dari pelbagai aspek. Tahun ini tema yang diangkat dalam Hari Penyandang Cacat Sedunia adalah "Memberdayakan Penyandang Cacat". Tema tersebut sengaja dipilih sebagai upaya untuk program internasional PBB yaitu Tujuan Pembangunan Millenium Ketiga atau yang dikenal dengan istilah Millennium Development Goals (MDGs).

Kendati sudah banyak negara yang telah mengadopsi undang-undang internasional penyandang cacat, namun implementasi aturan tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan terutama di kalangan negara-negara dunia ketiga. Hingga kini masih banyak penderita cacat di negara-negara berkembang yang tidak bisa berperan aktif secara luas di lingkungan sosialnya. Selama ini meski mereka memiliki kemampuan yang memadai, namun tetap saja dikucilkan. Padahal persoalan yang dihadapi penyandang cacat bukan hanya terkait dengan dengan pribadi mereka sendiri, tapi juga masyarakat. Karena itu, semua kalangan harus mengupayakan terwujudnya situasi yang kondusif sehingga seluruh penyandang cacat bisa memperoleh hak-haknya dan kesempatan yang sama.

Selain itu tetap memberikan penghormatan dan posisi yang layak, masyarakat juga dituntut memberikan kesempatan bagi penyandang cacat untuk mengembangkan kemampuan dan kreatifitas mereka serta memanfaatkannya untuk memberdayakan masyarakat.

Sejatinya, realisasi Tujuan Pembangunan Millenium Ketiga memerlukan peran serta penyandang cacat dan pemanfaatan potensi dan kemampuan mereka. Mewujudkan keadaan yang kondusif dan memperhatikan hak-hak penyandang cacat merupakan sebagian kecil dari tanggung jawab sosial dan moral kita sebagai anggota masyarakat.

sumber : http://indonesian.irib.ir

Anak dan Serangan Media

Asal mula peringatan Hari Anak Sedunia muncul dari Turki yang mayoritas berpenduduk Muslim. Ide Hari Anak ini lahir pada 23 April 1920. Ide ini lantas dibahas dalam konferensi dunia di Swiss pada tahun 1925. Salah satu misinya adalah melindungi hak hidup anak-anak pada masa perang dunia. Kemudian pada Oktober 1953, Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyelenggarakan peringatan Hari Anak Sedunia untuk pertama kalinya. Namun sidang PBB akhirnya menyepakati tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia yang diperingati setiap tahunnya. Peringatan Hari Anak Sedunia ditujukan untuk memberi perhatian khusus terhadap kondisi hak anak-anak dan problema yang melilit kelompok usia ini. Menurut pandangan UNICEF, pemerintah dan masyarakat dunia harus memprioritaskan kepentingan anak-anak, dan kehidupan yang layak bagi mereka harus menjadi parameter dalam membuat setiap keputusan. Beberapa waktu lalu, UNICEF meminta negara-negara di dunia untuk memasukkan perihal hak-hak anak dalam undang-undang dasar setiap negara. Tahun ini peringatan hari ini membawa motto "Hak Prioritas Bagi Anak-Anak."

Berdasarkan data UNICEF, sekitar 2,2 juta anak hidup di berbagai belahan dunia dan setiap harinya, jutaan anak-anak terampas hak-haknya. Kendala utama anak-anak adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka seperti, makanan, air bersih, bantuan medis, pendidikan, dan perlindungan. Tingkat kriminalitas yang tinggi di tengah anak-anak juga termasuk ancaman serius yang mendapat perhatian para pakar dan lembaga internasional urusan anak.

Selama beberapa tahun terakhir, mayoritas peneliti, pemikir dan aktivis sosial rajin mengkaji pengaruh media audio-visual seperti televisi, bioskop, parabola, dan internet dalam merusak masyarakat. Mereka menyimpulkan bahwa film dan game di samping faktor-faktor lain, berperan dominan dalam menciptakan penyimpangan atau penyakit mental masyarakat baik pada masa remaja atau di usia dewasa. Hasil riset ini memaksa para pakar pendidikan untuk meninjau kembali program-program yang disajikan media dan menyadarkan keluarga dalam memanfaatkan media.

