Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.

ABRI di DPR Pada Masa ORBA

Pada makalah kali ini, kekuatan politik yang akan dibahas adalah kekuatan politik ABRI atau TNI dalam dinamika politik di Indonesia. ABRI atau TNI yang merupakan intitusi milter tentunya mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika politik di Indonesia. Melihat sejarah yang ada, anggota militer pun bisa menjai seorang pemimpin negara. Contohnya bisa kita lihat secara jelas yaitu, Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang petinggi militer yang berkecimpung di dunia politik

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar.

Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak di bidang keamanan dan pertahanan di Indonesia.

Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan negara saja tetapi di setiap permasalahan yang mucul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep ‘Jalan Tengah’.

Pada saat ABRI lahir, ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang kurang kuat, kekuatan ABRI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat dwi-fungsi ABRI bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak dibidang pertahana dan keamanan serta dibidang sosial-politik Indonesia.

Fungsi ABRI ini kemudian diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta dicantumkannya fungsi ABRI sebagai ‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No. 20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai Dwifungsi ABRI ini, diperkukuh kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD 1945.

Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21 mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30 mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam usaha membela negara , kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas bahwa ABRI mempunyai peran Dwifungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sosial-politik.

Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pemerintah mendukung sifat Dwifungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa bergerak tidak hanya dibidang hankam tapi juga bidang sosial-politik terutama setelah diperkukuh melalui berbagai undang-undang. Peran ABRI dalam bidang hankam tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI menjadi salah satu faktor pendukunga yang kuat ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu.

Ketika itu namanya memang belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang hankam adalah ketika pemberontakan PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik di negara-negara tersebut.

Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-ruler. Undang-undang mengenai Dwifungsi ABRI memudahkan para anggotanya untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara informal.

jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang formal maupun informal.

Setelah semuanya berjalan cukup lama, kelamaan sifat Dwifungsi ABRI ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsi ABRI. Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas.Karena dapat bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhuan mengenai sifat Dwifungsi dalam undang-undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama dari sisi birokrasi kepemerintahan.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi-divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara.

namun yang dirasakan masyrakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan yang lebih halus terlebih dahulu.

Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara.

Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI. Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok antara menjalankan kewajiban –atau lebih tepatnya membela majikannya- dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi masyarakat.

ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya. Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia. Konflik ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin Dwifungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demo yang bermaksud untuk menumbangkan peran Dwifungsi ABRI.

Beberapa pengamat politik mengatakan, sebaiknya ABRI kembali pada posisi semula, yaitu sebagai alat pertahanan negara saja, dengan kata lain meninggalkan peran Dwifungsinya. Sedangkan PDI Perjuangan menyatakan bahwa kekuatan politik riil ABRI tetap merupakan suatu hal yang harus diperhitungkan.

PDI Perjuangan lebih memilih bersikap realistis dengan mengatakan bahwa perubahan dan penghapusan peran Dwifungsi ABRI tidak bisa dilakukan secara mendadak. Alasannya, masyarakat Indonesia sudah sekian lama terbiasa hidup dengan doktrin tersebut, sehingga jika Dwifungsi dilepas sama sekali, hal yang mereka takutkan adalah masyarakat awam yang belum matang secara politik akan bertambah bingung.

Legitimasi atas Dwifungsi ABRI pada tatanan Peraturan Perundang-Undangan memberikan ruang bagi ABRI dalam skala struktural maupun personal untuk berkecimpung secara langsung dan terlibat pada konstelasi politik nasional termasuk untuk memberikan keputusan-keputusan politik atas kebijakan di lingkup Pemerintahan. Hal ini dikarenakan ABRI memiliki kursi di DPR / MPR dalam kurun waktu tertentu.

Dominasi politik ABRI yang bertumpu pada konsep Dwifungsi memasuki babak baru pada saat runtuhnya rezim Pemerintahan orde baru.Dwifungsi ABRI sebagai satu konsep politik yang menempatkan ABRI sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam suprastruktur maupun infrastruktur mulai dianggap sebagai bentuk legitimasi ABRI untuk mempertahankan status quo dan menunjukkan sikap anti perubahan yang sangat bertolak belakang dengan tuntutan reformasi dan semangat kedaulatan rakyat yang menghendaki demokrasi dan kebebasan, karena meskipun Dwifungsi ABRI dalam perkembangannya dianggap merupakan konsensus nasional atau bahkan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Demokrasi Pancasila, namun dalam aktualisasinya justru menjadi satu kekuatan yang dominan dalam pemerintahan. Oleh karena itu pada titik kulminasi reformasi menghendaki dihapuskannya dwifungsi ABRI dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Pada tanggal 10-13 November 1998, MPR melaksanakan Sidang Istimewa sebagai upaya untuk merespons dan mengakomodasi aspirasi seluruh rakyat Indonesia dalam pelaksanaan agenda reformasi nasional secara konstitusional. Salah satu hasil ketetapan yang dihasilkan MPR adalah Ketetapan MPR No. XIV / MPR / 1998 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 1 ayat 7 butir (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa :

1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas anggota partai politik hasil Pemilihan Umum dan anggota ABRI yang diangkat.

2. Pengangkatan anggota ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah dilakukan pengurangan jumlahnya secara bertahap dan selanjutnya diatur dengan Undang-undang.

ABRI sebagai salah satu komponen bangsa sudah seharusnya mengikuti rule of game yang ada di Negara Kesatuan republik Indonesia di mana ABRI berkewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. ABRI sebagai bagian dari rakyat sudah semestinya memerhatikan aspirasi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penghapusan dwifungsi ABRI yang dalam aktualisasinya dinilai terlalu besar melibatkan ABRI di dalam tatanan politik dan Pemerintahan.

Di tahun 2000 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor VI / MPR /2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII / MPR / 2000 yang memisahkan antara TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) dan POLRI yang dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.

TNI selanjutnya diembankan tugas untuk menjaga pertahanan negara terhadap ancaman dari luar wilayah kedaulatan nasional, dan POLRI ditugaskan untuk menjaga keamanan negara terhadap ancaman dari dalam negeri. Kedua fungsi tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu sistem pertahanan dan keamanan yang tangguh guna menciptakan stabilitas nasional yang kokoh.

