Jangan terlalu sibuk mengurus dunia hingga lupa bahwa hidup punya batas waktu. Hidup harus seimbang, menabunglah sekarang demi akhiratmu.

Keutamaan Shalawat

Allah swt memerintahkan kita agar bershalawat kepada Rasulullah saw dan keluarganya (sa): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu kepada Nabi dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).

Rasulullah saw bersabda: “Sebagaimana orang bermimpi, aku pernah bermimpi pamanku Hamzah bin Abdullah dan saudaraku Ja’far Ath-Thayyar. Mereka memegang tempat makanan yang berisi buah pidara dan mereka makan sebentar, kemudian buah pidara itu berubah menjadi buah anggur. Kemudian mereka makan sebentar dan buah anggur itu berubah menjadi buah kurma yang masih segar. Kemudian mereka makan sebentar, lalu aku mendekati mereka dan bertanya kepada mereka: Demi ayahku jadi tebusan kalian, amal utama apakah yang kalian dapatkan? Mereka menjawab: Demi ayahku dan ibuku jadi tebusanmu, kami dapatkan amal yang paling utama adalah shalawat kepadamu, memberi minuman, dan cinta kepada Ali bin Abi Thalib (sa).” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi, halaman 90, bab 224, hadis ke 227)

Rasulullah saw bersabda: “Ketika aku diperjalankan di malam hari untuk mi’raj ke langit, aku melihat malaikat yang mempunyai seribu tangan, dan di setiap tangannya seribu jari-jemari. Ketika ia sedang menghitung dengan jari-jarinya, aku bertanya kepada Jibril: Siapakah malaikat itu dan apa yang sedang ia hitung? Jibril menjawab: ia adalah malaikat yang ditugaskan untuk menghitung setiap tetesan hujan, ia menghafal setiap tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi. Aku bertanya kepada malaikat itu: Apakah kamu mengetahui jumlah tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi sejak Allah menciptakan dunia? Ia menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran kepada makhluk-Nya, aku tidak hanya mengetahui setiap tetesan hujan yang turun dari langit ke bumi, tetapi aku juga mengetahui secara rinci berapa jumlah tetesan hujan yang jatuh di lautan, di daratan, di bangunan, di perkebunan, di daratan yang bergaram, dan di pekuburan. Rasulullah saw bersabda: Aku kagum terhadap kemampuan hafalan dan ingatanmu dalam perhitungan. Ia berkata: Ya Rasulallah, ada yang tak sanggup aku menghafal dan mengingatnya dengan perhitungan tangan dan jari-jemariku. Rasulullah saw bertanya: Perhitungan apakah itu? Ia menjawab: Aku tidak sanggup menghitung pahala shalawat yang disampaikan oleh sekelompok ummatmu ketika namamu disebut di suatu majlis.” (Al-Mustadrah, Syeikh An-Nuri, 5: 355, hadis ke 72)

Rasulullah saw bersabda: “Pada hari kiamat nanti semua kaum muslimin akan melihatku kecuali orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, peminum khamer, dan orang yang tidak bershalawat kepadaku ketika namaku disebutkan.” (Jamus Sa’adah 2: 263).

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Ketika nama Nabi saw disebutkan, maka perbanyaklah bershalawat kepadanya, sesungguhnya orang yang bershalawat kepada Nabi saw satu kali, Allah bershalawat kepadanya seribu kali bersama seribu barisan malaikat. Tidak ada satu pun makhluk Allah kecuali ia bershalawat kepada hamba-Nya karena Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepadanya. Barangsiapa yang tidak mencintai shalawat, ia adalah orang yang jahil dan ghurur (tertipu). Allah dan Rasul-Nya serta Ahlul baitnya berlepas diri darinya.” (Al-Kafi, jilid 2, halaman 492)

Ketika menjelaskan makna firman Allah swt: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi… Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Shalawat dari Allah azza wa jalla adalah rahmat, shalawat dari malaikat adalah pensucian, dan shalawat dari manusia adalah doa.” (Ma’anil akhbar, halaman 368)

Shalawat dan Mizan Amal

Rasulullah saw bersabda: “Pada hari kiamat nanti aku akan berada di dekat mizan amal. Barangsiapa yang amal buruknya lebih berat dari amal baiknya, aku akan datang bersama shalawat sehingga amal baiknya lebih berat berkat shalawat itu.” (Tsawabul A’mal, halaman 186)

Muhammad Al-Baqir (sa): ”Tidak ada suatupun amal yang lebih berat dalam mizan amal daripada shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Ssesungguhnya akan ada seseorang yang ketika amalnya diletakkan di mizan amal, timbangan amalnya miring. Kemudian Nabi saw mengeluarkan shalawat untuknya dan meletakkan di mizan amalnya, maka beruntunglah ia berkat shalawat itu.” (Al-Kafi, jilid 2, halaman 494)

Shalawat dan Pengampunan Dosa

Rasulullah saw bersabda:”Barangsiapa yang bershalawat kepadaku tiga kali setiap hari dan tiga kali setiap malam karena cinta dan rindu kepadaku, maka Allah azza wa jalla berhak mengampuni dosa-dosanya pada malam itu dan hari itu.” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi, halaman 89, hadis ke 226)

Rasulullah saw bersabda:”Barangsiapa yang bershalawat kepadaku saat akan membaca Al-Qur’an, maka malaikat akan selalu memohonkan ampunan baginya selama namaku berada di dalam Al-Qur’an.” (Al-Biharul Anwar 94: 71)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:”Barangsiapa yang tidak sanggup menutupi dosa-dosanya, maka perbanyaklah bershalawat kepada Rasulullah dan keluarganya, sesungguhnya shalawat itu benar-benar dapat menghancurkan dosa-dosa.” (Al-Amali Ash-Shaduq, halaman 68)

Pahala Shalawat

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) pernah ditanyai: Apakah pahala shalawat? Beliau menjawab: “Ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti keadaan bayi yang baru lahir dari ibunya.” (Ma’anil akhbar, halaman 368)

Dalam suatu hadis tentang shalawat yang dianjurkan untuk dibaca setiap ba’da shalat Ashar dan hari Jum’at yaitu:

اللّهُمّ صَلِّ على محمّد وآل محمّد الاوصياء المرضيين بأفضل صلواتك وبارك عليهم بأفضل بركاتك والسلام عليه وعليهم ورحمة الله وبركاته

“Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, para washi yang diridhai shalawat-Mu yang paling utama, berkahi mereka dengan keberkahan-Mu yang paling utama, semoga salam dan rahmat serta keberkahan Allah senantiasa tercurahkan kepadanya dan kepada mereka.”

Dalam hadis itu disebutkan: “Barangsiapa yang membaca shalawat ini (7 kali), Allah membalasnya setiap ibadah satu kebaikan, amalnya hari itu diterima, dan ia akan datang pada hari kiamat dengan cahaya di antara kedua matanya.” (Safinah Al-Bihar, jilid 5, halaman 170)

Dalam suatu hadis disebutkan: “Barangsiapa yang membaca shalawat berikut ini sesudah shalat Fajar dan sesudah shalat Zuhur, ia tidak akan mati sebelum berjumpa dengan Al-Qâim (Imam Mahdi) dari keluarga Nabi saw:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan percepatlah kemenangan mereka .” (Biharul Anwar 86: 77)

Sumber: www.syamsuri149.wordpress.com

Sayidah Fatimah dan Fadak

Sayidah Fatimah dan Fadak

Apakah Rasulullah saww memberi warisan kepada keluarganya atau tidak?

Ahlul sunnah tentang hal ini yakin bahwa seluruh Nabi tidak mewariskan suatu apapun, seluruh harta Nabi setelah Nabi Meninggal adalah sedekah. Dalil mereka adalah cuma satu hadis yang disebutkan oleh Abu bakar. Abu bakar berkata: “Nabi Muhammad saw bersabda : “Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.

Dan berdasarkan hadis ini setelah meninggalnya Nabi saw mereka mengambil tanah fadak dan harta-harta Nabi saw yang lain.

Ketika sayidah Fatimah az-Zahra putrii Nabi saw meminta kembali tanah fadak yang merupakan haknya , Abubakar berkata : sesungguhnya Nabi saw telah bersabda : ” Kami para nabi tidak meninggal tidak meninggalkan warisan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”

Tanpa maksud untuk berat sebelah dengan madzhab tertentu tema ini kita teliti dan kita selidiki kebenaranya.

Point pertama : Dari seluruh sahabat Nabi saw hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis di atas. Suyuti di dalam bukunya Tadrib ar-Rawi menerangkan bahwa jumlah sahabat setelah meninggalnya Nabi saw adalah 114ribu orang dan hanya Abubakar yang menukil hadis ini, dan tidak satupun dari mereka yang menukilnya. Sampai-sampai istri-istri Nabi saw tidak tau sama sekali tentang hadis ini. Sayidina Ali yang kesehariannya selalu bersabda saw tidak pernah mendengar hadis ini, dan sayidah Fatimah az-Zahra putrid Nabi saw yang merupakan kebanggaan Nabi saw dan bagian dari Nabi saw juga sama sekali tidak menukil hadis ini.

Para pembesar ahlu sunnah juga mengakui bahwa hadis ini hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis ini.

Abul Qosim Bangwi yang meninggal tahun 317H, Abubakar Syafi’I yang meninggal tahun 354H, Ibn Asakir, Suyuti, Ibn Hajar Makki, Muttaqi Hindi, mereka semua menjelaskan bahwa selain Abubakar tidak seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi saw yang mendengar hadis diatas dan tidak seorang pun yang menukilnya atau meriwayatkannya.

Point Kedua: sebagian ulama’ besar ahlusunnah seperti Ibn Adi pemilik kitab al-Kamil fi at-Dhuafa’,

Riwayat-riwayat yang dari pandangan ahlusunnah dho’if , batil dan bohong serta buatan dinukil didalam kitabnya. Dia (Ibn Adi) tentang riwayat hadis ini berkata: “hadis ini batil, tidak benar.”

Perkataan Ibn Adi ini adalah dari ulama’-ulama’ ahlu sunnah yang mengatakan bahwa :

” قلت لابن خراج حديث ما ترکناه الصدقة قالوا باطل”

Tentang hal ini Dzahabi di dalam kitab Tadzkiratu al-Hifadh jilid 2 halaman 683 dan di dalam kitab Sair A’lami an-Nubala’ jilid 13 halaman 510 begitu juga Ibn Hajar As-Qolani di dalam kitab Lisan al-Mizan jilid 3 halaman 44 dan di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhuafa’ menyebutkan bahwa hadis ini (yang tersebut diatas) adalah batil dan tidak benar.

Point ketiga: perdebatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abubakar.

Setelah perampasan tanah fadak sayidah Fatimah menemui Abubakar dan berkata kepada Abubakar mengapa engkau merampas tanah fadak dari kami? Kemudian Abubakar membaca hadis diatas .

Setelah itu sayidah Fatimah az-Zahra menetapkan satu perkara islami dan dengan 2 ayat al-Quran memberikan dalil bahwa perkataan Abubakar batil dan tidak benar. Sayidah Fatimah az-Zahra berkata : “اترث اباکولا ارث ابی” Hai Abubakar, kau mewarisi warisan dari ayahmu dan aku Fatimah (putri Nabi saw) tidak mewarisi warisan ayahku (apakah ini bisa diterima akal)?

” تزعمون ان لا ارث لي افعلی عمد ترکتم کتاب الله ونبضتموه وراء ظهورکم ”

Apakah kamu tidak membayangkan dengan pikiran ini kamu telah menentang kitab Allah dan perintah-perintah Allah telah kamu letakkan dibawah kakimu (kamu menentang perintah-perintah Allah ). Kamu berkata kalau para Nabi tidak meniggalkan warisan. Akan tetapi al-Quran tentang Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud berkata: “وورث سلیمان داوود” dan Suleiman telah mewarisi warisan dari (ayahnya) Dawud as.)

Dan juga hubungan antara Nabi Yahya dan Zakaria, Nabi Zakaria berkata:

“فهب لي من لدنک وليا يرثني ويرث من آل يعقوب
” (Maka anugerahilah aku dari sisimu seorang putera,yang akin mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub).

Jika seluruh Nabi tidak memberikan warisan , kenapa Nabi Zakaria meminta kepada Allah swt seorang anak yang akna mewarisi semua miliknya, dan semua milik keluraga Ya’qub?