Dalam sebuah riset, para peneliti melakukan uji komparatif terhadap perilaku sejumlah anak setelah mereka menonton acara televisi. Para peneliti ini membagi anak-anak ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama disuguhkan film animasi yang berbau kekerasan dan kelompok kedua diajak untuk menonton film animasi tanpa adegan kekerasan. Setelah itu, para peneliti ini menyaksikan bahwa anak-anak dari kelompok pertama lebih cenderung agresif melakukan pemukulan terhadap teman-teman sepermainan atau bahkan merusak alat permainan mereka.

Seorang psikolog Kanada bernama Albert Bandura melakukan studi komparatif terhadap dampak melihat kekerasan di alam nyata dengan menonton sebuah film animasi yang berbau kekerasan. Hasil studi Bandura memperlihatkan bahwa orang-orang yang melihat kekerasan secara langsung atau mereka yang menyaksikannya lewat televisi sama-sama bersikap emosional dan kasar. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa setengah dari orang tua mengaku anak-anak mereka yang berusia antara 4-6 tahun meniru perilaku kasar yang mereka tonton lewat layar televisi. Berbagai laporan tentang anak-anak dan remaja yang gemar bermain game komputer juga membenarkan masalah ini.

Dalam riset yang dilakukan oleh Garrick Anderson di AS menyebutkan bahwa permainan singkat anak-anak dengan game komputer yang memperagakan aksi kekerasan juga berdampak negatif bagi mereka. Setelah menikmati permainan di dunia cyber, anak-anak tersebut biasanya akan tertarik untuk menggunakan kekerasan dalam keseharian mereka. Anderson bahkan berkesimpulan bahwa mendengar musik-musik rock dan keras juga memperkuat pola pikir emosional dan tempramen sebagaimana hasil riset yang ia lakukan terhadap 500 mahasiswa di AS.

Pakar kriminalitas dari Swedia, Berg Kin meyakini bahwa hubungan sosial dan media massa memiliki pengaruh yang sama dalam mendorong orang-orang untuk berbuat kriminal dan kejahatan. Oleh karena itu, media massa khususnya media audio-visual berdampak merusak terhadap anak-anak dan remaja sama halnya dengan lingkungan dan teman-teman yang tidak baik. Namun bagaimana semua proses ini terjadi? Anak-anak belum mampu membedakan secara penuh antara realita dengan dunia fantasi dan mungkin saja mereka menganggap semua yang disajikan televisi adalah sebuah realita dan kenyataan.

Sebuah kejadian nyata di India menyebutkan bahwa seorang anak laki-laki berusia delapan tahun menyaksikan iklan televisi tentang keampuhan kerja sebuah mesin cuci. Iklan itu memperlihatkan bagaimana sebuah boneka beruang yang kotor dan kusam dimasukkan ke mesin cuci tersebut hingga menjadi putih bersih. Karena ingin meniru iklan tersebut, anak India tadi memasukkan adiknya yang masih berusia satu tahun ke mesin cuci untuk dibersihkan. Jelas bahwa kejadian nyata ini sangat menyedihkan. Oleh karena itu, menyaksikan program-program yang diperuntukkan untuk kalangan dewasa akan berdampak merusak terhadap teladan pemikiran, emosi dan perilaku anak-anak.

Sangat sulit untuk memberi pengertian dan pemahaman kepada anak-anak bahwa apa yang mereka saksikan hanya sebuah cerita yang tidak ada realitanya. Sebagaimana yang kita saksikan bahwa mayoritas anak acap kali salah dalam membedakan antara khayalan dengan realita dan jika program-program fantasi tidak digarap dengan benar, maka akan berdampak merusak pada pola pikir mereka.

Sejumlah penelitian tentang dampak program televisi yang berbau kekerasan terhadap perilaku anak-anak menunjukkan bahwa tontonan semacam ini juga akan berdampak luas dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Anak-anak yang menyaksikan program tersebut akan mempertontonkan perilaku kasar dan mengganggu anggota keluarganya yang lain atau teman-teman sekelasnya. Kekerasan ini akan tampak dalam berbagai bentuk seperti, memukul, berkelahi, mengejek, menghina, mengancam anak-anak lain, dan menyakiti teman-temannya dengan kekerasan.