Pemisahan antara TNI dan POLRI memiliki arti penting dalam perkembangan sistem pertahanan dan keamanan nasional, sebab diketahui bahwa sesungguhnya integrasi antara TNI dan POLRI ke dalam struktur ABRI adalah hanya atas kebijakan Presiden Soekarno yang lebih didasarkan pada pertimbangan politis untuk lebih memudahkan pengendalian aparat di tahun 1963 dan bukan didasarkan pada aspek kepentingan nasional.

Hal ini menjadi nyata dengan diangkatnya pimpinan tertinggi setiap angkatan menjadi Menteri, sehingga Menteri / Panglima Angkatan Darat sejajar dengan menteri / Panglima Angkatan Kepolisian, semuanya berkedudukan sebagai Pembantu Presiden. Kebijakan integrasi satu atap selanjutnya juga diteruskan oleh Pemerintahan orde baru dengan pertimbangan politis yang sama, meskipun otonomi serta kekuasaan yang luas dari pimpinan kematraan baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara serta POLRI diambil alih Panglima ABRI yang sampai 1983 merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Keterlibatan ABRI semakin jauh berkurang dari kancah perpolitikan sejak dihapuskannya Dwifungsi ABRI. ABRI benar-benar menjadi lembaga yang mandiri sebagai kekuatan utama dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal 30 UUD NRI 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.

Dua fakta penting dalam semakin berkurangnya jumlah kursi yang di pegang oleh perwira militer dalam kabinet dan keputusan Soeharto pada tahun 1995 untuk mengurangi kursi abri di DPR. Pada kabinet tahun 1988-1993, terdapat sebelas menteri dengan latar belakang militer, dalam kabinet tahun 1993-1998, terdapat delapan menteri dengan latar belakang yang sama dan dalam kabinet. Kemudian turun lagi menjadi lima menteri yang berlatarkan militer. Di DPR fraksi ABRI juga harus menyerahkan 25 kursi dari 100 kursi yang dahulu didukinya. Fakta ini perlu diletakkan dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam konteks upaya Soeharto yang terus mempertahankan legalitas peranan politik ABRI.

Pada tahun 1992, misalnya ketika para akademisi Indonesia mulai membicarakan untuk memperkecil jumlah anggota ABRI di DPR, Soeharto mulai memberi reaksi keras. Tidak mungkin, katanya, bagi ABRI untuk melepas peranan politiknya dan semata-mata melaksanakan fungsi militernya. Dengan menuduh para akademisi tidak mampu memahami hakikat yang sesungguhnya makna Dwifungsi, Soeharto memberikan jaminan kepada perwira, yang disebutnya rekan-rekan perwira, yang mengunjungi peternakannya di Tapos, Jawa Barat, bahwa kehadiran ABRI dalam badan legislatif tidak hanya mewakili ABRI, tetapi juga untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepada ABRI oleh rakyat. Dia kembali mengulangi bahwa Dwifungsi angkatan bersenjata Indinesia memiliki landasan hukum yang kuat disamping alasan historis berdasarkan sejarah perjuangan Nasional.


Daftar Pustaka

1. Dr. Indria Samego et al, … Bila ABRI Menghendaki; Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI , MIZAN, Bandung, 1998.
2. Soebijono dkk., Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995.
3. Hisyam, Muhammad, Krisis Masakini dan Orde Baru, Obor, Jakarta, 2003.

Konsultan Politik : menggiurkan, tapi membahayakan

Seorang yang sangat ingin menjadi presiden hingga rela menghabiskan dua tahun penuh mempersiapkan diri dan berkampanye, bukanlah orang yang pantas mendapatkan amanah kekuasaan. ( David Broder).

Apakah perbedaan antara Konsultan SDM (sumber daya manusia) dengan konsultan politik? Sederhana saja. Konsultan SDM bertugas membangun kliennya, sementara konsultan pilitik bertugas memoles citra kliennya. Konsultan SDM bertugas membenahi penyakit yang ada di dalam organisasi kliennya. Seorang konsultan SDM berusaha menyadarkan, membangunkan, dan mengubah paradigma yang ada dalam kepala setiap orang agar sesuai dengan hukum alam. SDM melatih keahlian setiap orang agar menjadi lebih efektif lagi.

Sebaliknya, konsultan politik membenahi citra kliennya. Ia merubah orang dari bukan siapa-siapa menjadi kandidat yang diperhitungkan. Tujuannya tentu saja adalah memenangkan si kandidat dalam pemilu. Konsultan politik ini merumuskan iklan dan strategi kampanye, melakukan survey, jejak pendapat untuk memasarkan sang kandidat, mengukur popularitas seorang kandidat, juga bisa memilihkan pasangan si kandidat. Tak hanya itu, mereka juga dapat membantu mengurusi tata rambut hingga cara berjalan sang kandidat.

Peluang bisnis ini memang besar. Bayangkan, dalam lima tahun digelar 500 lebih pemilihan, pilkada maupun pemulu nasional. Dengan hitungan minimal tiap pemilihan ada dua calon saja, paling tidak ada 1.000 klien yang bisa di perebutkan. Untuk satu calon kepala daerah, biayanya minimal Rp5 miliar.

Bisnis ini memang menggiurkan, tetapi marilah pikirkan dengan kritis. Apakah para konsultan politik ini peduli dengan kualitas si kandidat? Apakah yang menjadi dasar bagi konsultan politik ini untuk membantu si kandidat? Bagaimana kalau si kandidat adalah orang yang kurang bersih, kurang terjaga integritasnya, mementingkan diri sendiri, tidak peduli pada rakyat, dan sebagainya? Apakah konsultan politik akan menolak apabila kandidat seperti ini dating meminta bantuannya?

Di sinilah letak perbedaan yang penting antara konsultan SDM dengan konsultan politik. Konsultan SDM justru harus menerima klien yang bermasalah, namun konsultan politik harus menolak klien-klien yang bermasalah.

Tapi disini letak duduk persoalannya. Sebuah konsultan politik seringkali hanya peduli pada usaha untuk memoles klien, membuatnya kliatan bagus sehingga dapat menang dalam pemilihan. Jika asumsi ini benar, maka inilah masalah yang saat ini di hadapai oleh Indonesia: kandidat yang menang bukanlah kandidat yang terbaik bagi rakyat, tetapi kandidat yang kelihatannya lebih bagus. Apabila ini yang terjadi, maka rakyatlah yang akan dirugikan karena mereka hanya akan mendapatkan pemimpin yang kurang kualitasnya walaupun diluarnya kelihatan gemerlap.