Al-Quran mengeluarkan satu hukum yang mutlak yang ditujukan untuk seluruh orang-orang yang islam. Al-Quran berkata :

“یصیکم الله فی اولادکم للذکر مثل حظ الانثببن”

surah an-Nisa ayat 11. (Allah mensyariatkan Kepadamu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah sama dengan 2bagian anak perempuan….)

(فزعمتم ان لا حظ لي ولا ارث لي من ابي) (ولا ارث من ابي افحکم الله بآیة اخرج ابي منها)
Apa kamu berfikir kalau ada ayat yang lain yang melarang aku untuk mendapatkan warisan dari ayahku? “ ام يقولون اهل ملتین ل ا یتوارثان”

Apakah kamu meliki keyakinan kalau aku bukan seorang muslim dan telah murtad sehingga aku tidak bias mewarisi warisan ayahku?

Ini adalah perdepatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abu-Bakr , kejadian ini dinukil / diriwayatkan oleh Jauhari salah seorang ulama besar Ahlu sunnah didalam kitab as-Saqifah wa Fadak halaman 144 dan juga dinukil / diriwayatkan oleh Ibn Abi Alhadid didalam kitabnya البلاغةنهج شرح Begitu juga Ahmad Ibn Abi Thahir Baqdadi yang tereknal dengan Ibn Thaifur dalam kitab بلاغات النساء halaman14 menukilnya

Point keempat : mengapa mereka tidak memberikan tanah Fadak kepada sayidah Fatimah az-Zahra ?

Didalam kitab السیرة الحلبیه jilid 2 halaman 485 dan jilid 3 halaman 362 disebutkan bahwa:

جائت فاطمة بنت رسول الله(ص) الی ابي بکر وهو علی المنبر فقالت : یا ابابکر افي کتاب الله ان ترث ابنتک ولا ارث ابي؟ فاستعبر ابوبکر باکیا. ثمقال: بابای ابوک. وبابای انت. ثم نزل فکتب لها بفدک . ودخل علیه عمرفقال:ما هذا فقال:کتاب کتبته لفطة میراثها من ابیها. قال: فماذا تنفق علیالمسلمین و قد حاربتک العرب کما تری ثم اخذ عمرالکتاب فشقه

Ketika sayidah Fatimah az-Zahra datang menemui Abubakar yang ketika itu sedang berada di atas mimbar. Beliau ( sayidah Fatimah ) berkata : “wahai Abubakar Apakah didalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan bahwa putrimu boleh mewarisi warisan darimu sedangkan aku tidak boleh mewarisi warisan dari ayahku ?” (setelah mendengar hal itu) maka Abubakar menyesal dan menangis kemudian turun dari mimbar dan menulis sebuah tulisan (yang menyatakan bahwa Abubakar mengembalikan tanah fadak terhadap putri Nabi saw ) untuk sayidah Fatimah, ketika selesai menulis Umar masuk menemui Abubakar dan berkata : ini apa (tulisan ini untuk siapa dan tentang apa)?Abubakar Menjawab: ini tulisan yang aku tulis untuk Fatimah tentang warisan-warisan untuknya dari ayahnya. Umar berkata: Apa yang akan kau berikan kepada Muslimin(kalau bukan dengan tanah fadak) sedangkan semua orang arab telah melawan seperti yang telah kamu saksikan . Kemudian Umar mengambil surat/tulisan tersebut dan merobek-robeknya.

Disini terdapat point penting dan menarik.

“فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری”

Tulisan ini menerangkan bahwa (pada saat itu ) kabilah-kabilah arab telah bangkit melawan kita sedangkan tidak seorangpun yang membayar zakat dan pajak kepada kita. Dengan harta apa kamu ingin menjaga kekuasaan.

Kemudian pada kalimat terakhir

“ثم اخذ عمر الکتاب فشقه”

tulisan ini menyebutkan bahwa Umar mengambil tulisan Abubakar dan kemudian menyobeknya. Kalau Umar menghormati kekhalifahan Abubakar maka Umar tidak akin menyobek tulisan Abubakar yang merupakan pemimpinnya.

sumber copy paste dari: WWW.al-shia.org yang ditulis oleh Ditulis oleh HikmahIslam

Kronologi Tasbih Fatimah Zahra as

Ketika hendak bertasbih, Sayyidah Fathimah as mengambil benang yang terbuat dari bulu kambing, kemudian ia menggulungnya sebanyak jumlah takbir dalam bentuk yang bulat. Ia memegangnya dan memutarkanya sembari berdzikir membaca tasbih.

Begitulah Sayyidah Fathimah as senantiasa bertasbih hingga hari kesyahidan Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib, paman Rasulullah saw. Setelah itu, ia mengganti tasbihnya dengan tanah kuburan Sayyidina Hamzah. Sejak saat itu ia berdzikir dengan tasbih yang beliau buat dari tanah tersebut. Kemudian masyarakat mengikuti apa yang dilakukan oleh beliau. Mereka juga membuat tasbih dari tanah dan menggunakannya untuk berdzikir.

Hal ini terus berlanjut hingga masa kesyahidan Imam Husain as. di padang Karbala. Lantaran tanah kuburan Imam Husain as. itu memiliki keutamaan yang melebihi tanah lainnya, masyarakat menggunakan tanah tersebut sebagai tasbih. Dan setelah itu, tasbih mereka dibuat dari tanah kubur Imam Husain as. Bihar al-Anwar jilid. 85, hal. 333.

Walaupun pada saat ini banyak tasbih yang dibuat dari selain tanah Karbala, akan tetapi yang lebih utama adalah tasbih yang terbuat dari tanah itu, yaitu tanah di mana Imam Husain as dikebumikan.

SUMBER COPY PASTE DARI ALAMAT WEB : AL-SHIA.ORG

AHL AL-BAYT DI DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM (KEENAM: BEBERAPA AYAT DENGAN AL-IMAM ‘ALI)

KEENAM: BEBERAPA AYAT DENGAN AL-IMAM ‘ALI

Beberapa ayat dari al-Qur’an diturunkan mengenai saudara Rasulullah dan ketua Ahlul Bayt iaitu al-Imam Ali bin Abi Talib (as) yang diasuh di rumah Rasulullah saw sejak dari kanak-kanak lagi.[26] Dia dibesarkan dalam jagaannya dan dia berakhlak mengikut akhlak Nabi saw Dia beriman dengan (Muhammad) ketika berumur 10 tahun. Dia membenarkan Rasulullah dan mengikutinya . Ali adalah pembawa bendera perangnya dan tenteranya yang gagah berani dalam ke semua medan peperangan. Peperangan Badar, Uhud, Hunain, Khaibar, Zat al-Salasil dan lain-lain medan pertempuran yang mencatatkan kemenangan kepada Islam dan yang disaksikan oleh Rasulullah saw dengan menyusun perkataannya bagaikan bintang-bintang kebesaran yang menghiasi lembaran-lembaran sejarah dan meletakkan di kalangan manusia contoh yang tinggi dalam pengorbanan dan jihad.

Setelah meneliti sebab-sebab turunnya ayat: “وَ يُطْعِمُونَ الطَّعَامَ” kita dapati bahawa ayat yang diturunkan mengenai Amirul Mukminin dan Imam al-Muslimin, ‘Ali bin Abi Talib dalam al-Qur’an selain daripada apa yang telah kami sebutkan mengenai Ahlul Bayt adalah menerangkan:

i) Keberanian Ali, dan pengorbanan pada jalan Allah.

ii) Ketabahannya dalam menerima kesengsaraan dan penghinaan.

iii) Kewarakan, ketaqwaan, amalan dan usahanya serta kepimpinannya terhadap orang-orang yang beriman. Sebagai contoh kita kemukakan di sini beberapa ayat antaranya:

1- Ayat al-Wilayah

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ ءَامَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَوةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكَوةَ وَ هُمْ رَاكِعُونَ وَ مَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ وَ الَّذِينَ ءَامَنُواْ فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَلِبُون‏

“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat dan menunaikan zakat dan mereka tunduk (kepada Allah) dan barangsiapa yang menjadikan Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”

Al-Zamakhshari menyebutkan dalam Tafsir al-Kashshaf seperti berikut: bahawa sesungguhnya ayat (di atas) diturunkan pada Ali kr (karramallahu wajhah) ketika ada seorang meminta kepada (Ali) yang sedang rukuk dalam solatnya, lalu Ali campakkan cincinnya yang terus meluncur dari anak jarinya, jadi untuk mencabut cincinnya, ‘Ali tidak melakukan banyak pergerakan sehingga boleh membatalkan solatnya. Jika kamu bertanya macam mana boleh bahawa (ayat) itu mengenai Ali sedangkan lafaznya adalah lafaz jamak (وَ هُمْ رَاكِعُونَ) Aku jawab: didatangkan dengan lafaz jamak walaupun sebabnya seorang sahaja ialah untuk mengalakkan orang supaya meniru perbuatannya (Ali) dan mendapat ganjaran pahala sepertinya, dan untuk memberi ingatan bahawa tabiat mukmin wajib menuju ke matlamat ini iaitu memelihara kebaikan dan ihsan seperti mengambil perhatian terhadap orang-orang faqir, sehingga memaksa mereka untuk (melakukan) sesuatu yang tidak boleh dilambatkan walaupun dalam keadaan mereka sedang solat, tidak boleh dita’khirkan hingga selesai sembahyang.[27]

Al-Wahidi menyebutkan dari al-Kalbi mengenai sebab-sebab turunnya ayat ini:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ ءَامَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَوةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكَوةَ وَ هُمْ رَاكِعُونَ

Ia berkata: bahawa akhir ayat ini adalah mengenai Ali bin Abi Talib ra kerana dialah yang memberikan cincinnya kepada orang yang memintanya ketika ‘Ali sedang rukuk dalam solatnya.[28]

Beberapa kitab tafsir dan hadith juga telah menyebutkan tentang turunnya ayat ini kepada Imam Ali, kami tinggalkan huraian yang panjang lebar mengenai perkara ini dan kepada para pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut sila rujuk kepadanya.[29]

Selain daripada itu banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang maqam Ahlul Bayt, karamah dan keagungan peribadi mereka khususnya mengenai bapa keturunan yang suci Imam ‘Ali as, tetapi dalam ruangan yang terhad ini tidak dapat disebutkan kesemuanya. Para pembaca boleh mendapati dalam kitab-kitab tafsir, manaqib, hadith dan sejarah rasul dalam bab-bab mengenai sebab-sebab turunnya (ayat al-Qur’an). Di antaranya ayat-ayat itu ialah: “إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ وَ لِكلُ‏ِّ قَوْمٍ هَاد”

“Sesungguhnya kamu pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada yang memberi petunjuk.” (Ar-Ra’d [13]: 7)

Ada hadith (menyatakan) bahawa Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas dadanya dan bersabda, maksudnya: “Aku adalah pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk kemudian baginda menudingkan tangannya keapda Imam Ali as dan bersabda, maksudnya: “Kamu yang memberi petunjuk Wahai Ali melalui kamu orang-orang yang sesudahku akan menerima hidayah.”[30]

2. Ayat 18 As-Sajdah [32]

أَ فَمَن كاَنَ مُؤْمِنًا كَمَن كاَنَ فَاسِقًا لَّا يَسْتَوُن‏

“Apakah orang yang beriman seperti orang yang fasiq, mereka tidak sama.”

Sesungguhnya yang mukmin (dalam ayat di atas) ialah Ali as manakala yang fasiq ialah al-Wahidi bin Uqbah.[31]

3- Ayat 17 Hud [11]

أَ فَمَن كاَنَ عَلىَ‏ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِ وَ يَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِّنْه‏

“Apakah (orang kafir) sama dengan orang-orang ada mempunyai bukti yang nyata (Muhammad) dari Tuhannya diikuti oleh seorang saksi dari Allah.”

Sesungguhnya Rasulullah saw atas keterangan daripada Allah dan yang menjadi saksi ialah Imam Ali as.[32]

4- Ayat 4 At-Tahrim [66]

فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَئهُ وَ جِبرِْيلُ وَ صَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ

“Maka sesungguhnya Allah ialah penolongnya, serta Jibrail dan orang-orang mukmin yang salih.”