Perasaan takut dan depresi berlebihan menghantui anak-anak seperti ini dibanding teman-temannya yang lain. Perilaku menyimpang ini akan menghilangkan sensitivitas terhadap luka dan penderitaan orang lain. Komitmen dan kepatuhan mereka terhadap nilai-nilai moral secara perlahan akan memudar dan pada akhirnya ia akan menjelma sebagai orang yang berbahaya dan bahkan penjahat di tengah masyarakat.

Dampak pahit dan memilukan ini hasil dari program-program televisi yang digarap hanya untuk meraup keuntungan dan hiburan. Evaluasi terhadap tiga stasiun televisi di AS memperlihatkan bahwa program chanel-chanel itu dalam setiap pekan menayangkan 92 kasus serangan menggunakan senjata otomatis, 113 kasus tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan, 128 kasus perkelahian, dan 179 kasus pelanggaran terhadap undang-undang. Seorang remaja di AS ditangkap atas tuduhan memalsukan empat lembar cek untuk membeli permainan kesukaannya. Kantor polisi setempat menyatakan bahwa remaja itu mengaku ide tersebut muncul setelah menyaksikan sebuah acara televisi.

Namun, penelitian dan kajian ini tidak bermaksud membatasi program televisi atau media audio visual hanya menayangkan sisi positif perilaku masyarakat. Jelas bahwa terkadang acara-acara televisi perlu menayangkan beberapa kasus penyimpangan sosial dan kemudian membahas dan mengkritisinya. Sebab, salah satu tugas media adalah menyampaikan informasi kepada para audien dan menjauhkan mereka dari tindakan kriminal dan penyimpangan sosial. Tapi, diperlukan ketelitian dalam metode penayangan dan jam tayang program-program seperti itu.

Kendala utama mayoritas jaringan televisi dunia adalah ketiadaan pengawasan yang cukup terhadap kualitas program yang berbau kekerasan dan tidak mendidik. Problema ini juga dapat ditemukan dalam produksi film-flm layar lebar, game komputer, dan menu-menu di dunia maya. Masalah ini akan menjadi rintangan besar bagi anak-anak dan generasi masa depan. Seorang penyair Iran dan penulis untuk anak-anak, Mostafa Rahmandust meyakini bahwa di dunia modern, televisi merupakan media yang paling beracun bagi anak-anak dan media cetak tergolong media yang paling sehat bagi mereka.

Mostafa Rahmandust mengatakan, "Anak-anak banyak menghabiskan waktunya untuk menonton televisi dan harus diakui bahwa media ini merupakan ancaman serius bagi mereka. Mungkin saja sebagian program televisi justeru berpotensi menjauhkan mereka dari masa depan yang cerah dan positif."

Anak-anak membutuhkan dunia yang penuh dengan keceriaan, kedamaian, kebahagiaan, dan keamanan. Kita tidak boleh menciptakan dunia yang kotor dan gelap untuk mereka. Seorang filosof ditanya tentang hal yang paling menggembirakan selama hidupnya. Dia menjawab bahwa yang paling membuatnya berkesan adalah ketika ia menyaksikan seorang anak kecil bernyanyi-nyanyi kecil dan meneruskan perjalanannya setelah menanyakan jalan kepadanya. Hadiahkanlah keceriaan ini kepada diri kita dan anak-anak kita dengan tidak memberi teladan yang keliru kepada mereka.

Sumber : Irib

Umat Yang Satu Dalam Solidaritas Muslim


Nabi Muhammad Saw selama 23 tahun mengajak masyarakat memeluk Islam telah mengalami segala bentuk kesulitan dan kesusahan. Selama di Madinah khususnya, di masa beliau membentuk pemerintahan Islam, telah banyak usaha dilakukan demi mengharmonisasikan dan menciptakan solidaritas umat Islam. Sejatinya, langkah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw ini juga berdasarkan perintah Allah Swt.