Tapi, bukankah di mana-mana yang namanya penipu itu selalu looks good? Kalau dia tidak bisa membuat tampilan yang bagus, tentu bukan penipu namanya. Seorang penipu yang berhasil itu memang seseorang yang bisa menyembunyikan keburukannya di dalam dengan kebaikan dan keindahan di luar.

Secara bisnis dia memang berhasil. Tetapi bagaimana secara spiritual? Bagaimana kalau orang-orang yang dia menangkan itu sebetulnya bukan orang-orang yang baik? Bagaimana kalau dia telah berhasil menyingkirkan lawan politik kliennya yang sebetulnya jauh lebih baik, jauh lebih bersih, dan jauh lebih tulus?

Bukankah itu berarti konsultan ini telah memberikan kontribusi terhadap kepalsuan? Apalagi namanya kalau bukan kepalsuan? Dia telah memoles citra orang-orang yang kurang baik menjadi baik. Dia telah membuat orang itu menang. Orang itu membayarnya dengan biaya tinggi. Modal yang pasti yang telah diperhitungkan return on investment-nya oleh si klien dengan sangat hati-hati.

Menuju Ekonomi yang Berkeadilan: Pandangan Imam Ali as

Pendahuluan
Dunia tidak ada yang tak mengenalnya. Sejarah mencatat perjalannya yang gemilang. Nama Ali diabadikan pada nama-nama Imam lain seperti Ali Zaenal Abidin as, Ali Ridha as dan Ali al-Hadi as. Nama Ali juga menjadi Favorit di kalangan Bani Hasyim dan suku Arab. Kini, namanya menjadi nama dari jutaan penduduk muslim di Dunia. Di Iran sendiri, nama Ali hampir dapat ditemukan pada setiap keluarga yang memiliki anak laki-laki. Siapakah gerangan pemilik nama pertama yang menjadi sumber penisbatan bagi jutaan nama-nama Ali lainnya?
 
Mengurai pribadi Imam Ali as yang sedemikian perfect, tidak akan pernah mengenal kata usai. Selalu saja ada sisi-sisi menarik dan hidup yang dapat diangkat. Para peneliti sosial dan agamawan, agaknya tak pernah kehilangan bahan dalam mengkaji pemikiran-pemikiran Imam Ali as. Pada hari-hari menjelang Ghadir ini, kiranya tepat mengkaji kembali berbagai pemikiran beliau. Tulisan inipun hendak bertutur setetes dari samudra ilmu Imam Ali as. berkaitan dengan pandangan ekonomi politiknya. 
 
Menilik Politik Ekonomi Imam Ali as
Sejarah mencatat, akhir pemerintahan khalifah Utsman menyisakan persoalan sosial yang sedemikian kompleks, tak terkecuali melebarnya kesenjangan ekonomi. Di satu sisi, kalangan bangsawan berpesta-pora dengan kas negara. Sedang, di sudut-sudut Kufah, para gelandangan tengah tercekik kelaparan. Di tengah kondisi demikian, Imam Ali as mengarahkan ekonomi politiknya pada keadilan sosial, yang mengacu pada tiga prinsip. Pertama, Supremasi  hukum. Kedua, Jaminan sosial. Ketiga, Keseimbangan ekonomi.
 
Supremasi Hukum
Ad-Dajili (1379:135)1 menyebutkan bahwa pada masa kekhalifahan Utsman tidak sedikit jumlah dari kas negara yang dihamburkan untuk keluarganya. Dengan alasan itu pula, Khalifah keempat mengembalikan mekanisme pengaturannya sesuai syari’ah yaitu menepuh metode yang dilakukan oleh Rasulullah saww. Ad-Dajili menambahkan bahwa, Khalifah ke-empat sedemikian ketat dalam pendistribusian baitul maal.
 
Imam Ali as menerapkan mekanisme pembelanjaan kas negara secara adil. Beliau menentang keras praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan terhadap keluarganya sendiri sekalipun.
 
“Suatu hari di masa kepemimpinan Imam Ali as, saudaranya yang bernama Aqil datang mengunjunginya. Saat itu udara begitu panas, keduanya berbincang di teras rumah, menghadap ke arah keramaian pasar. Tibalah saat makan malam, hanya ada roti kering dan garam. Jauh dari dugaan Aqil yang mengira akan makan besar dijamu oleh khalifah muslim negeri itu.
 
Tibalah saat Aqil harus mengutarakan maksud kedatangannya, ia berharap saudaranya dapat melunasi hutangnya yang cukup besar melalui kas negara. Imam Ali as sangat ingin membantunya, “Tapi tidak dengan uang kas negara” katanya tegas. Andai saja aku memiliki simpanan cukup, tentulah semuanya akan kuberikan. Aqil kecewa dan terus mendesak.
 
Setelah dialog panjang, akhirnya Imam Ali as berkata padanya: “Karena Engkau terus mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi, ambilah!” Aqil sangat terkejut, lalu ia balik bertanya “Mengapa Engkau menyarankan kepadaku untuk mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?”
 
Imam as pun menjawab: “Lalu, bagaimana bisa Engkau mendesakku untuk mencuri uang seluruh rakyat negeri ini? ”2
 
Selain itu, Imam Ali as berupaya menegakkan supremasi hukum dengan menindak tegas para penyeleweng kas negara. Sehingga, beliau harus berhadapan dengan pejabat Umawi yang pada saat pemerintahan Utsman mendapat posisi penting, seperti Muawiyah. Tidak jarang pula, upaya penegakkan hukum ini, menuai perlawanan yang sedemikian hebat. Namun, semuanya dihadapi dengan pantang menyerah. Bahkan seperti penuturnya, “jika seluruh dunia dan isinya ditukar dengan kezaliman pada seekor semut, tidak ada nilainya”3  
 
Jaminan Sosial
Kehidupan masyarakat akan berjalan normal, ketika kebutuhan dasar mereka terpenuhi secara benar. Oleh karena itu, Imam Ali as, setelah membersihkan negara dari sisa-sisa pejabat korup serta menegakkan supremasi hukum. Langkah yang selanjutnya ditempuh adalah memberikan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat.
 