Sesungguhnya yang salih daripada orang-orang mukmin ialah Ali bin Abi Talib.[33]

5- Ayat 12 Al-Haaqqah [69]

وَ تَعِيهََا أُذُنٌ وَاعِيَة

“Dan didengar oleh telinga yang mahu mendengar.”

Sesungguhnya Rasulullah saw membaca ayat di atas, dia pun berpaling kepada Ali as dan bersabda: “Aku meminta kepada Allah supaya menjadikan pendengaran itu pada telinga Ali.

Kemudian Ali berkata: “Tiada sesuatu apapun yang aku dengar dari Rasulullah yang aku lupakannya.”[34]

Al-Wahidi merekodkan dalam Asbab an-Nuzul satu rangkaian perawi hadith daripada Buraidah: bahawa Rasulullah saw berkata kepada Ali: “Sesungguhnya Allah menyuruh aku supaya menghampirimu dan tidak menjauhkan kamu, dan meminta supaya aku mengajar kamu dan menyedarkan, dan berhak bagi Allah menyedarkan kamu” lalu turunlah ayat.

6- Ayat 96 Maryam [19]

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَ عَمِلُواْ الصَّلِحَاتِ سَيَجْعَلُ لهَُمُ الرَّحْمَانُ وُدًّا

“Mereka yang beriman dan beramal soleh, Allah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.”

Sesungguhnya Rasulullah bersabda kepada Ali, maksudnya: “Wahai Ali katakan: “اللهم اجعل لی عندک عهدا و اجعل لی من صدور المؤمنین مودة”

“Ya Allah! Jadikanlah bagi suatu perjanjian di sisiMu dan jadikanlah diriku dikasihi di hati orang-orang yang beriman, lalu Allah menurunkan ayat di atas kepada Ali as[35]

7- Ayat 7 Al-Bayyinah [98]

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَ عَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُوْلَئكَ هُمْ خَيرُْ الْبرَِيَّة

“Sesungguhnya Rasulullah berkata kepada Ali: “Wahai Ali mereka itu ialah: kamu dan pengikut-pengikut kamu.”[36]

8- Ayat 19 At-Taubah [9]

أَ جَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الحَْاجّ‏ِ وَ عِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الحَْرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الاَْخِرِ ‏

“Adakah kamu jadikan jabatan memberi air kepada jamaah haji dan memperbaiki Masjid al-Haram sama seperti orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.”

Sesungguhnya (mereka yang bekerja memberi air dan memperbaiki Masjid al-Haram) ialah al-Abbas dan Talhah, dan orang yang beriman ialah Ali as[37]

Banyak lagi ayat-ayat berkaitan dengan (Al al-Bayt) tetapi kami tinggalkan kerana untuk meringkaskannya.

SUMBER:http://www.al-shia.org

AHL AL-BAYT DI DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM (KELIMA: SURAH AD-DAHR/AL-INSAAN (daripada ayat 5-22))

KELIMA: SURAH AD-DAHR/AL-INSAAN (daripada ayat 5-22)

إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِن كَأْسٍ كاَنَ مِزَاجُهَا كَافُورًا عَيْنًا يَشْرَبُ بهَِا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونهََا تَفْجِيرًا يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَ يخََافُونَ يَوْمًا كاَنَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا وَ يُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلىَ‏ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَ يَتِيمًا وَ أَسِيرًا إِنمََّا نُطْعِمُكمُ‏ْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكمُ‏ْ جَزَاءً وَ لَا شُكُورًا إِنَّا نخََافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا فَوَقَئهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَالِكَ الْيَوْمِ وَ لَقَّئهُمْ نَضْرَةً وَ سُرُورًا...

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya ialah air kapur, iaitu mata air (dalam syurga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut suatu hari yang azabnya merata di mana-mana, dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan kami tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang-orang bermuka masam, penuh kesulitan) yang datang dari tuhan kami, maka tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberi kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati” hingga ayat 22.

Dalam ayat-ayat di atas al-Qur’an menceritakan Ahlul Bayt dengan meletakkan mereka itu di kemuncak pengaruh dan ketaqwaan dan menonjolkan mereka sebagai contoh dan teladan kepada umat manusia supaya generasi akan datang mencontohi mereka dan berjalan mengikut cara mereka sehingga menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an itu.

Peristiwa bersejarah sehingga menyebabkan turunnya ayat adalah menunjukkan tingginya kedudukan Ahlul Bayt as dan ketinggian mereka dalam perlaksanaan dan penglibatan syarak secara total juga keikhlasan yang sempurna kepada Allah Ta’ala dan mereka adalah golongan yang al-abrar yang dijanjikan dengan syurga dan barangsiapa yang mengikuti contoh mereka dan berjalan mengikut perjalanan mereka akan dihimpunkan bersama-sama mereka. Al-Zamakhshari telah mengemukakan pandangannya dalam mentafsirkan ayat ini dengan katanya: daripada Ibn Abbas rd bahawa “Ketika al-Hasan dan al-Husayn sakit, Rasulullah menziarahi mereka bersama-sama dengan ramai.” Mereka berkata: “Wahai bapa al-Hasan (Ali bin Abi Talib) kalaulah kamu bernazar ke atas anak-anak kamu, lalu Ali, Fatimah dan seorang hamba bernama Fiddah, bernazar jika keduanya (al-Hasan dan al-Husayn sembuh (dari penyakit) mereka akan berpuasa tiga hari. Tiba-tiba kedua-duanya pun sembuh, tetapi mereka tidak mempunyai apa-apa pun, lalu Ali meminjam daripada Syam’aun seorang Yahudi Khaibar sebanyak 3 cupak daripada gandum (sya’ir). Fatimah menguli satu cupak dan dibuat 5 roti sebanyak bilangan mereka (Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn dan jariah). Kesemua roti itu diletakkan di hadapan mereka untuk berbuka puasa, tiba-tiba muncul di hadapan mereka seorang meminta-minta dengan katanya: “As-salamu-‘alaikum Ahlul Bayt: berilah aku makan nescaya Allah akan memberi kamu makan daripada hidangan syurga.” Maka mereka mengutamakan (orang yang meminta) dan mereka tidur dan tidak makan kecuali air dan besoknya mereka berpuasa lagi, maka besok apabila sampai waktu petang dan sedang tangan mereka memegang makanan tiba-tiba muncul seorang yatim berdiri di hadapan mereka, mereka pun memberikan makanan kepadanya, dan pada hari yang ketiga datang seorang tawanan meminta-minta makanan, mereka pun berikan kepadanya seperti hari-hari sebelumnya. Maka pada keesokan harinya, ‘Ali dengan memegang tangan al-Hasan dan al-Husayn menemui Rasulullah saw dan apabila baginda saw melihat mereka dalam keadaan menggeletar kelaparan seperti ayam yang sangat lapar, baginda bersabda: apakah gerangan yang menyedihkan aku bila aku melihat kamu ini, lalu baginda pun bangun dan pergi bersama-sama mereka dan melihat Fatimah di mihrabnya duduk membongkok sehingga bertemu bahagian atasnya dengan perutnya dan mencurah keluar air matanya, maka keadaaan ini menyedihkan (Rasulullah), kemudian Malaikat Jibrail turun dan berkata: Wahai Muhammad ambillah dia (Fatimah), Allah memberikan tahniah pada Ahlul Bayt kamu lalu Jibrail pun membacakan Surah (al-Insaan).[23]

Al-Tabrasi meriwayatkan dalam tafsirnya Majma’ al-Bayan riwayat yang serupa. Al-Tabrasi juga meriwayatkan: Ali bin Ibrahim menyebutkan bahawa bapanya bercerita kepadanya daripada Abdullah bin Maimon daripda Ibn Abdullah berkata: bahawa Fatimah mempunyai gandum lalu dimasak menjadi bubur kemudian diletakkan makanan itu di hadapan mereka (Ahlul Bayt) tiba-tiba datang seorang miskin dan berkata: Rahimakumullah – mudah-mudahan Allah merahmati kamu semua. Ali bangun dan memberikan 1/3 daripada makanan itu kepada si miskin itu.Tak lama selepas itu datang lagi seorang miskin dna berkata: Mudah-mudahan Allah memberi belas kasihan kepada kamu semua. ‘Ali bangun dan memberikan kepada si miskin itu 1/3 daripada makanan itu, kemudian datang pula seorang tawanan perang dan berkata: Mudah-mudahan Allah merahmati kamu, maka ‘Ali memberikan kepadanya 1/3 makanan yang tinggal dari apa yang dijamah oleh mereka. Lalu Allah menurunkan ayat itu kepada mereka –Ahlul Bayt – dan hal seperti itu berlaku pada setiap orang mukmin yang melakukan perkara itu kerana Allah Azawajalla, dan dengan ini menunjukkan bahawa Surah (al-Insan) adalah diturunkan di Madinah. Abu Hamzah al-Thimali pula berkaa dalam tafsirnya; al-Hasan bin al-Hasan Abu Abdullah bin al-Hasan bercerita kepadaku bahawa surah ini kesemuanya di turunkan pada ‘Ali dan Fatimah.[24]

Al-Wahidi menyebutkan dalam kitabnya Asbab al-Nuzul mengenai sebab turunnya firmah Allah: “وَ يُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلىَ‏ حُبِّهِ مِسْكِينًا” seperi berikut: ‘Atha berkata daripada Ibn Abbas: bahawa ‘Ali bin Abi Talib menerima gandum sebagai upah dia berkerja menyiram pokok tamar, yang kemudian diuli dan dimasak untuk makanan keluarganya yang diberi nama al-khazirah. Setelah sipa dimasak datang seorang anak yatim dan meminta makanan lalu diberikan makanan itu kepadanya. Kemudian gandum yang tinggal 1/3 pun dibuat makanan juga, kemudian setelah siap di masak datang pula seorang tawanan perang dan daripada musyrikin lalu Ali dan keluarganya memberikan makanan itu kepadanya. Mereka sekeluarga pun kelaparan pada hari itu, lalu turunlah ayat ini kepada mereka.

Begitulah kita dapati ahli-ahli tafsir mengukuhkan bahawa ayat ini diturunkan pada ‘Ali dan Ahlul Baytnya (Fatimah, al-Hasan dan al-Husayn walaupun dengan riwayat yang berbeza dari segi jalan ceritanya.[25] Ayat ini juga sebagai saksi bagi Ahlul Bayt bahawa mereka adalah orang-orang yang baik yang dijanjikan dengan syurga.

SUMBER:http://www.al-shia.org

AHL AL-BAYT DI DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM (KEEMPAT: AYAT SHALAWAT)

KEEMPAT: AYAT SHALAWAT

إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَائكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلىَ النَّبىِ‏ِّ يَأَيهَُّا الَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَ سَلِّمُواْ تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bersalawat ke atas Nabi saw Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkan salam dengan sebenarnya.”(al-Ahzab: 56)

Dalam ayat-ayat yang terdahulu al-Qur’an menyebutkan mengenai kesucian Ahl Bayt as, kasih sayang kepada mereka, dan bahawa mereka adalah Ahl Bayt Nabi saw dan keluarganya. Ahli-ahli tafsir menentukan secara terperinci nama-nama mereka (Al-Al) yang dimaksudkan ialah Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn.

Manakala dalam ayat ini menyebutkan suatu perintah yang wajib untuk bersalawat ke atas Nabi saw dan keluarganya yang mulia dengan menentukan kepada mereka dan bukan kepada yang lain daripada mereka, mengagungkan maqam dan kehormatan mereka supaya umat dapat mengetahui kedudukan kerasulan dalam kehidupan dan risalah mereka.