Sebagaimana telah disinggung dalam banyak ayat tentang pentingnya persatuan umat Islam. Akhirnya, berkat usaha keras yang tak kenal lelah, Rasulullah Saw berhasil memberikan nikmat solidaritas dan persatuan Islam kepada masyarakat Islam waktu itu.

Pasca wafatnya Rasulullah Saw, mulai muncul perselisihan terkait suksesi kepemimpinan. Sekelompok umat Islam percaya bahwa pemilihan khalifah harus dilakukan dengan suara rakyat atau perwakilan mereka. Sementara sekelompok lain meyakini masalah sepenting ini harus memperhatikan perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena Rasulullah Saw dalam banyak peristiwa, seperti Ghadir Khum, beliau telah menunjuk Imam Ali bin Abu Thalib sebagai penggantinya. Sekalipun Imam Ali as tidak menjadi khalifah pada masa meninggalnya Rasul, namun kinerja yang ditunjukkan beliau menunjukkan masalah persatuan Islam dan sejumlah masalah lainnya bahkan lebih penting dari masalah kekuasaan yang menjadi haknya.

Sekaitan dengan hal ini, Imam Ali as bukan hanya tidak meletakkan dirinya berhadap-hadapan dengan khalifah yang berkuasa, tapi dalam kasus-kasus penting, para khalifah yang meminta tuntunan dan solusi dari beliau. Imam Ali as menilai penting dan sangat bernilai persatuan umat Islam. Dikatakannya, "Hendaknya kalian senantiasa bersama masyarakat Islam. Karena kekuasaan Allah selalu bersama jamaah. Janganlah berselisih! Karena kelompok kecil bakal menjadi santapan setan. Sama seperti kambing yang terpisah dari kelompoknya bakal diterkam serigala."

Dalam sejarah Islam, perselisihan mazhab senantiasa dimanfaatkan oleh musuh untuk menguasai umat Islam. Oleh karenanya, Imam Ali as menunjukkan kepada umat Islam agar berusaha sebisa mungkin untuk meninggalkan perselisihan di tengah masyarakat Islam. Perilaku Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw menjadi pelita bagi kita bagaimana sekalipun punya perbedaan cara pandang terkait satu masalah dengan para ulama waktu, tapi mereka selalu berusaha perselisihan ini hanya terbatas di lingkungan ilmiah, agar perselisihan tidak meluas ke tengah masyarakat Islam. Sepanjang sejarah Islam, kebanyakan metode yang dipakai oleh ulama tercerahkan adalah menjauhkan diri dari perselisihan dan mengajak umat agar bersatu.

Patut disayangkan selama dua abad lalu, para pemimpin negara-negara Islam yang berkuasa merupakan boneka para kekuatan imperialis. Selama ini pula, ulama tercerahkan seperti Sayyid Jamaluddin Asad Abadi yang dikenal Sayyid Jamaluddin Afghani menyeru masyarakat Islam untuk bersatu, namun yang terjadi mereka malah diancam dan ditumpas oleh para penguasa. Bila ditelusuri masalahnya sederhana saja. Imperialisme Barat berusaha menjarah kekayaan negara-negara Islam menabuh genderang perselisihan di tengah-tengah masyarakat Islam. Mereka juga mempublikasikan buku-buku dan majalah untuk menciptakan perselisihan di dunia Islam.

Kekuatan-kekuatan hegemoni biasanya menekankan keutamaan satu etnis tertentu dan perselisihan agama demi mengobarkan api kebencian di antara mereka. Hingga sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, imperialis Barat begitu gembira karena berhasil mengompori dunia Islam agar senantiasa tenggelam dalam perselisihan. Dengan cara ini, mereka berhasil mencegah terciptanya sebuah negara Islam. Tapi pasca Revolusi Islam, kekuatan-kekuatan hegemoni masih tetap menerapkan cara itu dengan metode baru demi menciptakan perselisihan di antara umat Islam. Sekalipun demikian, Revolusi Islam telah memberikan tenaga baru kepada umat Islam dan mampu menghadapi segala bentuk konspirasi musuh.