Mengingat ketimpangan sosial yang terjadi saat itu cukup tajam, Imam as memberikan prioritas pengeluaran kas negara untuk memulihkan kondisi masyarakat yang berada dalam taraf kemiskinan. Dalam Surat yang ke-53 dan 67 Nahjul Balagah, disebutkan bahwa, Imam Ali as mengutamakan pembagian kas negara kepada golongan fakir dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
 
Dalam menjamin serta memenuhi kebutuhan masyarakat, Imam Ali as tidak memandang suku, agama maupun bangsa. Tetapi, beliau bertindak atas dasar prinsip keadilan.
 
“Suatu hari, dua orang perempuan, yang satu arab dan lainnya azam datang menghadap Imam Ali as untuk mendapat distribusi kas negara. Imam as membagi keduanya sama rata, masing-masing memeperoleh 25 dirham. Perempuan arab protes keras: “Hai khalifah, aku ini arab dan dia budak, apakah hak kami sama?”. Imam Ali as  menjawab: “Tidak ada perbedaan  antara keturunan Ismail dan Ishak dalam pembagian harta ini”4
 
Tidak hanya itu, tentunya kitapun turut menyaksikan bagaimana Imam as memperlakukan para yatim serta janda miskin. Pada masa kekhalifahannya, Imam as kerap berpatroli ke daerah-daerah untuk melihat kondisi kehidupan masyarakat.
 
Keseimbangan Ekonomi
Keadilan sosial tidak akan terwujud jika keseimbangan ekonomi tidak tercipta. Maka, Imam Ali as memberikan perhatian serius bagi terciptanya keseimbangan ekonomi. Beliau berupaya keras memberantas berbagai faktor penghalang terwujudnya keseimbangan ekonomi seperti: riba, penimbunan, kecurangan serta kezaliman.
 
Dalam berbagai seruannya beliau mempropagandakan anti penindasan dan kezaliman, sebagaimana yang beliau ikrarkan: “Kehancuran sebuah negeri adalah buah dari kefakiran dan kefakiran disebabkan oleh kerasukan para penguasa”5
 
Tidak hanya sebatas retorika, Imam Ali as selalu melakukan infeksi ke berbagai tempat berkenaan dengan kebijakan yang ditempuhnya. Hampir setiap pagi, selepas shalat subuh, Imam Ali as berkeliling masuk dari satu pasar ke pasar lainnya. Saat tiba di setiap pasar, ia segera menyapa para pedagang seraya berpesan: “Hai para pedagang, takutlak kalian kepada Allah, janganlah melakukan kecurangan dalam berdagang. Takutlah kalian pada riba!......”6
 
Pada kesempatan lain, Imam Ali as juga sangat keras terhadap penimbunan. Dalam bagian surat yang diberikan kepada Malik bin Astar terkait dengan perdagangan, Imam bersabda: “Hindarilah penimbunan karena sesungguhnya Rasul melarangnya dan lakukanlah jual beli yang memudahkan dengan timbangan yang adil”7
 
Membumikan Ekonomi Politik Imam Ali
Masyarakat Indonesia masih belum pulih dari kejatuhan krisis moneter sembilan tahun yang lalu. Saat itu, krisis ditandai anjolknya nilai tukar rupiah, membengkaknya hutang luar negeri dan terus menjalar menghantam institusi moneter. Akibatnya sektor perbankan menjadi lumpuh yang berimbas pada likuidasi puluhan bank. Lebih jauh, krisis juga telah meluluhlantahkan berbagai persendian ekonomi, sosial, politik dan berbuntut pada ketidakpercayaan masayarakat.
 
Jauh sebelum itu, praktek konglomerasi, korupsi dan koneksi sedemikian lumrah terjadi di lingkungan istana. Sementara jutaan rakyat di luar sana menanggung beban kemiskinan dan ketimpangan yang amat perih. Alih-alih menghapus diskriminasi, hukum homo homini lupus malah semakin merajalela.
 
Bahkan, sebagian pengamat meramalkan perjalanan ekonomi Indonesia dapat mengarah pada kehancuran. Mengamini pandangan  Taufik8 yang menyebutkan adanya berbagai indikasi kuat memburuknya arah ekonomi Indonesia.
 
Pertama, ketika terjadi ketimpangan dalam penguasaan alat dan sumber produksi. Contohnya, segelintir orang (sekitar 60 ribu) menguasai seluruh aspek perekonomian Indonesia, termasuk mengatur kebijakan perekonomian negara.
 
Kedua, gagalnya alat produksi memenuhi kebutuhan mendasar masyarakat. Misalnya saja produksi minyak. Sebenarnya, persediaan minyak di bumi masih cukup banyak untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, ternyata, produksi yang dihasilkan tidak sampai ke tangan masyarakat karena terjadi banyak penyimpangan.
 
Ketiga, semua sumber daya yang dimiliki negara digunakan untuk membayar utang kepada pihak lain, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Indiksi lainnya adalah terjadinya degradasi dan kehancuran moral di kalangan kaum ulama serta intelektual
 
Lantas bagaimana keluar dari krisis multidimensi ini? Tidak sedikit pakar ekonomi yang hanya menyandarkan pada pendekatan matematis. Standar yang kerap dijadikan ukuran hanyalah sekitar posisi ekspor impor, kurs, devisa, GNP per kapita, serta berbagai variabe ekonomi lainnya yang hanya berkutat pada angka pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan, kemiskinan, pengangguran dan berbagai variabel sosial lainnya kerap luput diperbincangkan.
 
Sepakat dengan Murbyanto9 yang menyebutkan, kebijakan ekonomi di Indonesia masih mengarah pada "Economics As Religion", dan ilmu ekonomi (Neoklasik). Masih menurutnya, para ulumnus ekonomi “Mazhab Amerika” menyusun rekomendasi dan menerapkan kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, kebutuhan bangsa ini tidak hanya terdiri dari kebutuhan ekonomi materil saja, tetapi juga kebutuhan sosial dan etik.
 
Nampaknya, gagasan menyertakan etika dalam pemecahan persoalan ekonomi, cukup menarik untuk diangkat. Sudah saatnya, berbagai formula ekonomi yang ada diperbaharui dengan mengedepankan prinsip keadilan, sebagaimana yang direalisasikan Imam Ali as empat belas abad silam.
 
Berbagai kebijakan Imam Ali as dalam membenahi tatanan kehidupan masyarakat, layak untuk dikaji serta diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa. Kiranya, para pemimpin negeri ini harus menjaga komitmen menegakkan supremasi hukum, menangkap dan mengadili para penjahat ekonomi siapapun dia, tanpa pandang bulu.
 