Al-Fakhr al-Razi telah merekodkan dalam Tafsir al-Kabir sebuah hadith dari Rasulullah saw dalam menghuraikan ayat ini, katanya: Nabi ditanya “Bagaimana kami nak bersalawat ke atas kamu wahai Rasulullah saw.” Nabi saw menjawab: katakanlah:

اللهم صل علی محمد و علی آل محمد کما صلیت علی ابراهیم و علی آل ابراهیم و بارک علی محمد و علی آل محمد کما بارکت علی ابراهیم و علی آل ابراهیم انک حمید مجید

Sebelum dikemukakan nas ini, dibentangkan huraian ayat-ayat ini, kemudian al-Fakhr al-Razi berkata: (Hadith) ini menjadi dalil bagi Mazhab Syafi’i kerana (fi’il) amar adalah sebagai perintah wajib,[19] maka wajiblah bersalawat ke atas Nabi saw dan tidak diwajibkan pada selain daripada tasyahhud maka wajiblah bersalawat pada masa tasyahhud.[20]

Kemudian al-Fakhr al-Razi meneruskan, jika Allah dan malaikat-Nya telah bersalawat ke atas Nabi saw maka apakah perlunya salawat kita ke atasnya. Kami berkata bahawa salawat ke atas Nabi saw bukan kerana perlunya (Nabi) kepada salawat. Kalau tidak kerana hajat maka tidaklah perlu bersalawat dari malaikat bersama-sama dengan salawat dari Allah ke atas Nabi saw Tetapi memberi salawat kepadanya ini semata-mata untuk melahirkan penghormatan dari kita kerana belas kasihannya kita dan kita akan diberi ganjaran kerana bersalawat ke atasnya. Oleh itu bagind bersabda: “Barangsiapa yang bersalawat ke atasku sekali maka Allah akan bersalawat ke atasnya sepuluh kali.”

Dalam kitab al-Durr al-Manthur oleh al-Suyuti (Hadith) dikeluarkan oleh Abdul Razak, Ibn Abi Syaibah, Ahmad, Abd bin Hamid, Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Mardawaih daripada Ka’ab bin Ajrah, berkata: Seorang lelaki bertanya; “Wahai Rasulullah, ada pun cara mengucapkan salam kepadamu kamu sudah tahu, maka bagaimana bersalawat ke atasmu.” Rasulullah menjawab ucaplah:

اللهم صل علی محمد و علی آل محمد کما صلیت علی ابراهیم و علی آل ابراهیم انک حمید مجید

Terdapat lapan belas hadith selain daripada riwayat-riwayat yang menyertakan (Keluarga Nabi saw bersama dengan Nabi saw dalam mengucapkan salawat seperti yang diriwayatkan oleh pengarang (kitab) al-Sunan dan al-Jawami’ daripda beberapa sahabat-sahabat antaranya; Ibn Abbas, Talhah, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Ansari, Buraidah, Ibn Mas’ud, Ka’ab bin Umrah dan ‘Ali as dalamnya dikeluarkan oleh Ahmad dan al-Tirmizi daripada Hasan bin ‘Ali bahawa Rasulullah s. ‘a.w bersabda: “Orang yang bakhil ialah orang yang apabil disebutkan salawat di sisinya maka dia tidak akan bersalawat ke atasku.”[21]

Begitulah ulama feqah berpendapat tentang wajibnya bersalawat ke atas Muhammad dan keluarga Muhammad saw dalam tahiyyat sembahyang[22] dan wajibnya menyebutkan Al Muhammad dalam solat.

Sesungguhnya orang yang meneliti dalam ayat ini akan mengetahui dengan sejelas-jelasnya daripada syariat ini dan kewajipannya iaitu mengagungkan keluarga Muhammad saw yang telah dihapuskan Allah dosa-dosa mereka dan menyucikan mereka dengan sebersih-bersihnya, agar umat dapat mencontohi mereka, mengikuti cara mereka dan berlindung daripada fitnah dan perselisihan kepada mereka.

Mereka tidak harus bersalawat melainkan bersalawat kepada mereka adalah menjadi harapan umat, yang telah ditunjukkan dan yang dijamin untuk diteladani. Kalaulah tidak kerana adanya ketetapan dan jaminan istiqamah mereka, dan terpelihara apa juga yang lahir daripada mereka, nescaya Allah tidak menyuruh umat muslimin untuk bergantung harapan kepadanya sepanjang masa dan bersalawat ke atas mereka pada tiap kali solat. Sesungguhnya berulang-ulangnya perkara itu iaitu berulangnya salawat ke atas Muhammad dan Al Muhammad saw dan kewajipan bersalawat dalam solat adalah untuk mengukuhkan dan menumpukan perhatian muslimin pada tiap-tiap solat terhadap kepentingan Ahlul Bayt, kedudukan mereka, contoh-contoh teladan mereka dan perjalanan mengikut cara mereka serta berpegang kepada cara hidup mereka.

SUMBER:http://www.al-shia.org

AHL AL-BAYT DI DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM (KETIGA: AYAT AL-MUBAHALAH)

KETIGA: AYAT AL-MUBAHALAH

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْاْ نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَ أَبْنَاءَكمُ‏ْ وَ نِسَاءَنَا وَ نِسَاءَكُمْ وَ أَنفُسَنَا وَ أَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتهَِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلىَ الْكَذِبِين‏

“Barangsiapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah dating ilmu (yang menyakinkan kamu) maka katakanlah (kepadanya) marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali Imran: 61)

Satu peristiwa sejarah yang direkodkan oleh ahli-ahli sejarah dan tafsir yang menjelaskan kepada umat tentang kemuliaan Ahl Bayt (Ali, Fatimah, Hasan, dan Husayn) dan kedudukan mereka serta menunjukkan keagungan dan kedudukan yang ulung di sisi Allah SWT.

Peristiwa yang direkodkan oleh ahli-ahli sejarah dan tafsir itu ialah peristiwa mubahalah iaitu satu utusan[15] orang-orang Nasara dari Najran datang untuk berhujah dengan Rasulullah; maka Allah menyuruh Rasulullah saw menerusi ayat ini memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn dan Nabi saw keluar bersama-sama mereka menuju ke satu lembah, manakala orang-orang Nasara juga memanggil anak-anak mereka, isteri-isteri mereka dan keluarga mereka bersama-sama mereka itu kemudian berdoa kepada Allah supaya menurunkan azab ke atas pendusta-pendusta.

Al-Zamakhshari berkata dalam al-Kashshaf, sesungguhnya setelah mereka diajak bermubahalah mereka berkata: “Nantilah sehingga kami kembali dan memikirkannya tetapu setelah mereka ingkar janji, mereka berkata kepada Aqib (tukang siksa) wahai Abdul Masih; apa pendapat kamu? Dia menjawab; Demi Allah sesungguhnya telah kami ketahui wahai Nasara bahawa Muhammad ini yang diutuskan dan datang kepada kamu untuk menyelesaikan urusan kamu. Demi Allah tidak pernah suatu bangsa bermubahalah dengan seorang nabi, melainkan semuanya habis binasa, dan sekiranya kamu lakukan nescaya kamu akan hancur dan sekiranya kamu ingin agama kamu kekal seperti yang ada sekarang maka tinggalkan lelaki ini dan baliklah ke negeri kamu. Kemudian datanglah Rasulullah saw mendukung Husayn dan tangannya memegang Hasan, Fatimah berjalan di belakang Rasulullah dan Ali di belakang Fatimah dan bersabda saw: “اذا انا دعوت فآمنوا” Jika aku berdoa maka ucapkanlah amin”, Lalu Paderi Najran pun berkata: Wahai orang-orang Nasara sesungguhnya aku melihat beberapa wajah, andainya Allah menghendaki meruntuhkan gunung-gunung nescaya Allah boleh meruntuhkannya oleh itu janganlah engkau bermubahalah nanti kamu akan binasa dan tidak tertinggal seorangpun Nasrani sehingga hari kiamat. Mereka pun menjawab: Wahai Abu al-Qasim, pada pendapat kami bahawa kami tidak mahu bermubahalah dengan kamu dan kamu mengakui agama kamu dan kami tetap dengan agama kami. Nabi berkata: “Jika kamu enggan bermubahalah maka serahlah diri kamu, maka bagi kamu apa yang menjadi kewajipan bagi orang-orang Islam, dan ke atas kamu apa yang diwajibkan ke atas mereka.” Mereka enggan juga, kemudian (nabi) bersabda: “Kalau begitu aku akan tentang kamu.” Mereka berkata: “Kami tidak memerangi Arab samasekali, tetapi kami hendak berdamai dengan kamu supaya kamu tidak memerangi kami dan menakutkan kami dan tidak mengusir kami dari agama kami dengan membayar kepada kamu tiap-tiap tahun sebanyak $2,000/- baju besi, seribu (dibayar) pada bulan Safar dan seribu pada bulan Rejab dan tiga puluh baju besi biasa,” maka nabi pun berdamai dengan mereka di atas perkara yang demikian, dan bersabda: “Demi Allah yang menguasai jiwaku, sesungguhnya kebinasaan telah nyata ke atas penduduk Najran dan andainya, mereka bersumpah nescaya mereka bertukar menjadi beruk dan babi, dan mereka akan dibakar di lembah api dan Allah membinasakan Najran dan penduduknya sehinggalah kepada burung-burung yang dihinggap di atas pokok-pokok kayu belum pun habis semusim, semua orang Nasara itu binasa!

Seterusnya al-Zamakhshari menyambung ceritanya mengenai tafsiran ayat al-Mubahalah dan kedudukan Ahl Bayt setelah dia mengakui keagungan mereka menerusi hadith daripada Aisyah katanya: didahulukan sebutan Ahl Bayt “أَبْنَاءَنَا وَ أَبْنَاءَكمُ” ke atas dirinya (أَنفُسَنَا) untuk menunjukkan kasih sayang mereka dan hampirnya kedudukan mereka kepada Nabi saw serta menjelaskan bahawa mereka (Ahl Bayt) mendahului (للانفس)dan di dalamnya juga menunjukkan bahawa tiada dalil yang lebih kuat tentang kelebihan orang yang diselubungi.[16] Dan dalam ayat itu dalil yang terang tentang kebenaran kenabian Muhammad saw kerana tidak ada seorangpun sama ada yang setuju atau tidak bahawa mereka menunaikan permintaan mereka.[17]

Sesungguhnya maqam (Ahl Bayt) adalah menunjukkan perbezaan yang ketara antara golongan beriman daripada golongan syirik dan mereka yang menzahirkan keimanan adalah pembela agama dan pemimpin umat dan sesuci jiwa yang telah dihapuskan kekotoran daripada mereka dengan sebersih-bersihnya, maka doa mereka tidak ditolak dan tidak satu kalimah yang didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahawa apa juga yang sampai kepada kami daripada Ahl Bayt sama ada dari segi pemikiran, syariat, hadith, tafsir, hidayat dan arahan adalah berjalan mengikut landasan, dan sikap ini, iaitu (Ahl Bayt) adalah yang benar dari segi keutuhan, perjalanan hidup dan peraturannya.

Al-Qur’an menentang musuh-musuh Islam dan menjadikan musuh-musuh mereka sebagai golongan yang dusta, yang terdedah kepada fitnah dan azab: “Kami jadikan laknat Allah ke atas orang-orang yang dusta.” Kalaulah tidak ada jaminan sifat istiqamah dan benar apa jua yang datang dari mereka (Ahlul Bayt) nescaya Allah tidak mengurniakan kemuliaan ini, dan nescaya al-Qur’an tidak berkata apa-apa.”

Al-Imam al-Fakhr al-Razi menyusun dalam tafsirnya (al-Kabir) satu riwayat yang sama seperti yang diriwayatkan oleh Zamakhshari, tafsiran keduanya adalah betul-betul menepati dengan perbincangan ini lalu memberikan ulasannya setelah mengemukakan pendapat al-Zamakhshari, katanya: “Dan ketahuilah bahawa riwayat ini sepertimana yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan al-hadith.”[18]

Al-Allamah al-Tabatabai dalam menyebutkan huraian tentang apa yang dimaksudkan dengan ayat ini bahawa orang-orang yang Allah (kehendaki) bermubahalah dengan musuh-musuh mereka ialah Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn as telah menjelaskan seperti berikut: ahli-ahli Hadith bersetuju untuk melaporkan ayat di atas dan menerimanya dan diperkukuhkan oleh pengumpul-pengumpul hadith seperti Muslim dalam Sahihnya, al-Tirmizi dalam Sahihnya dengan disokong oleh ahli-ahli sejarah, kemudian ahli-ahli tafsir bersetuju untuk mengumpul dan mengeluarkan dalam tafsiran mereka dengan tidak ada bangkangan dan prasangka, antaranya ialah sebahagian besar ahli hadith dan sejarah seperti al-Tabari, Ibn al-Fida, Ibn Kathir, al-Suyuti dan lain-lain.