Imam Khomeini ra mengetahui bahwa kemenangan Revolusi Islam tidak dapat dicapai tanpa menciptakan persatuan Islam di tengah masyarakat Iran. Untuk itu Imam Khomeini berusaha mempersatukan seluruh kelompok yang ada dan mendekatkan hati mereka satu sama lainnya. Imam Khomeini ra telah memberikan persatuan nasional kepada Iran yang memiliki beragam etnis dan agama. Demi merealisasikan persatuan Islam di Iran, Imam Khomeini ra memberikan pencerahan kepada masyarakat dan menjelaskan tujuan kaum imperialis Barat dan Timur. Dengan menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam dan memperdalam budaya dan rasa percaya diri masyarakat, Imam Khomeini ra berhasil memperkokoh prinsip-prinsip persatuan di Iran.

Di sisi lain, rakyat Iran yang mengikuti tuntunan Imam Khomeini ra soal persatuan Islam akhirnya berhasil mengantarkan Revolusi Islam mencapai kemenangan. Ayatollah Sayyid Ali Khamenei yang kini menjadi Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran melanjutkan jalan Imam Khomeini ra. Beliau mengatakan, "Prinsip tauhid dan keyakinan akan keesaan Allah hendaknya dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat Islam baik individu maupun sosial. Prinsip ini hendaknya mampu membentuk masyarakat dalam format sebuah masyarakat yang saling berhubungan dan berkoordinasi satu dengan lainnya dan memiliki persatuan."

Tak syak, satu dari faktor kemajuan dan kesempurnaan bangsa-bangsa di dunia adalah persatuan. Sama seperti bersatunya tetesan air akhirnya mampu memenuhi bendungan. Persatuan manusia juga bakal menciptakan sinergi dan kekuatan yang luar biasa serta memperkokoh barisan masyarakat. Sesuai dengan pentakbiran al-Quran, barisan agung umat Islam menciptakan ketakutan dalam diri musuh dan selanjutnya mereka tidak bakal menyerang umat Islam.

Imam Khomeini ra dengan meniti ayat-ayat al-Quran juga punya harapan untukmembentuk sebuah umat Islam yang satu. Pendiri Revolusi Islam Iran ini lewat sebuah seruan umum mengajak para pemimpin negara-negara Islam untuk bersatu. Beliau meminta mereka untuk bersatu demi kepentingan umat Islam dan berdiri melawan para imperialis Barat dan Timur. Imam berkata, "Keyakinan kami, sebelum bangsa-bangsa ini bangkit, semestinya pemerintah-pemerintah ini tunduk dan bersahabat satu dengan lainnya."

Sayangnya kebanyakan para pemimpin negara-negara Islam yang bergantung pada kekuatan-kekuatan imperialis tidak mengambil strategi untuk mewujudkan persatuan. Akhirnya, Imam Khomeini ra tanpa mengharapkan pemerintah-pemerintah ini mengajak bangsa-bangsa muslim untuk bersatu dan membentuk pemerintahan Islam. Kepada mereka Imam mengatakan, "Bangsa-bangsa harus memikirkan tentang Islam. Kami sudah putus asa dari mayoritas kepala-kepala negara Islam. Tapi bangsa-bangsa harus berpikir dan kami belum berputus asa dari mereka."

Kini masa kebangkitan dan kesadaran Islam telah dimulai. Seakan-akan inti pemikiran Imam Khomeini ra dan Ayatollah Sayid Ali Khamenei telah sampai di hampir seluruh dunia Islam. Rakyat negara-negara Islam di Afrika Utara yang bertahun-tahun putus asa dari para penguasa zalim mereka kini mulai bersatu dengan panggilan suci Allahu Akbar. Mereka menuntut pembebasan negaranya dari negara-negara penindas dan bergantung.

Di negara-negara seperti Tunisia, Yaman, Yordania dan khususnya Mesir telah muncul gelombang kesadaran Islam di seluruh lapisan masyarakat. Dengan rasa solidaritas dan persatuan mereka bertekad untuk mengambil alih nasib bangsanya dan memerdekakan negaranya dari kekuatan asing. Dalam surat ar-Ra'd ayat 11 Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Oleh karenanya, selama rakyat Mesir mampu mempertahankan persatuan di antara mereka dan maju melawan diktator Hosni Mubarak dengan kesadaran, mereka dapat berharap mencapai kemenangan.