Tugas selanjutnya, memperkecil kesenjangan ekonomi yang sedemikian tajam. Kebijakan yang diambil diprioritaskan pada persoalan kemiskinan. Sedapat mungkin menghindari terpusatnya sumber dana pada segelintir orang. Dan yang tak kalah penting, menerapkan berbagai kebijakan yang mengarah pada keseimbangan ekonomi dengan memberantas riba, penimbunan serta berbagai praktik kejahatan ekonomi lainnya. Dengan demikian, cita-cita menuju ekonomi yang berkeadilan akan terwujud.[]
 
 
Penulis: S1 Jurusan Tarbiyah Islamiyah di Jamiah Bintul Huda, Qom Republik Islam Iran
 
Catatan Kaki
 
1 Nama lengkapnya Khaulah Syakir ad-Dajili, peneliti Bait Maal dari Universitas Baghdad
 
2 Bihar Al-nawar jilid 41 hal. 113, dapat juga dilihat dalam Asadul Ghobah jilid 3 hal 433
 
3 Nahjul Balaghah Khutbah ke 224
 
4 Wasail as-Syi’ah juz 2 hal 431
 
5 Bihar Al-anwar jilid 23 hal. 604
 
6 Wasail as-Syi’ah juz 12 hal. 283
 
7 Nahjul Balaghah surat ke-59
 
8 Kompas 24 Oktober 2005
 
9 Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, makalah untuk seminar Bulanan ke-19 PUSTEP-UGM, Yogyakarta, 3 Agustus 2004
 

Sekilas tentang Filsafat Politik Islam

JIKA kita hendak membuat perbandingan yang seimbang antara pandangan Islam dengan pandangan-pandangan lain dalam bidang politik dan bentuk pemerintahan, kita harus mempertimbangkan isu-isu penting dalam filsafat politik, dan setiap isu yang ditemukan dalam Islam, sambil membandingkannya dengan isu-isu yang lain. Kita harus melakukan pengamatan yang seksama tentang perbedaan-perbedaan mendasar di antara isu-isu tersebut. Dengan sangat singkat, pada kesempatan ini kita akan menyebutkan beberapa isu dan menjelaskan pandangan-pandangan Islam sambil merujuk pada isu-isu tersebut agar kita bisa membuat suatu perbandingan.

Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial. Islam, sebagaimana mazhab pemikiran yang lain, menekankan pentingnya kehidupan sosial. Namun lebih daripada itu, Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar. Perhatian ini begitu pentingnya sehingga kadang-kadang kita harus mengorbankan semua harta bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain dari berbagai ancaman dan gangguan yang bersifat lahiriah atau batiniah, dari kesesatan dan kerusakan spiritual, dan dari kemalangan di akhirat.

Nampaknya sejauh ini tidak ada mazhab pemikiran lain selain Islam yang telah mengajukan pemikiran ini. Tentu saja, kita percaya bahwa tidak ada agama samawi yang saling bertentangan dalam hal prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mendasar. Lazimnya, semuanya memiliki pandangan yang sama dengan Islam.
Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan. Pandangan Islam tentang masalah ini juga jelas, dan tidak mengundang pertanyaan untuk penjelasan lebih lanjut.

Namun demikian, kita perlu menyebutkan dua hal pokok. Yang pertama adalah bahwa dari perspektif Islam, tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial; karena, pertama, tanpa keadilan peraturan tersebut tidak akan bertahan dan pada umumnya, manusia selamanya tidak akan bisa menerima ketidakadilan dan penindasan; dan yang kedua, dalam masyarakat yang tidak diperintah dengan keadilan, kebanyakan orang tidak akan memperoleh kesempatan untuk menikmati kemajuan dan pembangunan yang diinginkan, dan karenanya tujuan penciptaan manusia tidak akan terwujud.

Hal pokok yang lainnya adalah bahwa dari sudut pandang Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual, karena dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini tak lain adalah suatu tahap persinggahan dalam keseluruhan rangkaian kehidupan manusia, yang singkat masanya namun memiliki peran yang fundamental bagi nasib manusia. Artinya, dalam masa inilah manusia dengan perilaku sadarnya harus mempersiapkan dirinya untuk memperoleh kebahagiaan atau siksa abadi.

Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.

Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan. Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut

Pertama-tama, teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuan dari hukum adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, bukan untuk memberikan sesuatu yang benar-benar akan menguntungkan mereka. Kedua, karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan.

Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Jelas bahwa mazhab-mazhab yang percaya pada tujuan-tujuan di luar nafsu binatang dan hasrat yang hina tersebut tidak akan bisa menerima pemikiran ini.

Berkenaan dengan pemikiran yang kedua, yaitu keabsahan pengambilan suara mayoritas pada saat tidak tercapai kesepakatan yang bulat, harus dikatakan bahwa hanya pada saat tidak adanya ketetapan ketuhanan dan kriteria ilmiah sajalah suara mayoritas bisa dijadikan kriteria untuk menetapkan suatu keputusan.

Namun demikian, dalam sistem Islam, kriteria ketuhanan dan ilmiah semacam itu ada. Selain itu, biasanya kalangan minoritas yang memiliki kekuasaan, dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk menebar propaganda, mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai pemikiran dan keyakinan orang lain, dan memang pada kenyataannya apa yang ditetapkan hanyalah kehendak dari minoritas yang terbatas namun berkuasa, bukanlah kehendak yang sesungguhnya dari semua orang atau mayoritas.

Lebih jauh lagi, jika kriterianya adalah bahwa pilihan masyarakat tersebut akan sesuai untuk mereka sendiri, mengapa kita tidak juga menerima bahwa pilihan suatu kelompok minoritas juga sesuai untuk dirinya sendiri, walaupun hal tersebut akan menyebabkan munculnya sejenis otonomi? Dalam hal ini, apa yang menjadi justifikasi logis bagi pemerintah-pemerintah dalam menentang keinginan beberapa kelompok sosial yang mereka kuasai dengan paksa!?

Berkaitan deengan permasalahan ini, dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia.

Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu.

Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu. Namun demikian, hukum agama memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat. Jadi, paling tidak dengan mencermati batasan-batasan yang ditetapkan oleh kerangka umum ini, mungkin keterjatuhan ke jurang kebinasaan abadi bisa dihindari.

Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum sosial.
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.

Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah.