Begitulah ahli tafsir telah sepakat dalam menentukan keperibadian Ahl Bayt ada kewajipan mengasihi mereka, mengukuhkan maqam dan kedudukan mereka di kalangan umat ini.

Dalam ayat yang mulia itu Allah dan Rasul-Nya bermubahalah terhadap musuh-musuh Allah dengan Ahl Bayt sehingga dapat diketahui maqam mereka yang agung dan kedudukan mereka yang suci, dan kalaulah tidak kerana mereka mempunyai kehormatan yang teristimewa yang diberikan Allah dan kesucian yang tersendiri nescaya Allah SWT tidaklah menyuruh RasulNya keluar dengan bintang-bintang yang suci itu untuk mencabar musuh-musuh Allah dengan menurunkan azab Allah dan jaminan diterima permohonannya.

Dalam ayat ini juga terdapat kecantikan bahasa yang perlu ditelitikan iaitu disandarkan keturunan Nabi saw (Hasan, Husayn, Fatimah dan Ali) kepada Rasulullah dengan (perkataan) ‘أَبْنَاءَنَا, وَ نِسَاءَنَا, وَ أَنفُسَنَا’ Kalaulah tidak kerana adanya penyatuan peristiwa dan keluarga Rasulullah bersama-sama dengan keluarganya nescaya tidak akan terfikir untuk dimengertikan perkataan ‘nisa-ana’ kepada isteri-isteri Nabi saw dan ‘abna-ana’ kepada Fatimah dan anak-anaknya yang lain dan perkataan ‘anfusa-na’ kepada dirinya (Nabi) sendiri, tetapi apabila Rasulullah keluar bersama-sama mereka berempat dan tidak dengan yang lain daripada mereka itu maka jelaslah kepada kita bahawa pilihan wanita umat dan ikutan mereka ialah Fatimah dan pilihan anak-anak muslimin ialah Hasan dan Husayn, dan al-Qur’an mengarahkan mereka itu kepada Rasulullah adalah menepati perkataan yang disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Qur’an menganggap Ali seperti diri Rasulullah saw.

AHL AL-BAYT DI DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM (KEDUA: AYAT AL-MAWADDAH)

KEDUA: AYAT AL-MAWADDAH

قُل لَّا أَسَْلُكمُ‏ْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فىِ الْقُرْبى‏

“Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upahpun atas seruank

Sesungguhnya Rasulullah saw telah menjelaskan bahawa orang-orang yang dimaksudkan dengan ayat di atas ialah orang-orang yang wajib dikasihi dan ditaati serta diikuti perjalanan hidup mereka.

Ahli-ahli tafsir hadith dan ahli-ahli sirah telah meriwayatkan bahawa yang dimaksudkan dengan qarabat nabi di dalam ayat ini ialah Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn.

Al-Zamahkshari dalam Tafsir al-Kashshaf menyatakan: “Telah diriwayatkan bahawa sekumpulan orang-orang musyirikin telah berhimpun dalam satu perhimpunan dan berkata-kata sesama mereka: Tahukah kamu bahawa Muhammad ada meminta upah buat sesuatu yang dilakukannya. Kemudian turun ayat ini:[10] “Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kerabat(ku).”(as-Syura: 23) Seterusnya al-Zamakhshari menyatakan; Telah diriwayatkan bahawa selepas turun ayat di atas ada seseorang berkata; “Wahai Rasulullah saw siapakah qarabat kamu yang diwajibkan ke atas kami untuk mengasihi mereka, Rasulullah saw menjawab: “Ali, Fatimah, dan kedua-dua anak mereka.”[11]

Al-Allamah al-Bahrain meriwayatkan daripada Musnad Ahmad bin Hanbal dengan sanadnya seperti yang disebutkan di atas daripada Ibn Jubair daripada Ibn Abbas (ra) berkata: Apabila turun ayat: “Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu suatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kerabat(ku).” (as-Syura: 23)

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah saw siapakah kerabat kamu yang diwajibkan ke atas kami untuk mengasihi mereka.” Rasulullah menjawab; Ali, Fatimah dan kedua-dua anak mereka.”

Al-Fakhr al-Razi dalam Tafsir al-Kabir setelah menyebutkan kata-kata al-Zamakhshari mengenai Al Muhammad saw mengatakan mereka orang yang dihubungkan urusan mereka kepadanya (nabi). Maka setiap orang yang pertalian mereka lebih rapat dan dekat dengan (Muhammad) ialah keluarga nabi dan tidak syak lagi bahawa Fatimah, Ali, Hasan dan Husayn adalah orang yang paling rapat hubungannya dengan Rasulullah saw dan keadaan ini telah diketahui dengan dalil aqli dan naqli yang mutawatir. Oleh itu sabitlah bahawa mereka ialah Al Muhammad.

Begitu juga telah timbul perselisihan mengenal (الآل) “al-Al” ada yang mengatakan mereka itu ialah kaum kerabat dan ada yang mengatakan mereka ialah umatnya. Jika kita anggapkan al-Al itu sebagai kerabat maka mereka itu ialah al-Al dan jika kita anggapkan al-Al itu adalah Ummah yan telah menerima seruan Nabi Muhammad saw maka mereka juga sebagai al-Al, oleh itu kalau mengikut semua andaian itu mereka tetap al-Al – maka perbezaan itu berdasarkan kepada perbezaan dari segi dalil naqli dan aqli seperti telah kami jelaskan.

Pengarang Tafsir al-Kashshaf telah meriwayatkan bahawa ketika diturunkan ayat al-Mawaddah ini, Rasulullah di tanya; “Wahai Rasulullah: siapakah kerabat kamu yang kami diwajibkan untuk memberi kasih sayang kepada mereka. Baginda saw: “Ali, Fatimah dan kedua-dua anak mereka.” Oleh itu jelaslah bahawa mereka berempat adalah kerabat Nabi saw dan jika demikian mereka berempat itulah yang dikhususkan dengan beberapa kelebihan dan kebesaran, dibuktikan dengan dalil-dalil di bawah ini:

Dalil pertama: firman Allah: “إِلَّا الْمَوَدَّةَ فىِ الْقُرْبى‏” Dan cara pengambilan dalil dengan ayat ini (telah dihuraikan) seperti yang terdahulu.

Dalil kedua: Tidak syak lagi bahawa Nabi saw mengasihi Fatimah as dengan sabdanya yang bermaksud: “Fatimah adalah sebahagian dariku, apa-apa yang menyakiti Fatimah adalah menyakitiku.” Sebagaimana telah sabit dengan hadith mutawatir daripada Nabi Muhammad s. ‘a.w bahawa baginda s. ‘a.w mengasihi Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn. Jika demikian maka wajiblah ke atas umatnya (mengasihi mereka) seperti Nabi saw (mengasihi mereka) kerana firman Allah swt: “Katakanlah (Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31)

Firman Allah Ta’ala: “Dan ikutilah dia (Muhammad) mudah-mudahan kamu mendapat petunjuk.” (Al-I’Iraf: 158)

Firman Allah Ta’ala: “Maka hendaklah berwaspada orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (an-Nur:67)

Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada (diri) Rasulullah itu ikutan yang baik.” (al-Ahzab: 21)

Dalil ketiga: Bahawa doa kepada keluarga (Nabi) adalah satu kedudukan yang tinggi, sebab itu dijadikan doa ini sebagai penutup tasyahhud dalam solat iaitu dengan lafaz: “اللهم صل علی محمد و آل محمد و ارحم محمدا و آل محمد”

Keagungan ini tidak ada pada hak selain daripada Ahl Bayt, dan semua itu termasuk dalam ertikata bahawa kasih sayang kepada Al Muhammad adalah wajib.

Imam al-Syafi’i (ra) bermadah dalam kata-katanya: “Wahai pengunjung Muhassab dari Mina berhentilah seketika, Bergemalah takbir oleh penghuni Masjid al-Khaif terletak dipinggirnya, Merupakan daya tarikan ketika mana para hujjat melimpah di Mina laksana limpahnya sungai Furat, Jika sekiranya menolak kecintaan kepada keluarga nabi, Persaksikanlah dua perkara yang sangat berharga (al-Qur’an dan keluarga) bahawa aku adalah rafidi (Syi’i).”[12]

Al-Tabari memetik daripada Ibn Abbas, dia berkata ketika turun ayat (al-Syura: 23). Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah: siapakah kerabat kamu yang diwajibkan ke atas kami untuk mengasihi mereka: Rasulullah menjawab: “Ali, Fatimah, dan kedua-dua anak mereka.” Dikeluarkan oleh Ahmad dalam al-Manaqib.[13]

Diriwayatkan oleh Ibn Munazir, Ibn Abi Hatim, Ibn Mardawih dan al-Tabari dalam al-Mu’jam al-Kabir daripada Ibn Abbas berkata: ketika turun ayat ini (ayat al-mawaddah), Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah kerabat kamu yang kami diwajibkan mengasihi mereka itu.” Jawab Rasulullah s. ‘aw (mereka ialah): Ali, Fatimah dan kedua-dua anak lelaki mereka.[14]

Terdapat satu riwayat yang sah daripada Hasan bin Ali as bahawa beliau berkhutbah di hadapan orang ramai dengan katanya, yang bermaksud: “Aku daripada Ahl Bayt yang Allah memfardhukan kepada setiap muslim untuk mengasihi mereka”, kemudian dia membaca: “قُل لَّا أَسَْلُكمُ‏ْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فىِ الْقُرْبى‏”

Dalam ayat at-Tathir, al-Qur’an menegaskan kesucian dan kebersihan Ahl Bayt, merekalah orang yang paling mengetahui tentang keutamaaan dan peranan mereka dalam kehidupan.

Dengan sebab itu, mereka berhak menerima kasih sayang dan ikhlas yang dituntut oleh al-Qur’an dalam ayat tadi. Saranan al-Qur’an mengenai kasih sayang bukan setakat hubungan perasaan dan cinta di hati sahaja, kerana tidak ada nilai kasih sayang dan kemesraan yang termetri di dalam jiwa kalau tidak ada keteguhan dan keikhlasan.

Kasih sayang yang sebenar kepada keluarga Nabi saw ialah dengan mencontohi mereka, berjalan mengikut manhaj mereka, patuh dengan madrasah mereka dan apa juga yang dating dari mereka serta meletakkan mereka sebagai contoh teladan dan ikutan umat.

Al-Qur’an ketika turun ayat itu menerusi lisan Nabi Muhammad saw menyuruh baginda saw memberitahu umatnya dan sekelian manusia bahawa Nabi Muhammad saw tidak mahu upah atau bayaran kerana menyampaikan risalah dan berdakwah di jalan Allah melainkan dengan mengasihi kerabatnya saw dan ikhlas kepada mereka dan berjalan mengikut perjalanan mereka. Sebenarnya apa yang dimaksudkan dengan kasih sayang kepada keluarga Nabi saw ialah semata-mata untuk memelihara asas perjalanan umat mengikut batas-batas perjalanan mereka dari segi aqidah dan syariah supaya manusia dapat memusatkan perhatian kepada Nabi saw setelah al-Qur’an meminta umat manusia berbuat demikian.

Kalaulah tidak kerana adanya jaminan sifat istiqamah, pada Ahl Bayt dan keupayaan untuk memimpin umat kepada jalan yang betul nescaya al-Qur’an tidak diturunkan dengan membawa jaminan itu dan nescaya Rasulullah tidak menyuruh umatnya untuk memberikan kasih kepada Ahl Bayt.

Sebenarnya nas al-Qur’an memberitahu kita tentang perlunya ada pertalian yang erat dengan keluarga nabi dan mencontohi mereka kerana adanya jaminan kesucian dan istiqamah dalam keperibadian mereka. Apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an dalam perkara ini ialah kita akan dapat ketenangan jiwa jika kita erat mengasihi Ahl Bayt dan iltizam dengan cara perjalanan mereka dengan mengambil Islam dari jalan mereka, kerana merekalah jalan yang aman, yang dijamin ketahanan dan kelurusan mereka.