Kini lingkaran persatuan umat Islam semakin kokoh dan mereka semakin dekat untuk membentuk sebuah umat Islam yang satu. Jelas, ketiadaan para penguasa zalim di negara-negara Islam bakal memberikan harapan yang lebih bagi terbentuknya persatuan Islam. Umat Islam kini hidup di masa kebangkitan dan kesadaran. Dengan meminggirkan perselisihan agama dan mengikut ajaran-ajaran agama yang tinggi dapat mendorong mereka untuk lebih memikirkan persatuan dan solidaritas Islam. Dengan demikian mereka lebih dapat berharap mampu membebaskan diri dari hegemoni kekuatan asing dan dapat menentukan nasib politiknya sendiri.

Sumber : http://indonesian.irib.ir

Busana Muslimah, antara Mode dan Etika

Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode. Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama.

Prolog
Sejarah busana lahir seiring dengan dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Oleh karenanya, busana sudah ada sejak manusia diciptakan. Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah swt yang berbunyi : “Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya…”.[3]

Busana memiliki fungsi yang begitu banyak, dari menutup anggota tertentu dari tubuh hingga penghias tubuh. Sebagaimana yang telah diterangkan pula oleh Allah dalam al-Qur’an, yang mengisyaratkan akan fungsi busana; “Wahai anak Adam (manusia), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi (aurat) tubuhmu dan untuk perhiasan…”.[4]

Dari tata cara, bentuk dan mode berbusana, manusia dapat dinilai kepribadiannya. Dengan kata lain, cara berbusana merupakan cermin kepribadian seseorang.

Konsekwensi sebagai manusia agamis adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan agamanya. Salah satu bentuk perintah agama Islam adalah perintah untuk mengenakan busana yang menutup seluruh aurat yang tidak layak untuk dinampakkan pada orang lain yang bukan muhrim.[5] Dari situlah akhirnya muncul apa yang disebut dengan istilah “Busana Muslimah”.

Busana muslimah adalah busana yang sesuai dengan ajaran Islam, dan pengguna gaun tersebut mencerminkan seorang muslimah yang taat atas ajaran agamanya dalam tata cara berbusana. Busana muslimah bukan hanya sekedar symbol, melainkan dengan mengenakannya, berarti seorang perempuan telah memproklamirkan kepada makhluk Allah akan keyakinan, pandangannya terhadap dunia, dan jalan hidup yang ia tempuh, dimana semua itu didasarkan pada keyakinan mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.

Budaya dan Esensi Manusia

Berbicara tentang mode, berarti berbicara tentang seni. Berbicara tentang seni berarti berbicara tentang budaya. Sedang pokok bahasan budaya berarti tidak lepas dari pembicaraan tentang manusia, sebagai pelaku sekaligus obyek budaya. Atas dasar itulah, dapat diambil konklusi bahwa, berbicara tentang mode tidak akan lepas dari pembicaraan tentang esensi manusia sebagai pondasi dasarnya, dan kesempurnaan manusia sebagai tujuan akhir segala bentuk ketaatan. Semua ini memiliki hubungan vertikal yang sangat erat kaitannya antara satu dengan lainnya. Melihat dari fenomena keragaman budaya yang ada di dunia ini, yang terkadang antara satu budaya dengan yang lain saling bertentangan, maka perlu ada parameter khusus yang menjadi tolok ukur persesuain budaya-budaya yang ada dengan esensi dasar manusia. Sehingga dari situ akan jelas, manakah budaya yang masih sesuai dengan esensi dasar manusia, dan manakah yang telah menyimpang darinya?