Kualifikasi yang lain, seperti kepandaian administratif, keberanian, dan sebagainya, bisa dianggap sebagai syarat pendukung. Lazimnya, yang ideal adalah bahwa orang yang menjalankan hukum tersebut harus secara umum tanpa ketidaktahuan, keegoisan, dan yang sejenisnya, dan ia adalah orang yang dalam termonologi religius disebut sebagai maksum (terlepas dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad saw dan penganut Syi'ah juga percaya pada kemaksuman para Imam as. Pada saat orang yang maksum tidak ada, dalam memilih pemimpin dan posisi di bawahnya dalam hirarki pemerintahan secara proporsional, kriteria semacam ini harus ditepati sejauh mungkin.

Pada dasarnya, landasan dari konsep Wilayat-e Faqih (lit., penjagaan jurisprudensi yang memenuhi semua persyaratan yang diperlukan) adalah suatu proposisi bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi orang yang maksum, yaitu pada posisi puncak piramida kekuasaan, sehingga posisi ini bisa ditempati oleh orang yang paling memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan dan dasar-dasar fundamentalnya, orang yang paling memiliki ketakwaan dan kontrol diri.

Dengan kedua syarat dasar ini (jurisprudensi dan ketakwaan) nampaknya paling tidak ia tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja, melanggar hukum Islam.
Hal lain yang bisa dibahas di sini adalah bahwa dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga.

Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukum-Nya. Jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukum-Nya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindakannya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.

Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para Nabi dan penerus mereka yang terpilih (Imam maksum; ed.), tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi dan para Ma'shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya (para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan lebih tepat.
Cara penyelesaian seperti itu akan lebih aman dari terpilihnya orang yang lemah, baik secara disengaja atau tidak disengaja.

Juga jadi jelas bahwa bentuk politik Islam diturunkan dari elemen-elemen dasar pandangan dunia Islam dan pandangannya terhadap manusia. Artinya, penekanan pada sifat adil suatu hukum dan keselarasannya dengan peningkatan spiritual manusia berasal dari pandangan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan semua umat manusia agar manusia itu bisa mengikuti jalan peningkatan diri menuju kedekatan dengan Tuhan dan kebahagiaan abadi melalui keutamaan budi pekerti dalam kehidupan. Hak manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan untuk menikmati anugerah yang ada di dunia ini adalah agar semuanya bisa menapaki jalan peningkatan diri dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat.

Penerapan hukum-hukum ketuhanan dan prinsip-prinsip agama, baik jika diterapkan untuk individu atau untuk masyarakat adalah untuk menentukan landasan utama bagi jalan ini. Keahlian dalam bidang hukum dan ketakwaan selain kualifikasi administratif yang lainnya adalah untuk menjamin tercapainya kemajuan masyarakat secara umum, untuk mencapai kebahagiaan abadi, dan untuk mencegah penyimpangan yang disengaja atau yang tidak disengaja dari jalan jalan yang benar dalam kehidupan masyarakat.

Kita berharap bahwa Tuhan Yang Mahakuasa akan menganugerahkan kepada kita semua kesempatan untuk bersyukur kepada-Nya atas karunia berupa hukum-Nya dan petunjuk untuk menuju kehidupan yang penuh kebahagiaan yang kita cari.

penulis: Muhammad Taqi Misbah Yazdi

Globalisasi dan Dunia Islam

Sebagian pihak memiliki pandangan yang cukup sederhana tentang globalisasi yaitu penyamaan lahiriah global. Artinya, globalisasi cukup dengan menyamakan tampilan lahiriah saja tanpa menyentuh sisi lainnya. Namun terbukti bahwa ide tersebut tidak berhasil baik pada masa lalu, kini, maupun era mendatang. Adapun di antara para pendukung makna penyatuan dalam globalisasi terdapat kelompok yang menyatakan bahwa globalisasi dapat direalisasikan jika didukung proses dialog antarperadaban.

Fenomena pokok yang menjadi perhatian kehidupan modern di antaranya adalah globalisasi budaya menyusul berbagai kemajuan yang telah dicapai di sektor teknologi informasi. Diperkirakan, globalisasi budaya akan menjadi topik menarik yang terus dikaji lebih mendalam pada era mendatang. Pada era globalisasi ini, tak satu pun negara yang dapat terbebaskan secara mutlak dari dampak globalisasi dalam pergolakan internasional.

Lahirnya fasilitas dan sarana informasi, perluasan ide post-modernisme, eskalasi bahaya lingkungan hidup, dan kian menipisnya batasan perekonomian sebuah negara, yang terakumulasi dalam globalisasi, kini menjadi topik paling tren dibahas. Dewasa ini, para cendikiawan dan pengamat berhasil mengungkap berbagai dimensi globalisasi. Tak diragukan lagi, pada masa mendatang akan muncul dimensi baru globalisasi. Saat ini, muncul dua ide yang masih diperdepatkan yaitu apakah globalisasi berarti penyamaan atau penyatuan.

Sebagian pihak memiliki pandangan yang cukup sederhana tentang globalisasi yaitu penyamaan lahiriah global. Artinya, globalisasi cukup dengan menyamakan tampilan lahiriah saja tanpa menyentuh sisi lainnya. Namun terbukti bahwa ide tersebut tidak berhasil baik pada masa lalu, kini, maupun era mendatang. Adapun di antara para pendukung makna penyatuan dalam globalisasi terdapat kelompok yang menyatakan bahwa globalisasi dapat direalisasikan jika didukung proses dialog antarperadaban.

Sebelum era globalisasi, pemerintah merupakan satu-satunya sarana dalam proses perpindahan budaya ke sebuah masyarakat lain. Artinya, transfer budaya pada era dahulu biasanya terjadi melalui kolonialisme atau penjajahan. Namun kini, kebudayaan setiap masyarakat cenderung didasari pada ideologi dan cara pandang masyarakat tersebut tentang kehidupan secara keseluruhan. Masyarakat dewasa ini terdiri atas berbagai golongan dengan kecenderungan dan idealisme yang plural. Perkembangan teknologi informasi merupakan faktor utama munculnya fenomena globaslisasi. Beragam ideologi dan pemikiran dengan sangat mudah dan cepat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pengaruhnya pun dapat dirasakan dalam kehidupan masyarakat. Batasan geografis sudah tidak lagi berfungsi sebagai tameng infiltrasi budaya asing.