Jaminan-jaminan yang kita kemukakan adalah daripada pendapat ahli-ahli tafsir, perawi-perawi, dan pengarang-pengarang hadith yang sampai kepada kita daripada tafsiran Rasulullah kepada ayat yang diberkati. Dengan meletakkan kasih sayang Ahl Bayt dalam hati dan menjadikan kasih sayang kepada mereka itu benar-benar hidup dalam hati sanubari setiap muslim, tergambar dalam kelakuan dan tingkahlaku mereka dan dilahirkan dalam perasaan hatinya, juga dapat menjelaskan pendirian mereka, siapakah musuh-musuh mereka, kawan-kawan mereka dan manhaj mereka, dan apa juga yang telah dating daripada mereka seperti hadith, feqah, tafsir, pemikiran, pandangan dan penjelasan mengenai aqidah dan syariah, dan metodologi untuk bertindak dalam kepimpinan dan pentadbiran.

Anugerah kebesaran dan kemuliaan ini mempunyai tujuan dan matlamat yang tersendiri, yang perlu disedari dan diketahui secara mendalam oleh orang-orang Islam.

SUMBER:http://www.al-shia.org

AHL AL-BAYT DI DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM (PERTAMA: AYAT AT-TATHIR)

PERTAMA: AYAT AT-TATHIR


إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكمُ‏ْ تَطْهِيرًا

Kebanyakan kitab al-tafsir dan hadis menerangkan bahawa yang dimaksudkan dengan Ahl at-Bayt as ialah keluarga Nabi Muhammad saw, mereka ialah Ali, Fatimah, al-Hasan dan al-Husayn. Tersebut dalam kitab al-Dur- al-Manthur karangan al-Suyuti, hadis dikeluarkan oleh al-Tabr ni daripada Umm Salamah bahawa Rasululluah saw bersabda kepada Fatimah, maksudnya; “Datanglah kepadaku suamimu dan kedua-dua anaknya, kemudian Fatimah datang bersama-sama mereka, kemudian RasulIullah saw menutupi mereka dengan kain penutup daripada negeri Fadak, lalu meletakkkan tangannya saw ke atas mereka dengan bersabda, maksudnya: Ya Allah sesungguhnya mereka ini adalah Ali Muhammad.

Dalam setengah riwayat menggunakan lafaz (Al Muhammad) – maka jadikanlah salawat dan keberkatan kamu ke atas keluarga Muhammad sebagaimana telah kami jadikannya ke atas keluarga Ibrahim sesungguhnya kamu Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. Berkata Umm Salamah: Aku bukakan kain penutup supaya aku dapat masuk ke dalam bersama-sama mereka tetapi Rasullullah merentap kain penutup itu daripada tanganku dan bersabda sesungguhnya kamu berada dalam kebaikan.”[4]

Diriwayatkan daripada Umm Salamah, isteri Nabi, bahawa ketika Rasullullah saw berada di rumahnya sedang tidur dengan (memakai) kain selimut dan Khaibar tiba-tiba Fatimah datang membawa satu mangkuk berisi Khazirah.[5] Rasulullah saw berkata kepada Fatimah: Panggil suamimu dan kedua-dua anakmu Hasan dan Husayn, maka Fatimab pun memanggil mereka itu tatkala mereka tengah makan tiba-tiba turun ayat 33 Surah 33 kepada Rasulullah saw Kemudian Rasullullah memegang tepi kainnya dan menutupi mereka itu dengan kain itu, seterusnya Nabi saw mengeluarkan tangannya daripada kain selimut dan menadahkan tangannya ke langit dengan berdoa:

اللهم هؤلاء اهل بیتی و خاصتی فاذهب عنهم الرجس و طهرهم تطهیرا

“Ya Allah mereka itu adalah Ahl Baytku dan keturunanku maka hapuskanlah kekotoran daripada mereka dan sucikanlah mereka itu dengan sesuci-sucinya.” Nabi saw mengulangi (doa ini) 3 kali. Berkata Umm Salamah: Aku masukkan kepalaku dalam penutup itu dan aku berkata: Wahai Rasullullah adakah aku (boleh) bersama kamu? Jawab Nabi saw:[6] “انک علی خیر” Sesungguhnya kamu berada dalam kebaikan (diulangi sebanyak) dua kali.”

Begitulah seterusnya Rasullullah menerangkan kepada umatnya mengenai makna ayat suci al-Qur’an dan bersungguh-sungguh untuk memahamkannya supaya umatnya dapat petunjuk daripadanya dan berjalan mengikut petunjuk al-Qur'an dengan sabdanya yang bermaksud: “Diturunkan ayat ini kepada lima orang, kepadaku, Ali, Fatimah, Hasan dan Husayn:

“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kalian dari kekotoran wahai Ahlul Bayt dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.”[7] Sebagaimana yang diriwayatkan daripada ‘Aisyah dalam menai sirkan ayat itu dan mengukuhkan mengenai orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini dengan katanya:

Nabi telah keluar pada suatu pagi dengan memakai mard marhal daripada bulu hitam kemudian datang Hasan bin Ali lalu dimasukkan ke dalarnnya, lepas itu datang pula Husayn dan dimasukkan ke dalamnya, kemudian datang Fatimah dan dimasukkan dia ke dalamnya dan akhir sekali Ali datang dan dimasukkan ke dalamnya, lalu membaca ayat (33 Surah 33).

“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kalian dari kekotoran wahai Ahlul Bayt dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.”[8]

Terdapat dalam riwayat yang lain. pula bahawa Rasullullah saw pernah lalu (di depan) pintu rumah F timah ketika baginda hendak pergi solah subuh dan bersabda maksudnya: “Salat, salat wahai Ali al-Bayt sesungguhnya Allah menghendaki untuk menghapuskan dosa daripada kamu Ahl al-Bayt dan membersihkan kamu dengan penuh kebersihan.” Begitulah al-Qur’an menceritakan tentang Ahl al-Bayt dan menetapkan peribadi mereka yang suci daripada kekotoran, maksiat dan dosa, dan mengikut hawa nafsu Oleh itu akhlak dan peribadi mereka menjadi contoh teladan. Al-Qur’an tidak memperkenalkan mereka dengan takrif itu melainkan untuk mengukuhkan kedudukan dan maqam mereka dan menumpukan perhatian umat supaya mencontohi mereka dan merujukkan kepada mereka dalam memahami. syariah dan hukum-hakamnya, juga untuk menentukan timbangan dan neraca umat apabila timbul perbezaan pendapat dan percanggahan pemikiran dan dalam hal. ini memang jelas penekanan al-Qur’an dalam beberapa ayat dengan Ahl al-Bayt sebagai contoh teladan bagi orang-orang Islam sesudah Rasullulah saw

Apa juga yang biasa dilakukan Rasullullah seperti berhenti di depan pintu rumah Ali dan Fatimah dan memanggil-manggil mereka di waktu fajar serta mengajak mereka sembahyang dan memberikan gelaran Ahl al-Bayt, semuanya itu tidak lain kecuali untuk mengenalkan keperibadian Ahl al-Bayt dan dengan mentafsirkan ayat at-Tathir untuk menberitahu umat maqam Ahl al-Bayt, menumpukan perhatian umat kepada mereka, kewajipan mengasihi dan mentaati serta memberi kepemimpinan kepada mereka.

Al-Tabari telah meriwayatkan daripada Ibn al-Hamra’ dengan katanya “Aku melihat Rasullullah mendatangi pintu Ali dan Fatimah selama enam bulan lalu menyebutkan,

"الصلاة اهل البیت، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكمُ‏ْ تَطْهِيرًا

“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kalian dari kekotoran wahai Ahlul Bayt dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.”[9]

Al-Fakhr al-Razi menyebutkan dalam Tafsir al-Kabir bahawa Rasulullah saw selepas turunya ayat:

"وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ وَ اصْطَبرِْ عَلَيهَْا"

“Dan suruhlah ahli kamu sembahyang dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” Rasulullah saw pergi ke rumah Ali dan Fatimah pada setiap pagi dan berkata, “as-solah” – baginda berbuat demikian berbulan-bulan lamanya.

Dalam hadith riwayat Hamad bin Salamah daripada Ali bin Zaid daripada Anas bahawa Nabi saw berjalan melalui rumah Fatimah selama 6 bulan setiap kali baginda keluar hendak solat dan bersabda:

"الصلاة اهل البیت، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكمُ‏ْ تَطْهِيرًا

Hal yang demikian adalah satu penjelasan dan bukti bagaimana pengamatan Rasulullah dengan keluarganya Ahl Bayt dan memperkuatkan lagi kepada orang-orang Islam bahawa mereka akan dibersihkannya dengan sebersih-bersihnya. Selepas Allah menujukan firmanNya yang Bermaksud: “Dan perintahkah kepada keluargamu mendirikan solat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”

Jelas dengan ayat: “إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ” dan menggunakan perkataan muzakkar dan tidak perempuan (عَنكُمُ) dan (وَ يُطَهِّرَكمُ) adalah menunjukkan bahawa mereka yang dimaksudkan ialah lima oang dan telah disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahawa jika yang dimaksudkan itu isteri-isteri nabi nescaya menggunakan (وَ يُطَهِّرَكن) dan (عَنكُن) dan menujukan ucapannya kepada wanita.

Sesungguhnya ayat-ayat di atas menggariskan satu jalan yang mengandungi makna yang luas dan dalam dan menumpukan perhatian kita kepada matlamat-matlamat yang asas dalam kehidupan umat Islam supaya fahaman kita tidak bercanggah dan mensia-siakan maksud sebenar dalam kitab Allah, yang bertujuan untuk pembinaan umat di atas asas kesucian dan jauh daripada kekotoran dan kehinaan, dan menjadikan Ahl Bayt sebagai pusat dan mercu bagi pembinaan ini. Tiada siapa di antara orang-orang Islam yang persaksikan oleh al-Qur’an dengan sifat-sifat ini dan tiada di antara kita yang ditujukan ucapan oleh Rasulullah dengan sifat-sifat yang mutlaq dan dijauhkan daripada dosa-dosa dan maksiat.

SUMBER:http://www.al-shia.org

Para Penyeleweng Agama Yang Mengenakan Pakaian Ulama (Dalam Pandangan Ayatullah Khomaini)

Sebagian besar yang mempertontonkan sikap kesalehan sekaligus menjadi sumber kesesatan bagi yang lain adalah para ulama. Sebagian mereka menghabiskan waktu untuk belajar di seminari-seminari ilmiah, bahkan ada salah satu pemimpin sekte yang sesat ini pernah belajar di seminari-seminari ilmiah tetapi dengan cara belajar yang sama sekali tidak mempertimbangkan akhlak Islam. Jadi mereka sedang tidak menapaki jalan yang lurus, shirathul mustaqim. Jika mereka tidak bisa membebaskan diri dari kotoran-kotoran dosa maka mereka akan mendapatkan akibat yang sangat menyengsarakan.

Siapa saja yang tidak bisa menghindar dari kubungan kotoran-kotoran maksiat maka pelajaran-pelajaran yang ditekuninya sekalipun memakan waktu yang lama tidak akan memberikan keberkahan kepadanya. Sebab jika tanahnya tidak bersih maka yang tumbuh pula akan jelek-jelek. Setiap kali ilmunya bertambah maka hatinya akan terus mengandung kotoran, kebusukan. Sebab, sebab tirai kegelapan dihatinya akan tebal. Ilmu yang ada didalam dirinya menjadi hijab yang paling pekat ( ilmu adalah hijab yang paling akbar ). Karena itu, kejahatan seorang alim yang rusak lebih berbahaya dari kejahatan setiap penjahat, dan bahkan lebih dari itu. Memang benar, ilmu itu cahaya tetapi itu untuk wadah yang bersih, untuk hati yang suci sementara wadah yang kotor, hati yang kelam tidak dapat membuat ilmu itu menjadi cahaya. Ilmu yang dicari oleh orang-orang yang gandrung dengan karir hanya akan menjauhkan dari Allah SWT.

Ilmu tauhid yang juga tidak dipelajari karena Allah dan bukan digunakan dijalannya maka ilmu itu akan bertransportasi menjadi hijab kegalapan. Begitu juga jika seseorang menghapal al-Quran dengan 14 qiraat namun dengan tujuan bukan untuk Allah Swt maka dia tidak mendapatkan apa-apa dari hapalannya selain dijauhkan dari Allah Swt.