Manusia memiliki dua dimensi; dimensi lahiriah (bersifat materi), dan dimensi batiniah (non-materi) yang biasa disebut dengan jiwa/ruh. Menurut pandangan dunia agamis, kesempurnaan sejati manusia bukan terletak pada kesempurnaan sisi materi, akan tetapi, kesempurnaan sisi non-materilah yang menjadi tolok ukur kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa, esensi dasar manusia pun terletak pada sisi non-materi dan jiwanya. Maka, kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan jiwa dan ruhnya, bukan terletak pada kesempurnaan sisi materinya. Namun, hal ini bukan berarti sisi materi manusia harus diterlantarkan. Karena bagaimanapun juga, sisi materi dan lahiriah manusia pun memiliki peran penting dalam memberikan lahan pada kesempurnaan jiwanya.

Tanpa dimensi materi, kesempurnaan sejati manusia –yang terletak pada sisi non-materi- tidak akan terwujud. Terbukti, semua ajaran agama tidak akan terlaksana tanpa bantuan sisi zahir dan materi manusia. Sisi non-materi yang menjadi esensi terpenting dari manusia adalah; akal dan fitrah. Dengan dua hal itulah akhirnya manusia dinobatkan sebagai makhluk yang paling utama dari sekian banyak makhluk-makhluk Tuhan. Akal yang lebih banyak berfungsi untuk membedakan baik dan buruk, dan fitrah yang selalu menyeru kepada kebenaran, kebaikan, keindahan dan kesempurnaan, adalah modal utama kesempurnaan manusia. Jika dua hal itu diterlantarkan, niscaya manusia tidak layak disebut sebagai manusia seutuhnya.

Agama tidak pernah melarang manusia untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu pengejawantaan dari budaya. Sedang budaya adalah bagian primer dari kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode. Mode tidak lebih hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama. Lantas mode, seni dan budaya yang bagaimanakah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan manusia? Hanya budaya yang bersumber dari akal sehat dan fitrah suci manusia saja yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan sejatinya, bukan dari nafsu hewani yang hanya menjurus pada bidang material saja. Dari situ, dapat diambil benang merah bahwa, segala jenis mode yang bersumber dari akal dan fitrahlah yang mampu menghantarkan manusia untuk dapat menuju kesempurnaannya sebagai manusia. Dengan kata lain, manusia akan menjadi ‘manusia’ dengan budaya akal dan fitrah. Sebaliknya, manusia akan menjadi ‘hewan’ jika hanya menitikberatkan pada budaya hewani yang lebih menonjolkan keindahan zahir dan sisi glamournya saja.[6] Sebagaimana yang telah diketahui dalam pokok-pokok bahasan teologi bahwa, gabungan antara ajaran akal dan fitrah ini hanya terwujud pada ajaran agama. Dan karena agama di sisi Allah hanyalah Islam,[7] maka mode, seni dan budaya yang islami-lah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaannya.

Dari penjelasan di atas, akhirnya muncul apa yang disebut dengan mode islami, seni islami dan budaya Islam yang “Busana Muslimah” adalah salah satu bagian dari wujud luaran (ekstensi) konsep tersebut. Walaupun dalam perwujudan busana muslimah akan berbeda dan dapat disesuaikan dengan kultur wilayah masing-masing, namun terdapat kriteria universal dan batasan umum sebuah busana masuk kategori busana muslimah, antara lain; bukan busana yang membuat ‘menarik perhatian’ atau ‘aneh’ baik dari sisi warna maupun bentuk (syuhrat), tidak transparan, dan lain sebagainya. Semua ini kembali kepada hikmah yang tersirat dalam hijab islami, bahwa hijab berfungsi sebagai penjagaan, bukan bentuk pemenjaraan dan pengekangan. Dengan hijab islami, wanita dikenal dari sisi insaniahnya, bukan sisi gendernya. Dengan hijab islami, wanita dipandang dengan pandangan Ilahi bukan pandangan syahwani.