Tak diragukan lagi bahwa globalisasi telah merambah ke seluruh elemen dalam kehidupan bermasyarakat temasuk di bidang sosial dan ekonomi. Dewasa ini, pemerintah tidak sepenuhnya bertindak secara tunggal, melainkan banyak faktor yang ikut andil dalam struktur pemerintahan. Di antara unsur yang paling berpengaruh dalam kebijakan pemerintah adalah investasi, teknologi, dan media massa. Sebab itu, tidak akan ada satu negara pun yang dapat secara mutlak terlepas dari dampak globalisasi.

Poin menarik lainnya adalah budaya mana yang akan mendominasi peradaban umat manusia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa budaya Barat akan mendominasi dunia mengingat Barat memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi yang kuat. Namun pendapat tersebut memiliki kekurangan yang sangat menonjol, bahwa sejak dahulu hingga kini tidak ada satu kebudayaan pun yang dapat menghapus kebudayaan masyarakat lain. Keragaman budaya akan terus terjadi selama terdapat perbedaan ideologi, lokasi, sejarah, dan pengalaman setiap individu. Kebudayaan lebih bergantung pada karakter setiap individu daripada tatanan dan sistem global.

Menghadapi fenomena globalisasi, umat Islam lebih dituntut menjaga dua poin penting yaitu, pengokohan identitas dan reaksi timbal balik dengan fenomena tersebut. Pengokohan identitas bagi umat Islam ibarat imunisasi terhadap berbagai unsur buruk dan destruktif dalam gelombang globalisasi. Selain itu, dunia Islam juga harus menjaga persatuan dan kekompakan guna menjalin kerjasama erat di berbagai bidang. Hal itu akan sangat diperlukan di saat terjadi benturan dengan budaya asing. Bagaimanapun juga penolakan terhadap sebuah kebudayaan akan menuai ketidakpuasan dari pihak terkait dan hal ini telah terjadi.

Tahap pengokohan identitas itu bukan berarti bahwa dunia Islam harus menutup seluruh pintu terhadap budaya asing. Karena jika tahap pengokohan identitas dilakukan dengan baik, umat Islam bahkan tidak perlu menututp satu pintu pun mengingat mereka terlebih dahulu telah membentengi diri mereka. Adapun poin kedua adalah reaksi timbal balik dunia Islam menghadapi globalisasi. Pada hakikatnya globalisasi merupakan sarana terbaik bagi umat Islam untuk memperkenalkan budaya dan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Seperti yang telah tercantum dalam Al Quran bahwa tidak ada pemaksaan dalam agama, umat Islam dapat menawarkan budaya, ideologi, dan gaya hidup Islami, kepada dunia dengan menampilkan keteladanan Rasulullah dan para nabi lainnya. Tauhid, kesederhanaan, kejujuran, dan etika, merupakan di antara hikmah Islami yang saat ini dinanti umat manusia modern. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh umat Islam dalam mewujudkan kehidupan dan masyarakat yang diridhoi oleh Allah.

SUMBER : IRIB

Kejahatan Baru Israel di Palestina

Kejahatan Rezim Zionis Israel terhadap warga tak berdosa Palestina telah berlangsung lama. Baik dunia Islam maupun masyarakat internasional hingga saat ini masih belum mampu membebaskan bangsa tertindas ini dari penderitaannya. Kejahatan yang nyata-nyata dilakukan oleh Israel hanya mendapat kecaman tanpa adanya upaya menindaklanjutinya. Penjajah senantiasa melakukan tindakan kejahatan, namun ketika penjajah mendapat dukungan internasional maka ia akan melakukan berbagai kejahatan dan pengerusakan serta tindakan semena-mena lainnya terhadap bangsa yang ia jajah. Kondisi ini kita akan mendapatkannya pada Israel. Rezim Zionis yang menjajah Palestina pada tahun 1948 mulai melakukan pembantaian terhadap rakyat Palestina dan mengusir ratusan ribu warga negara ini.

Sejak saat itu, Israel dengan brutal berupaya memadamkan seruan rakyat Palestina yang menuntut haknya. Dalam usahanya untuk mengintimidasi bangsa Palestina, Israel tak segan-segan melakukan berbagai tindakan keji seperti pembantaian massal, membunuh wanita dan anak-anak, teror dan menangkap warga serta menyiksanya.

Di sisi lain, sikap bungkam organisasi internasional, dukungan Barat terhadap kejahatan Israel serta tindakan mereka yang memakai lembaga dunia untuk menjustifikasi kebrutalan Tel Aviv membuat rezim Zionis kian berani melakukan berbagai kejahatan baru. Baru-baru ini, Koran Aftonbladet, Swedia dalam makalahnya membongkar tindakan keji serdadu Israel terhadap warga Palestina. Mereka bukan hanya terhadap warga Palestina yang masih hidup melakukan tindakan sewenang-wenang, bahkan jenazah mereka pun tak luput dari tindakan aniaya pihak Zionis. Serdadu Israel menurut sumber ini telah melakukan pencurian terhadap organ tubuh warga Palestina dan menjualnya.

Perilisan berita ini bersamaan dengan terbongkarnya sebuah jaringan penyeludupan organ tubuh manusia di AS. Anehnya anggota sindikat tersebut adalah para Rabi Yahudi. Menurut mingguan The American Free Press, sindikat tersebut hanya bagian kecil dari ancaman dunia terkait penyelundupan organ manusia yang berpusat di Palestina pendudukan dan dibiayai oleh Lembaga Keselamatan Nasional Israel.

The American Free Press malah menegaskan bahwa di seluruh dunia anak-anak yang berada di bawah perlindungan program penyelamatan anak yatim mendapat perlakuan keji. Koran ini menyatakan bahwa anak-anak tersebut diculik dan setelah organ penting tubuhnya diambil kemudian jenazahnya dibakar. Tindakan di luar prikemanusiaan ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah biasa melakukan kejahatan dan tindakan kejam lainnya. Di sisi lain, seorang veteran perwira Israel yang didakwa melakukan penyelundupan organ manusia mengaku bahwa Israel memanfaatkan organ tersebut untuk pasien mereka dan seluruh biaya transaksi dengan sindikat penyelundup dibiayai oleh lembaga keselamatan nasional Israel. Hal ini diungkapkannya dalam persidangan di pengadilan Brazil.