Jika kalian belajar keras dan merasa letih maka kalian bisa mencapai posisi seorang alim, namun kalian juga wajib menghiasi diri kalian dengan akhlak yang mulia sebab ada jarak yang merentang jauh antara alim yang sekedar tahu dan orang alim yang mensucikan dirinya. Guru spiritual kami berkata adalah mudah menjadi seorang yang alim tetapi sangatlah sulit untuk menjadi seorang manusia, yang lebih tepat adalah memang sulit menjadi seorang alim dan sangat mustahil lagi menjadi seorang manusia. Menyempurnakan diri dengan akhlak yang mulia adalah kewajiban yang sangat berat sekali dan selakigus juga harus menjadi impian kalian yang paling utama.

Waspadailah jika kalian menyangka telah menunaikan kewajiban terpenting yaitu mempelajari ilmu-ilmu syariat dan ilmu fiqh secara khusus yang merupakan ratunya ilmu. Dan kalian telah merasakan telah menunaikan kewajiban besar dengan studi tersebut. Padahal tidak demikian jika jiwa kalian tidak mematutkan diri dengan keihlasan maka ilmu-ilmu kalian itu sama sekali tidak bermanfaat.

Jika tujuan dari mencari ilmu bukan untuk Allah dan untuk kepuasan ego semata (hawa-nafsu), dan memperoleh posisi dari status sosial dimata manusia, maka kalian akan mendapatkan bencna! Istilah-istilah yang dikunyah oleh nalar kalian jika tidak dibersihkan dengan ketakwaan akan menjadi beban untuk umat Islam di dunia dan di akhirat. Pengetahuan istilah-istilah ini sama sekali tidak ada efeknya.

Ilmu-ilmu tauhid yang diperdalam tanpa aktivitas penyucian jiwa maka justru akan menjadi bencana untuk para pencarinya. Tidak sedikit yang giat belajar untuk menguasai ilmu tauhid tetapi pada saat yang sama mereka menjadi benih bagi kesesatan yang lainnya. Boleh jadi mereka lebih baik dari kalian dalam ketelatenan dan kesabaran menguasai materi-materi seperti ini namun lantaran tidak berusaha memurnikan jiwa dari empedu dosa maka kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat menjadi sumber bencana bagi yang lainnya.

Istilah-istilah ilmu yang kering jika ditanam didalam pikiran yang kosong dari ketawadhuan, akan melahirkan ketakaburan dan menjadi manusia pelamun. Seorang ulama sombong tidak akan berhasil menuntun umatnya kejalan yang benar. Dia malah telah menistahkan wajah Islam dan kaum muslim dengan kepribadian seperti itu. Jadi, tahun-tahun yang panjang untuk menuntut ilmu akan menjadi batu sandungan bagi pencapaian kegemilangan umat Islam. Yang lebih mengerikan lagi adalah keberadaan seorang santri di sminari-sminari ilmiah itu, studi-studi mereka dan juga termasuk pembahasan-pembahasan akan menjadi penutup bagi pengetahuan orang lain prihal hakikat Islam yang termaktub dalam al-Quran, ilmu-ilmu tentang Islam dan juga kehidupan para ulamanya.

Tokoh Sufi Ibnu Arabi

Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai,1 sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)

Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla.2 Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)

Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).

Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.

Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66).

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
Karya-karya Ibn ‘Arab:

Karya Ibn ‘Arabi yang terbesar dan ensiklopedis adalah Futuhat al-Makkiyyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi.

Selain dari dua kitab ini, Ibn ‘Arabi telah menulis banyak sekali risalah-risalah tentang kosmologi seperti:
1. Insha al-Dawair (The Creation of the Spheres)
2. Uqlat al-mustawfiz (The Spell of the Obedient Servant), dan
3. al-Tadbirat al-Ilahiah (The Divine Directions);

Tokoh Sufi Abu Yazid Al Busthami

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sulton Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Kakek Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham.

Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke-empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ini engkau memanggilku”, katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?””Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,”Darimanakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!”Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. Menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena akupun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.

Tokoh Sufi Al-Ghazali

Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1128 A.D.). Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali (Imam Al-Ghazali) lahir tahun 1058 A.D. di Khorasan, Iran. Ayahnya meninggal pada saat dia masih sangat muda, namun dia mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di sekolah dengan kurikulum yang bagus di Nishapur dan Baghdad. Segera setelah itu, dia menerima penghargaan di bidang agama dan filsafat dan ditunjuk sebagai professor pada Universitas Nizamiyah di Baghdad, yang terkenal sebagai institusi pendidikan yang bergengsi pada jaman keemasan sejarah Islam.

Beberapa tahun kemudian, dia berhenti dari kehidupan di dunia universitas dan hidup keduniaan, lalu mencari kehidupan zuhud. Saat ini merupakan masa transformasi mistis bagi Al-Ghazali. Kemudian, dia mulai tugasnya lagi sebagai pengajar, namun kemudian ditinggalkan lagi. Sebuah kehidupan menyendiri, yang dikonsentrasikan pada kontemplasi dan menulis dia lakukan, yang menghasilkan beberapa karya yang monumental. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 1128 A.D.

Karya Ghazali yang utama pada bidang agama, filsafat, dan sufi. Beberapa filsuf Muslim mengikuti dan mengembangkan beberapa pandangan yang berasal dari filsafat Yunani, termasuk filsafat Neoplatonis, yang berakibat benturan dengan ajaran Islam. Di lain pihak, gerakan sufi kadang dipandang terlalu berlebihan, seperti misalnya tidak menjalankan kewajiban shalat dan kewajiban yang lainnya dalam Islam. Berdasarkan kepada reputasi keahliannya dalam bidang agama dan pengalaman mistis, Ghazali mencoba mengawinkan kecenderungan ini, baik dari segi filsafat maupun sufi.

Dalam bidang filsafat, Ghazali percaya bahwa pendekatan matematika dan ilmu pasti adalah benar. Namun, beliau menggunakan logika Aristotelian dan prosedur Neoplatonis, serta menggunakan keduanya untuk mengungkap kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam filsafat Neoplatonis dan untuk menghilangkan pengaruh negatif dari Aristotelianisme dan rasionalisme yang berlebihan. Sebagai kontras dengan beberapa filsuf Islam lainnya, misalnya, Farabi, dia menggambarkan ketidakmampuan akal untuk mencerna yang mutlak dan tak terhingga. Akal tidak mampu mentransformasikan segala yang terhingga dan terbatas menjadi suatu pengamatan yang relatif. Demikian pula, beberapa filsuf Islam berpendapat bahwa jagad raya ini terbatas dalam ruang tetapi tak terbatas dalam waktu. Ghazali berpendapat bahwa ketakterhinggaan waktu mempunyai korelasi dengan ketakterhinggaan ruang. Dengan kejernihan dan kekuatan argumennya, dia berhasil menciptakan keseimbangan antara agama dan akal, dan mengidentifikasi kawasannya sebagai tak terhingga dan terhingga.

Dalam agama, terutama dalam bidang mistisme, dia membersihkan pendekatan sufisme yang berlebihan dan memantapkan otoritas agama yang ortodoks. Namun, dia tetap menekankan pentingnya keaslian sufisme, yang dia pelihara adalah jalan untuk menuju kebenaran hakiki. Dia adalah seorang penulis yang mahir. Buku klasiknya termasuk Tuhafut al-Falasifa, Ihya al-’Ulum al-Islamia, “The Beginning of Guidance and his Autobiography”, “Deliverance from Error.” Beberapa karyanya diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa di Abad Pertengahan. Dia juga menulis tentang astronomi.

Pengaruh Ghazali sangat dalam dan lama. Dia adalah salah satu dari ahli agama Islam yang terbesar. Doktrin teologinya menembus Eropa, mempengaruhi baik Yahudi maupun Kristiani dan beberapa argumentasinya tampaknya telah digunakan oleh Thomas Aquinas untuk memantapkan otoritas agama Kristen yang ortodoks di Barat. Begitu kuatnya argumentasi dia dalam keberpihakannya terhadap agama, sehingga dia dituduh sebagai penyebab kemunduran filsafat, dan di kalangan Muslin Spanyol, Ibn Rushd (Averros) menulis bantahan terhadap karyanya Tuhafut al-Falasifa.

Tokoh Sufi Makruf al-Karkhi

Makruf al-Karkhi

Ma’ruf al-Karkhi sesufi yang tinggal di kota Bagdad. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas dan hanya diketahui tahun wafatnya pada tahun 200 H./815 M. Kalau dilihat dari namanya ia berasal dari Karkh yang menurut sebagian pakar sejarah merupakan bagian dari kota Bagdad dan menurut sebagian lagi Karkh berada di luar kota Bagdad di sebelah Timur.

Ma’ruf al-Karkhi menurut pada peneliti tasawuf sebagai tokoh yang memperkembangkan ajaran tasawuf. Ia menambah hasil perolehan jiwa dari cinta yang telah ditemukan oleh Rabiatul Adawiyah. Menurutnya cinta harus dilanjutkan sampai ke titik thuma’ninah (ketenangan) jiwa. Karena cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf. Kebahagiaan yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai melalui ma’rifah (pengenalan) akan yang dicinta. Apabila yang dicintai telah dikenal, terwujudlah kebahagiaan dan ketenteraman dalam hati dan kecillah segala urusan kebendaan dalam penglihatan hati. Ma’ruf al-Kakhi dipandang oleh para peneliti tasawuf sebagai tokoh penting yang merupakan pengembang ajaran tasawuf yakni memunculkan teori baru dalam tasawuf ialah melalui mencari ma’rifah sebagai inti ajaran tasawufnya. Kalau dahulu ajaran tasawuf baru berkisar berupa ajaran zuhud dan tekun beribadah untuk memperoleh keredhaan Allah. Pandangan ini berdasarkan penelitian kepada makna tasawuf itu sendiri. Di antara makna tasawuf yang dibawakan Ma’ruf al-Karkhi ialah tasawuf adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di tangan makhluk. Mencari hakikat tidaklah berbeda dengan mencari ma’rifat itu sendiri karena ma’rifat adalah ujung ilmu pengetahuan yang dikembangkan sufi ialah ilmu syariat, ilmu thareqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.

Ma’ruf al-Karkhi menurut sufi sebagai shufi yang dikuasai oleh perasaan cinta yang membara kepada Allah seperti halnya Rabiatul Adawiyah. Berkenaan dengan cinta kepada Allah Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui pengajaran ia merupakan pemberian atau kurnia Tuhan. Pernyataan ini yakni cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk maqam (posisi yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal (keadaan jiwa) yang dikurniakan Allah

Menurut para peneliti Barat yang di antaranya Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya. Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu ialah Kristen atau Sabiah. Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau renungannya dalam tasawuf.

Menurut sufi martabat yang tinggi yang dicapai oleh Ma’ruf al-Karkhi tidak disangsikan lagi. Mereka beralasan dengan mimpi Ahmad bin Fath yang bertemu dengan Bisyir bin Haris yang telah wafat lebih dahulu. Ahmad bin Fath menyatakan tentang keadaan yang dialami Ma’ruf al-Karkhi dirinya diampuni Allah. Kulihat Ahmad bin Hanbal berdiri sedang antara mereka terdapat pembatas. Karena Ma’ruf al-Karkhi menyembah Tuhan bukan mengharap surga, tidak pula karena takut kepada neraka, karena itu ia diangkat ke tempat yang tinggi yang tidak ada pembatas antaranya dengan Tuhan. Begitulah pengakuan orang-sufi tentang martabat Ma’ruf al-Karkhi.

Menurut sufi bahwa Ma’ruf al-Karkhi seperti halnya para zahid dan shufi lainnya. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan shufi memiliki banyak keramat yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia berdoa dalam shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun. Kemudian di belakangnya datang lagi Haris al-Muhasibi, yang menambah ajaran tasawuf Ma’ruf al-Karkhi dengan persatuan (ittihad). Haris al-Muhasibi nama lengkapnya Abu Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri adalah ulama yang namanya sangat menonjol dalam bidang tasawuf di zamannya. Ia dilahirkan di kota Basrah pada tahun 165 H/781 M kemudian pindah ke Bagdad ibu kota negara Bani Abbasiyah dan meninggal di kota itu pada tahun 242 H/895 M pada usia 78 tahun. Pada awal kehidupan intelektual al-Muhasibi berkecimpung dan menggeluti ilmu hadis dan tasawuf sehingga ia sangat matang dalam kedua ilmu itu. Al-Muhasibi menimba ilmu hadis dan fikih dari para ulama yang terkenal di zamannya. Di antaranya guru-gurunya dalam fikih ia belajar dengan Imam Syafi’i, Abu Ubaid al-Qasimi bin Salam, dan Kadi Abu Yusuf. Dan dalam bidang ilmu hadis ia belajar dengan Hasyim, Syuraih bin Yunus, Yazid bin Haran, Abu an Nadar, dan Suwaid bin Daud.