Etika dan Agama

Sebagaimana klaim konsep Islam sebagai agama paripurna, maka konsekuensinya adalah agama tersebut harus mencakup segala aspek kehidupan manusia. Oleh karenanya, tiada satu fenomena pun di alam ini kecuali terdapat hukumnya dalam agama tersebut, termasuk masalah etika dan budaya. Di sisi lain, dilihat dari segi istilah, kata etika mencakup tata krama (adab) yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan adat istiadat setempat. Etika juga mencakup akhlak yang banyak dipengaruhi oleh norma-norma agamis yang bersifat global. Etika dengan pengertian pertama di atas tadi, selama tidak bertentangan dengan ajaran dan norma agama, maka selayaknya dijunjung tinggi dan dilestarikan. Jadi, sebagai orang agamis, hanya norma dan ajaran agamalah yang menjadi filter atas tata krama dan adat istiadat lokal. Hal itu dikarenakan, keyakinan kita akan kebenaran agama dan konsekwensi kita sebagai pemeluk agama Ilahi. Sedang berkaitan dengan etika yang berarti akhlak, dimana Islam sendiri sangat menjunjung tinggi akhlak ini -sehingga disebut sebagai penyebab diutusnya Rasul Islam sebagai penyempurna akhlak mulia- maka dapat dipastikan ia sangat sesuai dengan ajaran akal dan seruan fitrah.

Etika dalam pengertian ini bersifat universal, global dan tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan geografis, budaya lokal dan adat istiadat setempat. Dari sini jelaslah bahwa antara etika –dengan dua pengertian di atas- tidak mungkin terpisah dengan ajaran agama, harus tetap “dalam bingkai ajaran agama” dengan arti yang luas.[8] Usaha apapun untuk memisahkan antara etika dan agama dengan mendahulukan salah satu dari yang lainnya, sama halnya dengan pencampakkan agama itu sendiri. Dari sini akhirnya, antara berbusana muslimah dengan menjaga etika Islam pun harus ada keselarasan.

Penutup

Dari tulisan ringkas ini dapat diambil kesimpulan bahwa, mode, seni, budaya dan etika yang masih masuk dalam bingkai ajaran agamalah yang sanggup menghantarkan manusia pada kesempurnaan hakiki sebagai manusia, termasuk dalam masalah mode busana yang berfungsi menjaga etika kepada Allah dan lingkungan sekitar, terkhusus sesama komunitas manusia. Dari sini pula akhirnya muncul apa yang disebut dengan “Mode Busana Muslimah” yang masih masuk dalam koridor ajaran agama Islam. Dan dikarenakan ajaran agama Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Suci dan Sakral,[9] maka mode busana yang bersandar pada ajaran sakral itu pun bersifat sakral pula. Jadi, segala bentuk pelecehan terhadap busana muslimah –dengan berbagai modenya yang masih masuk kategori busana muslimah- sama halnya dengan melecehkan ajaran agama Allah. Selain itu, menyebarkan budaya busana muslimah, sama halnya dengan menyebarkan salah satu ajaran Allah. []


Penulis: Mahasiswi Pasca Sarjana Jurusan Tafsir al-Quran, Sekolah Tinggi Bintul-Huda – Qom – Iran.

Ket:
________________________________________

Makalah ini disampaikan dalam acara diskusi tentang “Busana Muslimah; antara Mode dan Etika” di aula Hotel Shafa – Qom, yang diselenggarakan pada tanggal 27-Juli-2006 oleh Lembaga Otonomi Fatimiyah (LOF) – [HPI] Himpunan Pelajar Indonesia Republik Islam Iran. Pembanding Mbak Ratih Sanggarwati (Model, Perancang Busana Muslimah dan Penyiar TV)
[3] QS al-A’raf: 27
[4] QS al-A’raf: 26
[5] QS an-Nur: 31 dan al-Ahzab: 59
[6] QS Muhammad: 12
[7] QS Aali-Imran: 19 dan 85
[8] Ungkapan “selama dalam bingkai ajaran agama” di atas tadi tidak boleh dipahami secara sempit dan tekstual, sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok muslim. Karena hal itu selain akan menyebabkan keluar dari maksud dan tujuan Penurun syariat, juga terjadinya penyimpangan dari hikmah penurunan syariat. Semua mode, seni dan budaya selama tidak ada pelarangan oleh agama maka dihukumi boleh (mubah), karena hal itu masuk kategori taqrir (persetujuan).
[9] QS al-Baqarah: 138

OLEH :Euis Daryati

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.