Setelah terbongkarnya sindikat kaum Rabi Yahudi yang menyelundupkan organ manusia, Wartawan Koran Aftonbladet, Donald Bostrom kemudian mencetak makalahnya terkait hal ini. Informasi yang dimiliki Bostrom terkait kekejian Israel sebelumnya ia tulis dalam sebuah buku. Dalam makalahnya yang bertajuk "Mereka Mencuri Organ Tubuh Anak-anak Kita" Bostrom menulis, Israel menculik pemuda Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Setelah membunuh pemuda tersebut dan mengambil organ tubuhnya kemudian Israel menyerahkan jenazah para pemuda Palestina kepada keluarganya. Menurut Bostrom, tindakan keji ini dilakukan atas perintah mantan perdana menteri Israel, Ehud Olmert sejak awal 1990. Namun yang benar adalah Israel telah melakukan pencurian organ tubuh warga Palestina sejak Intifadah pertama tahun 1988.

Bostrom menekankan, ia telah melakukan wawancara terhadap 20 keluarga syuhada Palestina yang menegaskan bahwa kemungkinan Israel melakukan pencurian terhadap organ tubuh para syuhada sangat besar. Bostrom mengaku menyaksikan sendiri kasus pencurian ini. Dalam makalahnya ia menyebutkan nama pemuda yang menjadi korban kebuasan Israel. Ia menulis Bilal Ahmed Ghanem adalah pemuda Palestina yang dilukai serdadu Israel pada tahun 1992 dan diangkut ke tempat yang tak diketahui serta jenazahnya kemudian diserahkan serdadu Israel kepada keluarganya. Pada saat penyerahan tersebut di tubuh Ghanem di bagian perut terlihat sebuah jahitan. Tak hanya sampai di situ, serdadu Israel malah meminta uang sebesar 1300 dolar karena telah mengembalikan jenazah Ghanem. Bostrom saat itu sempat mengambil gambar dari tubuh Ghanem dan mempublikasikannya.

Bilal Ahmed Ghanem bukan satu-satunya korban penjualan organ tubuh manusia. Khaled dan Raed dua syuhada Palestina lainnya juga mengalami hal serupa. Dalam wawancaranya dengan Bostrom, keluarga Khaled dan Raed menekankan bahwa Israel mencuri organ tubuh anak-anak mereka. Mereka juga menegaskan bahwa Israel meminta tebusan atas jenazah Khaled dan Raed. Saudara seorang anak perempuan Palestina yang berusia 15 tahun menekankan, serdadu Israel membawa saudarinya yang tengah terluka dan kemudian menyerahkan jenazahnya dalam keadaan organ tubuhnya kosong.

Rabi Rozenbaum di AS yang didakwa melakukan praktek penjualan ginjal orang-orang Palestina telah ditangkap dan mengaku membeli ginjal tersebut di Palestina pendudukan dengan harga dua ribu dolar dan kemudian menjualnya di AS dengan harga 160 ribu dolar. Fenomena ini menunjukkan bahwa Israel tengah menjalankan siasat keji terhadap rakyat Palestina yang hingga kini dampaknya masih belum jelas. Meski demikian, seperti yang sudah-sudah Israel tetap membantah laporan Koran Aftonbladet. Israel juga tak malu-malu menuntut permintaan maaf koran ini.

Donald Bostrom dalam wawancaranya dengan Press TV menekankan, makalahnya ia tulis berdasarkan kesaksiannya sendiri dan pernyataan anggota keluarga korban. Tudingan Israel terhadap Koran Aftonbladet adalah tudingan seperti biasanya yaitu anti-Yahudi. Para pemimpin Israel senantiasa menampilkan setiap kritik atas kejahatan Rezim Zionis sebagai permusuhan terhadap rezim ini. Rezim Zionis juga tak segan-segan memaksa penentangnya untuk diam.

Direksi Koran Aftonbladet, Jen Hellin dalam reaksinya atas tuntutan pemimpin Israel mengatakan, "Saya sangat menyesalkan sikap petinggi Israel yang berusaha menghapus masalah ini dengan menyebarkan klaim tak berdasar serta propaganda menggelikan dan membesar-besarkan isu anti-zionis. Makalah ini sepenuhnya bukan anti-Yahudi, namun hanya mengungkap tindakan keji serdadu Israel". Meski demikian, Israel ternyata tidak berhenti sampai di situ. Rezim penjajah ini kemudian menuding pemerintah Swedia terlibat dalam masalah ini. Sikap tegas pemerintah Swedia yang menolak meminta maaf kepada Israel membuat Tel Aviv untuk sementara menunjukkan sikap yang lunak. Pemerintah Swedia menyebut kasus Koran Aftonbladet adalah salah satu dari masalah kebebasan pers.

Di balik sikap lunak Israel ternyata rezim ini melakukan tindakan balasan dengan melarang masuknya wartawan Koran Aftonbladet ke Jalur Gaza. Berdasarkan jajak pendapat sebuah koran Swedia, 65 persen warga negara ini menolak pemerintahannya menyampaikan permintaan maaf kepada Israel. Meski Koran Aftonbladet demi memperlihatkan tugasnya sebagai media dengan membongkar sejumlah kecil kejahatan Israel terkait penjualan organ tubuh warga Palestina oleh Israel, namun seperti biasanya media massa Barat tidak mereaksi berita penting ini.

Media massa Barat memiliki kebijakan sendiri dengan tidak meliput kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina, namun sebaliknya akan meliput luas berita yang memojokkan rakyat tertindas Palestina. Kasus penjualan organ tubuh rakyat Palestina dan warga tak berdosa lainnya di dunia ternyata juga tidak direaksi penuh oleh media negara-negara Islam dan Arab. Kini tindakan tak manusiawi Israel dapat disebut keburukan terbesar Rezim Zionis. Sampai-sampai Donald Bostrom optimis bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Belanda akan menyelidiki masalah ini. Namun demikian harapan ini bisa terwujud jika negara-negara Islam juga bertindak.

Apa yang dibongkar Koran Aftonbladet adalah kejahatan Israel hingga tahun 1992. Adapun selanjutnya Israel terus melanjutkan praktek pencurian organ tubuh para syuhada Palestina. Oleh karena itu penting dibentuk komisi internasional untuk menindaklanjuti serta menyelidiki kasus ini. Komisi diharapkan mampu menyeret para petinggi Israel dan sindikat penjualan organ tubuh para syuhada Palestina ke pengadilan kriminal internasional untuk menerima ganjarannya.

SUMBER: http://indonesian.irib

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.