Al-Muhasibi tidak seperti ulama-ulama hadis dan fikih di masa itu yang membatasi telaahan pada bidang yang ditekuninya tetapi al-Muhasibi juga memberikan perhatian besar terhadap perkembangan politik dan kehidupan sosial. Perkembangan pemikiran teologi Islam (ilmu kalam) di masanya, diikutinya denga seksama, ia mempelajari dan memahami dengan baik pemikiran Mu’azilah, Syi’ah, Khawarij, jabariyah, dan Qadariyah. Sekalipun al-Muhasibi tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah namun aliran ini sangat mempengaruhi cara berpikirnya di antaranya menghargai akal dalam memahami agama dan untuk mencapai kebenaran. Dalam dua ilmu yang ia tekuni, ia juga menelaah perilaku dan ucapan-ucapan para zahid (ahli ibadah) yang hidup sebelumnya, seperti Hasan Basri, Iberahim bin Adham, Daud al-Thai dan Fudhail bin Iyad dan juga pemikiran-pemikiran para zahid di zamannya seperti Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, Bisyar Khafi, Zi Nun al-Misri dan Sirri al-Saqati.

Telaahannya yang begitu luas yang menjadikan dirinya menjadi ulama terkemuka di zamannya. Persaksian dari tiga orang penulis sejarah tasawuf di belakangnya mengakui keluasan wawasan ilmu al-Muhasibi seperti al-Qusyairi yang menulis dalam bukunya “al-Risalah al-Qusyairiyah” menyatakan al-Muhasibi adalah seorang ulama yang tidak ada tolok bandingnya di zamannya, baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang tasawuf. Al-Tamimi menggambarkan bahwa al-Muhasibi merupakan imam kaum muslimin dalam bidang hadis, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dan Ibnu Khaldun menulis dalam bukunya “Al-Muqaddimah” mengakui al-Muhasibi menghimpun ilmu fikih batin, ilmu fikih lahir, ilmu fikih wara’, dan ilmu akhirat.

Di samping ilmu-ilmu yang dimilikinya al-Muhasibi dalam bidang hadis dan fikih, ia juga menggeluti ilmu dalam bidang tasawuf bahkan namanya sangat populer di kalangan para shufi. Ia mempelajari tasawuf pada usia tiga puluh tahu, dalam pengakuannya katanya “telah berlalu masa selama tiga puluh tahun dan selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari kepalaku. Kemudian berlalu pula masa selama tiga puluh tahun yang selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari Allah”.

Dalam ungkapan di atas, ia menegaskan setelah ia bergaul selama tiga puluh tahun dengan ilmu pengetahuan yang memerlukan analisa pemikiran seperti fikih dan ilmu kalam, ia berpindah ke bidang ilmu tasawuf untuk membersihkan batinnya, mempertajam kesadaran hatinya agar memperoleh bisikan suci dari Allah. Kesungguhannya untuk menggabungkan dan menjaga kebersihan batinnya luar biasa. Ia selalu mengadakan perhitungan (muhasabah) sehingga ia digelar al-Muhasibi, ia selalu memperhitungkan semua aktivitas batinya

Tokoh Sufi Dzun Al Misri

Nama asli beliau adalah Abul Faidh Nun Tsauban bin Ibrahim Al Mishri, wafat pada thun 245 H./ 859 M. Ayahnya berasal dari Naubi ( sabuah negara di Timur Laut Afrika, berbatasan dengan Mesir dan Laut Merah, Padang Libia dan Khortum). Beliau seorang yang sangat terhormat, paling alim,wara', kharismatik dan seorang sastrawan pada masanya. Beliau pernah mendapat fitnah hingga diadukan kepada Khalifah Al Mutawakkil dan dipanggilnya dari Mesir. Ketika beliau datang dan memberi nasihat kepada Khalifah Al Mutawakkil, Khalifah pun menagis dan berbalik menghormatinya. Dikatakan bahwa ketika dituturkan seorang ahli wara', maka Khalifah mengucapkan LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAH kepada Dzun Nun Al Mishri. Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit putih kemerehan dan tidak berjenggot putih.
Di antara mutiara nasihatnya adalah:
1. Putaran pembicaraan berkisar empat hal: mencintai Yang Maha Agung, tidak suka sedikit ibadah, mengikuti Al Qur'an, dan takut berubah.
2. Di antara tanda-tada orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya dalam perilaku, perbuatan, perintah-perintah dan sunah-sunahnya.
3. Orang hina adalah orang yang tidak tahu jalan kepada Allah dan todak mau mempelajarinya.

Al Maghribi pernah datang kepada Dzun Nun dan bertanya, "Wahai Abul Faidh, apa sebab tobatmu?" Maka dijawab, "Mengherankan, kamu tidak mempercayainya?"
Al Maghribi berkata, "Demi Tuhanmu yang engkau sembah, beritahulah saya!"
Maka diceritakan kepada Al Maghribi, " Suatu hari saya ingin keluar dari Mesir menuju satu desa, ketika melewati padang sahara saya tidur di sebuah jalan. Saat mata saya terbuka, tiba-tiba ada anak burung kecil yang buta terjatuh dari sarangnya ke tanah, dan bumi terbelah menjadi dua. Dari celah bumi itu keluar dua buah piring emas dan perak. Di piring yang satu terdapat bijian dan yang satunya berisi air, maka burung itu pun makan dan minum dari piring itu. Lalu aku berkata, 'Cukup ya Allah, saya telah bertobat.' Semenjak itu saya selalu mengetuk pintu Allah sampai diterima tobat saya,"

Katanya lagi, "Al Hikmah tidak tinggal pada seseorang yang perut besarnya terisi penuh makanan." Pernah juga beliau ditanya tentang tobat, lalu dijawab, "Tobat orang awam adalah dari perbuatan dosa, sedang tobat orang khusus adalah dari kelengahan."

Tokoh Sufi Rabi’ah Al Adawiyah

Rabi’ah Al Adawiyah

Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi. Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya. Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.

Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.

Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.

Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.

Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

Tokoh Sufi Ibrahim bin Adham

Ibrahim bin Adham

Dia adalah raja di Balkh satu wilayah yang masuk dalam kerajaan Khurasan, Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim bin Adham juga bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu di kawal 80 orang pengawal. 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Suatu malam, ketika sedang terlelap tidur di atas dipannya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri. Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari ontaku yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya. Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.” Jawabannya membuat Ibrahim tersentak, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Ia gelisah, kedua matanya tidak dapat terpejam, terus menerus menerawang merenungi kebenaran kata kata itu. Hingga adzan Shubuh berkumandang Ia tetap terjaga. Esok harinya, keadaannya tidak berubah. la gelisah, murung, dan sering menyendiri. la terus mencari jawaban di balik peristiwa malam itu.

Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikin berkurang. Akan tetapi, sepertinya masalah itu terlalu berat baginya, sehingga tanpa disadarl kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya, ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Kalau saja ia tidak terjatuh bersama kudanya, mungkin ia tidak berhenti.

Ketika ia berusaha bangun, tiba tiba seekor rusa melintas di depannya. Segera ia bangkit, menghela kudanya dengan cepat sambil mengarahkan tombaknya ke tubuh buruannya. Tetapi, saat dia hendak melemparkan tombaknya, ia mendengar bisikan keras seolah memanggil dirinya, “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu (berburu) kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Namun, Ibrahim terus berlari sambil melihat kiri kanan, tapi tak seorang pun di sana, lalu ia berucap, “Semoga Allah memberikan kutukan kepada Iblis!”

Dia pacu kembali kudanya. Namun, lagi-lagi teguran itu datang. Hingga tiga kall. la lalu berhenti dan berkata, “Apakah itu sebuah peringatan dari Mu? Telah datang kepadaku sebuah peringatan dari Allah, Tuhan semesta alam. Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada Nyal”

Setelah itu, ia menghampiri seorang penggembala kambing yang ada tidak jauh dari tempat itu. Lalu memintanya untuk menukar pakaiannya dengan pakaian yang ia pakal. Setelah mengenakan pakalan usang itu, ia berangkat menuju Makkah untuk mensucikan dirinya. Dari sinilah drama kesendirian Ibrahim bermula. Istana megah ia tinggalkan dan tanpa seorang pengawal ia berjalan kaki menyongsong kehidupan barunya.

Berbulan bulan mengembara, Ibrahim tiba di sebuah kampung bernama Bandar Nishafur. Di sana ia tinggal di sebuah gua, menyendiri, berdzikir dan memperbanyak lbadah. Hingga tidak lama kemudian, keshalihan, kezuhudan dan kesufiannya mulai dikenal banyak orang. Banyak di antara mereka yang mendatangi dan menawarkan bantuan kepadanya, tetapi Ibrahim selalu menolak.

Beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan Bandar Nishafur, dan dalam perjalanan selanjutnya menuju Makkah, hampir di setiap kota yang ia singgahi terdapat kisah menarik tentang dirinya yang dapat menjadi renungan bagi kita, terutama keikhlasan dan ketawadhuannya. Pernah satu ketika, di suatu kampung Ibrahim kehabisan bekal. Untungnya, ia bertemu dengan seorang kaya yang membutuhkan penjaga untuk kebun delimanya yang sangat luas. Ibrahim pun diterima sebagai penjaga kebun, tanpa disadari oleh orang tersebut kalau lelaki yang dipekerjakannya adalah Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang sudah lama ia kenal namanya. Ibrahim menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengurangi kuantitas ibadahnya.

Satu hari, pemilik kebun minta dipetikkan buah delima. Ibrahim melakukannya, tapi pemilik kebun malah memarahinya karena delima yang diberikannya rasanya asam. “Apa kamu tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam,” tegumya. “Aku belum pernah merasakannya, Tuan,” jawab Ibrahim. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta. Ibrahim lantas shalat di kebun itu, tapi pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. “Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding kamu.” “Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi,” jawabnya. Dia pun dipecat, lalu pergi. Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria sedang sekarat karena kelaparan. Buah delima tadi pun diberikannya. Sementara itu, tuannya terus mencarinya karena belum membayar upahnya. Ketika bertemu, Ibrahim meminta agar gajinya dipotong karena delima yang ia berikan kepada orang sekarat tadi. “Apa engkau tidak mencuri selain itu?” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu,” tegas Ibrahim.

Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat pekerja baru. Dia kembali meminta dipetikkan buah delima. Tukang baru itu memberinya yang paling manis. Pemilik kebun bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta karena mengaku tak pernah mencicipi delima, memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu. “Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun.

Tukang kebun yang baru lantas berujar, “Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang lantas meninggalkan istananya karena zuhud.” Pemilik kebun pun menyesali tindakannya, “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”

Menjelang kedatangannya di Kota Makkah, para pemimpin dan ulama bersama sama menunggunya. Namun tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Ketika kafilah yang diikutinya memasuki gerbang Kota Makkah, seorang yang diutus menjemputnya bertanya kepada Ibrahim, “Apakah kamu mengenal Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang terkenal itu?” “Untuk apa kamu menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim balik bertanya.

Mendapat jawaban yang tidak sopan seperti itu, orang tersebut lantas memukul Ibrahim, dan menyeretnya menghadap pemimpin Makkah. Saat diinterogasi, jawaban yang keluar dari mulutnya tetap sama, “Untuk apa kalian menanyakan si ahli bid’ah itu?” Ibrahim pun disiksa karena dia dianggap menghina seorang ulama agung. Tetapi, dalam hatinya Ibrahim bersyukur diperlakukan demikian, ia berkata, “Wahai Ibrahim, dulu waktu berkuasa kamu memperlakukan orang seperti ini. Sekarang, rasakanlah olehmu tangan-tangan penguasa ini.”

Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan seorang bekas penguasa seperti Ibrahim bin Adham, dari pengalamannya memperbalki diri, dari kesendiriannya menebus segala kesalahan dan kelalaian, dari keikhlasan, kezuhudan, dan ketawadhuannya yang

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.